HERE’S YOUR PERFECT

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Catatan: Aku saranin sambil muter ini lagu di bawah:


Ada keluarga Park serta Minji yang menemani Jimin dan Corbyn menunggu keberangkatan pesawat di bandara, namun Jungkook tak kunjung datang meskipun sudah dikirimi pesan. Jimin gelisah, pun Corbyn merengek karena ingin bertemu ayahnya sebelum pulang ke California. Jimin tak habis pikir bila nanti Jungkook benar-benar tidak datang.

“Aku udah ngechat Jungkook, tapi belum diread sama dia.” Minji memilih menghampiri Jimin yang duduk menyendiri di area cukup jauh dari kerumunan. Wanita itu datang ke bandara dengan ditemani oleh suster setelah diberi izin pihak rumah sakit jiwa untuk ke bandara, mengantarkan putranya kembali ke Los Angeles. Ia tidak berangkat bersama Jungkook lantaran pria Jeon yang masih berstatus sebagai suaminya itu tak kunjung merespon pesannya mengenai keberangkatan Jimin dan Corbyn sejak kemarin.

“Gak apa-apa. Mungkin emang dia gak mau nganter.” Jimin memberikan respon.

“Mungkin dia masih ada kesibukan penting di rumah sakit.” Minji mencoba memberikan pikiran positif.

Jimin merespon dengan kekehan canggung, kemudian ia kembali terdiam sembari menatap ke pintu masuk ruang tunggu penumpang, mengharapkan kehadiran Jungkook.

“Jimin?”

“Hm?”

“Makasih udah ngerawat Jungmin dengan baik dan penuh kasih sayang. Makasih udah ngasih kehidupan yang sangat baik untuk dia. Aku dengan tulus mengucapkan terima kasih.”

Jimin tersenyum tipis, “He’s my son, of course I will give all the best for him.”

“Thank you, thanks for that.” Minji tak henti mengucapkan terima kasih. Ia tak tahu nasib hidup Corbyn seperti apa jika Jimin tidak merawat anak itu, mengingat sudah pasti hidupnya dan Jungkook akan hancur di tangan keluarga Park karena balas dendam.

“Setelah boleh keluar dari rumah sakit jiwa dan cerai sama Jungkook, aku akan mulai hidup baru. Aku akan kerja keras, jadi aku bisa berkunjung ke LA.”

“Gak perlu memaksakan diri, jalani hidup kamu semampu kamu dulu. Masalah ketemu Corbyn, aku akan sering ajak dia pulang ke Seoul kalo dia libur sekolah kok, terutama waktu natal.”

Minji tersenyum lega, ia memegang kedua tangan Jimin, “Makasih banyak, Jimin. Makasih,” ucapnya dengan tulus.

“Aku juga berterima kasih karena kamu bisa relain Corbyn tetap sama aku.” Jimin mengulas senyum, ada sedikit rasa lega di hatinya karena bisa berdamai dengan wanita yang sempat dibencinya.

“Ayah!”

Atensi Jimin dan Minji beralih ke arah sumber suara, ternyata Corbyn memekik dan berlari untuk memeluk Jungkook yang baru datang.

“Hengg ayah! Ayah lama banget datangnya huh. Untung Corbyn belum berangkat.”

“Maafin ayah. Tadi ayah sibuk banget, jalan juga macet. Untung ayah gak telat.” Nafas Jungkook tersengal-sengal karena ia mengebut untuk tiba ke bandara, mengingat jam keberangkatan Jimin dan Corbyn yang sebentar lagi. Pria itu tak mau menyesal untuk tidak mengantar dua orang yang disayanginya, sehingga meskipun waktu mepet, ia akhirnya berangkat.

“Oke deh, Corbyn maafin ayah dokter ganteng xixi.”

Jungkook tersenyum, ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Seharusnya Jimin dan Corbyn sudah naik ke pesawat untuk bersiap terbang, namun mengapa belum? Ia bertanya-tanya.

“Tadi aku bohong. Terbangnya satu jam lagi, jam sepuluh nanti.” Jimin datang dan segera memberikan penjelasan setelah ia mendapati Jungkook sedang panik melihat jam. “Corbyn, papa mau bicara sama ayah dulu ya. Nanti balik lagi kok.” Jimin menarik tangan Jungkook untuk menuju ke suatu tempat yang sepi.

