JEALOUS?

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jimin hanya melihat layar ponselnya yang menyala karena pemberitahuan pesan dan panggilan dari Jungkook. Ia tak berniat untuk membalas pesan maupun mengangkat panggilan itu, lantaran tidak mau berinteraksi lebih dengan pria Jeon tersebut. Ya, ia bertekad untuk tetap menjaga jarak dengan ayah kandung Corbyn dan akan berinteraksi seperlunya saja.

Ketika tiba di rumah sakit jiwa, Jimin segera menggandeng tangan Corbyn untuk berjalan menuju taman. “Your hands are cold. Why?” Ia melayangkan pertanyaan pada Corbyn karena tangan putranya yang dingin, padahal udara pagi ini tidak terlalu dingin.

“Hm? Nothing, Pa.”

“Don’t lie.” Jimin berhenti, ia setengah berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Corbyn. “Are you nervous? Or you don’t want to meet them?” Ia melayangkan pertanyaan. “Kalo iya, kita pulang aja,” lanjutnya. Ia mendapatkan respon gelengan kepala dari Corbyn.

“I’m okay, Papa.” Corbyn meyakinkan papanya. “A-and, y-yeah, I’m a little bit nervous hehe.”

“Haduh, bocil. Ada papa di sini. Lagian cuma ketemu. Gak usah nervous.”

Jimin meraih tubuh Corbyn untuk digendong, kemudian ia melanjutkan langkah kakinya. Ia berdiri dengan ekspresi wajahnya yang datar ketika tiba di taman, sebab matanya disuguhkan pemandangan Jungkook yang setengah berlutut di depan Minji—yang duduk di kursi taman.

“Itu tante cantik dan om dokter ganteng..” Corbyn segera menutup mulutnya ketika sadar bahwa ia salah menyebut. “Ups, maksudnya ibu dan ayah.”

Tiba-tiba saja nafas Jimin memburu, rahangnya mengeras. Rasanya ia akan meledak sekarang juga, namun tentu dirinya berusaha menahan semua itu. Untung saja ada Namjoon yang datang menghampiri untuk ikut dalam pertemuan pagi itu. Sehingga Jimin sedikit rileks dan berjalan menghampiri Jungkook serta Minji.

“Jungmin! Jungmin!” Minji memekik senang ketika matanya menemukan keberadaan Corbyn. Wanita itu berdiri dan segera memeluk Corbyn. “Tumben pagi-pagi Jungmin udah jengukin ibu,” ucapnya riang. “Ibu seneng Jungmin datang ke sini.”

“I-iya.. Ibu..” Corbyn menjawab dengan nada canggungnya.

“Jungmin, lihat!” Minji meraih boneka beruang besar berwarna coklat susu yang baru dibeli Jungkook. “Ayah tadi bawa ini. Buat Jungmin ya? Suka ’kan?” Ia menggoyang-goyangkan boneka itu, kemudian memberikannya pada Corbyn.

“I-iya, Corbyn–Ups, Jungmin.. S-suka.”

“Bilang makasih ke ayah, ayo ayo!” Minji memekik dengan nada riangnya seperti anak kecil—lebih tepatnya khas nada orang gila.

“Makasih ayah.” Corbyn menatap ke arah Jungkook sembari memberikan senyuman manisnya.

Hati Jungkook merasa hangat, akhirnya anak yang ia kira sudah pergi meninggalkannya di dunia ini, ternyata masih hidup, bahkan memanggilnya dengan sebutan ‘ayah.’ Ia membawa tangannya bergerak untuk mengelus surai kepala Corbyn, “Sama-sama anak ayah.”

Minji tertawa riang, ia menggandeng Corbyn untuk diajak bermain boneka dan balon-balon yang ada di dekat kursi taman. Sementara Jungkook segera menghampiri Jimin serta Namjoon yang sedari tadi hanya melihat interaksi Corbyn dan kedua orang tua kandungnya.

