ALIVENESS

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jungkook berjalan menyusuri lorong rumah sakit jiwa untuk menuju ke kamar Minji, seperti biasa, tangannya membawa sebuah boneka Teddy Bear yang tadi dibelinya. Terhitung sudah lima hari ia tak mengunjungi wanita yang dinikahinya selama hampir tujuh tahun ini. Sehingga ia segera pergi berkunjung ketika selesai shift siang di rumah sakit tempatnya bekerja.

“Minji, hai? Aku datang berkunjung.” Jungkook memosisikan kursi duduknya di depan Minji yang terduduk di pinggiran kasur. “Maaf baru berkunjung lagi, kemarin-kemarin aku sibuk banget.” Kesibukan yang dimaksud pria itu adalah mencari tahu mengenai asal usul Corbyn, yang ternyata adalah Jungmin. Jungkook hanya tersenyum getir lantaran Minji tak meresponnya, alih-alih sibuk bermain boneka.

“Emm, kata suster kamu makannya makin lahap ya? Biar sembuh, biar bisa ketemu Jungmin, ya?” Jungkook memberanikan diri untuk menyebut nama putra mereka. Tentu saja perkataan Jungkook baru saja berhasil menarik atensi Minji.

“Jungmin? Jungmin?” Minji bertanya dengan menatap Jungkook, bahkan nada dan ekspresinya sangat antusias.

Jungkook mengangguk kecil dan tersenyum, “Iya, Jungmin.”

“Mana? Kenapa Jungmin gak jenguk ibu lagi.” Minji merengek kecil, bahkan beberapa saat setelahnya wanita bermarga Lee itu terisak.

“Minji, Minji. Dengerin aku. Kalau kamu mau lahap makan dan rutin minum obat sesuai yang dikasih suster, nanti kamu bisa ketemu Jungmin. Jadi kamu harus sembuh biar bisa ketemu Jungmin, ya?”

Minji mengangguk antusias meskipun air matanya masih mengalir membasahi pipinya yang sudah lebih berisi dibanding bulan lalu. Jungkook pun menyadari itu, semenjak bertemu dengan Corbyn, semangat hidup Minji mulai bertambah. Bahkan Minji sudah bisa lebih ekspresif dibanding sebelum-sebelumnya.

Jungkook menitikkan air matanya selagi melihat Minji yang kembali sibuk bermain boneka-boneka pemberiannya. Sebisa mungkin ia menahan isakannya agar tak menarik atensi Minji.

Ada banyak beban yang ditanggung Jungkook, bukan hanya mengenai biaya hidup, namun juga kesehatan Minji. Dulu, orang tua Jungkook berjanji pada mendiang ayah dan ibu Minji untuk merawat serta menyayangi putri mereka. Sehingga sebelum meninggal, mendiang ayah dan ibu Jeon melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada Jungkook. Alasan demikian yang membuat Jungkook berusaha membuat hidup Minji tetap terjamin. Lagipula status Jungkook adalah suami Minji, pun wanita Lee itu juga berstatus sebagai istrinya, sehingga si pria Jeon tetap berusaha menjadi sosok pelindung yang bertanggung jawab.

“Kalau Jungmin benar-benar bisa bikin kamu semangat hidup dan sembuh, aku akan usaha bawa Jungmin ke kamu. Aku janji.” Jungkook bergumam pelan. “Maaf... andai aku gak milih kamu... k-kamu... pasti hidup kamu gak akan kayak gini. Pasti hidup kita gak akan kayak gini,” gumamnya lagi, masih diiringi air mata yang menetes membasahi pipi. “Minji, m-maaf.” Jungkook menunduk, berusaha meredam isakannya dan menyembunyikan wajahnya yang basah karena air mata.

“Minji, aku janji akan bikin kamu sembuh. Mungkin aku gak bisa ngasih cintaku ke kamu, tapi aku janji akan bertanggung jawab. Ini semua salahku, jadi aku janji akan bikin kamu sembuh. Sabar, aku pasti bawa Jungmin ke kamu. Aku janji. Aku akan usaha.”

Dalam tangisan, Jungkook bertekad akan membawa Corbyn kembali kepada Minji tanpa melukai Jimin. Ia akan berusaha meskipun kemungkinan keberhasilannya akan kecil.

