venˈdedə
Bergabung dengan bangsa manusia cukup membuat Hong Joochan tenang. Tidak ada perseteruan yang membuat kepala meledak. Hatinya terlalu bersih untuk bergabung bersama kaumnya. Berbagai alibi ditumpahkan demi mendapatkan izin dari sang penguasa kaum. Akhirnya, dia berhasil keluar dari berbagai tatanan kehidupan sebagai bangsa serigala.
Jika bisa memilih takdir, sebetulnya dia enggan menjadi bangsa serigala. Hatinya terlalu lembut, bahkan berburu pun enggan. Bangsanya memang tidak pernah mengganggu ketentraman manusia. Namun, jika keberadaan mereka terhimpit tentu saja jalan kekerasan yang diambil.
“Joochan, inget!” ujaran terhenti karena rasa sakit masa lalu yang belum usai. “Jangan pernah jatuh cinta sama bangsa Nar! Kenal juga jangan! Inget apa yang pernah mereka lakukan sama bangsa kita, kan?” lanjutnya.
“Iya, Kak Dae. Bawel, ah!” jawabnya malas karena mendengar perkataan yang berulang.
“Sering-sering main kesini!” pekiknya.
Tak ada respons, Joochan hanya mengacungkan ibu jarinya sembari berlalu. Dia sudah selesai menengok sanak saudaranya. Bangsa Ilma tentu saja sangat merindukan kedatangan Joochan, maklumlah dia merupakan salah satu putra dari sang raja. Selain itu, sifatnya yang lembut dan gemar menolong pun dirindukan oleh pengikutnya.
Alasan terbesar bangsa Ilma dan Nar tidak bisa bersatu adalah dendam masa lalu. Dahulu bangsa Nar pernah melakukan pembantaian di salah satu desa. Nahasnya, terdapat beberapa bangsa Ilma disana. Kematian tidak bisa dihindari hingga akhirnya balas dendam merupakan jalan terakhir.
Sebetulnya beberapa tahun terakhir ini kedua bangsa itu hanya mematung. Mereka tak pernah menyulut atau bahkan melemparkan genderang perang. Semua hal mereka lakukan masing-masing, tak pernah bersenggolan. Namun, berbagai petuah terus didengungkan agar terus menjauh. Jika bersenggolan sedikit saja, perang pasti akan dimulai.
Serupa dengan arti namanya, Ilma berarti air dan Nar artinya api. Kedua bangsa ini tidak akan pernah bisa bersatu. Mereka seakan tidak mengenal diksi maaf dan pengampunan. Jika berurusan, tentu saja hanya emosi dan dendam yang menyembul.
“Donghyun!”
Satu kepala berputar karena sapaan yang memekik. Donghyun, pria paling manis seantero kampus, sedang duduk ditemani bunga berseri yang semerbak. Senyumnya terlukis sesaat setelah si pemanggil mendekat.
“Katanya kamu pulang, Joo? Kok, udah balik ke kampus aja?”
“Jangan lama-lama, lah. Nanti kamu kangen,” godanya sembari menempelkan telunjuk di hidung Donghyun.
“Engga, lah. Mana ada kangen...” godanya balik. “Eh, keluarga kamu gimana kabarnya?” sambung Donghyun.
“Ayah baik, kakak juga baik... terus...”
“Kapan aku mau diajak ketemu mereka?” ujarnya memotong.
Joochan membisu sejenak, biji matanya menelisik ke arah manik sang kekasih. Mereka sudah berhubungan sangat lama, tetapi memang belum pernah dikenalkan dengan keluarga kedua belah pihak. Setelah waktu melamun cukup menyita, Joochan perlahan menarik kedua sudut bibirnya melukiskan senyuman manis. Jemarinya juga dieratkan dengan sang kekasih untuk memberikan energi baru.
“Hyun, aku pasti ngenalin kamu ke ayah sama kakak. Tapi, ga sekarang, ya?”