Saat merasa sudah berada di tempat yang sepi, Jimin melepaskan genggamannya pada tangan Jungkook. “Makasih udah datang. Aku sempat panik, kirain kamu benar-benar gak datang.” Bukan jawaban lisan yang didapatkan Jimin, melainkan pelukan dan isakan tangis pelan dari Jungkook.

“A-aku, ak... Aku kira aku telat.” Jungkook terisak, ia menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Jimin. Tangan pria itu memeluk erat tubuh Jimin seakan tak mau melepaskannya.

Air mata Jimin keluar tanpa permisi, namun ia menahan isakannya. Ia menggerakkan tangannya untuk menepuk pelan punggung si pria Jeon agar tenang. “Makanya aku bohong ke kamu kalo berangkat jam sembilan, karena aku yakin kamu akan usahain datang meskipun mepet.”

Jimin melepaskan pelukan Jungkook. Ia menyeka air mata Jungkook menggunakan jemarinya, “Jangan nangis.” Berikutnya ia melepaskan jas rumah sakit yang dikenakan Jungkook. “Kamu lagi gak di rumah sakit, ngapain pake jas rumah sakit?” Ia terkekeh, kemudian merapikan rambut Jungkook yang acak-acakan, kemungkinan besar karena dijambak sendiri dan berlarian, “Dokter harus rapi penampilannya.”

“Kamu pasti tadi ngebut ’kan?” Jimin melayangkan pertanyaan sembari merapikan kemeja Jungkook yang sedikit keluar. “Makanya rambut kamu acak-acakan kayak tadi. Pasti kamu jambak karena kesel kena macet dan takut aku sama Corbyn udah berangkat. Iya ’kan?” Jimin tertawa pelan, tangannya kembali merapikan rambut Jungkook, “Meskipun keadaan genting, jangan nyetir sendiri dan ngebut. Pikirin keselamatan kamu sendiri.”

Jungkook enggan membuka suara karena pasti nadanya bergetar jika ia melakukannya. Sehingga ia memilih kembali memeluk tubuh Jimin dengan erat, sialnya isakannya kembali pecah, tak sanggup ditahan.

“Maaf udah bikin kamu sedih dan nangis, maaf.” Jimin mengelus surai belakang kepala Jungkook untuk menenangkan. Jimin menuntun Jungkook untuk duduk di kursi yang ada, agar tidak pegal karena terus berdiri. Ia masih membiarkan Jungkook memeluknya dengan erat.

Lima menit berlalu, Jungkook melepaskan pelukannya pada tubuh Jimin, pun tangisannya sudah mereda, “Maaf karena aku terlalu emosional, aku cengeng.”

“No worries.”

“Aku akan kerja keras, aku janji. Aku akan kerja keras cari uang untuk bisa sering ke Los Angeles nemun kal—”

“Jungkook.” Jimin memanggil nama pria itu untuk memotong obrolan. Ia meraih tangan Jungkook untuk digenggam erat, seketika air matanya kembali tumpah disertai bibir yang bergetar karena menahan isakan.

“Aku gak akan larang kamu untuk nemuin aku dan Corbyn. Tapi aku mohon, atasi hidup kamu sendiri dulu. Kamu harus selamatin perekonomian kamu lebih dulu. Masalah Corbyn, aku akan bawa dia berkunjung ke sini setidaknya setahun dua kali.”

“Jimin—”

“Jungkook, untuk saat ini, jangan berusaha dapatin aku lagi.”

Jungkook merasakan dadanya nyeri layaknya baru dilempar ratusan tombak usai mendengar ucapan Jimin yang seakan mengetahui isi pikirannya.

Jimin tersenyum getir, ia mengelus punggung tangan pria di sampingnya. “Just... don’t.”

“Jung, aku gak yakin apa benar dugaanku ini tapi... untuk saat ini jangan usaha dapatin aku lagi. Jangan.”

“K-kenapa? Kenapa, Ji?”

“Aku butuh waktu... Aku butuh waktu, Jung.” Jimin menatap kedua netra Jungkook dengan lamat. “Bukan cuma seminggu, sebulan, atau setahun. Aku rasa aku butuh waktu bertahun-tahun.”