Untuk yang kesekian kalinya Jungkook merasa menjadi pria yang sangat pengecut di dunia. Ia mencintai Jimin, namun tak becus mempertahankan pria Park yang juga sangat cinta padanya. Ia menikahi Minji, namun berakhir membuat wanita Lee itu menjadi pasien rumah sakit jiwa akibat balas dendam yang dilakukan mantan kekasihnya. Jungkook ingin sekali kembali membawa Jimin ke pelukannya, namun di sisi lain ia tak bisa melepaskan Minji yang telah menjadi tanggung jawabnya. Lagipula ia sadar bahwa Jimin sangat membencinya, jadi tak akan ada kesempatan untuknya untuk kembali, bukan?


Jungkook keluar dari kamar Minji setelah istrinya itu terlelap. Ia keluar karena berniat untuk mencari makanan, namun nanti akan kembali menemani Minji. Pria Jeon itu terkejut ketika di kursi depan kamar Minji ada Namjoon yang terduduk.

“Kak? Lo waktunya meriksa Minji? Kenapa gak masuk aja?” tanya Jungkook pada seniornya saat masih sekolah menengah atas yang juga menjadi dokter di rumah sakit jiwa ini.

“Ayo makan malem aja di ruangan gue. Abis gini order.” Namjoon tak merespon pertanyaan Jungkook sebelumnya, alih-alih mengajak juniornya itu ke ruangannya. Pun, Jungkook mengangguk dan mengikuti langkah Namjoon.

“Tadi gue gak sengaja lihat lo nangis.” Namjoon tanpa berbasa-basi segera membuka obrolan begitu ia dan Jungkook tiba di ruangannya. “Lo kenapa?” tanyanya.

Jungkook terkekeh pelan, “Cuma lagi burn out aja, kak.” Ia memilih berbohong.

“Gue tahu lo bohong,” tuduh Namjoon. “Gue sempet denger kalo lo mau bawa Jungmin ke Minji. Maksudnya apa?” Pria Kim itu kembali melayangkan pertanyaan.

“Gak ada apa-apa kok, kak.”

“Jungkook, jangan simpan semuanya sendiri. Lo punya gue yang siap denger keluh kesah lo.”

“Gue gak mau cerita, kak. Sorry.”

“Tapi maksud mau bawa Jungmin tadi apa? Jungmin beneran masih hidup?”

“Kak—”

“Untuk hal lain, gue gak masalah kalo lo mau sembunyiin. Tapi kalo ini terkait Jungmin yang jadi sumber hidup Minji, gue sebagai dokter sekaligus sahabat lo merasa harus tahu.”

“Gue juga pengen cerita, kak. Gue pengen punya tempat cerita, tapi gue gak bisa.” Jungkook berusaha untuk menutup rapat mengenai fakta bahwa Corbyn adalah Jungmin yang diculik Jimin. Ia tak mau banyak orang yang berkomentar buruk mengenai Jimin meskipun menurutnya tindakan mantan kekasihnya itu tidak dapat dibenarkan.

“Jung, kalo lo merasa perlu cerita, cerita ke gue. Jangan pendam semuanya sendiri. Lo punya gue sama Mingyu. Gue gak mau lo stres sendiri mikirin ini itu karena gue paham gimana beratnya hidup lo selama enam tahun ini.”

Bibir Jungkook bergetar, buliran kristal bening tanpa permisi segera bercucuran membasahi pipinya. Ia menunduk, menenggelamkan wajahnya di antara lengannya yang bertumpu pada meja ruangan Namjoon. Pria Jeon itu terisak pilu, sama persis usai ia melihat raut kecewa pada malam saat Jimin mengetahui Minji hamil anaknya.

Namjoon menepuk pelan punggung Jungkook yang bergetar dan terisak. “Gak apa-apa, nangis aja sepuasnya sampai lo merasa lega.”

“G-gue... gue gak nyangka hidup gue berakhir kayak gini, kak. Gue gak nyangka bisa nyakitin orang-orang di sekitar gue. Jimin dan Minji, gue nyakitin mereka. Gue harus gimana biar bisa nebus kesalahan gue, kak?”

Jungkook mulai menceritakan kebenaran—mengenai Corbyn yang Jimin culik karena balas dendam setelah sakit hati—yang baru diketahuinya kepada Namjoon.

Tentu saja Namjoon sangat terkejut setelah mendengar fakta yang diceritakan Jungkook. Ia tak menyangka, dampak putus cinta bisa separah ini. Ia juga tak menyangka, Jimin yang periang dan polos bisa melakukan hal senekat itu. Namun Namjoon tak mau banyak berkomentar, alih-alih membiarkan Jungkook meluapkan kesedihannya dan semaksimal mungkin menenangkannya.

To be continue...