CANDLE: PUFF A MAGIC

Embusan angin perlahan mulai membekukan ruang berpetak besar ini. Perlahan kebekuannya ditularkan pada beberapa pengunjung hingga tak jarang mereka enggan melepaskan jaket yang tersemat di tubuh. Dinginnya semakin menusuk karena cuaca di luar sedang rintik. Perpustakaan yang biasanya sepi mendadak ramai, entah memang mereka berniat membaca buku atau hanya sekedar berteduh.

Dari beragam mahasiswa yang berkunjung, terdapat satu pria pendiam tengah terlelap sendirian. Projek lomba yang sedang digarap belum juga rampung, padahal dia baru berniat mengedit proposalnya saja. Namun, rasa kantuk tiba-tiba saja bertamu. Dia memutuskan untuk tidur barang sejenak saja agar kantuknya terusir. Buku yang tadinya dijadikan sebagai sumber informasi proposalnya, berubah menjadi bantal tidur.

Tubuh mungil yang digerakkan membuat tidurnya terganggu. Matanya mengerjap lalu kedua tangannya terangkat untuk menggeliat. Setelah pandang bertemu, ia terkejut bukan main. Pria incaran sejak tahun lalu ternyata berada di hadapannya.

“Bukunya udah selesai? Boleh aku pinjem?” Tanyanya sopan.

“Hah?” Gelagatnya gugup. “Ah, ini?” Lanjutnya sembari mengacungkan buku sumber yang tadi malah ia jadikan bantal.

“I-iya, masih dipake gak?”

Pria manis tersebut hanya menggeleng. “Bawa aja.”

Bincang singkat basa-basi tadi cukup untuk membuat hatinya melayang ke langit. Walaupun terjatuh karena dia ditinggalkan tanpa berkenalan, tak masalah. Awan masih menampung hingga rasa sakitnya tak terlalu menyesakkan. Senyuman manis yang mengiringi perpisahan mereka semakin membuat salah tingkah. Jelas saja, Donghyun telah lama mengincar Joochan dan secara ajaib semesta membawakan pria tersebut padanya. Ya, walaupun masih sekedar berbasa-basi.

Donghyun dan Joochan sebetulnya berada di jurusan yang sama. Sayangnya, mereka terpisahkan karena tak belajar di kelas yang sama. Donghyun hanya bisa menatap ketampanan pria pujaannya dari jauh. Sikapnya yang terlalu pendiam tak bisa menjadikannya agresif. Terlebih Joochan merupakan salah satu pria tampan di kampus. Tentu saja akan sulit mendapatkan pujaannya. Jadi, Donghyun hanya bisa pasrah dan memutuskan untuk menjadi pengagum rahasia saja.

“Udah sore, nih. Aku balik aja, deh.” Gumamnya dalam hati.

Kakinya sudah kembali berpijak pada keramik dingin. Namun, langkahnya terhenti karena tak sengaja menendang satu buku di lantai. Buku misterius tersebut tergeletak begitu saja tanpa seorang pemilik. Sebagai seorang mahasiswa yang baik, Donghyun mengambil bukunya dan menelisik. Membulak-balik buku asing tersebut berharap ada seseorang yang mengakui.

“Magic?” Serunya pada diri sendiri. “Emang disini ada jurusan sulap? Kok, ada buku kayak gini?” Lanjutnya heran.

Dia kembali duduk. Buku tersebut bak memberikan sihir pada Donghyun. Sama seperti judulnya, Donghyun seperti terhipnotis untuk membuka lembar demi lembar buku tersebut. Padahal dia tidak memiliki antusias sedikitpun pada dunia sulap.

???????? ????? ??? ??????? ?????? ?????????? ????????? ???? ???? ???????. ???? ??? ????????????, ???? ??? ?????? ??????? ??????.

Rangkaian diksi ajaib berhasil menarik atensi Donghyun. Kata tersebut tak terlalu panjang tapi cukup menghabiskan banyak waktu untuk membacanya. Bukan sekedar membaca, Donghyun mencerna dengan akal sehatnya. Ia berpikir jika hal tersebut tidak mungkin terjadi. Apalagi jika dia memikirkan nama Joochan dan meniup lilin tersebut. Mustahil Joochan akan datang begitu saja di hadapannya tanpa alasan jelas.

“Udahlah, Donghyun! Cukup halunya, mending balik aja. Besok masih ada kuliah.”

Perjalanan menuju kosan tak terlalu jauh. Pria manis itu hanya perlu melangkahkan kakinya sekitar lima belas sampai dua puluh menit saja. Di kosan, dia tak sendirian. Walaupun pendiam, Donghyun masih memiliki dua sahabat karib. Jaehyun dan Bomin memang tak berada satu kamar dengannya. Mereka berada di samping kamar kosan Donghyun. Dahulu ketika masih menjadi mahasiswa baru, mereka berjanji akan selalu menjaga satu sama lain. Selain itu, alasan mereka berada dalam satu naungan tempat tinggal adalah agar ketika saling membutuhkan tak susah untuk mencari dan menghubungi.

