HOME

Bagian dari alternate universe Please, Love Me


“Charlotte pasti nanti di rumah buat nyambut gue, ‘kan?” Pertanyaan itu meluncur di belah bibir Jimin. Ia bersama Jade, bodyguard, dan supir sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.

Jade menghela nafas sejenak, kemudian menghembuskannya perlahan. “Jawaban gue selalu sama. Gue gak tahu,” respon Jade yang pagi ini sudah mendapatkan pertanyaan sama berkali-kali dari Jimin. “Justin sama Roseanne gue telfon gak diangkat,” lanjutnya.

Jimin tersenyum getir, kemudian memilih untuk menatap luar jendela yang menampilkan jalanan Los Angeles. Ada rasa kecewa di hatinya lantaran Jeongguk tak acuh padanya, bersikap seakan-akan bahwa hubungan mereka telah selesai mekipun hanya sekadar sebagai orang tua Charlotte.

Jimin mencoba untuk tegar, bagaimanapun juga ini semua memang salahnya dan ia harus menanggung akibatnya. Jimin sakit karena ulahnya sendiri, bahkan hati Jeongguk dan Charlotte juga berhasil ia patahkan. Kepergian janin yang berada di kandungannya selama tiga belas minggu juga karena ia tak becus menjaga kesehatannya sendiri.

“I screwed everything up.” Jimin membatin diiringi buliran air mata yang jatuh membasahi pipinya. Buru-buru ia menghapus cairan bening itu di wajahnya, tak mau terlalu larut dalam kesedihan.

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Jimin dan asistennya tiba di rumah. Jimin turun dari mobil, kemudian berjalan memasuki rumah dengan lesu dan pikiran yang kacau. Pun kepalanya menunduk.

“Welcome home, my dearest papi!”

Jimin mengangkat kepala kala mendengar suara sambutan yang ternyata pelakunya adalah Charlotte. Menarik sudut bibir, Jimin tersenyum. Ia setengah berjongkok dan merentangkan tangan, menyambut putrinya yang berlari untuk memeluknya.

“I miss you, i miss you, my dearest princess.” Jimin memeluk Charlotte sangat erat untuk menyalurkan rasa rindunya. Jimin masih sangat sensitif, sehingga tak perlu waktu lama baginya untuk menangis haru ketika Charlotte menyambutnya.

“I miss you too, papi.”

“Don’t cry.” Charlotte menyeka air mata Jimin. “Maaf, Charlotte gak bisa jenguk papi di rumah sakit. Kemarin-kemarin Charlotte demam,” ucap anak itu sembari meringis canggung.

“It’s okay, my love.” Jimin mencium kening Charlotte. “Sekarang bisa ketemu dan peluk kamu, papi udah senang banget,” imbuhnya.

“Papi, look!” Charlotte melepaskan pelukannya pada tubuh Jimin, kemudian menunjuk dekorasi tulisan Yay, You’re Home berwarna-warni menempel di dinding. Ditambah beberapa jenis bunga yang juga berwarna-warni di sekitarnya.

“Oh my God. Princess, how lovely of you.” Jimin membawa tangannya untuk mengelus surai putrinya. “Kamu tahu banget ya papi suka bunga,” ucapnya sembari mengedarkan pandangan di ruang tamu rumahnya yang banyak bunga dan balon.

Senyuman Jimin sedikit memudar kala ia mendapati Jeongguk yang berdiri di pojok tak jauh darinya. Mungkin tadi ia terlalu fokus akan keberadaan Charlotte sampai-sampai tak menyadari bahwa ada Jeongguk ditemani Roseanne yang juga datang untuk menyambutnya.

“Welcome home, Christian.” Roseanne memberikan sapaan.

“Thank you, Rose.”

“Papi, tadi Charlotte dibantu daddy sama Roseanne buat dekor ini semua.”

“Oh ya? Ow, papi terharu. Makasih ya.”

Charlotte mengangangguk kecil, kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Jimin.

Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Beberapa orang dewasa di ruang tamu merasa canggung, pun Charlotte. Jimin menggigit bibir dalamnya, entah, ia bingung untuk memulai pembicaraan dengan Charlotte.