“Kenapa?”
“Karena kita beda, Hyun...” pekiknya dalam hati.
“Kok, diem, Joo?” serunya bingung. “Kenapa? Masih tetep mau ketemu keluarga aku dulu?” sambungnya.
Itulah alibi yang selalu diutarakan oleh Joochan. Jika Donghyun meminta untuk dikenalkan dengan keluarganya, kebisuan akan langsung menyeruak. Tanda tanya besar selalu ada dalam benak Donghyun. Sayangnya, tidak pernah terjawab.
“Nanti Kak Sungyoon katanya mau main ke kampus, aku tadinya mau jenguk mereka aja ke rumah. Tapi, kata kakak mau nengokin aku aja disini. Mau ketemu?” Joochan hanya mengangguk menanggapi ujaran tersebut. “Tapi, kamu janji, ya? Selesai ketemu kakak, ajak juga aku ketemu keluarga kamu!” rengeknya.
“Iya, Hyun... Aku janji.”
Ikrar diucapkan walaupun sudah pasti ingkar. Joochan belum siap kehilangan Donghyun jika wujud aslinya terbongkar. Sebenarnya, keluarga Joochan pun sudah menagih temu dengan Donghyun. Hubungan mereka sudah diketahui oleh semua bangsa Ilma, hanya saja mereka belum pernah bertemu dengan wujud manis Donghyun.
Surya berganti bulan, kuning berganti jingga. Beberapa waktu telah dilewati cukup panjang. Janji yang pernah Donghyun katakan ternyata dipenuhi, kakaknya datang untuk menjenguk. Hari ini tanpa ditemani Joochan yang masih berada di kelas, sang adik sangat antusias menemui kakaknya.
“Kak!” serunya lantang dengan tangan yang terus melambai.
Pelukan haru dilakukan, rasanya sangat hangat. Pertemuan kali ini sungguh menyenangkan. Donghyun yang jarang pulang hanya bisa menangis ketika saudara kandungnya berada di depan mata.
“Kamu, tuh, ya, pulang makanya. Gak kangen sama yang lain emang?”
Donghyun masih berbalut keharuan, suaranya tercekik karena isak yang ditahan. “Maaf, Kak...”
“Pacar kamu mana? Katanya mau dikenalin sekalian? Kok, sendiri?”
”“Joochan masih di kelas, Kak. Kita diem dulu di taman gimana? Nanti aku suruh dia nyusul, deh.”*
“Boleh,” sahutnya tak kalah antusias.
Berbagai canda tawa dituangkan oleh saudara kandung ini. Rindu yang bergejolak dikeluarkan semuanya berharap tak ada yang tersisa. Tiga puluh menit berlalu, mata Donghyun menyipit karena sadar dengan kedatangan kekasihnya. Baru saja akan menunjuk Joochan, sang kakak langsung menariknya untuk bersembunyi di balik pohon.
“Apa, sih, Kak?”
“Sssttt!” serunya dengan tatapan tajam.
“Itu ada Joochan, Kak. Ngapain kita disini?”
“Joochan?” Sungyoon mengintip dari balik pohon. “Itu pacar kamu?”
“Iya, Kak...” tangannya menghempaskan jemari milik sang kakak. “Ayo, ketemu Joochan,” sambungnya.
“Gak!” teriaknya lantang dengan tarikan yang memaksa hingga tubuh si mungil menempel kembali dengan pohon. “Putusin Joochan sekarang juga!” perintahnya.
“Maksud kakak? Salah Joochan apa?”
“Dia bukan manusia, Donghyun! Kamu gak liat tanda air di pergelangan tangan kirinya?” Sungyoon menyingkap bajunya, memperlihatkan tanda yang serupa dengan Joochan. “Dia sama kayak kita! Dia bangsa Ilma, Hyun! Jauhin dia! Kamu tau bangsa Ilma dendam sama bangsa Nar, kan?” lanjutnya.