Kosan merupakan tempat paling nyaman bagi makhluk tak pandai beradaptasi seperti Donghyun. Area ini cocok untuk dijadikan bahan imajinasinya ketika menulis berbagai tugas, apalagi dia dipaksa untuk mengikuti satu perlombaan. Otaknya pasti akan bekerja lebih keras dan tentu saja membutuhkan keheningan kosannya untuk berpikir.

“Ah, sial! Kenapa harus mati lampu pas lagi kayak gini, sih?” Rutuknya kesal.

Donghyun terpaksa berjalan dengan bantuan senter di ponselnya. Dia baru saja akan membuka kembali laptopnya untuk memperbaiki proposal lomba yang akan diajukan. Kondisinya diperparah karena ponselnya hampir kehabisan daya. Dengan penuh pengharapan, dia berjalan ke kamar sebelah mencari bantuan sebelum senter di telepon genggamnya mati.

“Bomin? Ada di dalem, kan?” Tangan yang bebas mengepal lalu mengetuk pintu kamar sahabatnya. “Punya lilin gak? Minta, dong!” Lanjutnya agak lantang.

Sahabat memang selalu bisa diandalkan saat apapun. Senyuman manis diperlihatkan ketika pintu terbuka. Donghyun sengaja melakukannya agar sahabatnya itu memberikan bantuan. Sayangnya, Bomin malah menanggapi dengan sangat dingin.

“Ganggu tidur aja, sih? Gak ada! Tanya Jaehyun sana.”

“Yaudah!”

Bomin mungkin kesal karena tidurnya terganggu. Namun, Donghyun juga kesal karena kehadirannya justru ditanggapi tak elok oleh sahabatnya. Kesal yang masih menggunung mendampingi kepergian langkah kecil ke kamar Jaehyun. Bingo! Pintunya tak tertutup. Sepertinya Jaehyun baru kembali dari warung atau mungkin sudah mengerjakan hal lain.

“Jaehyun!” Serunya agak lantang.

“Hhhmmm?”

Binar mata Donghyun bersinar terang bagai cahaya lilin yang sedang dinyalakan Jaehyun. “Ih, minta lilin, dong. Males ke warung, nih.”

“Sudah kuduga!” Jaehyun merogoh satu batang lilin dari dalam kresek. “Nih, kalo kurang balik lagi aja. Tapi, semoga gak lama, sih.”

“Makasih, Jaehyun...”

Getaran manjanya kentara sekali terdengar. Jaehyun yang sudah biasa mendengarkan hanya membalasnya dengan raut canggung dan agak kesal. Perilaku manis tersebut hanya terlihat jika mereka saling membutuhkan saja. Selebihnya mereka gemar sekali bertengkar. Akan tetapi, itulah bumbu persahabatan mereka. Aneh sekali bukan?

Setelah kembali ke kamar, ponselnya pun tak lagi bersinar. Barang kesayangannya kehilangan daya dan belum bisa digunakan. Donghyun pasrah dan hanya bisa menunggu sampai lampu kembali menyala. Niatnya untuk mengerjakan proposal pun diurungkan. Bekerja ditemani kegelapan tentu bukan ide yang bagus.

Akhirnya, dia hanya bisa merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap langit kamar dengan pikiran yang masih tertuju pada Joochan. Hanya untuk sekedar informasi, Donghyun tak pernah memberitahukan jika dia memiliki perasaan untuk Joochan. Termasuk pada Bomin dan Jaehyun. Mereka memang bersahabat, tetapi sikap pendiam membuat semuanya juga tersembunyi.

“Aku tidur aja, deh.” Serunya pelan.

Sebelum tidur, Donghyun malah memainkan api dalam sumbu lilin di hadapannya. Sinarnya temaram tapi cukup memberikan cahaya hingga pengelihatannya kembali jelas. Sejenak lamunan menyergap, dia memutar waktu. Kembali pada diksi ajaib dari buku asing yang tadi dibaca. Mungkinkah Joochan adalah belahan jiwanya? Jika hal tersebut benar, apakah mungkin Joochan akan datang mendatanginya setelah cahaya lilin dia padamkan melalui tiupan bibirnya? Entahlah, Donghyun tak terlalu mengharapkan hal tersebut terjadi.

Pikirnya masih melulu berkutat pada Joochan. Pria tersebut memang selalu membuat Donghyun salah fokus. Enggan terlalu larut dalam imajinasi liar, Donghyun hanya meniup lilin dengan sedikit harapan agar Joochan menemuinya.

Dua puluh menit berlalu. Tak ada tanda apapun dari luar. Pintu pun tak kunjung terketuk. Apakah ini menjadi jawaban semesta jika mereka tidak ditakdirkan bersama? Donghyun hanya menepuk kepalanya sendiri. Dia terlalu percaya pada hal magis yang mustahil terjadi di dunia nyata.

“Stop! Berhenti mikirin Joochan, Hyun! Tidur aja.” Dia menghentikan dirinya sendiri.

