ON/OFF

Untuk sebagian orang sebuah pernikahan adalah gerbang menuju kebahagiaan. Sayangnya, tidak untuk Youngtaek. Pernikahannya tak seperti orang lain. Hanya diisi oleh kesunyian tanpa senyuman.

Salah satu faktor pernikahan tersebut bertahan adalah motto hidup seorang Youngtaek. Penderitaan diperoleh dengan gratis tapi kebahagiaan harus didapatkan dengan kerja keras. Di kedalaman batinnya Youngtaek selalu berusaha keras mendapatkan kebahagiaan melalui suaminya.

Sudah satu tahun Youngtaek menjalankan mahligai pernikahan. Semua sikap dingin suaminya ditelan bulat. Pekerjaan yang sangat mapan membuat Youngtaek tak pernah kekurangan uang. Jelas saja, dia dan suaminya, Lee Jangjun merupakan seorang model profesional yang sangat termahsyur. Banyak sekali yang mengelu-elukan mereka.

Pernikahan mereka terjadi kurang lebih karena pernyataan netizen. Para warganet berasumsi bahwa Youngtaek dan Jangjun adalah pasangan serasi dan tak bisa dipisahkan. Memiliki paras tampan dan mapan di masa muda. Pasangan yang sangat sempurna.

Sayangnya, kebahagiaan tersebut hanya menyapa ketika semua kamera menyala dan menyorot kehidupan mereka. Sesaat ketika kamera menyala, Jangjun dengan berbagai sikap manisnya bagai memanjakan Youngtaek bak ratu di istana megahnya. Akan tetapi, tepat ketika kamera mati sikapnya berubah drastis. Tidak ada lagi keromantisan yang dia rasakan.


Hari ini mereka akan melaksanakan pemotretan bersama. Alam mimpinya terganggu dengan suara percikan air. Ketika mengerjap, Jangjun tidak ada di sampingnya. Tengah mandi karena waktu untuk bersiap semakin pendek.

Sudah menjadi kebiasaan, Youngtaek akan menyiapkan semua kebutuhan Jangjun terlebih dahulu. Pakaian, sarapan, hingga tas kerjanya selalu disiapkan dengan sepenuh hati.

“Mandi sana!”

Tepat ketika suaminya menyelesaikan mandi, Youngtaek juga sudah selesai menyiapkan kebutuhan Jangjun. Tidak banyak berkomentar, Youngtaek menarik handuk miliknya dan langsung membasahi tubuhnya dengan air dingin yang menusuk kulit.

Langkah terakhir yang akan dilakukan Youngtaek selesai mandi adalah mengenakan kemejanya. Tubuh atasnya masih terbuka. Tetapi dia merasakan hal aneh yang membuat tubuhnya ambruk ke lantai. Jangjun yang jelas-jelas melihat kejadian tersebut hanya diam saja.

“Gak usah sok cari perhatian, deh! Buruan nanti kita telat! Sarapan udah siap, kan?”

“Udah”

Dengan suara bergetarnya, Youngtaek berusaha berdiri walaupun kepalanya sangat sakit. Masih dalam keadaan lemas, tangannya pelan sekali merapatkan semua kancing di kemejanya. Berdiam diri sejenak untuk memulihkan kondisinya.

“Masuk angin apa ya? Mana kemarin cuma makan pas sarapan doang. Jangan sampe sakit, deh. Bisa gawat nanti kerjaan keteteran”

Istirahat yang dilakukan tidak bisa lebih lama. Jangjun sudah berteriak sangat kencang. Waktu yang tersisa memang sudah sangat menipis.

“Buruan! Kita udah telat, nih!”

Raganya yang sangat lemas langsung ditarik dengan kasar.

“Boleh sarapan dulu bentar gak? Lemes banget”

“Gausah manja, deh! Nanti aku beliin roti di jalan. Gak liat udah jam berapa nih? Buruan! Lelet banget sih!”

Padahal keterlambatan Youngtaek juga sedikit banyaknya terjadi karena Jangjun. Jika bukan karena menyiapkan semua keperluan Jangjun, mungkin Youngtaek bisa lebih sempurna menyiapkan dirinya untuk bekerja.


Sepanjang kegiatan memoles paras tampan pasangan tersebut, kepala Youngtaek makin berat. Semua kosmetik yang menempel pun tak bisa menyembunyikan pucat di wajah tampannya.