“H-hai.” Jungkook mencoba menyapa Jimin, namun tentu saja mantan kekasihnya itu enggan merespon, alih-alih membuang muka.

“Corbyn! Papa mau ke kantin dulu, ya? Kamu di situ aja. Nanti papa beliin susu pisang.” Jimin berteriak, sontak putranya segera merespon dengan anggukan. Berikutnya ia segera meninggalkan taman untuk berjalan menuju kantin, tanpa peduli berpamitan dengan Jungkook maupun Namjoon.

“Sabar. Jimin udah gak kayak dulu. Dia udah keras. Gue rasa lo akan susah untuk bisa akrab dengan dia lagi.” Namjoon baru berani membuka suara ketika sudah tidak ada Jimin.

“Iya kak, hati dan kepribadian dia udah sekeras batu, tapi seenggaknya gue akan tetap berusaha baik ke dia meskipun gak direspon sama dia.”

Namjoon hanya terkekeh, tangannya memberikan tepukan pelan di punggung Jungkook untuk menghibur. “Lo susulin Minji sama Corbyn aja sana. Gue mau nyamperin Jimin. Kasihan dia sendirian di kantin.”

Jungkook mengangguk pelan, ia melangkahkan kaki untuk menghampiri Minji dan Corbyn, sementara Namjoon menyusul Jimin.

“Kerjaan kamu bisa ditinggal, Ji? Kok kamu pagi-pagi gini sempet-sempetin nemenin Corbyn ke sini?” Namjoon bertanya basa-basi, ia mulai duduk di kursi samping Jimin.

“Semenjak Corbyn sakit, aku emang agak ngurangin pergi ke kantor, paling kalo malem lembur di rumah buat ngecekin laporan-laporan yang dikirim ke e-mail ku. Sekarang itu bocil juga masih pemulihan dan belum bisa sekolah lagi, jadi ya mumpung bisa, aku temenin aja.”

“Oh.” Namjoon mengangguk pelan.

“Kak Namjoon ngapain di sini sama aku? Gak kerja?”

“Aku dapet shift siang nanti, tapi sengaja pagi-pagi karena diajak Jungkook sih. Di sini nemenin kamu karena kamu sendirian lah. Kasihan kayak anak SD yang ilang.” Namjoon tertawa di akhir kalimatnya.

Jimin mendengus, tangannya bergerak memukul lengan kakak tingkatnya semasa SMA dulu. “Aku gak nyangka akan milih ngelakuin ini, kak.” Ia mulai buka suara mengenai keputusannya yang memperkenalkan Corbyn dengan orang tua kandungnya. “Aku gak tahu, ini keputusan yang tepat atau enggak,” imbuhnya.

“Kalo menurutku, ini keputusan yang tepat. Corbyn harus tahu orang tua kandungnya siapa, untuk menghindari konflik kamu dengan dia di masa depan kalau misalnya dia tahu kebenarannya.”

“You know, serapat-rapatnya kamu menyembunyikan fakta, pasti suatu saat juga akan terungkap. Jadi menurutku pilihan kamu yang ini udah tepat.”

“Lagipula aku pikir ini udah saatnya kamu damai sama Jungkook dan Minji. Damai sama masa lalu—” Namjoon menghentikan perkataannya ketika melihat Jimin yang tertawa getir.

“Sebagai mantan orang gila, ngelakuin itu sangat susah.” Jimin membuka botol minumnya, kemudian segera meneguknya. “Dan aku yakin, kak Namjoon udah tahu kalo aku pernah jadi pasien setelah aku ketemu dokter Lee, terus kakak ngasih tahu Jungkook.”

Jimin memang sudah diberi tahu oleh ayahnya bahwa Jungkook datang menemui dan mengetahui fakta bahwa dirinya pernah gila.

“Aku bener ’kan, kak?”

Namjoon tersenyum canggung karena ketahuan. “Maaf kalo aku lancang. Waktu itu aku penasaran, makanya nanya sama susternya Prof. Lee.”

“No worries.”