Selimut akhirnya ditarik agar kehangatannya merebak ke seluruh tubuh. Mata dipejamkan agar besok bisa kembali terbangun dengan kondisi lebih baik. Perlahan dunia nyata ditinggalkan, Donghyun menyelami mimpi dengan raut yang sangat tenang. Sayang sekali, beberapa kali ketukan membuatnya tertarik kembali ke dunia nyata.

“Ada apa, sih? Ganggu orang lagi tidur aja!” Selimutnya tersibak. Donghyun berjalan kecil sampai tak menyadari jika cahaya lampu telah kembali. “Pasti Jaehyun atau Bomin, nih. Awas aja kalo mereka ngebangunin aku cuma nanya hal gak penting. “ Ancamnya kesal.

Seraya pintu terbuka, Donghyun sudah siap merutuk pada sahabatnya. “Ada ap...” Nyatanya, suara malah tercekat.

“Kim Donghyun?”

Matanya terbelalak ketika mendengar nama lengkapnya dipanggil. Kalian bisa menebak siapa yang datang? Ya, Joochan, dia benar-benar datang menemui Donghyun secara ajaib. Hal tersebut tentu saja membuat si pria manis malah menampar dirinya sendiri.

“Eh? Eh? Kok ditampar?” Joochan kebingungan.

“Aku gak mimpi, kan?” Tanyanya polos.

“Engga...”

“Bentar!” Donghyun berlari memasuki kamarnya kembali. Dia berniat melihat gambar dirinya mengingat ia baru saja bangun.

Setelah dirasa baik-baik saja, Donghyun kembali ke hadapan Joochan sembari mengatur napasnya. Buku yang tadi dia baca benar-benar membawa Joochan ke hadapannya. Donghyun semakin yakin jika mereka memang ditakdirkan bersama.

“Maaf lama.”

“Ah, gapapa. Aku cuma mau ngasih ini.” Joochan memberikan satu berkas kertas yang tak asing.

Tangan mungil terulur untuk mengambil berkas tersebut. “Ini apa?” Suaranya penasaran.

“Proposal kamu, aku disuruh Pak Daeyeol buat ngasih ke kamu. Katanya kamu gak bisa dihubungi, jadi aku, deh yang disuruh kesini. Maaf jadi malah ganggu kamu tidur.”

“Pak Daeyeol?” Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan oleh Joochan.

Ternyata pertemuan mereka kembali hanya sekedar sebuah kebetulan. Donghyun sejenak melupakan kemagisan dari tiupan lilin yang sudah dilakukan. Tidak ada sedikitpun romansa yang terasa, padahal buku tersebut mengatakan jika ini merupakan bukti jika mereka adalah belahan jiwa. Mungkin memang lebih baik jika Donghyun tetap diam di dunia nyata. Dunia sihir dan magis tak cocok untuknya.

“Makasih, ya. Kebetulan tadi handphonenya mati. Mau masuk dulu?” Tawar Donghyun.

Hatinya berdegup kencang. Celah kecil di hatinya berharap jika Joochan akan bersedia berkunjung. Jika kaki mereka berpijak pada lantai keramik yang sama, mungkin saja Donghyun akan percaya dengan buku magis tersebut. Nyatanya, tidak. Donghyun bagai dilemparkan dari langit ke tujuh karena Joochan menolak.

“Ah, gak usah. Jangjun nunggu di depan. Gak enak juga kalo dia nunggu lama. Pak Daeyeol bilang katanya itu proposal harus selesai besok. Duluan, ya?”

“Besok?” Serunya terkejut sambil melambaikan tangan pada Joochan yang perlahan menghilang.

Daeyeol memang salah satu dosen yang dikenal sama memperhatikan hal detail. Dunianya perlahan menjadi neraka karena ternyata projek lomba yang diikutinya malah mempertemukannya dengan dosen galak tersebut. Tak ada pilihan lain, Donghyun kembali membuka laptopnya. Lembar per lembar dia teliti dengan baik. Melihat berbagai coretan yang dibubuhkan Daeyeol, detail sekali. Donghyun sampai menggelengkan kepalanya berulang kali karena mengagumi kemampuannya yang sangat menakjubkan.


Donghyun terburu-buru karena pagi ini harus bertemu dengan Daeyeol. Dia sampai meninggalkan Jaehyun dan Bomin karena pertemuan pagi ini. Tak apa, paling nanti dia harus bersiap dengan berbagai sumpah serapah sahabatnya karena tidak memberikan kabar.

“Permisi, Pak?” Suaranya lembut sekali, sangat tak biasa. Setelah mendapat persetujuan, ia menekan kenop pintu agar terbuka.

“Duduk!” Perintahnya dijawab dengan anggukan kecil. Langkahnya sangat cepat dengan kedua tangan memeluk berkas yang sudah diedit semalam.

Keheningan menyeruak. Donghyun hanya diam di salah satu kursi yang berada di ruangan Daeyeol. Perlahan suasana hatinya nyaman karena aroma wangi yang dihirup. Jelas saja, dosennya ini memang pecinta lilin aromaterapi, aroma itu pasti berasal dari sana.

