LEAN ON ME
Bintang sudah bertaburan. Langit tak lagi hampa. Bulan dan bintang senantiasa berdampingan. Mereka seolah enggan berjauhan demi melukiskan keindahan langit malam.
Keadaan langit bertolak belakang dengan salah satu penghuni bumi. Geraknya layu menyapu arus semilir. Tengkuknya seakan berbobot ratusan kilogram karena melulu tertunduk. Pipinya pun habis basah oleh kucuran isak di pelupuk.
Kakinya mulai lunglai hingga meruntuhkan ketahanan raganya. Aspal trotoal jalanan sudah menjadi pijakan baru. Tak peduli banyak orang yang berhamburan, pria manis itu terus menangis. Beban hidupnya mungkin tak seberat orang lain, tetapi hatinya terlalu rapuh hingga terpuruk seperti sekarang.
Bola netranya yang hitam tetiba menuju ke sebuah jembatan. Jeruji putihnya melambai sekaligus menarik postur kecil pria tersebut untuk mendekat. Bak terhipnotis, lajunya tidak dibuat lamban. Dia gesit berlari lalu kini jemarinya sudah mencengkram penyangga putih nan dingin.
“Kim Donghyun!”
Nama indah memekik di telinga karena sang empunya panggilan hendak mengakhiri hidupnya. Buana masih menaungi denyut jantungnya. Hasrat menghabisi nyawa sendiri terhalang genggaman erat sahabatnya.
“Kamu udah gila, hah? Maksudnya apa, sih?”
“Pergi, Joo! Gaada gunanya aku hidup! Aku capek!” Ucapnya lantang.
“Donghyun!”
Bak angka satu, tubuh mereka saling bersentuhan. Joochan, sahabat yang tadi berhasil menghentikan percobaan pencabutan nyawa, memberikan dekapan erat. Walaupun pemberontakan terus dilepaskan, Joochan terus mengeratkan jemarinya.
“Kamu kenapa?” ucapnya lembut.
Tak ada jawaban sedikit pun. Hanya tiupan angin yang memberikan tanggapan. Terpaannya tidak membuat beku, kehangatan dekapan mengalahkan segalanya. Bahkan perlahan Donghyun mulai sedikit menenang.
“Kita pulang, ya?” pertanyaan terlontar kembali.
“Kamu aja yang pulang, Joo. Jangan bikin Kak Jangjun salah paham. Aku bisa pulang sendiri.”
Joochan menggeleng, “gak! Aku mau anter kamu pulang, yuk!”
Kegalauan menerba kalbu. Baru saja dia memergoki kekasihnya sendiri berselingkuh dengan pria lain. Bukan hanya prasangka, Donghyun melihat dengan jelas jika Jibeom mencium Jaehyun di salah satu cafe. Pikir melayang cukup jauh, dia juga sempat dicurigai berselingkuh dengan Joochan, walaupun tak terbukti. Jika keinginan Joochan dituruti, Donghyun enggan berurusan dengan kekasih sahabatnya.
“Aku pulang sendiri aja.”
“Ikut!”
Joochan tentu saja enggan jika nyawa sahabat tersayangnya melayang begitu saja. Seenaknya saja Donghyun memberikan nyawanya secara gratis tanpa perjuangan dari sang Agung untuk memberikan malapetaka. Sekuat tenaga Joochan menahan, rasa kasihnya terlalu membungbung pada Donghyun.
Tunggangan besi sudah diduduki berdua. Donghyun berhasil dipaksa untuk duduk di kursi penumpang. Netra Joochan fokus pada jalanan. Namun, benaknya hanya tertuju pada Donghyun.
“Hyun?” ucapnya tak berbalas. “Donghyun?” sambungnya kembali.
Tidak kehilangan akal, Joochan hanya menyangga motornya dengan satu tangan. Tangan kirinya meraih jemari yang terkulai di samping. Kesadaran si penumpang terkumpul paksa. Lengannya mengalung di pinggang Joochan seraya tuntunan pada jemarinya tadi.
“Cerita sama aku, Hyun. Ada apa?” ucapnya sembari melambatkan laju tunggangan.
“Jibeom...”
“Jibeom kenapa lagi?”
“Tadi aku gak sengaja mergokin dia jalan sama Jaehyun.”
Joochan menggeleng, “cuma temenan aja kali, Hyun. Jangan curigaan, ah!”
Tangan yang mengalung ditarik seiring ketidakpercayaan sahabatnya, “aku mau turun!”
“Jangan ngambek, dong...”
“Masih dibilang temenan kalo aku liat mereka ciuman?”