Akhirnya Jimin memilih kembali berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Charlotte. Ia harus memberikan penjelasan secepatnya untuk Charlotte yang dirinya sendiri tak tahu seberapa besar luka di dalam hati putrinya itu.

“Maaf ya, adek udah pergi ke surga ninggalin kita.” Hal pertama yang Jimin singgung adalah kepergian adek.

“Hm.” Charlotte menundukkan kepala.

“Hm?”

“Iya, gak apa-apa. Adek udah bahagia di surga.”

Ulu hati Jimin terasa nyeri kala mendengar suara Charlotte yang bergetar. “S-sorry,” ucapnya yang mencoba menahan tangis.

“Papi, don’t cry. Charlotte is okay.” Meskipun sudah menangis, Charlotte memilih menghapus air mata Jimin dibanding miliknya sendiri.

“Gak apa-apa kalo sedih, jujur aja sama papi. Hem?” Jimin balas menghapus air mata di wajah Charlotte.

“I‘m okay, papi.” Charlotte tetap pada pendiriannya untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja pada Jimin, meskipun sebenarnya ia merasa takut dan masih menyimpan luka batin.

Selama beberapa hari belakangan ini, berkali-kali Jeongguk meyakinkan Charlotte bahwa Jimin menganggap anak itu sebagai anugerah. Jeongguk bahkan membuat Charlotte mengingat kembali atas semua yang dilakukan Jimin padanya. Semua Jeongguk lakukan agar beban yang ada dalam Charlotte setidaknya berkurang meskipun tentu saja rasa cemas itu tak bisa hilang seratus persen.

Sebagai orang yang melahirkan Charlotte sendiri, Jimin tahu bahwa putrinya itu berbohong dan menyimpan segudang rasa cemas. Charlotte sudah dewasa di usia sedini ini, pikirnya. Akhirnya ia memilih berpura-pura mengangguk paham. “Okay, good for you, my princess.”

Jimin berdiri, kemudian memukul pucuk kepala Jade yang berdiri tak jauh darinya.

“Aw, Christ. Kok mukul gue sih?” protes Jade sembari mengelus pucuk kepalanya yang dipukul Jimin.

“Minta maaf ke anak gue.”

“I-ya. Ini emang niat mau minta maaf, tapi dari tadi lo masih asik ngomong.” Jade berjongkok untuk menyamakan tinggi Charlotte.

“Charlotte, I apologize for everything you’ve read... I mean the chats on my phone. Sorry, I really really didn’t mean it. I was wrong, sorry. Christian loves you, you are everything for him.” Jade mengutarakan penyesalannya kepada Charlotte.

Charlotte menundukkan kepala, kemudian mengangguk kecil. “Okay, Jade,” gumamnya.

“It’s okay, baby. Hits her head now.” Jimin menyuruh Charlotte memukul Jade.

No, papi. Kata daddy gak boleh melakukan kekerasan.”

Di saat yang menegangkan seperti ini, baik Jade dan Roseanne masih bisa untuk meloloskan tawa dari belah bibir mereka. Jimin pun melirik tajam ke arah Jade, kemudian kembali memberikan pukulan di kepala asistennya itu.

“Maaf, ya. Yang kamu baca itu gak benar. Papi cintaaaaa dan sayaaangg banget sama Charlotte. I swear to God. Baby, you are my galaxy. You are my everything.

Yes, papi. I believe in you. Daddy juga bilang kalo papi sayaaangg banget sama Charlotte.”

“Thank you, my love.”

“Jadi aku dimaafin gak nih?” Jade menginterupsi.

“Iya, aku maafin,” balas Charlotte.

“Princess, pukul kepalanya. Gak apa-apa. Pukul.” Jimin membawa tangan Charlotte ke atas kepala Jade. Sesuai perintah, akhirnya Charlotte memukul kepala Jade dengan keras.

“Aduh, kenceng banget!”

“Oops, sorry.” Charlotte bergumam polos.

“Udah ya, udah ya. Charlotte, ayo main ke taman belakang. Kasih waktu buat papi sama daddy buat ngobrol dulu.” Roseanne menyela lantaran ia merasa bahwa Jeongguk dan Jimin membutuhkan ruang untuk mengobrol berdua.