Donghyun masih belum membuka berkasnya sama sekali. Beberapa lembar kertas hanya tergeletak begitu saja di atas meja milik Daeyeol. Sang pemilik ruangan masih sibuk dengan pekerjaannya di meja yang lain, dia sibuk mengendalikan komputer di hadapannya.

“Sebentar!” Diksi singkat tersebut mau tak mau harus dituruti Donghyun. Entah berapa lama dia harus menunggu sang dosen menyelesaikan pekerjaannya. Sudahlah, turuti saja daripada diterkam.

Kebosanan lama kelamaan ternyata hinggap di bahu si mahasiswa mungil. Dia akhirnya tidak tahan jika harus melulu duduk di kursi panas. Bokongnya terangkat seiring langkah mengeliling untuk melihat keadaan. Lagi dan lagi atensinya dicuri pada salah satu lilin. Pikirnya bagai dihipnotis agar segera mendekat.

Perasaannya masih tertuju pada Joochan. Kejadian tadi malam bisa saja hanya sebuah kebetulan karena titah Daeyeol. Dirinya enggan mempercayai berbagai remeh temeh tentang magis yang sempat dibaca, tetapi hatinya mengatakan hal lain. Tak ada salahnya untuk mencoba kembali, jika Joochan datang bisa jadi tingkat kepercayaan dirinya untuk mendapatkan Joochan lebih meninggi.

Lilin aromaterapi milik dosennya dimainkan begitu saja. Api kecilnya dimainkan menggunakan telunjuk. Sorot matanya tak bernyawa, Donghyun ragu harus meniupnya atau tidak. Jangan melupakan Daeyeol, jika lilinnya tertiup bisa saja dia akan memarahi Donghyun.

Pekerjaan yang dikerjakan Daeyeol sepertinya sangat menyita waktu. Dia sampai tidak menyadari jika mahasiswanya malah bermain dengan salah satu barang di dalam ruangannya. Situasi aman tetapi Donghyun masih ragu. Jika dia meniupnya dan Joochan tak datang, pasti hatinya akan sakit bukan kepalang.

Entah ditunggangi hantu macam apa, tetapi Donghyun akhirnya yakin untuk meniup lilin tersebut. Matanya terpejam dan tertuju pada Joochan. Napasnya ditarik panjang lalu meniupkan udara perlahan sampai lilinnya padam. Selesai dengan hal tersebut, dia kembali membuka matanya. Semenjak membaca buku tempo lalu, sikap Donghyun memang sedikit aneh.

“Donghyun! Saya sudah baca proposal kamu.”

Kesadarannya kembali bagai kilat karena ujaran sang dosen, Donghyun segera berbalik dan meninggalkan lilin yang masih mengeluarkan asap kecil karena tiupannya. “Iya, Pak. Bagaimana? Masih ada yang harus saya perbaiki?” Lanjutnya sopan.

“Eeeuummm... Kamu sudah pilih rekan? Saya suruh pilih satu rekan, kan? Kenapa masih datang sendirian?”

“Gaada yang minat, Pak. Saya juga bingung mau ajak siapa.”

Sebetulnya bukan seperti itu. Donghyun terlalu enggan berurusan dengan orang lain. Dia hanya mengajak Jaehyun dan Bomin, tetapi mereka tidak berminat. Alhasil, dia masih seorang diri mengunjungi Daeyeol.

“Kebetulan ada satu orang yang ikut juga lomba ini, dia juga sendirian. Kamu gabung sama dia aja, ya?”

Keinginan untuk menolak sangat tinggi. Akan tetapi, jika keinginan Daeyeol tidak dituruti, tamatlah riwayatnya. Belum diperkenalkan dengan orang tersebut, bayangan Donghyun sudah menakuti. Dia sangat meyakini jika akan sulit untuk beradaptasi dengan orang tersebut.

“Sebentar lagi orangnya dateng, kamu tunggu aja.”

“Baik, Pak.” Jawabnya pelan.

“Kamu pernah ketemu sama dia, kan? Semalem saya suruh dia ke kosan kamu soalnya kamu gak bisa saya hubungi.”

Kening segera berkerut. Seseorang yang dia temui tadi malam hanyalah Joochan. Pria yang dia kagumi tersebut pun yang memberikan berkas revisi dari Daeyeol. Jantungnya berdegup kencang, ajaibnya dia dapat mendengar dengan jelas derap langkah seseorang dari luar. Jika benar Joochan yang memasuki ruangan, mungkin saja Donghyun akan mempercayai kemagisan.

“Ya, masuk!”

Pandang menggelap seiring langkah mendekat. Donghyun tidak menoleh sedikitpun. Dia menunggu hingga pria tersebut duduk di sampingnya. Rencananya membuka mata tak diindahkan, Donghyun malah menunduk ketika merasakan kehangatan karena keberadaan orang di sampingnya.

“Donghyun, ini Jangjun. Kalian pernah ketemu, kan?”

Satu tengokan berhasil membuat sorot mata bertemu. Bukan, bukan dia yang ditemuinya semalam. Keningnya berkerut kembali, sihir bagai mempermainkannya. Saat ini bahkan harapan bertemu Joochan semakin sirna. Dia malah bertemu dengan orang terdekat Joochan.