Tangan yang terkulai diraih kembali agar mengalung di pinggang sang pengemudi, “kalo mau nangis, boleh. Pake bahu aku aja buat sandaran. Nangis aja sepuasnya, Hyun.”
Donghyun terkulai. Dia lemah setelah ujaran memerintah tadi tertuju padanya. Isaknya langsung tercurah membasahi pundak sang sahabat. Sepanjang perjalanan, tangannya digenggam erat oleh Joochan. Laju kembali dibuat lamban karena Joochan hanya berkendara dengan satu tangan.
Selepas berdebu ria di jalanan, dua orang sahabat itu sampai di tujuan. Rumah Joochan dijadikan pilihan karena Donghyun enggan pulang. Tak ada tegur sapa yang terdengar. Kabar yang diberikan semesta tadi masih mengejutkan bagi Donghyun. Punggungnya masih menjadi pemandangan bagi Joochan. Dia sedang asyik memandang langit tak berpenghuni.
Dering telepon mengganggu keheningan. Satu panggilan masuk tapi diabaikan oleh sang pemilik. Joochan berdiri seraya mengulurkan tangan untuk meraih ponsel sahabatnya.
“Jibeom nelpon, nih” ucapnya sembari mengulurkan ponsel.
Donghyun meraihnya lalu segera mematikan layar ponselnya, “biarin aja, gak penting!”
Joochan semakin mendekat. Tangannya mengalung sempurna di pinggang mungil sahabatnya. Tak lupa dagunya pun disimpan di lekukan leher Donghyun. Suaranya memecah keheningan yang daritadi menyergap.
“Lepasin semuanya, Hyun. Kita cuma berdua aja disini. Lupain Jibeom! Jangan pikirin Kak Jangjun. Hari ini aku cuma buat kamu. Jangan sedih lagi, ya?”
Baru saja menyampaikan titah, ponsel Joochan berdering. Lee Jangjun terpampang di layar handphone. Sepertinya Jangjun tengah merindukan kekasihnya. Atensi melekat di ponsel sang sahabat. Tanpa pikir panjang, Donghyun melepaskan dekapan Joochan seakan memberikan ruang untuk berpadu kasih.
“Jangan, Hyun. Aku udah bilang tadi, kan? Gak ada Kak Jangjun sama Jibeom. Malam ini cuma ada kita. Aku cuma buat kamu, kamu juga cuma buat aku.”
“Tapi, Joo...”
“Ssstttt!” telunjuknya disimpan di bibir Donghyun. “Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja, Hyun. Lupain semuanya, malem ini cuma ada kita. Okay?” sambungnya.
Dekapan terlepas seiring perintah yang tadi dibisikkan. Donghyun tercengang karena kembali merasakan kehampaan. Padahal kehangatan dekapan itu ingin dia rasakan lebih lama. Namun, pria tampan yang tadi melepaskan pelukan bukan bermaksud meninggalkan Donghyun. Dia malah mengulurkan tangannya.
“Apa, Joo?”
“Handphone kamu.”
“Handphone?”
“Iya, sini!” jemarinya bergerak menagih ponsel milik Donghyun.
Sembari kebingungan, Donghyun memberikan gawainya, “buat apa?”
Enggan untuk merespons, Joochan langsung menyabet gawai yang tadi diberikan. Dia mematikan dayanya tanpa izin dari Donghyun. Selepas itu, Joochan beranjak sekejap untuk menyimpan dua buah ponsel di nakas.
“Aku udah bilang, kan? Cuma ada kita, Hyun. Kamu bebas luapin semuanya ke aku. Kalo mau nangis, nangis aja sepuasnya. Tapi, aku gaakan rela kalo kamu masih maafin Jibeom. Besok langsung ngomong sama dia, minta putus! Jangan mau dibohongin!” telunjuknya digerakkan di hadapan wajah Donghyun.
Donghyun tersenyum simpul. Saran sahabatnya ini sudah jarang lagi terdengar olehnya. Semenjak memiliki pasangan masing-masing, mereka seakan memilih jalan yang berbeda. Sebetulnya Donghyun selalu berusaha untuk berada di dekat Joochan. Sayangnya, Jangjun melulu memperlihatkan kecemburuan.
“Joo, aku boleh nginep sini, kan?”
“Boleh,” jawabnya singkat sembari memberikan pelukan kembali dari arah belakang.
“Mau tidur sekarang?”
Giliran Donghyun yang menggeleng, “aku mau kayak gini dulu.”
“Boleh banget, Hyun.”
Donghyun dan Joochan bergerak sedikit. Mereka saling mencari posisi nyaman. Tubuh mereka saling bersentuhan dengan sudut pandang ke langit. Mereka seakan mengejek langit yang kesepian. Malam ini hanya ada mereka berdua, tidak ada siapapun yang boleh mengganggu.