“Bangsa Ilma? Kok, Joochan gak bilang?”
“Dia tau kamu dari bangsa Nar?”
Donghyun menggeleng. Mereka berdua ternyata saling menutupi wujud satu sama lain. Mereka sebetulnya memiliki tanda air, untuk bangsa Ilma, dan tanda api, untuk bangsa Nar, di pergelangan tangan kirinya. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat semua itu pudar dan tak terlihat.
“Joochan gak bisa liat tanda api di tangan kamu, Hyun. Karena apa? Karena gen kamu sebagian besarnya manusia, bukan serigala!” Sungyoon diam sejenak. “Kamu juga gak bisa liat tanda punya Joochan, soalnya kamu gak punya kekuatan buat itu!” lanjutnya menggebu.
“Kalo Joochan tau aku dari bangsa Nar? Berarti...”
Sungyoon mencengkram bahu adiknya, lalu menatap pupil matanya yang gemetar. “Dia pasti bunuh kamu, Hyun. Mulai sekarang, jauhin Joochan! Kakak gak mau kamu dalam bahaya! Bangsa Ilma itu bahaya, mereka terus ngincer kita gara-gara kejadian dulu.”
“I-iya, Kak...” jawabnya gugup.
Tubuh mungil Donghyun masih disembunyikan oleh pohon dan kakaknya. Di balik kekarnya batang, si mungil mengintip sang kekasih. Joochan masih celingukan karena tak dapat menemukan Donghyun. Beberapa dering pun terdengar di ponsel Donghyun, syukurlah bunyinya tak lantang jadi persembunyiannya aman. Rasa takutnya semakin meresap, Donghyun takut jika Joochan malah membahayakan dirinya.
Hari terus berlanjut, tak ada sedikit pun pergesekan yang terjadi antara kedua makhluk tersebut. Donghyun selalu saja menghindar ketika Joochan mendekat. Dia merasa jika keadaan sangat tidak aman jika Joochan berada bersamanya. Tak ada diksi penjelasan, Joochan dibuat pusing ketika kekasihnya berubah sikap.
Tanpa ingin membuka rahasia tentang wujud aslinya, Joochan berencana mengenalkannya dengan Daeyeol. Walaupun sikap kekasihnya masih berbeda, Joochan berharap semuanya akan berubah ketika dia bertemu dengan kakaknya. Sang serigala berpikir jika perubahan sikap kekasihnya itu akibat Joochan yang terlalu lama mengenalkan keluarganya.
“Joo, lepas! Aku mau pulang!” bentaknya kasar.
“Kamu kenapa, sih? Kamu marah gara-gara belum dikenalin sama keluarga aku?”
“Aku mau pulang!”
“Donghyun!”
Bahu yang diteriaki gemetar. Manik mereka saling berhadapan. Donghyun ketakutan setengah mati. Nyawanya ibarat akan segera dicabut oleh Joochan. Mata terus dibuat terpejam seiring kepala Joochan yang terus mendekat.
“Maaf, Hyun...” serunya lembut.
Matanya mendadak terbuka. Kelembutan suara Joochan menyapa telinganya hingga hatinya meleleh. Kini bahunya sudah menjadi sandaran bagi Joochan. Perasaan Donghyun mendadak sakit, kekasihnya sangat terpuruk karena perubahan sikap drastis dirinya.
“Joo, aku mau pulang...” ujarnya tak kalah lembut.
“Aku anter, ya?”
“Gak usah!” jawabnya singkat.
“Ikut aku dulu, yuk? Ketemu Kak Dae, biar kamu ga marah terus sama aku, Hyun.”
Tidak ada tanggapan apapun yang diberikan. Jika dia bertemu dengan saudaranya Joochan, tentu saja keselamatannya semakin di ujung tanduk. Ketakutan semakin terasa dalam jiwa, Donghyun segara memberontak hingga berhasil menjauhi kekasihnya.