“Semalem Joochan yang kasih, Pak. Jadi kita belum ketemu.” Selanya sopan.

“Joochan? Dia jadi ikut projek sama kamu?” Tanya sang dosen keheranan.

Percakapan yang tidak melibatkannya hanya dicerna seadanya. Jika tidak salah mendengar, seharusnya memang Joochan yang berada dalam perahu bersama Jangjun. Namun, dengan alasan lain Joochan harus meninggalkan perlombaan hingga Jangjun harus mencari rekan baru.

“Proposalnya tidak harus kalian ubah semua, satukan pemikiran kalian dan jadikan projek baru. Proposal kalian hampir mirip, jadi saya yakin kalian bisa bekerja sama.”

Berserah, hanya itu yang bisa Donghyun lakukan. Bekerja sama dan diskusi bukan merupakan bagian rencananya ketika mengikuti lomba. Namun, dia sudah tenggelam dan orang yang bisa membantu hanyalah Jangjun. Donghyun tidak mungkin merelakan perlombaan karena tidak memiliki rekan.

“Kita bertemu lusa, ya? Proposal kalian harus sudah selesai.”

Deadline dan masalah baru muncul. Dia hanya mengangguk saja sembari berpamitan. Bahkan ketika laju langkah beriringan, basa-basi enggan disuarakan oleh Donghyun. Bibir dan lidahnya seakan kelu, sulit sekali mengeluarkan diksi pendobrak tembok tebal di antara mereka.

“Nih, tulis nomor handphone kamu. Nanti kita bisa janjian.”

Sudut pandangnya hanya tertuju pada wallpaper. Betapa kagetnya Donghyun karena rekan barunya memasang foto bersama dengan Joochan. Hatinya hancur, semua reruntuhan langit seakan menimpa dirinya. Mereka terlihat sangat dekat dan bisa jadi sedang menjalin hubungan.

“Kok, ngelamun?”

“A-ah, maaf.”

Tangannya merenggang, dia langsung meraih ponsel milik rekannya dan menuliskan kontak agar mereka bisa saling menghubungi. Kala jemari sedang menekan layar handphone, suara yang sangat dikenal menusuk di gendang telinga.

“Jangjun! Udah beres?”

Sejenak dia menghentikan gerakan jarinya. Joochan memang datang menemuinya, tapi bukan untuk berdekatan dengannya. Semesta sedang menertawakannya, salah sendiri dia mempercayai hal magis yang tak masuk akal.

“Udah?” Ujar Jangjun tak sabar.

Ponsel dalam genggamannya menghilang. Jangjun melambaikan tangan sembari menyatukan jemari dengan Joochan. Sudah pasti sudut pandang Donghyun langsung tertuju pada tautan tersebut. Sesekali Joochan menarik tangannya, mungkin saja dia malu menjadi pusat perhatian. Namun, Jangjun sepertinya tak kenal malu, dia masih saja mempertahankan genggamannya sampai jejak mereka tak terlihat lagi.


Donghyun masih diapit dua sahabat terbaiknya, jelas saja terbaik karena dia tidak memiliki siapapun lagi selain mereka berdua. Santapan di kantin menyumbat mulut mereka hingga tak bercakap apapun tapi, makanan Donghyun tidak disentuh sedikitpun. Dia masih tegang karena akan bertemu dengan Jangjun setelah ini. Entah suasana canggung seperti apa yang nanti akan tercipta ketika mereka bersama, Donghyun terlalu banyak memikirkan hal buruk tak berguna.

“Gimana projek kamu, Hyun?” Bomin berbasa-basi.

“Gak usah sok-sokan nanya, deh. Aku ajakin gabung aja gamau kalian.”

“Bukan gak mau, Hyun. Kamu kalo ngajaknya kita berdua, percuma. Nanti cape sendiri, kita mana mau kerja.” Jaehyun ikut menimpali.

“Mending kerja sendiri, deh daripada harus kerja sama orang yang gak kenal. Jahat emang kalian, tuh!”

“Gak usah baperan, ah! Udah makan lagi, nanti temen barunya dia keburu dateng.” Goda Bomin.

Donghyun tak berkutik, rasanya semua godaan tadi sudah biasa dia dengarkan. Sakit hati tak guna dipikirkan, yang melulu mengelilingi otaknya hanyalah pertemuan dengan Jangjun hari ini. Situasinya pasti akan sangat canggung, Beban berat ini malah membuatnya pusing.

Selesai bersantap, Donghyun ditinggalkan karena mereka akan bertemu di perpustakaan. Lajunya sangat pelan hanya untuk mempermainkan waktu. Selain itu, dia juga berharap agar pertemuannya gagal, apapun itu alibinya.

Gedung perpustakaan yang amat besar tak dimasuki. Tubuhnya masih beku dan memutuskan untuk duduk dahulu di teras perpustakaan. Beberapa orang lalu lalang diabaikan saja, dia cukup menunggu hingga Jangjun datang menemuinya.

