I NEED YOU

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jimin merasa kakinya lemas sampai tak sanggup berdiri usai mendapatkan kabar bahwa Corbyn kecelakaan. Air mata pria Park tersebut tanpa permisi keluar membasahi wajahnya. Chaeyoung yang kebetulan ada di ruang kerja Jimin saat itu buru-buru menarik tangan bosnya untuk diajak keluar.

Baru saja membuka pintu, ternyata ayah Park sudah datang menghampiri. “P-papa,” panggil Jimin dengan suara lemasnya. “Mama sama susternya Corbyn ngeprank aku ’kan?” tanyanya masih saja tak mau memercayai kabar yang tadi diterimanya.

“Tadi papa ditelfon mama kamu kalo Corbyn kecelakaan. Papa masih gak tahu pasti kronologinya, tapi papa langsung ke sini jemput kamu.” Ayah Park memberikan respon. “Ayo berangkat ke rumah sakit sama Papa,” ajaknya kemudian.

Jimin pun segera berangkat ke rumah sakit setelah memberikan tugas pada Chaeyoung agar mengatasi pekerjaannya.


Sesampainya di rumah sakit, Jimin bersama ayahnya segera menuju ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Ternyata di depan pintu IGD sudah ada ibu Park, suster, supir, dan satu orang asing—penabrak—yang menunggu dengan panik.

“Mama.”

“Jimin hiks.” Ibu Park segera memeluk putra semata wayangnya. “Maafin mama, mama gak becus jaga Corbyn. Maafin mama.”

“Gimana bisa gini sih ma? Ceritain ke aku.”

Meskipun menangis dengan sesenggukan, ibu Park mulai menceritakan kronologi kecelakaan cucunya pada putranya. Semuanya berawal ketika ibu Park tiba di sekolah, wanita itu mengobrol dengan wali murid Corbyn di depan gedung sekolah untuk bertanya mengenai hari pertama belajar si cucu. Sebelumnya, suster sudah izin untuk pergi ke toilet sebentar. Sementara Corbyn berdiri di dekat neneknya sembari asik bermain dengan kucing sekolah.

Tiba-tiba saja, Corbyn melihat sosok yang ia kira adalah Jimin di jalan depan sekolah. Sontak saja Corbyn berlari senang karena Jimin menepati janji untuk menjemputnya. “Papa!” teriaknya riang saat itu.

Ibu Park yang melihat Corbyn berlari pun segera mengikuti cucunya itu. “Corbyn! Papa gak jadi jemput. Itu bukan papamu, hei!” teriaknya. Sayang sekali Corbyn tak mendengar perkataan neneknya, alih-alih tetap berlari mengikuti sosok yang mirip papanya. Namun naas, saat akan ikut menyebrang, ada mobil yang melaju cepat menabrak anak kecil itu hingga tubuh mungilnya terpental beberapa meter.

“Mama bersumpah, Ji. Sebelumnya mama sama suster udah bilang ke anak kamu kalo kamu gak bisa jemput, t-tapi..... Hiks.... Maafin mama.”

“Maaf, pak. Saya mohon maaf karena telah menabrak putra bapak,” ucap pria asing yang tiba-tiba mengucapkan maaf pada Jimin.

Jimin menoleh ke arah sumber suara. “Anda kalau nyetir harusnya hati-hati! Kalau ada anak tolong langsung ngerem! Nyawa anak saya yang jadi taruhan!” Jimin berteriak marah pada pria asing tersebut.

“M-maaf, pak. Saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas biaya perawatan putra bapak,” ucap pria penabrak tersebut.

Tubuh Jimin ambruk di lantai, ia terduduk lemas dan menangis. Jimin tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun selain menangis menyesal. Ia menyalahkan dirinya sendiri, andai saja dirinya menyempatkan untuk menjemput Corbyn, pasti ini semua tak akan terjadi. Baik ayah maupun ibu Park tak sanggup berbuat banyak selain memeluk putra semata wayang mereka.