“H-hum tapi...” Charlotte memandang Jimin dan Jeongguk secara bergantian. Tatapannya tersirat kekhawatiran jika kedua orang tuanya kembali bertengkar.

“Baby, we won’t fight. I promise you,” ucap Jimin setelah ia dapat membaca mimik wajah Charlotte yang khawatir.

“Hum, o-oke. Jangan lama-lama, ya.” Charlotte, Jade, dan beberapa pelayan memilih mengikuti ajakan Roseanne untuk pergi dari ruang tamu. Sekarang di ruang tersebut hanya ada Jimin dan Jeongguk yang sedari tadi bungkam suara.

Jimin menunduk, menggigit bibir bagian dalamnya. Ia mencoba merangkai kata untuk memecah keheningan di ruangan tersebut karena baik dirinya maupun Jeongguk sama-sama diam. Setelah beberapa menit berpikir, Jimin mengeluarkan keberanian untuk membuka suara, dimulai dengan kalimat maaf.

Jimin menarik nafas kemudian menghembuskan nafasnya perlahan. “Maaf—” Perkataan Jimin tersebut terhenti saat ia mulai mendongakkan kepala, yang ditangkap indera penglihatannya adalah Jeongguk sedang merentangkan tangan, seakan menyambutnya untuk dipeluk.

Bibir Jimin bergetar, tanpa permisi, air matanya mengalir kembali membasahi wajahnya. “Hiks,” isakannya lolos begitu saja.

Buru-buru Jimin berlari menghampiri Jeongguk, kemudian memeluk erat pria Jeon itu. Isakan Jimin semakin keras kala Jeongguk membalas pelukannya dan mendaratkan beberapa kecupan di pucuk kepalanya.

“Welcome home,” ucap Jeongguk dengan nada berbisik, sayangnya yang disambut hanya bisa menangis di dalam pelukannya.

“Maaf, aku gak jenguk kamu. Aku butuh waktu untuk tenangin diri sendiri dan Charlotte. Aku ngerasa kita butuh waktu untuk tenangin diri. Tadi aku gak jemput kamu karena siapin kejutan untuk menyambut kamu.” Jeongguk kembali mengucap kata maaf dan memberikan penjelasan.

“Gak apa-apa. Aku yang salah.” Meskipun lirih dan teredam karena berbicara di dalam pelukan, suara Jimin masih terdengar di indera pendengaran Jeongguk.

Jeongguk melonggarkan pelukannya dengan Jimin, kemudian menatap langsung wajah pria yang lebih pendek. Ia tersenyum tipis, dua ibu jarinya bergerak mengusap air mata yang membasahi wajah Jimin.

“Aku juga salah. Selama beberapa hari ini aku mikir kalau aku yang gak pandai kontrol emosiku. Aku yang juga egois dan keras kepala. Aku yang juga gak bisa memahami rasa trauma kamu. Maaf, aku juga salah besar.”

Jimin ingin sekali merespon perkataan Jeongguk, namun ia merutuki dirinya sendiri lantaran yang bisa dilakukannya hanyalah menangis.

“Hei, kok nangis lagi sih?”

“C-cuma aku yang salah. Maafin aku. Aku yang salah di sini. Gak seharusnya aku ngelimpahin rasa sakitku ke kamu. Gak seharusnya—”

“Sst.” Jeongguk meletakkan satu jari telunjuknya di depan mulut Jimin. “Kita sama-sama salah di sini. Jadi pembelajaran aja biar ke depannya gak gini lagi? Hem?”

Lagi, Jimin terisak diiringi dadanya yang kempang-kempis. Ia semakin mengutuk dirinya sendiri lantaran setelah semua yang dilakukannya selama ini, Jeongguk masih berlapang dada untuk menerimanya.

“Jimin, apa setelah yang semua terjadi, nanti kamu mau berubah? Nanti kita mulai lembaran baru bersama dan lupain semua rasa sakit masa lalu? Bisa?”

Jimin mengangguk cepat, diiringi air mata yang mengucur deras. Jujur, selama beberapa hari ini ia merenungi kesalahannya dan berusaha akan memperbaiki semuanya. Bahkan jika Jeongguk tak memberikan kesempatan kedua, Jimin tetap bertekad untuk mengubur luka masa lalunya meskipun pasti akan sulit.