“Kak? Lagi sakit, ya? Pucet banget kayaknya. Perlu sesuatu? Mau dibawain makanan atau air anget?”

Sambil meringis Youngtaek hanya menggeleng. Isyarat diberikan agar staff yang memoles wajahnya segera menyelesaikan pekerjaannya agar Youngtaek bisa segera beristirahat.

“Makasih, ya”

Walaupun lemas, sikap sopan dan santunnya masih tetap dipertahankan. Masih banyak waktu sebelum pemotretan dimulai. Youngtaek harus memejamkan matanya barang sebentar saja.

“Heh! Jangan males-malesan! Bangun! Kita ada interview dulu berdua nih. Buruan!”

Napasnya berat. Baru saja terbangun, matanya kembali tertutup sambil mengerutkan dahi. Efek belum terisi makanan sepertinya. Tubuh Youngtaek lemas dan sedikit gemetar.

“Awas ya jangan nyari masalah! Kita harus keliatan akur depan kamera! Jangan sampe ada kesalahan!”

“Iya! Udah tau kok”

Padahal semua orang yang melihat Youngtaek pasti selalu khawatir dengan keadaannya yang sangat lemas dan pucat. Hanya Jangjun yang tidak menyadari jika pasangannya sedang sangat menahan rasa sakit.

Interview dimulai. Sepanjang kamera dinyalakan, senyum terus saja terlukis di wajah Jangjun. Di tengah interview yang dilakukan, Youngtaek meremas ujung pakaian Jangjun dengan kuat. Menundukan kepala sambil meringis. Sakitnya sudah tidak bisa ditahan.

“Kamu kenapa sayang?”

Ingat, kamera sedang menyala. Jangjun pasti akan bersikap sangat manis.

“Sayang? Sayang!”

Tubuh Youngtaek tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Pria jangkung tersebut akhirnya ambruk dan tak sadarkan diri. Masih mempertahankan nama baiknya, Jangjun mengangkat tubuh lemas suaminya dan dengan sigap melakukan pertolongan pertama.


Pemotretan mereka batal dilaksanakan. Rumah sakit yang terus menerus disarankan oleh para staff tidak menjadi tujuan selanjutnya. Youngtaek memilih beristirahat di rumahnya.

Bukannya memberikan obat pereda sakit, Jangjun malah memarahi pasangannya yang terlihat berbaring lemas di kasur.

“Kamu tuh kenapa sih! Aku bilang jangan bikin malu, kan? Gara-gara kamu, pemotretan kita sampe batal! Orang lain mikir apa nanti? Mereka mikir aku gabisa jagain kamu! Kalo sakit tuh bilang, gausah manja!”

Tubuhnya dibalikan ke arah sebaliknya. Perlahan air matanya mengalir. Entah karena sakit yang semakin terasa atau perbuatan Jangjun yang sudah sangat keterlaluan. Hatinya bukan batu yang sangat keras. Youngtaek juga memerlukan kasih sayang yang tulus. Dia mengira sikap Jangjun akan berubah seiring perlakuan manis dan ketulusan yang diberikan Youngtaek. Nyatanya tidak!


Jangjun sudah menghilang dari pandangannya. Meninggalkannya dalam kesepian dan kesunyian. Rumah yang besar juga bergelimang harta saja tak cukup membuat bahagia. Youngtaek merasa jengah dengan perlakuan suaminya.

Dengan tatapan kosongnya, Youngtaek memainkan handphonenya tanpa arah. Mengelus dan menekan berbagai aplikasi tanpa keperluan yang jelas.

Kedua alisnya terangkat ketika panggilan masuk ke ponselnya. Menampilkan nama sahabat kecilnya, Kim Jibeom.

“Udah di depan? Sebentar, aku ke depan sekarang. Titipan aku dibeliin kan?”

Setelah jawaban didengar, langkahnya berlari sambil membawa koper besar serta dua tas kecil yang memuat semua barang miliknya. Senyuman diperlihatkan pada sahabatnya yang sudah menunggu di depan mobilnya.

“Sini aku bawain”

“Makasih, Jibeom”

Selesai dengan barangnya, Youngtaek mengulurkan kedua tangannya. Titipan berbagai barang yang dibutuhkan langsung ditagih. Jibeom langsung memberikannya tanpa berkomentar apapun.