“Doa ya, nak. Dokter sedang melakukan cara yang terbaik untuk menyelamatkan Corbyn. Percaya sama Papa, anak kamu pasti selamat.” Ayah Park menenangkan putranya.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya pintu terbuka dan menampilkan seorang perawat yang keluar.

“Suster! Gimana keadaan anak saya? Bisa diselamatkan ’kan? Uh?” Jimin bertanya dengan panik.

“Tenang dulu, pak. Tolong dengarkan penjelasan dari saya sebentar.” Perawat tersebut memberikan respon. Akhirnya Jimin dan yang lainnya diam untuk menunggu kabar dari perawat.

“Dokter yang menangani mengatakan bahwa pasien atas nama Corbyn kehilangan banyak darah akibat benturan badan mobil dan pinggiran trotoar. Setelah kami periksa, pasien bergolongan darah O- sehingga pasien membutuhkan banyak donor darah O-. Sayangnya stok darah O- di rumah sakit kami sedang kosong, jadi kami membutuhkan anda untuk—”

“S-suster, kalau cari pendonornya dan membutuhkan waktu sedikit lama apa nyawa anak saya masih tetap bisa diselamatkan?” Jimin memotong dengan nada paniknya.

“Tunggu, bukankah anda orang tuanya? Seharusnya golongan darah—”

“Golongan darah saya tidak sama dengan anak saya tapi saya akan hubungi pendonor secepatnya. Gimana, sus?”

“Iya pak, masih ada waktu. Tapi secepatnya ya. Jangan sampai lebih dari tiga jam.”

“I-iya.” Jimin segera meraih gawai di saku celananya dengan tangan bergetar. “M-mama papa, aku gak punya pilihan lain hiks,” gumamnya disertai tangisan.

“Iya, gak apa-apa. Hubungi dia. Ini semua demi kebaikan Corbyn,” ucap ibu Park menenangkan.

“Perlu papa bantu?” Ayah Park menawarkan bantuan untuk memegang gawai Jimin lantaran tangan putranya itu yang gemetaran. Namun Jimin menggelengkan kepala dan buru-buru mencari kontak yang akan dihubunginya.

“Halo, Jimin? Ini benar-benar kamu? Kamu unblock ak—”

“J-jungkook, i need you. Please help me.”

“Hei kamu kenapa? Kamu di mana?” Suara Jungkook terdengar sangat panik kala mendengar ucapan Jimin dengan nada bergetar dan menangis.

“IGD Gangnam Severance Hospital. Please, ke sini secepatnya. Please.” Suara Jimin terdengar sangat putus asa.

“Oke, aku ke sana secepatnya. Tunggu sebentar.” Panggilan pun segera diputus oleh Jungkook karena pria Jeon itu segera berangkat ke alamat yang disebutkan oleh Jimin.

Jimin menangis, ia memukul dadanya sendiri karena tak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Padahal ia tak mau lagi bertemu dengan Jungkook, namun mau bagaimana lagi? Ia membutuhkan bantuan mantan kekasihnya itu secepatnya karena memiliki golongan darah yang sama dengan Corbyn.

Sekitar lima belas menit kemudian, Jimin mendapati Jungkook yang sudah tiba dengan nafas terengah-engah, tampaknya pria Jeon itu berlari.

“Suster!” Teriak Jimin saat melihat Jungkook yang berlari menghampirinya.

“Iya, pak?”

“Jimin, ada apa?” tanya Jungkook.

“Anakku butuh donor darah. Aku butuh donor darah dari kamu.” Jimin menjawab.

“Loh? Emang golongan darah—”

“Golongan darah anakku sama kayak golongan darahmu, O-. Please jangan tanya-tanya dulu. Anakku butuh donor darah secepatnya.”

“Suster! Ini pendonor darahnya.” Jimin berkata pada perawat sembari menunjuk Jungkook.

“Baik, pak. Mari ikut saya.” Perawat mengajak Jungkook untuk pergi ke ruang pengambilan darah. Meskipun Jungkook sendiri masih bingung dengan semuanya, namun ia segera mengikuti perawat rumah sakit tersebut.

To be continue...