Langkah kaki kecilnya berhasil membawanya untuk keluar dari rumahnya itu tanpa sepengetahuan dari sang Papa. Ziva yang sedari tadi berusaha mengendap-endap kini raganya berhasil berdiri dengan “selamat” di depan pintu rumahnya.

Sebelum bertemu dengan sang kekasih, Ziva terlebih dahulu memakai sepatunya yang sedari tadi ia tenteng. Ia memang sengaja bertelanjang kaki dari kamarnya tadi untuk menghindari sang Papa mendengar langkah kakinya.

Tentu saja pria paruh baya itu pasti akan melarang Ziva pergi jika ia tahu bahwa putri manisnya itu akan pergi bersama sang kekasih yang tak pernah ia restui. Setelah selesai mengikat tali sepatunya, ia berdiri dan membuka gagang pintunya untuk menemui sang pujaan hati yang sedari tadi telah menantinya.

“Hei! Maaf ya Piii jadi nunggu lama.”

Kalimat yang terucap dari bibir mungil milik Ziva membuat perhatian Harvi terpecah. Sebelumnya, pria ini sedari tadi sibuk memainkan handphonenya di atas motor maticnya. Buru-buru ia memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya setelah ia tahu bahwa kekasihnya telah berada di sampingnya.

“Eh cantik, enggak lah. Gak lama kok.”

Spontan Harvi memasangkan helm pada Ziva seperti biasanya. Lelaki itu kini menyalakan mesin motornya dan siap untuk memulai perjalanan mereka berdua.

“Princess udah siap?” tanya Harvi.

“Siaaaappp, ayoo hahaha,” jawab Ziva spontan kemudian melingkarkan tangannya pada perut Harvi dengan erat. Muda-mudi itu memulai perjalanan mereka ke tempat yang telah Harvi persiapkan dengan matang.


“Ayo turun, udah sampai.”

Ziva yang terpaku dengan pemandangan di depannya masih dapat mendengar suara Harvi. Ia turun dari motor itu dan memandangi sekitarnya. Harvi berusaha melepas helm kekasihnya dan tersenyum melihat mata Ziva yang berkaca-kaca memperhatikan sekitar.

“Ayo?”

Kedua tangan mereka kini saling menggenggam, langkah mereka membawa mereka mendekat ke hamparan rumput yang berada di depan mereka. Di hadapan mereka terdapat meja yang tak begitu besar yang di atasnya telah tersedia peralatan makan yang lengkap. Harvi seperti menyulap taman di dekat danau kampus mereka bak restoran bintang 5 yang bertema outdoor. Semua hiasan tertata dengan apik. Tak lupa di samping meja mereka terdapat papan yang terluliskan “Happy Anniversary” yang Ziva yakini itu adalah tulisan tangan Harvi sendiri.

“Are you happy, Princess?”

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Harvi seperti hal yang tidak perlu ditanyakan lagi. Ziva sangat bahagia dengan kejutan yang kekasihnya berikan. Tanpa pikir panjang, ia memeluk Harvi dengan erat dan meneteskan air mata di pundak lelaki itu.

“Hei kenapa nangis? Maaf kalau ga sesuai sama yang kamu mau ya, Jip. Aku inget kamu pengen kita piknik tapi aku yang selalu ga bisa menuhin itu. Maaf aku sibuk kerja ya sayang. Terimakasih kamu udah hadir di hidup aku. Aku bahagia, Ziva.”

Ziva menggeleng kasar, ia melepas pelukannya dan menggenggam erat tangan lelaki itu. Menatap mata Harvi sedalam yang ia mampu. Memberikan senyuman termanis yang ia bisa berikan.

“Harvi, terimakasih. Terimakasih kamu udah inget sama apa yang aku pengen. Terimakasih udah selalu berusaha yang terbaik buat aku. Aku beruntung punya kamu. Aku bahagia sama kamu.”

Harvi mengangguk tanda ia mengerti ucapan wanita yang ada di hadapannya. Tak tertahan air mata lelaki itu pun ikut terjatuh. Ia menyeka kasar matanya, ia tidak suka menangis. Tapi Ziva adalah alasan ia menyukai air mata, air mata bahagia saat bersama wanita ini.

Bukan itu saja, masih ada lagi kejutan yang Harvi siapkan. Ia menuntun Ziva untuk duduk di bantal yang telah ia siapkan. Kemudian mengambil kotak yang telah ia simpan di bawah meja. Dua kotak besar yang Ziva sendiri tidak bisa menebak apa isinya.

“Ini coba kamu buka.”

Ziva meraih kotak itu dan memperhatikannya sebelum ia membukanya. Ia masih menerka-nerka apa isinya. Lagi-lagi matanya tertuju pada Harvi. Seperti berisyarat menanyakan apa lagi yang lelaki ini berikan padanya. Harvi tersenyum dan menaikkan kedua alisnya. Seperti memberi isyarat juga pada Ziva untuk membuka kotak itu.

Setelah beberapa saat menerka-nerka apa isinya, gadis itu membuka kotak yang Harvi berikan padanya. Isi dari kotak itu ternyata adalah sepatu Nike putih dengan logo Nike berwarna hitam. Harvi pun membuka kotak yang satunya yang sedari tadi ia pegang. Isinya sama.

“Couple?”

“Iya hehe, dulu kamu pengen kita punya barang couple kan, Jip? Mungkin kamu udah lupa juga ya gara-gara saking lamanya. Maaf ya dulu aku gak bisa nurutin. Gimana sekarang? kamu suka?”

“Suka banget, Pi. Makasih banget. Tapi ini mahal. Sayang uangnya, Pi.”

“Enggak, enggak. Bukan sayang uangnya. Sayang kamu aku mah.”

Ziva tersenyum melihat kekasihnya itu. Benar kan, Ziva yang beruntung memiliki Harvi yang selalu berupaya untuk membuatnya bahagia. Semua orang salah, bukan Harvi yang beruntung memilikinya. Tapi dia yang beruntung memiliki Harvi.