“Donghyun!” teriaknya lantang.
Lajunya makin cepat seiring teriakan yang lantang. Joochan bisa saja menggunakan kekuatannya, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Manusia mengintai di sekelilingnya, jika wujud sebenarnya diketahui, dia akan menjadi sasaran amuk massa yang tidak menyukai makhluk seperti dirinya.
“Akh!” tubuhnya terhempas ke aspal panas. Isi tasnya terurai hingga tak sadar memperlihatkan liontin berbentuk api khas bangsa Nar.
“M-maaf, aku gak sengaja...” ringisnya pelan.
“Kamu dari bangsa Nar?”
Kepalanya mendongak, tangan yang tadi terulur untuk menolong ditarik kembali. Ternyata Donghyun bertabrakan dengan Daeyeol. Tubuhnya melulu diseret karena Daeyeol terus mendekat. Sampai akhirnya, Joochan datang dan mendekati mereka berdua.
“Kamu kenapa, Hyun?” elusan di kepalanya dihempaskan begitu saja. “Kamu kenapa, sih? Utang aku lunas, ya? Kamu udah ketemu kakak...” serunya bersemangat.
“Kakak?”
“Iya, tuh!” telunjuknya mengarah pada Daeyeol. “Kak... Ini Donghyun...” lanjutnya.
“Jadi orang yang sering kamu ceritain sama kakak itu dia?”
“Kakak kenapa?” Joochan kebingungan dengan perubahan emosi saudaranya.
“Liat ini! Liat! Kakak bilang jangan berurusan sama bangsa Nar!”
Daeyeol menarik paksa liontin yang sedang dilindungi oleh Donghyun. Pupil mata sang serigala berkutat pada liontin berbentuk api yang memang hanya dimiliki oleh bangsa Nar. Dia tidak menyangka ternyata selama ini kekasihnya pun menyembunyikan wujud aslinya.
“Kamu gak sadar dia dari bangsa Nar, hah?” amarah semakin meluap.
“Dia gak punya tanda api di tangannya, Kak! Bisa tenang dulu, gak? Siapa tau itu bukan punya dia, Kak!”
“Gak mungkin! Cuma bangsa Nar yang punya ini, Joochan!” pertengkaran malah terjadi antara kedua kakak beradik tersebut.
Donghyun tidak mau semakin tersudut. Tubuhnya diangkat seraya menghempaskan debu di sekitar pakaiannya. Jemari mungilnya langsung menyabet liontin yang digenggam oleh Daeyeol. Tatapnya sendu dan melulu menunduk.
“Aku pergi, Joo...”
“Donghyun!”
“Joochan! Gak usah dikejar!” cegahnya.
“Tapi, Kak, aku butuh penjelasan dari Donghyun...”
“Tinggalin Donghyun! Kalo kamu masih nekat ketemu sama dia, biar kakak sendiri yang bunuh dia!”
“Kak Dae! Kita harus cari tau dulu dia dari bangsa Nar atau bukan. Jangan langsung nyimpulin gitu aja, Kak!” serunya tak setuju.
“JAUHIN DONGHYUN! GARA-GARA BANGSA NAR, DULU BANGSA KITA BANYAK YANG JADI KORBAN,” suaranya semakin tinggi. “Sekali lagi kakak liat kamu sama dia... Donghyun gaakan selamat, ingat itu!” ancamnya kasar.
“Dia gak salah apa-apa, Kak!”
“Dia bisa aja ngincer kamu, Joochan! Jangan bodoh, deh! Jangan pernah percaya sama bangsa Nar!”
Daeyeol meninggalkan adiknya dengan amarah dalam dada. Joochan semakin kebingungan. Pria yang sangat dia cintai ternyata berasal dari bangsa yang sangat dibenci oleh bangsanya sendiri. Dia sebenarnya tak pernah mencari masalah, bahkan menganggap jika bangsa Nar pun bisa dijadikan teman atau bahkan lebih. Sayangnya, dendam leluhur terlalu berpengaruh hingga menambah runyam keadaannya saat ini.