“Aku gak perlu ungkapin perasaanku, tapi aku yakin kamu tahu perasaanku ke kamu kayak gimana tapi... Maaf, Jung. Untuk sekarang aku cuma mau fokus sama anakku... anak kita... Corbyn. Aku cuma mau fokus ke hidupku dan anakku.”

“B-but, don’t expect too much from me and don’t wait for me.” Jimin menggerakkan tangannya untuk kembali menyeka air mata di wajah Jungkook. “Aku gak tau, a-aku gak tau kita bisa kembali atau enggak, j-jadi, kalau kamu gak bisa nunggu, kamu bisa mulai hidup kamu sama orang lain.”

“Gak.” Jungkook merespon dengan cepat dan yakin. “Mungkin sekarang kamu gak butuh janji dari aku, tapi cintaku tetap untuk kamu, aku juga gak akan memulai hidup dengan siapapun.” Pria Jeon itu mengangkat tangannya untuk balas menyeka air mata di wajah Jimin. “Aku akan setia meskipun nantinya kamu udah gak ingin ataupun cinta sama aku. Aku tetap kunci hatiku yang udah kamu miliki.”

Jimin mengulas senyum meski matanya buram karena banyaknya air mata. “Mungkin kalau kita memang jodoh, suatu saat akan ada waktu buat kita untuk kembali kayak dulu.” Ia menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan Jungkook, kemudian memeluk erat tubuh pria Jeon tersebut. Ia menyandarkan kepalanya di dada Jungkook, “Tapi sekali lagi aku minta maaf, untuk sekarang aku mau fokus Corbyn dan kerjaanku.”

Jungkook membalas pelukan Jimin, bibirnya mengecup pucuk kepala pria Park yang tengah memeluknya. “Iya, gak apa-apa. Kamu gak perlu merasa bersalah. Ini emang jalan terbaik, aku akan ikhlas lepasin kamu dan Corbyn demi kebaikan kalian. Jangan khawatir, aku akan berusaha baik-baik aja setelah ini. Aku akan berusaha hidup dengan baik. Jangan khawatir.”

“A-aku, aku juga. Aku akan berusaha hidup baik dan sembuh. Aku akan rawat Corbyn dengan sangat baik. Jadi kamu jangan khawatir.”

“Heem.”

“Heem.”

Baik Jungkook maupun Jimin sama-sama menahan isakan mereka, meskipun air mata kesedihan masih mengucur membasahi pipi. Mereka berpelukan semakin erat untuk terakhir kalinya sebelum nanti berpisah. Lagu terputar di ruang tunggu yang menyapa indera pendengaran membuat Jungkook dan Jimin bergelut dengan pikiran masing-masing.

Remember the day when you flew to LA How we said goodbye, oooh And you begged me to go, but I knew that I’d only be taking up your time Hope you know that I hate how I made your heartbreak But you needed the space so I pushed you away And I’m happy to say that you're doing so great on your own

Jungkook mengecup kening Jimin dengan lembut, seakan menyalurkan betapa tulus perasaannya pada pria Park dipelukannya. Lirik lagu yang terputar membuatnya sadar bahwa perpisahan ini memang jalan terbaik bagi ia dan Jimin, mengingat mantan kekasihnya itu masih sakit sehingga butuh waktu lama untuk menyembuhkan diri.

I’m the first to say that I’m not perfect And you’re the first to say you want the best thing But now I know a perfect way to let you go Give my last hello, hope it’s worth it

“Here’s your perfect.” Jungkook menggumamkan satu kalimat di akhir lagu.

Jimin tersenyum getir usai mendengar sepenggal lirik lagu yang keluar dari belah bibir Jungkook. Ia mendongakkan kepala, kemudian meraih bibir tipis milik Jungkook untuk dikecup. Jimin hanya memberikan satu kecupan, namun saat hendak menyudahi, Jungkook lebih dulu menahan wajahnya untuk melumat bibirnya. Alhasil, Jimin memejamkan matanya, pasrah ketika Jungkook dengan rakus melumat bibir tebalnya, bahkan ia membalas cumbuan itu. Mereka memejamkan mata, menikmati lumatan masing-masing penuh dengan tuntutan. Sayangnya pagutan bibir mereka terputus karena sama-sama merasa stok oksigen habis.

“I love you.” Jimin akhirnya memberanikan diri untuk bisa mengucapkan kalimat itu lagi.