Kebimbangan serta kesedihan yang dialami sudah dibuang sangat jauh. Malam ini mereka benar-benar hanya menyajikan diri sendiri satu sama lain. Kurang lebih setengah jam, mereka terus berdekapan. Beberapa kali pun Joochan mengecup leher Donghyun seakan terbawa suasana.
“Joo, aku ngantuk...”
“Kita tidur, ya?”
Dekapan beralih genggaman. Joochan menuntun sahabatnya menuju ranjang. Sudah tertebak jika mereka akan berada dalam satu kasur hari ini. Kedinginan yang merasuk bak tidak berguna karena kehangatan yang selalu mereka pancarkan.
Disinilah mereka, terbaring saling berhadapan dalam satu kasur empuk. Netra silih berganti memberikan atensi satu sama lain. Enggan membuang waktu, Joochan kembali menipiskan jarak di antara mereka.
“Sini, aku peluk.”
Kepala si pria manis sudah dilekatkan pada dada bidang Joochan. Aroma tubuh yang semerbak sungguh sangat dirindukan oleh Donghyun. Kini tangis kembali mengalir, bukan kesedihan karena Jibeom. Dia menangis karena sahabatnya sendiri.
“Nangis aja, Hyun. Ada aku disini.”
“Kita bisa kayak gini terus ga, Joo?”
Pertanyaan tersebut meluap. Joochan dilanda kegalauan. Kekasihnya tidak memiliki kesalahan apapun, tetapi seenaknya saja dia bersama dengan Donghyun malam ini tanpa kabar. Bukan egois, Joochan hanya ingin membuat nyaman sahabatnya.
“Aku selalu ada buat kamu, Hyun. Kalo ada apa-apa bilang aja.”
“Aku gak enak sama Kak Jangjun.”
“Aku bisa atur semuanya. Yang penting kamu harus selalu bahagia, ya? Kalo lagi sedih kayak gini, aku janji selalu ada buat kamu.”
Ikrar tersebut entah bisa digenggam atau hanya dibiarkan bergabung saja dengan udara. Donghyun tidak yakin esok akan dilewati bersama dengan Joochan lagi. Jangjun terlalu posesif, Donghyun enggan berurusan dengannya terlalu dalam. Selain itu, masalah Jibeom pun harus dia selesaikan. Beruntung bagi Donghyun, rasa sayangnya tidak terlalu meluap. Perselingkuhan ini masih bisa dia selesaikan dengan kepala dingin. Karena sebetulnya rasa sayang tanpa imitasinya hanya untuk Joochan.
Kecupan tengah malam dari Joochan berhasil menyeret Donghyun dari lamunan. Kepalanya yang masih tersimpan di dada Joochan langsung mendongak. Senyum manis dari Donghyun akhirnya terlukis kembali. Dahi Donghyun kembali diberikan kecupan. Moment pertemuan kedua bola mata tidak disia-siakan oleh Joochan.
“Aku mau kamu selalu bahagia, Hyun. Kalo ada masalah langsung kabarin aku. Jangan bikin khawatir kayak tadi. Masih banyak cowok lain yang sayang sama kamu. Tinggalin Jibeom!”
Di sela senyuman, Donghyun memberikan anggukan kepastian. Tingkah menggemaskan seperti ini selalu sukses membuat Joochan gila. Sikap ini tidak dia dapatkan dari Jangjun. Itulah salah satu hal yang dia rindukan ketika berjauhan dengan Donghyun.
Andai ada cara agar matahari bisa ditahan untuk tidak kembali menduduki singgasana, mungkin saja kedua orang ini akan melakukannya. Joochan dan Donghyun terkungkung dalam ikatan pertemanan dengan berbagai rasa. Sebetulnya mereka saling menyayangi tetapi tembok atas nama pertemanan terlalu tinggi dan sulit diruntuhkan. Cara teraman yang mereka ambil adalah berusaha nyaman dengan pria lain. Padahal nyatanya perasaan tidak bisa dibohongi. Sekuat apapun mereka melekat dengan pria lain, ujung-ujungnya pasti akan kembali bersatu jua.
Malam ini mereka memutuskan untuk tidak terpejam. Semua kekhawatiran dan kerinduan mereka luapkan sampai fajar datang. Kenyamanan perlahan menyeruak. Bincang dari hati ke hati malah membuat mereka ingin melarikan diri dari kehidupan. Rasa tak ingin kehilangan makin melambung. Namun, tembok persahabatan pula yang akhirnya memisahkan. Mereka harus kembali pada realita dan menyingkirkan perasaan tulus itu lagi.
FIN