Sepekan terakhir ini tak ada interaksi apapun antara Joochan dan Donghyun. Hati mereka direnggangkan karena balas dendam tak berujung. Amarah turun temurun membuat romansa harus rehat sejenak. Namun, Joochan enggan memutuskan romansa yang sedang mekar. Dia memutuskan untuk melanggar janji pada saudaranya. Saat ini juga dia akan menemui kekasihnya, tentu saja dengan cara tersembunyi mengingat Daeyeol masih berada di dekatnya.
Dalih bertemu teman diutarakan pada Daeyeol. Susah payah Joochan berusaha meyakinkan kakaknya. Alhasil, perjuangannya membuahkan secercah harapan. Izin digenggam tanpa perlu lebih banyak beradu diksi.
Pintu diketuk tanpa suara. Si pemilik rumah belum bersedia membukakan pintu untuk sang tamu. Joochan masih bersabar, tetapi tidak dengan laju ketukannya. Suara yang diperdengarkan semakin meninggi dan sepertinya akan mengganggu tetangga sekitar.
Pintu terbuka, manik mereka pun beradu pandang. Beberapa detik dilakukan Donghyun dengan membeku. Sampai akhirnya, dia bersiap membanting pintu di hadapan kekasihnya.
“Hyun!”
Tangannya yang perkasa berusaha mendorong kembali pintu yang hendak tertutup. Sudah dapat diduga, Joochan pemenangnya. Kekuatannya digunakan untuk menerobos masuk ke rumah kekasihnya. Donghyun terhempas seiring suara pintu yang ditutup kembali dengan keras.
“Pergi, Joo!”
“Kamu kenapa gak jujur sama aku, Hyun?” sorot matanya berubah tajam.
“Joochan, pergi!” ujarannya serak karena tenggorokan semakin tercekat.
Tubuhnya terus diseret menggunakan kekuatan yang tersisa. Joochan terus berjalan bak serigala yang siap menerkam. Melihat mangsanya semakin terhimpit, Joochan bergerak hingga menindih kekasihnya. Kedua tangan mencengkram dengan kuat, Donghyun tak bisa lagi lepas.
“Joochan!”
“Kenapa? Kamu takut?”
“Pergi, Joo... Kak Sungyoon mau kesini,” lirihnya pilu.
Bukannya pergi, Joochan malah semakin menjatuhkan dirinya pada Donghyun. Memberikannya dekapan dan menyimpan kepala di ceruk leher mulus kekasihnya. Tak lama kemudian, tangisnya terdengar.
“Aku sayang sama kamu, Hyun...” deru napasnya kentara terasa karena kehangatan masih dibagikan. “Tapi... kenapa kamu harus dari bangsa Nar?” lanjutnya terisak.
Donghyun mendorong kekasihnya kasar. Mereka tak lagi bersentuhan bak angka satu. “Kenapa? Kamu gak terima, Joo? Setelah tau semuanya kamu mau apa? Mau bunuh aku? Iya?”
Joochan menggeleng sekuat tenaga. Bukan pertumpahan darah yang diinginkan oleh Joochan. Justru sebaliknya, dia ingin sekali bersatu dengan Donghyun. Mungkin saja dengan bersatunya mereka berdua akan menjadi langkah awal bersatunya bangsa Ilma dan Nar.
“Hyun, cerita sama aku semuanya. Kenapa aku gak bisa liat tanda api di tangan kamu? Terus kenapa kamu juga gabisa liat tanda punya aku?” gumamnya penasaran.
“Gak usah, Joo! Tinggalin aku! Kita gabisa barengan terus!”
“Hyun...” jemari perlahan dipersatukan. “Masih ada cara lain selain pisah, aku yakin. Cerita semuanya sama aku, ya?” sambungnya.