Waktu menunggu sangat lama. Kakinya digerakkan berulang kali seiring waktu tunggu yang terbuang. Telinganya bagai dibisikkan sesuatu tak masuk akal. Berbagai diksi magis yang dulu pernah dibaca masih saja menghantui dirinya.

“Okay, sekali aja. Sekali lagi aja. Kalo dia gak dateng, aku gak percaya!”

Ada-ada saja memang ulah Donghyun. Idenya tidak habis walaupun tak mendapatkan lilin di sekitar. Ponselnya digunakan dengan sangat baik, dia akhirnya mengunduh lilin virtual hanya untuk mengikuti hasratnya.

Unduhan selesai, Donghyun segera menyalakan lilin di layar gawainya. Sikapnya ini sangat tak masuk akal, tetapi dia masih berusaha. Ponsel pintarnya disandarkan pada botol minuman yang sering dia bawa. Layarnya terarah berhadapan dengannya lalu kedua tangannya bertautan erat. Joochan kembali datang dalam ingatan lalu embusan napas berhasil memadamkan api tak nyata.

“Hai!”

Pejaman terbuka karena sapaan. Donghyun agak bergidik, tiba-tiba Joochan berada di hadapannya. Semuanya bagai mimpi. Magisnya bekerja secara instan, kini dia tinggal menenangkan hati dan perasaannya.

“Kok, kamu yang disini?”

“Pertanyaan bagus!” Joochan duduk di sampingnya sembari menyimpan berkas proposal. “Jangjun gak bisa dateng, ada urusan. Aku yang gantiin dia. Tenang aja, dulu dia barengan sama aku, tiap detail proposalnya aku hafal banget.”

“Okay.” Jawabnya singkat dan sedikit agak menyakitkan karena dia ternyata mendatangi Donghyun untuk membantu pacarnya. Ya, Donghyun kini mengetahui jika mereka berdua menjalin hubungan. Buktinya banyak sekali dan terlihat jelas dengan mata kepalanya sendiri.

Diskusi berjalan sangat lancar. Di luar dugaan, ternyata dia bisa klop secepat ini dengan Joochan. Senyumnya melulu terukur di bibir tipis Donghyun. Namun, setelah mereka berpisah, senyum itu menghilang.

Joochan meninggalkannya karena Jangjun sudah datang. Sebelum mereka pergi, Jangjun menghampiri dan meminta maaf karena urusannya tidak dapat ditinggalkan. Donghyun memakluminya karena dia dapat berduaan dengan Joochan. Namun, perlahan benaknya menelisik jauh. Kedatangan Joochan ini masih suatu kebetulan atau merupakan suatu jawaban jika mereka memang ditakdirkan satu sama lain?

Projek terus saja dikerjakan oleh Joochan. Sekejap dia kebingungan. Jika tidak salah dengar, dulu dosennya pernah berkata jika Joochan memutuskan untuk meninggalkan perlombaan. Nyatanya, dia masih saja menggantikan Jangjun untuk sekedar membicarakan tentang perlombaan.

Hal magis tentang lilin dan soulmate perlahan dia lupakan. Dia memutuskan mengubur dalam kepercayaan dan hanya menjalani kehidupannya di dunia nyata. Sihir, sulap, dan kemustahilan dilenyapkan perlahan dari benaknya. Lagipula, Joochan sudah memiliki tambatan hati. Haram hukumnya mendekati seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.

Sepekan berlalu, Joochan dan Donghyun semakin dekat. Dia sangat yakin jika romansanya hanya dirasakan seorang diri. Sepanjang perkenalan yang dilakukan, Jangjun dan Joochan memang menjalin hubungan. Jawaban menohok didapatkan, Donghyun tak lagi mendapatkan kesempatan.

Kebimbangan dirasakan setiap harinya. Rasa cinta yang terlanjur merasuk membuat Donghyun mencari kembali buku yang dulu sempat dia temukan. Tetapi, hasilnya nihil. Dia tidak menemukan apapun, bukunya menghilang secara misterius. Merasa sudah mengitari perpustakaan selama berjam-jam, Donghyun memutuskan untuk pulang.

Matahari mulai menghilang digantikan senja jingga yang indah. Langit belum meredup tetapi cahayanya tak lagi perkasa. Dalam lajunya,Donghyun merasakan semilir kesejukan dari angin petang, dingin tapi tak menusuk. Namun, kejadian tak disangka terpotret matanya sendiri. Kecelakaan terjadi tepat di depan matanya. Yang lebih membuatnya terkejut, korban kecelakaan tersebut dikenal baik olehnya.

“Jangjun?”

Postur tubuhnya yang berat melayang begitu saja tak jauh dari posisi Donghyun berdiri. Setelah itu, dengan sadis tubuhnya dihempaskan hingga membentur aspal jalanan. Darah berceceran tetapi Donghyun tak bisa berteriak. Tubuhnya bagai terlilit tali hingga berlari saja sulit. Begitupun dengan orang lain yang melihat, tidak ada satupun yang berinisiatif menolongnya. Mereka malah asyik mengabadikan peristiwa tersebut.

“Heh!” Teriaknya kesal karena mobil tadi malah melarikan diri.