“I love you more.” Jungkook membalas ucapan Jimin. Kening mereka bersatu, pun hidung yang bergesekan, sayangnya saat akan kembali bercumbu, ibu Park menginterupsi karena sudah waktunya untuk siap-siap boarding. Sehingga mereka segera kembali menghampiri Corbyn dan lainnya.

“Papa sama ayah lama banget ngobrolnya huh.” Corbyn mendengus sebal, namun segera meminta digendong ayahnya.

“Maaf ya. Ada banyak hal yang ayah sama papa bicarakan.” Jungkook meminta maaf, ia mengecup gemas pipi gembil putra semata wayangnya.

“Iya, Corbyn maafin.” Corbyn memeluk erat leher Jungkook, ia menyandarkan kepalanya di punggung ayahnya. Wajah anak itu nampak ada kesedihan karena akan berpisah dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya.

“Corbyn nanti kalau di LA jangan nakal ya? Sekolah yang rajin, biar papa, ayah, ibu, kakek, sama nenek bangga sama Corbyn. Hem?”

“Iya ayah. Ayah di sini yang semangat kerjanya.”

Kening Jungkook mengernyit ketika menyadari suara putranya yang bergetar. “Loh kok nangis?” Ia melayangkan pertanyaan ketika melihat wajah Corbyn yang sudah basah air mata.

“H-hiks, huwee.” Tangisan Corbyn pecah saat itu juga, membuat semua panik, tak terkecuali Jimin.

“H-hiks Corbyn sedih tapi Corbyn juga seneng karena bisa pulang ke LA sama papa. Ayah, maafin Corbyn ya? Corbyn janji gak akan nakal dan akan rajin dan pintar sekolahnya. Corbyn janji.”

“Sstt, iya, iya. Gak apa-apa kalo Corbyn sedih, itu wajar, yang penting sedihnya gak berlarut-larut. Lagipula nanti kita bisa ketemu lagi. Ayah akan usaha bisa jenguk Corbyn di sana. Udah, jangan nangis.” Jungkook memeluk erat tubuh mungil di gendongannya. Tangannya bergerak untuk memberikan tepukan pelan pada punggung putranya. Saat itu juga Jimin memilih segera memeluk Jungkook dan Corbyn, mereka berpelukan bertiga untuk terakhir kalinya sebelum berpisah.

“I love you, both of you. I love you two so much.” Meskipun Jungkook berbisik, Jimin dan Corbyn bisa mendengar, mereka juga mengangguki perkataan itu.

“Aku pamit dulu. Entah nanti waktu natal ataupun chuseok aku akan ke sini lagi bawa Corbyn.” Jimin berpamitan pada kedua orang tuanya, Jungkook, dan Minji.

“Iya, hati-hati.” Orang-orang di sekitar Jimin membalas secara bergantian.

Ketika sudah waktunya masuk, tubuh Corbyn beralih ke gendongan Jimin, mereka tersenyum dan melambaikan tangan pada keluarga Park, Jungkook, serta Minji.

“Ayah, ibu, nenek, kakek, I love you all! Bye bye! See you again! Bye bye! Muach!” Corbyn berteriak riang sembari melambaikan tangan dan memberikan cium jauh. Jungkook, Minji, dan keluarga Park turut melambaikan tangan sembari tersenyum melepaskan kepergian Jimin, Corbyn, serta pengasuh yang ikut.


Jimin, Corbyn, dan pengasuh tengah berada di dalam pesawat bagian first class untuk menunggu lepas landas. Jimin dan Corbyn duduk bersebelahan, sementara pengasuh ada di belakang. Corbyn tersenyum senang, ia meraih tangan papanya untuk digenggam.

“Bocil jangan rewel. Kamu udah gede, duduk sendiri. Jangan minta pangku segala macem.” Jimin memeringati putranya yang biasanya rewel

Biasanya Corbyn akan memberikan respon rengekan sebal, namun kali ini anak kecil itu tersenyum dan menatap papanya penuh sayang. Tangan kecilnya terangkat meraih wajah papanya untuk dielus. “Papa, kita akan pulang ke Los Angeles. Papa jangan nangis-nangis lagi, ya? Nanti kita happy-happy di Los Angeles lagi ya?”