“Kita bisa hidup normal kayak pasangan lain? Bisa?”

Lagi, Jimin mengangguk cepat.

“Kamu bisa janji ke aku? Mau berusaha lupain masa lalu yang menyakitkan dan mau fokus hidup bahagia sama aku? Mau?”

Anggukan kepala Jimin kembali menjadi jawaban.

“Gak dorong aku menjauh dari kamu lagi? Bisa?”

“B-bisa. Bisa. Jeongguk, aku janji. Aku akan berubah. Aku janji. Aku janji, tapi jangan tinggalin aku, ya?”

Jeongguk tersenyum dan mengangguk meyakinkan. “Of course, I’ll never leave you.”

Jeongguk kembali merengkuh tubuh Jimin ke dalam pelukannya. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Jimin yang terisak agar merasa nyaman.

Merasa lelah berdiri, Jeongguk mengajak Jimin untuk ke kamar. Di dalam kamar, mereka naik ke kasur dan tidur menyamping untuk saling berhadapan.

“It’s Charles.” Jimin memecah keheningan.

“Hm?” gumam Jeongguk yang tangannya sibuk membelai surai Jimin.

“The baby, i named him Charles even though we don’t know yet the gender. Since i want a baby boy, so...”

It’s a good name. Charles, mulai sekarang nama itu akan kita kenang terus. Hem?”

Jimin memberikan respon anggukan kepala. “Sebenarnya Hoseok kasih saran nama awalannya J biar adil kayak nama kamu, tapi aku udah lama banget pengen punya anak cowok dan aku kasih nama Charles. Gak apa-apa ‘kan?”

“Iya, gak apa-apa kok. Namanya bagus, Charles ‘kan nama Charlotte versi cowok. Jadi pas aja, nama kakaknya Charlotte, adeknya Charles.”

Jimin tersenyum, ia memejamkan mata, menikmati sentuhan halus tangan kekar Jeongguk di wajahnya. Sudah cukup lama ia tak merasakan afeksi seperti ini dari pria Jeon itu.

“Justin?”

“Iya, Christian?”

“Terima kasih udah mau terima aku lagi. Aku takut kamu akan ninggalin aku, ternyata kamu masih bisa nerima aku lagi. Aku merasa gak pantas tapi aku gak munafik kalau aku memang butuh kamu di hidupku.”

“Because you are my home,” ucap Jeongguk. “I've claimed you as my home since I first saw you,” sambungnya.

“Christian, aku udah gak bisa suka sama orang lain kecuali kamu. Sebanyak apapun kamu bikin aku sakit hati, rasanya aku gak bisa berpaling dari kamu. Sejauh apapun kamu dorong aku buat pergi, rasanya aku selalu pengen pulang ke kamu. It’s because you are my home. If it’s not you, it’s not anyone. You are my one and only besides Charlotte.”

Jimin merasakan lidahnya kelu, bukannya tak mau merespon perkataan panjang Jeongguk, hanya saja ia terlalu terharu, sehingga yang dilakukannya adalah menangis lagi.

Jeongguk cukup paham mengenai perasaan Jimin saat ini, terlebih masih paska keguguran, sehingga sangat sensitif. Sudah dapat dipastikan, ada berbagai kekhawatiran dan rasa bersalah di dalam benak Jimin, oleh sebab itu, Jeongguk segera merengkuh si pria Park ke dalam pelukannya. Pun, ia ikut meneteskan air mata, namun menahan isakannya.

“Christian, aku harap kamu bisa move on, dengan begitu baik kamu, aku, dan Charlotte gak akan merasa sakit lagi. Hem? Kamu mau janji sama aku ‘kan?”

Meskipun tak menjawab secara lisan, Jimin mengangguk di dalam pelukan Jeongguk.

“Pelan-pelan move on-nya, aku di sini, aku temani. I’ll always stay by your side.”

T-thank you, thank you so much. Aku janji, aku gak akan sia-siain kesempatan kedua ini.” Jimin mengeratkan pelukannya pada tubuh Jeongguk.

