DREADFULLY SORRY

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jungkook memutuskan untuk berhenti menerima perawatan di rumah sakit, meskipun sebenarnya tubuhnya masih membutuhkan itu. Pria Jeon itu memilih pergi dari rumah sakit untuk menuju ke suatu tempat dengan wajah pucatnya. Dalam perjalanan, ia masih menangis dalam diam sembari memikirkan betapa terlukanya Jimin selama ini karena perbuatannya.

“Maaf, Jimin. Maaf,” batin Jungkook yang selalu merapalkan kata maaf dalam hatinya. Semalam ia sangat terkejut mengetahui fakta bahwa Jimin pernah gila bahkan beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Pantas saja Jimin sangat membenci dan muak padanya, pikir Jungkook.

Jungkook segera keluar dari taksi ketika tiba di tempat tujuan, salah satu gedung perusahaan terbesar di Seoul. Ia meminta tolong resepsionis untuk diantar ke ruangan orang yang ingin ditemuinya.

“Mari ikut saya. Pak Park sudah memberikan izin untuk membawa anda ke ruangannya.”

Jungkook berjalan mengikuti langkah kaki resepsionis untuk menuju ke ruang kerja orang yang ingin ditemuinya.

“Selamat pagi, pak Park. Ini pak Jungkook, tamu yang saya katakan tadi.”

“Iya, silahkan kamu kembali ke tempat kerja kamu.”

Resepsionis segera undur diri untuk pergi, meninggalkan Jungkook dan pak Park—ayah Jimin—berdua di ruangan tersebut.

“Kamu baru tahu kalau anak saya pernah gila gara-gara kamu? Makanya akhirnya kamu nemuin saya sendiri?” Pak Park segera melayangkan pertanyaan tanpa basa-basi. Ia selalu memprediksi bahwa Jungkook akan menemuinya langsung dan berbicara empat mata setelah mengetahui keadaan Jimin dulu.

Jungkook menunduk, kedua tangannya menyatu karena gugup. Ia masih marah karena pak Park adalah orang yang menghancurkan perekonomian keluarganya, namun rasa bersalahnya lebih besar lantaran pernah melukai hati putra semata wayang pria paruh baya itu. Ia memilih segera berlutut di lantai untuk memohon maaf.

“Saya sadar bahwa kata maaf saya tidak cukup dan tidak bisa memperbaiki keadaan, namun jauh dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya meminta maaf untuk segala perbuatan saya dan keluarga saya yang telah membuat Jimin dan keluarga Park sakit hati. Saya benar-benar minta maaf. Saya sangat menyesali perbuatan saya.”

Pak Park masih enggan merespon, alih-alih berdiri sembari bersedekap dada dan menatap tajam ke arah pria Jeon yang berlutut di depannya.

“Saya sangat menyesali semua perbuatan saya dan saya juga meminta maaf atas nama keluarga saya.” Jungkook kembali mengatakan penyesalannya. “Setelah ini saya berjanji tidak akan menunjukkan wajah saya ke keluarga anda lagi,” imbuhnya.

“Kamu sudah tahu kalau saya yang menghancurkan perusahaan orang tua kamu?”

Jungkook setengah mengepalkan tangannya, matanya memerah karena menahan air mata marah dan sedih. Ia tak bisa menjawab pertanyaan pak Park dengan lisan, melainkan hanya menganggukkan kepalanya.

“Bagus. Kalau begitu sudah impas,” ucap pak Park dengan nada tak acuhnya. “Saya juga mengingatkan kalau Corbyn adalah bagian dari keluarga Park. Jadi seharusnya kamu tahu apa yang tidak boleh kamu lakukan,” lanjutnya.

“Iya. Saya mengerti.” Jungkook menjawab.

“Saya rasa sudah cukup. Silahkan pergi. Saya banyak kerjaan.”

Jungkook berdiri perlahan setelah mendengar instruksi pak Park. “U-untuk permintamaafan saya tadi—”

“Saya sudah memaafkan kamu. Tapi saya gak akan lupa bagaimana hancurnya anak saya gara-gara kamu dan keluargamu.”

“I-iya, terima kasih. Kalau begitu saya permisi.” Jungkook membalikkan badannya untuk bersiap pergi. Langkah kakinya berhenti kala mendengar pak Park kembali membuka suara.

“Saya juga minta maaf atas pembalasan dendam yang saya lakukan ke keluargamu.” Pak Park memilih untuk balas meminta maaf karena ia sadar bahwa perbuatannya juga salah. “Tapi saya tidak pernah menyesal telah melakukannya karena semua ada sebabnya,” imbuhnya.

Jungkook menoleh sejenak ke belakang dengan senyuman getirnya. “Iya, saya mengerti. Saya permisi dulu.” Ia benar-benar pamit dan segera keluar dari ruangan.

Pak Park memang sudah berusaha menurunkan egonya karena baik keluarganya dan keluarga Jeon tidak jauh berbeda, mereka sama-sama jahat. Lagi pula ia tak bisa menolak fakta bahwa Jungkook adalah ayah dari cucu kesayangannya. Namun ia memilih tak banyak bicara pada Jungkook mengenai keputusan Jimin yang mulai memberikan penjelasan kepada Corbyn tentang orang tua kandungnya.

Sementara air mata Jungkook langsung menetes begitu keluar dari ruang kerja pak Jeon. Ia masih membenci jalan hidupnya yang sangat kacau seperti ini, namun dirinya tak mau menyalahkan orang tuanya maupun Minji. Ia lebih menyalahkan dirinya sendiri yang dulu tidak bisa tegas dalam memilih sesuatu.