Senyuman Jimin seketika luntur usai mendengar ucapan Corbyn. “I-ih bocil, apaan sih? Siapa juga yang nangis?” Ia berusaha mengatur emosinya karena terkejut.

“Hehe. Soalnya papa beda banget waktu di Los Angeles sama di Seoul. Kalo di Seoul papa nangis terus, Corbyn diam-diam sering lihat papa nangis kalo malem. Kalo di Los Angeles, papa kelihatan sangat happy, jadi Corbyn pikir lebih baik kita di Los Angeles aja. Corbyn gak ngerti apa masalah papa, tapi Corbyn gak suka lihat papa sering nangis dan mabuk-mabukan. Corbyn harap nanti papa kayak dulu lagi kalo udah di rumah kita.”

Selama di Seoul, Corbyn sangat sering tak sengaja melihat papanya menangis di balkon maupun kamar mandi ketika dirinya terbangun antara waktu tengah malam dan dini hari. Bahkan ia juga cukup sering melihat papanya yang pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan menangis sesenggukan. Pemandangan selama di Seoul tersebut belum pernah Corbyn temui ketika ia dan papanya masih di Los Angeles, sehingga anak itu memilih mengajak papanya untuk kembali ke rumah mereka dengan harapan agar papanya bisa seperti dulu lagi.

“C-Corbyn...” Jimin merasakan dadanya sesak, rasanya stok oksigen di tubuhnya habis, sehingga nafasnya tersengal-sengal. Ia segera beranjak dari duduknya, kemudian setengah berjongkok di depan kursi duduk putranya.

“Papa, Corbyn loves you so much. You are the love of my life.” Corbyn mengatakan itu disertai matanya yang berkaca-kaca. Tangan kecilnya menangkup wajah papanya dan mengelusnya penuh sayang. “Papa jangan nangis-nangis lagi. Ayo kita pulang dan bahagia di LA hehe.”

“C-corb...Corbyn hiks.” Jimin tak sanggup berkata-kata, alih-alih menumpahkan air mata kesedihannya, kepalanya menunduk, dahinya bertumpu pada dengkul putranya. Ia tak menyangka, ternyata itu alasan Corbyn tiba-tiba merengek ingin pulang ke Los Angeles, semua karena dirinya. “S-sorry, son, papa is sorry. I... I don’t know that you... you...” Ia tak sanggup melanjutkan perkataannya, segera dipeluknya tubuh mungil Corbyn penuh kasih sayang.

“Papa jangan nangis hiks papa jangan nangis.”

Jimin tak merespon perkataan Corbyn, ia tetap terisak sembari memeluk putranya itu. Lima menit kemudian—setelah mengatur emosi—Jimin melepaskan pelukan, lalu ia memegang kedua tangan Corbyn. “Corbyn, kemarin-kemarin papa emang lagi banyak pikiran, makanya papa sering nangis dan mabuk. Maafin papa. Papa janji, nanti papa gak akan nangis-nangis dan mabuk kayak gitu lagi. Papa nanti akan fokus bahagia sama Corbyn. Papa janji.”

Senyuman Corbyn mengembang usai mendengar perkataan papanya. Ia segera menautkan jari kelingkingnya dengan milik papanya, “Janji ya, pa?”

“Iya, sayang. Papa janji.” Jimin berusaha meyakinkan putranya meskipun dibaliknya terdapat kebohongan, lantaran tak mungkin ia berkata jujur pada anak itu mengenai dirinya yang merasa tertekan selama di Seoul.

Corbyn memekik riang, ia segera memeluk tubuh Jimin dengan erat. “Yey. Papa gak boleh nangis lagi. Corbyn sedih kalo lihat papa nangis. Papa jangan khawatir, kalo Corbyn udah gede nanti, Corbyn yang akan jaga dan bahagiain papa. Pokoknya Corbyn gak akan bikin papa nangis. Corbyn gak akan nakal. Corbyn janji.”

Jimin tersenyum haru, ia mengecupi wajah putranya penuh sayang dan gemas. “Thanks my precious son! Corbyn Matthew Park the best son in the world!”

“And papa Jimin Park is the best papa in the world!”

Papa dan anak tersebut saling melemparkan senyum. Beberapa saat kemudian Jimin harus kembali ke tempat duduknya sesuai arahan kru kabin karena pesawat yang akan lepas landas.

Bersambung...