Berbagai kelembutan yang diberikan membuat Donghyun kembali luluh. Dia menceritakan semuanya tanpa menyelipkan rahasia. Perlahan Joochan mengerti semua hal tentang kekasihnya.
“Kasih aku waktu, Hyun. Aku janji bisa ngeyakinin keluarga aku...”
“Terus keluarga aku?” sergapnya sigap.
“Itu urusan aku, Hyun. Aku yakin kita bisa tetep barengan.”
“Gak bisa segampang itu, Joo...”
“Aku tau, Hyun... Aku tau! Makanya kasih aku waktu, jangan tinggalin aku, okay?”
Romansa mereka sudah tidak dapat diredam. Walaupun sulit, Donghyun berusaha untuk bertahan demi kekasihnya. Kebersamaan yang telah lama direnggut masa, mereka tumpahkan dalam dekapan sarat emosional. Namun, suara nyaring di luar membuat kehangatan buyar.
“Apa itu, Joo?”
“Tunggu di sini, Hyun!”
Perintah telah lemparkan. Donghyun tak diperbolehkan mendekati area pintu. Firasat Joochan menunjuk ke arah tidak beres. Sang serigala takut jika kekasihnya akan menjadi mangsa.
“Kak Dae, stop!”
Firasatnya berakhir buram. Murka Daeyeol tak dapat ditahan ketika bertemu Sungyoon. Ternyata diam-diam Daeyeol mengekor perjalanan Joochan. Amarahnya melesat ketika dibohongi, ditambah lagi ketika bertemu dengan Sungyoon. Akibatnya, pertempuran tak bisa dielakkan.
Ringisan dan teriakan Joochan membuat pikiran Donghyun teralih. Mengabaikan dirinya yang lemah tanpa kekuatan, Donghyun muncul. Berusaha menarik saudaranya untuk masuk, tak lupa memberikan kode pula pada sang kekasih agar menjauhkan kakaknya dari lokasi kejadian.
“Donghyun!” kecemasan kentara terdengar.
Tubuh mungil terhempas karena kekuatan super dahsyat milik Daeyeol. Postur tak tinggi itu dibanting tanpa ampun hingga tulang hampir saja rontok. Sungyoon bertambah geram, Joochan juga semakin terhimpit karena kebingungan memberikan pembelaan.
“Kak, cukup!”
Joochan berusaha menghalangi kakaknya yang sudah sangat emosi. Dengan susah payah, Daeyeol diseret guna menjauhi kediaman kekasihnya. Kecemasan semakin menyeruak, tetapi Joochan tiada daya. Jika nekat melindungi Donghyun, maka kekasihnya akan semakin jadi bulan-bulanan.
Purnama membuat situasi sempurna. Para bangsa serigala memiliki tambahan kekuatan jika terjadi perselisihan. Daeyeol sudah pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan purnama. Dirinya yang sudah berkumpul dengan bangsa Ilma, malah berdiri dan berniat kembali menyerang Donghyun.
“Kak! Kak Dae, tunggu!” Joochan berusaha menahan dengan postur tubuhnya.
“Minggir!”
“Jangan kayak gini, Kak.”
“Kamu lebih belain pacar kamu?”
“Bukan gitu, Kak... tapi semuanya bisa selesai tanpa berantem, kan?”
“Gak bisa! Bangsa Nar pasti nanti nyerang duluan kalo kita cuma diem aja.”
Joochan kebingungan. Dia ingin mempertahankan romansanya tanpa mengabaikan keluarga. Benaknya berpikir serius. Berbagai liku solusi dipikirkan matang dalam waktu yang sempit. Hingga akhirnya, Joochan memilih keputusan yang sangat sulit.
“Biar aku yang bunuh Donghyun, Kak!”