Donghyun kesal terlebih ketika melihat rekannya terbujur kaku. Matanya bergetar karena kondisi mengenaskan Jangjun, tetapi jemarinya masih bergerak sedikit. Nyawanya masih bisa tertolong jika dia menelpon ambulance segera.

Donghyun segera membuka telepon genggamnya. Menekan layar handphone tergesa kemudian bersiap menelepon ambulance.

“Kalo aku nelpon ambulance, terus Jangjun selamet, dia pasti balik ke Joochan...” Gumamnya pada diri sendiri. “Kalo dia gak tertolong, jalan aku dapetin Joochan bisa mulus.” Lanjutnya kejam.

Alhasil, Donghyun hanya membeku. Pikiran jahatnya merasuk hingga memerintahkan otak untuk terdiam. Kedekatannya dengan Joochan bisa lebih terjalin jika Jangjun menghilang.

“Kamu kenal sama dia?” Sebuah pertanyaan singkat dari seorang pejalan kaki menyadarkan lamunan.

“K-kenal...” Jawabnya gemetar.

“Kenapa diem aja? Buruan telepon ambulance, aku tau kamu kaget tapi kasian temen kamu!”

Tangis meluncur dari kelopak sebelah kanan. Tindakan jahatnya bisa jadi menghilangkan nyawa seseorang. Jangjun mungkin masih bisa diselamatkan jika pertolongannya datang tepat waktu. Bertemankan lengan gemetar, Donghyun menghubungi ambulance agar Jangjun bisa diselamatkan.


Sebulan berlalu, waktu memang selalu memperdaya hingga tak terasa lewat begitu saja. Kedekatan antara Joochan dan Donghyun pun semakin terjalin. Hanya saja, Donghyun selalu berusaha menghindari Joochan. Semua itu tak lain karena dia merasa bersalah atas kematian Jangjun.

Projek selesai, Donghyun sudah mengenal Joochan kurang lebih dua bulan. Akhirnya, Joochan menggantikan Jangjun untuk menyelesaikan projek tersebut. Tentu saja Joochan mau, kekasihnya meninggal tak wajar dan dia ingin melanjutkan perjuangannya yang belum tuntas.

Namun, seiring waktu berjalan ternyata Joochan merasakan romansa dalam hatinya. Kebersamaan intens dengan Donghyun membuat benih cinta tumbuh. Memang benar kata pepatah, ????? ?????? ?????? ????????.

Secara tak terduga ternyata Donghyun malah menjauhi Joochan. Rasa bersalah terhadap Jangjun terus saja menghantui. Jikalau dulu dia sigap menelpon ambulance, pasti Jangjun akan tetap bersama dengan mereka sampai hari ini. Nyatanya, keadaan berkata lain. Jangjun pergi untuk selamanya ke dunia yang berbeda karena penolongan yang terlambat.

“Kamu kok aneh, sih? Ada cowok yang suka sama kamu, loh. Jangan dicuekin, dong. Kasian, kan? Yakin gak suka sama Joochan?” Goda Jaehyun.

“Berisik, ah!”

Godaan demi godaan melulu dilemparkan padanya. Semua orang beranggapan jika Donghyun sangat bodoh karena menolak perasaan Joochan. Namun, Donghyun tidak berdaya. Jika dia memutuskan untuk menerima Joochan, maka bayangan Jangjun akan terus menghantui.

“Aku duluan!” Sambungnya kemudian sembari menenteng tas di bahunya.

Jaehyun dan Bomin hanya membiarkannya. Mereka bukan mengabaikan, tetapi hanya memberikan ruang ketenangan bagi Donghyun. Semenjak diincar oleh Joochan hidupnya memang tidak tenang. Ruang pribadinya hancur karena banyak sekali orang yang mengorek kehidupannya. Jelas saja, dia diincar oleh salah satu pria paling tampan di kampus.

Donghyun akhirnya kembali bersembunyi. Pergi di kediaman berpetaknya, sendirian. Sengaja mematikan lampu padahal aliran listrik masih tersedia. Kedua matanya berlinang, menahan derasnya air mata yang akan terjun bebas. Tak lupa, dia juga menyalakan lilin sekedar untuk memberikan cahaya dan bayangan.

Sorot matanya tertuju pada bayangan sendiri. Bayangan hitam tersebut mengikuti kemana pun dia pergi. Sama halnya seperti rasa bersalah pada Jangjun. Dia sangat membencinya hingga hampir setiap hari mengutuk diri sendiri.

Kala dirundung rasa bersalah, Donghyun pasti selalu memikirkan Joochan. Pria tampan itu sebenarnya masih memiliki ruang di hati terdalam Donghyun. Tapi, bayangan masa lalu kematian Jangjun melunturkan segalanya.

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Donghyun bergegas membukanya dan meniup temaram lilin di hadapannya. “Sebentar!” Lantangnya menyeruak karena sang tamu tak sabaran.

Lampu tak dinyalakan hingga jarak pandangnya menipis. Si tamu tak nampak rautnya, Donghyun hanya mengerutkan dahinya kebingungan. Sesaat kemudian, cahaya dari korek berhasil menyemai.