“Tapi Jeongguk, satu hal yang perlu kamu tahu. Aku sama sekali gak pernah anggap kamu sebagai bank sperma. Aku serius, aku pengen kita punya anak lagi di keluarga kecil kita. Tapi aku terlalu takut nerima kamu. Aku bingung harus gimana, aku mau kita utuh, tapi aku juga gak mau terima kamu.”

Jeongguk tersenyum, bibirnya kembali mendarat di pucuk kepala Jimin. “Okay, i believe in you,” bisiknya. “Aku paham, pasti sangat sulit ada di posisi kamu. Terima kasih sudah jujur ke aku,” ucapnya.

Senyuman Jeongguk kembali mengembang kala Jimin mendongakkan kepala. Tentu ia merasa gemas saat mendapati hidung dan pipi tembam Jimin yang memerah karena terlalu banyak menangis. Ia kembali menggerakkan kedua ibu jarinya untuk mengusap air mata Jimin.

“I love you, Jeongguk. I swear to God, I love you. Aku janji, aku akan rubah sikapku selama ini. Aku janji. Aku gak mau sia-siain pria sebaik kamu lagi.”

“I love you too, Jimin. Aku harap kamu serius dan benar-benar berubah. Kita sama-sama perbaiki diri mulai sekarang, ya? Bukan cuma demi kita sendiri tapi juga Charlotte, hem?”

Jeongguk kembali mengulas senyum kala Jimin memberikan respon anggukan kepala yang meyakinkan. Wajah mereka berdekatan, tak butuh waktu lama lagi, bibir berbeda ukuran tersebut menyatu untuk menyalurkan perasaan cinta. Hanya sebentar, mereka segera menghentikan cumbuan lantaran rasa kantuk melanda.


Charlotte merasa lelah bermain dengan para asisten, ia memutuskan untuk menyusul kedua orang tuanya meskipun Jade dan Roseanne melarangnya. Ketika pelayan mengatakan bahwa Jeongguk dan Jimin masuk ke dalam kamar, Charlotte dengan tidak sabaran membuka pintu untuk masuk. Anak itu takut jika kedua orang tuanya kembali bertengkar.

“Daddy! Papi! Why—” Charlotte segera menutup mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan mungilnya kala mendapati Jeongguk dan Jimin yang terlelap damai. Ia merasa lega karena kedua orang tuanya tak bertengkar sesuai dugaannya.

Senyuman Charlotte mengembang, ia berbalik sejenak untuk memberikan kode pada Roseanne dan Jade agar diam. Berikutnya, anak itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan dan merangkak naik ke atas kasur. Gadis bermarga Jeon itu tidur menyamping dan memeluk Jeongguk dari belakang.

Jeongguk terkejut saat menyadari ada sosok yang memeluknya dari belakang. Mata setengah terbuka, Jeongguk menoleh ke belakang, yang ia dapati adalah putri semata wayangnya tengah meringis lucu karena ketahuan.

“Hey princess. Whatcha doin’?”

“Pengen bobo siang sama daddy dan papi lah.”

“Okay, come here.” Jeongguk terkekeh pelan, ia menarik tubuhnya ke belakang, kemudian membawa Charlotte untuk tidur di tengah.

“Eungh.” Jimin merasa tidurnya terusik kala merasakan keributan. “Oh? Charlotte?”

“Hehe. Charlotte ngantuk, pengen bobo juga.”

“Oke, sini, ayo bobo.” Jimin memeluk tubuh Charlotte yang sudah berbaring di tengah. Jeongguk pun melakukan hal yang sama. Tangan Jeongguk dan Jimin bertemu saat memeluk Charlotte, mereka tersenyum satu sama lain sebelum akhirnya kembali memejamkan mata.

“I’m so happy,” batin Charlotte yang telah memejamkan mata. Anak itu selalu berharap agar keadaan seperti ini bisa bertahan untuk selamanya, bukan hanya sesaat. Hanya butuh beberapa menit, ketiganya terlelap saling memeluk di siang hari itu.

Bersambung...

Ini terlalu maksa gak sih? Apa terlalu cepat untuk berbaikan? Tapi plot di rancanganku emang begini sih :D Semoga tidak mengecewakan ya! :D