HUJAN
Hujan itu menyenangkan, apalagi ketika dirasai bersamamu.
“Joo...”
“Kenapa sayang?” suara lembutnya semakin sempurna dengan genggaman manis di lenganku.
“Ayo main hujan!”
“Di pinggir aja, Hyun. Jangan hujan-hujanan nanti sakit!”
Aku tersenyum hingga menyembunyikan kedua mata. Joochan sudah berada di belakangku dengan dekapan eratnya. Mengangkat kedua tanganku dan membuatnya basah. Merasakan rintik yang turun tak terlalu deras.
Aku menyukai hujan, karenamu.
Hujan. Ribuan tetes air yang tak pernah lelah membasahi bumi. Membuat tanah beraroma khas ketika terbasahi. Menggelitik dunia dengan nuansa dingin. Menyemaikan kasih-Nya untuk berbagai makhluk semesta.
Pandanganku terus dinaikan, memberikan perhatian pada tiap tetes yang membuat tanganku basah. Tak terasa dingin, Joochan sedang bersamaku dengan dekapan terhangatnya. Aku suka.
“Kamu kok suka banget sama hujan, sih, sayang?”
Aku menengok, tersilap jika alasan tersebut belum sempat aku sampaikan padanya. “Hujan tuh bikin aku inget sama kamu, makanya aku suka hujan.”
Mataku terpejam ketika satu kecupan mendarat di bahu. Kecupan kedua membuat kepalaku tak mau diam. Tangannya masih erat menuntunku memainkan tetesan hujan yang turun.
“Apa yang bikin kamu mikir kalo aku dan hujan itu sama?”
Aku tersenyum. Baiklah, saatnya aku menceritakan persepsiku padanya.
Meski jatuh berkali-kali, hujan tidak akan pernah menyerah.
Begitu pun denganmu.
Jika menelusuri perjalanan masa lalu, kisah romansa kami tidak berawal dengan mulus. Berbagai penolakan sering aku berikan pada Joochan. Namun, dia tidak pernah menyerah. Joochan selalu memperjuangkan sayangnya untukku.
“Kamu inget, Joo? Dulu aku sering nolak kamu, kan?”
Pertanyaanku hanya dijawab dengan anggukan kepalanya yang ringan. Sesekali tangan jahilnya mencipratkan air hujan ke wajahku.
“Joo, jangan kayak gitu!”
“Maaf, sayang. Lanjut ceritanya.”
Satu kecupan mendarat di sisi kanan parasku hingga membuatku melengkungkan senyuman manis.
“Kamu tuh gak pernah nyerah walaupun udah ribuan kali aku tolak, Joo. Sama kayak hujan. Hujan juga gak pernah nyerah walaupun udah jatuh berkali-kali, kan?”
Kutengokan wajahku hingga bertatapan dengannya. Kembali saling memberikan senyuman manis di manik masing-masing.
“Ya, namanya sayang. Harus berjuang, dong. Masa nyerah, sih?”
Aku mengangguk, tanda jika aku sangat setuju dengan pemikirannya.
“Eh, tapi...”
dia terdiam sampai aku menatap dan mengangkat daguku. “Tapi apa, Joo?”
“Alesan kamu nolak aku apa, sih?”
Kakiku digoyangkan ke depan dan belakang sekaligus menurunkan pandanganku karena malu, “Awalnya aku risih aja sama kamu, Joo. Kok ada orang seagresif kamu.”
“Kalo sekarang risih gak?”
Kunaikan kembali pandanganku dan menggeleng pasti, “Gak, dong. Kalo aku masih risih, kita gaakan pacaran, Joo!”
Kalungan tangannya di pinggangku dipererat seiring cerita yang mengalun dari mulutku. Menambah intim suasana kedekatan kami bersama hujan.
“Terus apa lagi?”
Kepala dibuat menyamping terlebih dahulu karena Joochan menyimpan dagunya di bahuku.
Hujan turun karena tahu jika bumi membutuhkannya.
Joochan, lelaki tampanku ini bagai terlahir hanya untukku. Kami seperti memiliki radar yang terhubung satu sama lain dengan sangat kuat. Kapanpun dan dimanapun aku membutuhkan bantuan, dia akan selalu datang dan membantuku sepenuh hati.
“Awalnya aku kira cuma perasaan aku doang, Joo. Tapi, kamu tuh selalu ada kalo aku lagi butuh bantuan.”
“Maksudnya?”
“Tiap kali aku kesusahan, butuh bantuan, atau butuh tempat curhat... Kamu pasti selalu ada, Joo. Sampe sekarang. Bahkan kadang aku gak mau bilang sama kamu takut ngerepotin, tapi kamu selalu ada buat aku, Joo.”
Pelukannya terlepas. Dia menggenggam bahuku dengan kuat sambil memberikan tatapan tegasnya, “Kamu gak pernah ngerepotin aku, Hyun. Kalo ada apa-apa tuh bilang. Aku cuma berusaha selalu ada saat kamu butuh. Kamu juga suka kayak gitu sama aku, kan?”
Aku mengangguk. Joochan kembali pada posisi awalnya, memberikan pelukan dari arah belakang.
“Terus apa hubungannya sama hujan?” lanjutnya.
“Aku yakin, hujan itu turun karena memang bumi membutuhkannya. Sama kayak kamu. Kamu selalu ada buat aku karena emang aku butuh kamu. Makasih selalu ada buat aku, Joo.”
“Kamu juga, sayang. Makasih selalu ada buat aku.”
Semoga kalian tidak merasa muak mendengar kisah cintaku dengan Joochan. Tapi, aku selalu bersemangat ketika menceritakan Joochan-ku. Dia terbaik.
Rasanya aku membutuhkan pemandangan baru. Tidak lagi bersudut pandang hujan, kubalik tubuhku hingga berhadapan dengan Joochan. Mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan kembali memberikannya pelukan. Menyesap aroma khas tubuh kekasihku yang perlahan menjadi wangi favoritku.
Bau hujan itu menyenangkan, sederhana, dan menenangkan.
“Mau tau apalagi yang bikin kamu mirip sama hujan, Joo?”
“Apa, sayang?”
Kuubah posisi kepalaku, bersandar di dadanya yang bidang. Akhir-akhir ini dia rajin sekali berolahraga, membuatku semakin nyaman jika memeluknya.
“Wangi kamu, Joo. Aku suka. Sama kayak aku suka bau tanah ketika hujan turun. Tenang banget rasanya”
“Yang pake parfume ini bukan cuma aku, kan?”
Aku merajuk dan melepaskan pelukan. Merengut dan memberikan tatapan tajam. “Beda lah! Parfumenya sama tapi kalo dipake sama orang lain belum tentu aku suka!”
“Iya, sayang. Gitu doang ngambek, sih? Sini peluk lagi”
Tangannya terbuka lebar, tidak mungkin aku menolaknya. Terlebih hujan semakin deras, membuat suasana menjadi sangat dingin.
“Masuk, yuk, sayang. Hujannya makin deres, kelamaan di luar nanti sakit.”
Sebelum menyetujuinya, mataku dibuat terpejam sembari menguatkan pelukan. Menghirup terlebih dahulu aromanya yang membuat tenang. Menitipkan harapan pada ribuan rintik hujan.
Aku ingin selalu bersamanya.