“Suratnya jangan lupa”

“Itu yang paling penting, Jibeom. Tenang aja, gaakan lupa kok”

Surat apa? Surat cerai tentunya. Youngtaek lelah berpura-pura. Jangjun yang sangat mementingkan ego tak mungkin berani memutuskan hubungan pernikahan mereka.

Setelah menyimpan sebuah barang yang sangat manis di nakas kamar, Youngtaek pergi. Tak lupa meletakan juga surat dengan bolpoin yang tertidur di atasnya. Mengamati rumah yang sudah lama dia tempati. Tersenyum sebentar lalu segera menemui Jibeom.

Pijakan tangga terakhir sudah dilewati. Ada sesuatu yang tersilap. Pandangannya tertuju pada jari manisnya yang masih memiliki cincin tanda ikatan pernikahan mereka.

Dengan terpaksa Youngtaek melepasnya. Berlari sambil menaiki tangga kemudian menyimpannya di atas surat cerai bersandingan dengan bolpoin. Walaupun masih sangat menyayangi suaminya, Youngtaek harus mengambil keputusan sulit ini. Satu tahun diperlakukan secara tidak wajar sangat melelahkan.


Selesai dengan kehidupan foya-foyanya, Jangjun pulang. Menggebrak pintu lalu berteriak seperti biasanya.

“Youngtaek! Siapin air anget, mau mandi nih. Buruan!”

Dirinya masih berkutat di dapur dengan segelas air mineral untuk melepaskan dahaga. Keanehan dirasakan karena suaminya tak sama sekali membalas teriakan yang tadi diserukan. Tangannya bertolak pinggang kemudian langsung berlari menuju kamar.

“Youngtaek! Kamu tuh...”

Suaranya tertahan karena suasana kamar yang kosong. Suaminya menghilang. Semakin melangkah maju, pria yang biasa memberikan ketulusan itu tak terlihat. Ekor mata milik Jangjun menangkap sesuatu yang aneh di nakas. Badannya berbalik dan langsung mengecek semuanya.

Hari ini Jangjun berulang tahun. Namun, Youngtaek tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk merayakannya. Pagi-pagi sekali, pasangannya tersebut sudah pergi entah kemana. Pun ketika tengah malam, Jangjun tidak mau diganggu.

Kue ulang tahun terpampang manis di nakas. Hiasannya sederhana tapi terlihat mewah. Buket bunga yang masih sangat segar juga tergeletak manis. Di dalamnya terdapat sepucuk surat yang cukup mengalihkan atensinya.

Jangjun, selamat ulang tahun. Semoga semua kebahagiaan selalu menyertai. Maaf, di hari bahagia kayak gini aku gaada. Rasanya lelah, terus berusaha menjadi pasangan terbaik buat kamu nyatanya tidak ada balasan. Maaf, harus buat kamu menyiapkan semua kebutuhan sendiri. Mulai sekarang, gausah pura-pura lagi. Aku udah gaada. Kita harus pisah, memang bukan takdirnya untuk bersama. Surat cerai sudah ku tanda tangan, tinggal butuh tanda tangan kamu dan kita bisa bebas menjalani kehidupan masing-masing. Maaf, Jangjun. Sekali lagi, Selamat ulang tahun suamiku.

Suratnya digenggam sangat erat. Melangkah sangat pelan menuju surat yang akan memisahkannya dengan Youngtaek. Benar-benar di luar dugaan, hari bahagianya sekaligus menjadi hari menyakitkan. Diam-diam hatinya teriris, meratapi keegoisan dirinya yang berakibat fatal. Pernikahannya gagal begitu saja.

Cincin yang tergeletak di atas sana juga sudah sangat dingin. Youngtaek sudah lama meninggalkan rumah. Menyingkirkan cincinnya dengan halus, Jangjun lalu mengangkat surat cerai tersebut. Sudah terpampang tegas tanda tangan pria manisnya dengan tinta hitam yang pekat.

“Aku keterlaluan banget, ya? Aku kira kamu gak bakal seberani ini”

Kertas dalam genggamannya langsung diremas dengan kuat. Melemparkannya sambil berteriak. Setahun menjalani pernikahan, nyatanya tidak bisa menyatukan perasaan mereka. Perpisahan yang sudah di depan mata membuatnya kebingungan. Keputusan suaminya harus disetujui atau tidak. Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, Jangjun sangat membutuhkan Youngtaek.