Laju Daeyeol terhenti begitu juga dengan pasukannya. Sorot matanya masih merah dan berbalik arah. Pernyataan sang adik tidak begitu saja dipercaya. Daeyeol membutuhkan bukti nyata, kebohongan tidak akan diterima olehnya.
“Kamu ikut kakak, kita bunuh Donghyun barengan.”
“Gak!”
“Kenapa?”
“Kalo kakak nyerang bangsa Nar bukan cuma Donghyun yang mati, Kak. Pasti ada korban lain dari bangsa kita. Kakak mau ada korban lagi gara-gara kita nyerang bangsa Nar?”
“Mereka bisa jaga diri! Kamu gak usah ngurusin pasukan kakak!”
“Gak bisa, Kak!” Joochan menolak. “Ini lagi purnama, kekuatan bangsa Nar juga makin meningkat. Inget, Kak... mereka pernah bantai bangsa kita dulu. Jangan sampe keulang lagi.” sambungnya.
Setelah bergelut dengan beribu keputusan, Daeyeol mendekati adiknya. Mencengkram pakaian yang digunakan dengan sangat erat. Sorot mata mereka pun saling menusuk.
“Kakak butuh bukti, Joochan!” gumamnya kasar.
“Aku bunuh Donghyun sekarang, Kak! Nanti aku bawa buktinya!” ucapnya tanpa ragu.
Keputusan tak masuk akal sudah dilayangkan pada kakaknya. Para bangsa Ilma pun sudah mendengarnya. Bagi Joochan, Donghyun adalah segalanya. Namun, keluarganya pun harus dijadikan prioritas.
Berbekal kekuatan serigalanya, Joochan berlari bak percikan kilat. Hanya butuh waktu beberapa detik saja, Joochan sudah berhasil sampai di kediaman kekasihnya. Situasi aman, ternyata semudah itu Sungyoon meninggalkan adiknya.
Tangannya bergetar, entah sejak kapan dia sudah menggenggam sebilah pisau. Mengingat kekasihnya yang memiliki sedikit gen serigala, Joochan enggan menyakitinya dengan kekuatan. Pisau tajam pun bisa membunuh Donghyun dengan sangat mudah, Joochan tidak usah bersusah payah mengeluarkan kekuatannya. Selain itu, dia juga berharap tidak akan terlalu menyakiti Donghyun di saat terakhirnya.
Pintu didobrak paksa. Pisau sudah diacungkan sembari melajukan langkah. Sasaran Joochan tertuju pada kamar milik kekasihnya. Setelah mangsa didapatkan, emosinya berusaha keras mengalahnya romansa dalam jiwa. Pisau sudah mengacung, Donghyun dengan manisnya terlelap dalam mimpi indah. Pisaunya siap menggores kulit putih si pria manis. Joochan enggan memberikan rasa sakit terlalu dalam.
“Donghyun, maaf...”
Telapak tangannya bergetar. Sedaritadi bola matanya hanya tertuju pada telapak yang bersimbah darah. Kabar sudah dilayangkan, Joochan tinggal menunggu kakaknya datang. Liontin milik Donghyun dengan darah bercucuran berhasil digenggam. Joochan akan mempersembahkan benda yang paling berharga dari bangsa Nar tersebut.
“Kamu yakin udah bunuh Donghyun?”
Joochan melemparkan liontin yang sedaritadi digenggam erat, “kurang buktinya, Kak?”
“Kamu yakin?” tanyanya dengan sorot mata mengintimidasi.
“Aku capek, Kak... Minggir!”
Bahu sang kakak ditabrak kasar. Isaknya terus terdengar sepanjang perjalanan. Joochan terus meraung seakan menyesali perbuatannya. Tubuhnya mulai lunglai dan terhempas ke lantai.
“Joochan...”
“Apalagi, Kak?” jawabnya geram.
“Makasih udah nepatin janji. Kakak tau ini sulit, tapi sampai kapanpun kita gaakan bisa bersatu sama bangsa Nar.”