“Joochan?”

“Kok, gelap, Hyun?” Serunya sembari tetap mempertahankan cahaya dari koreknya.

“Belum aku nyalain lampunya, tunggu!”

Satu tekanan pada tombol lampu membuat sinar kembali terang. Jelas sekali wajah tampan sang tamu. Kegelapan tak lagi menyembunyikannya, Donghyun leluasa menatap lawan bicaranya.

“Ngapain kesini?” Lanjutnya ketus.

“Kamu kenapa, sih, Hyun? Ada yang salah sama sikap aku? Salah kalo aku sayang sama kamu?”

Berada di bawah tekanan membuat Donghyun hanya menunduk. Tak lupa telapaknya menempel pada daun telinga agar suara tak merambat masuk. Gelengan kepala juga terlihat beberapa kali. Pernyataan romansa tadi seakan memberikan mimpi buruk karena dia kembali dibayangi oleh Jangjun.

“Pergi!”

“Hyun...” Lirihnya sendu.

“Kita gak bisa barengan, Joochan. Bisa berhenti, gak, sih? Masih banyak orang yang sayang sama kamu.”

“Gak bisa barengan? Maksud kamu?”

Desakan terus saja ditujukkan untuk Donghyun. Akhirnya pertahanannya jebol, semua rahasia yang dipendam tumpah begitu saja. Batinnya menumpahkan semua peristiwa yang luput dari pengawasan Joochan. Donghyun pasrah, jika akhirnya dia akan dibenci oleh Joochan.

“Jangjun meninggal gara-gara aku, Joochan. Berhenti deketin aku. Kalo dulu aku engga telat telepon ambulance, mungkin aja kalian masih bersatu.”

“Hyun, liat aku!” Joochan memberikan cengkraman kuat pada bahu Donghyun. “Ini bukan salah kamu, Hyun. Aku juga lalai gak bisa jagain Jangjun. Dia meninggal bukan karena ambulance yang terlambat datang, bukan! Semuanya udah ditulis takdir, Hyun. Jangan nyalahin diri sendiri.”

Cengkraman dilepaskan paksa, “tapi kalo aku cepet dikit aja, Jangjun pasti...”

“Hyun!” Serunya lantang. “Kematian itu takdir, kita gak bisa ngelawan. Jangan ngerasa bersalah terus kayak gini. Kalopun dulu ambulancenya cepet dateng, gak menjamin Jangjun masih hidup, Hyun. Semuanya udah ditakdirkan kayak gitu, jangan ngerasa bersalah.”

Berdekatan dengan Joochan membuat Donghyun runtuh, dia langsung menjatuhkan kepalanya di bahu Joochan. Menangis sejadi-jadinya sekaligus meluapkan kekesalan dan rasa bersalah yang dipendam sangat lama. Tangan Joochan tak diam. Melihat pria yang disayanginya rapuh, dia langsung mengelus punggungnya lembut disertai dekapan erat agar kondisinya segera membaik.

“Hyun...” Mendengar isak menghilang, Joochan menangkup kedua pipi Donghyun agar kembali bertemu pandang dengannya. “Mau buka hati buat aku, kan? Aku pasti nunggu sampe kamu siap. Inget, Hyun! Jangan ngerasa bersalah tentang Jangjun. Dia udah tenang disana. Aku sayang sama kamu, Hyun.” Lirihnya sangat lembut.

Air mata kembali berurai. Donghyun berusaha menyingkap segala rasa bersalah yang dia rasakan selama ini. Bersama dengan Joochan, dia akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah napas ditarik panjang, Donghyun mengangguk dan kembali merangsek dalam pelukan Joochan.

“Makasih, Hyun.”

Senyum mereka merekah bersama. Dalam dekapan erat, mereka bertekad bersama untuk saling menjaga satu sama lain. Rekam jejak masa lalu pun akan dijadikan sebagai bahan pelajaran. Selain itu, Donghyun berjanji pada Jangjun untuk menjaga kekasihnya dengan sangat baik. Bahkan, melebihi penjagaan pada dirinya sendiri.

Joochan memang melulu meyakinkan Donghyun jika kematian Jangjun bukan kesalahannya. Takdir sudah bertindak dan tak bisa dibantah. Namun, Joochan tidak mengetahui jika sebenarnya memang Donghyun masih memiliki kesempatan untuk membuat nyawa Jangjun tertolong. Hanya saja saat itu tubuhnya kelu dan terlalu egois, hingga hanya menyimak rasa sakit yang dialami Jangjun.

Satu lilin kehidupan telah padam, tetapi Donghyun berhasil menyalakan lilin lain untuk Joochan. Kehidupan baru dirintis bersama menjadi pribadi yang lebih baik. Introspeksi melulu dilakukan agar kesalahan di masa lalu tak lagi terulang. Romansa akhirnya menambah manis kisah hidup pria pendiam tersebut. Tanpa dia sadari, lilin yang ditiup memang mendatangkan Joochan sebagai belahan jiwanya. Joochan memang ditakdirkan untuknya, begitupun sebaliknya.

FIN