Jimin memilih pulang lebih awal dari kantor untuk kembali berusaha memberikan pengertian pada Corbyn. “Corbyn Matthew Park,” panggilnya dengan nada lembut saat masuk ke dalam ruang bermain Corbyn. Baru saja Corbyn akan lari keluar, namun Jimin segera memeluk putranya. Pengasuh Corbyn segera keluar untuk memberi waktu ayah dan anak itu berdua.

“Papa is sorry, sorry my son. I’m terribly sorry.” Jimin memeluk erat tubuh Corbyn yang sudah menangis dan memberontak untuk dilepaskan. Ia masih tak menyangka, pun tak tega melihat putranya sesedih ini di usia yang dini.

“Hiks p-papa jahat! Corbyn marah sama papa!” Corbyn menangis sesenggukan dan memukul dada papanya. “Hiks Corbyn anaknya papa! Pokoknya Corbyn cuma anaknya papa!” teriaknya diiringi tangisan pilu.

“Iya, Corbyn anaknya papa. Siapa yang bilang kalau Corbyn bukan anak papa, hem?” Jimin melonggarkan pelukannya pada tubuh Corbyn. Ia membawa jemarinya untuk menghapus air mata yang memasahi wajah putranya.

“H-hiks, tapi p-papa semalam bilang kalau Corbyn punya ayah dan ibu.”

“Papa tahu, Corbyn adalah anak baik dan pintar. Corbyn emang anak papa kok, tapi papa harus jujur juga sama Corbyn kalau orang yang ngelahirin Corbyn adalah ibu Minji, kalau ayah biologis Corbyn adalah ayah Jungkook.”

“Hiks NO!”

“Tapi Corbyn tetap anak papa. Corbyn is one and only papa’s son. Baby, I swear to God, you are the only love of my life.”

“Hiks tapi Corbyn gak mau pisah sama papa. Corbyn cuma mau sama papa. Corbyn cuma sayang sama papa.Don’t leave me, papa!”

Jimin tersenyum, tangannya bergerak untuk mengelus pelan punggung putranya yang ternyata salah paham. Ia memaklumi, Corbyn masih sangat kecil untuk menerima fakta-fakta seperti ini.

“Corbyn, listen to papa.” Jimin menangkup wajah Corbyn. “Papa will never leave you. Kamu tetap anak papa dan kita tetap tinggal bersama.” Ia membelai wajah putranya yang basah dengan air mata.

“Papa cuma mau Corbyn tahu kalau Corbyn punya ayah dan ibu. Itu aja kok. Selebihnya, Corbyn tetap sama papa. Papa ’kan juga gak bisa pisah sama Corbyn, hem?”

“Papa cuma mau nanti ngajak Corbyn sering ketemu sama ayah dan ibu biar kenal lebih dekat. Abis gitu tetap pulang ke rumah dong sama papa. Tetap bobo sama papa, tetap serumah sama kakek dan nenek, ngerti?”

“B-but... P-promise me, papa. You will never leave me?” Corbyn menyodorkan jari kelingkingnya kepada papanya untuk diajak berjanji.

Jimin tersenyum, ada rasa lega dalam dirinya karena Corbyn sangat menyayanginya. Ia mengangguk, segera menautkan jari kelingkingnya dengan milik Corbyn untuk berjanji. “Of course, papa promise you,” ucapnya. Corbyn langsung menghamburkan tubuh kecilnya dan memeluk leher papanya.

Jimin kembali tersenyum hangat, ia balas memeluk tubuh kecil putranya dengan sayang. “Corbyn jangan ngambek-ngambek lagi ya? Papa sedih banget dingambekin sama Corbyn.”

Corbyn melihat wajah papanya. Kedua tangan kecilnya menangkup wajah papanya. Bibirnya mengerucut panik, “Papa jangan sedih. Maafin Corbyn. Corbyn janji gak akan nakal lagi.”

“Iya, papa juga minta maaf sama Corbyn. Papa juga janji gak akan nakal lagi.”

Corbyn kembali meneluk tubuh papanya. Ia menyandarkan dagunya di bahu papanya. Tangan kecilnya juga menepuk-nepuk punggung papanya dengan sayang.

“Papa sayaaangg banget sama Corbyn.”

“Corbyn juga saaaaaaayaaaaaaangggg banget sama papa.”

Tawa Jimin lolos begitu saja kala mendengar kata “sayang” yang diucapkan putranya penuh semangat dan panjang. Masalah membujuk Corbyn sudah selesai, sekarang yang perlu ia pikirkan adalah cara membuat putranya sering bertemu orang tua kandungnya agar mulai mengenal dekat.

“Papa?”

“Apa, sayang?”

“Besok ke mall yuk? Beli mainan. Tadi Corbyn diajak ke mall sama nenek tapi gak beli mainan soalnya gak mood. Karena moodnya udah balik, jadi Corbyn mau—”

“HEH! Ngelunjak ya? Mainan-mainan terus. Aku kerja capek-capek bukan buat beli mainan terus. Tuh lihat mainan kamu penuh banget di ruangan ini. OH MY GOD, CORBYN MATTHEW PARK!”

“Tuh ’kan papa mulai ngeselin lagi.”

“Bukan papa, tapi kamu! Ngerusak suasana aja dasar bocil ngeselin!”

“Papa ngeselin. Pokok besok Corbyn mau beli mainan yaaaaa????”

“GAK! DUITNYA DITABUNG!”

“PAPAAAAA!”

Mama Park, suster, serta beberapa asisten rumah tangga yang tadinya menatap haru, akhirnya tertawa melihat pertengkaran kecil Jimin dan putranya. Sedari tadi mereka memang mengintip Jimin dan Corbyn dari balik pintu yang terbuka sedikit. “Akhirnya, anak dan cucuku akur lagi,” batin mama Park dengan perasaan lega.

Bersambung...