“Beres, kan, Kak? Gak usah ngerecokin aku lagi. Cukup! Kakak gak usah ikut campur lagi urusan aku apalagi nyuruh aku bunuh lagi bangsa Nar.”
“Masih banyak orang yang lebih baik buat kamu, Joochan...”
“Aku maunya Donghyun, Kak! Awas, ah!”
Joochan membutuhkan waktu sendiri. Sang kakak pun tidak terlalu membahas pekerjaan yang dia lakukan. Liontin tadi hanya dikembalikan pada adiknya. Anggap saja sebagai kenangan, jika rindu Joochan bisa menatap liontin berdarah tersebut dengan bebas tanpa ancaman.
EPILOG
Joochan menatap sendu telapaknya sendiri. Perban berhasil membalut luka yang dia dapatkan ketika bertikai dengan kekasihnya. Tubuhnya direbahkan sekaligus mencari posisi nyaman. Kasurnya terasa lebih nyaman dari sebelumnya, maklum saja dia sudah memiliki kediaman yang baru.
Dia sengaja meninggalkan bangsa Ilma. Tanpa persetujuan, Joochan lari begitu saja tanpa jejak. Tidak ada pencegahan yang berarti, bangsa Ilma mengerti dengan kondisi Joochan, kehilangan orang yang paling dikasihi tentu saja tidak bisa sembuh dalam waktu singkat.
“Hey, kok, ngelamun. Nih, tadi bilang mau teh anget, kan?” serunya manis sembari memberikan secangkir teh pesanan Joochan.
“Donghyun, maaf...”
“Gak usah minta maaf, Joo...” seru Donghyun sembari berjalan ke belakang Joochan. Tangannya terangkat lalu mengalung ke leher kekasihnya, menyimpan dagunya di lekuk bahu milik Joochan. “Maaf, jadinya harus bohong sama keluarga kamu...”
Joochan menggeleng, “aku cuma mau tenang, Hyun. Semuanya bisa selesai tanpa ada korban, kan?”
“Tapi, tangan kamu gapapa, kan?” Donghyun mengelus perban yang masih membalut luka kekasihnya.
Jadi ketika hari pembantaian dulu, bukan Donghyun yang ditusuk. Dengan berbagai pertimbangan, Joochan malah menggores telapaknya sendiri dan membasuh darahnya pada liontin milik Donghyun. Sesuai kesepakatan, Joochan akan mengambil liontin tersebut sebagai bukti. Walaupun sulit, Joochan berusaha meyakinkan kakaknya agar mendapatkan kepercayaan.
“Sini, Hyun...” Donghyun menurut dan duduk di pangkuan Joochan. Mata Joochan tertuju pada liontin yang sudah dikembalikan pada si empunya. Tak ada lagi bercak darah, Joochan sudah membasuhnya.
“Kakak kamu gimana?”
“Kak Sungyoon? Entahlah, aku juga udah lama gak pulang. Lagian semenjak kita memutuskan buat kabur, aku gak pernah kasih kabar ke mereka. Biarin, lah...”
“Maaf, malah bikin renggang kamu sama keluarga...”
Giliran Donghyun yang menggeleng, “gak usah bahas mereka, Joo... Aku capek, mereka terus aja ngurusin balas dendam padahal itu kejadiannya udah lama banget. Biarin aja mereka dengan dendamnya, aku cuma butuh kamu, Joo...”
Joochan menyatukan jemarinya, “fokus aja sama hubungan kita, Hyun...”
Joochan mengecup lekuk leher putih kekasihnya. Di sela kecupan, Donghyun kegelian dan agak tersenyum. Berbagai sentuhan Joochan membuatnya merinding. Rasa sayangnya tak bisa lagi dibendung. Semesta sudah menyatukan mereka dan tidak akan ada yang dapat memisahkan. Balas dendam terus berlanjut. Namun, romansa mereka tidak akan padam dengan mudah.
FIN