“Sebagai psikiater, aku tahu kalo keputusan yang kamu ambil ini sangat berat kamu lakuin. Tapi menurutku ini cara terbaik. Aku rasa kamu harus berani untuk keluar dari zona masa lalu yang menyakitkan, mulailah move on dan berdamai. Percaya deh, pelan-pelan nanti kamu bisa ngerasa tenang.”

“I know right? That’s what dr. Lee said to me,” ucap Jimin sembari menggertakkan giginya. Sedari tadi ia fokus menatap ke arah taman. Ada perasaan marah dalam diri Jimin kala melihat Jungkook dan Minji yang tertawa bahagia bersama Corbyn.

“Kalo cuma ngasih saran mudah banget, kak.” Jimin berdiri, ia meraih beberapa kotak susu pisang yang tadi dibelinya, kemudian memasukkan ke dalam tas selempangnya. “Tapi ini berat, sangat berat buat aku.” Ia melangkahkan kaki meninggalkan kantin untuk menuju ke taman.

“J-jimin! Jimin!” Namjoon panik ketika ia melihat ekspresi kelam di wajah Jimin, pun adik tingkatnya itu berjalan dengan cepat dan penuh amarah. Buru-buru ia mengikuti langkah Jimin.

Jimin menarik tubuh Corbyn secara paksa, kemudian menggendongnya. “Udah cukup. Ayo pulang.”

“Aaaa Jungminku mau dibawa ke mana?” Minji mulai merengek. “Jungmin, Jungminnya ibu! Siniin Jungmin huwee,” tangis wanita itu pecah ketika Jimin sudah berjalan cepat untuk pergi membawa Corbyn.

“Jimin, ini belum ada satu jam—”

“Jangan diikuti. Biarin dia pergi.” Namjoon menghentikan langkah Jungkook yang hendak berlari menyusul Jimin. Sementara Minji yang tantrum sudah ditangani oleh beberapa perawat.

“Kak—”

“Menurut gue Jimin cemburu.” Namjoon memotong perkataan Jungkook.

“Lo pasti sadar kalo Jimin masih sangat cinta ke elo. Tatapan dia waktu lihat lo sama Minji yang ketawa bareng Corbyn bikin dia marah, dia cemburu.”

“Kasih dia waktu. Untuk milih ngenalin Corbyn ke lo sama Minji butuh keberanian dan effort yang gede.”

Jungkook memejamkan matanya, saat itu juga beberapa buliran bening berjatuhan membasahi wajahnya. Ia menjambak rambutnya sendiri dan mulai berjongkok. Memikirkan segala permasalahan ini membuat kepalanya pening luar biasa. Namun ia setuju dengan semua perkataan Namjoon, sekarang dirinya hanya harus bersabar dan memberikan waktu untuk Jimin. Ia tak mau memaksa, pun berusaha mendekati Jimin dan Corbyn. Ia akan menunggu sampai Jimin benar-benar siap untuk berdamai.


“P-papa kok nangis? Kenapa?” Corbyn panik, ia menangkup wajah Jimin yang memangkunya. Sekarang mereka berdua sudah di dalam mobil dan perjalanan untuk pulang.

“G-gak, papa tiba-tiba ngerasa gak enak badan. Papa pengen pulang, pengen bobo sambil peluk Corbyn, boleh?”

“Ya boleh dong! Tapi papa jangan nangis ya? Corbyn sedih lihat papa nangis.”

“Papa nangis karena dada papa rasanya sakit banget, sakit banget, s-sakit. Papa gak kuat.”

“O-oh? Papa mau ke rumah sakit ya? Corbyn minta pak supir untuk—”

“Gak usah, papa cuma mau bobo sambil meluk Corbyn. Itu aja.”

Jimin memeluk erat tubuh Corbyn. Ia menghentikan isakannya agar putranya tak panik, namun air matanya tetap mengalir deras. Ia membenci dirinya sendiri yang terlalu lemah untuk menghadapi ini semua, bahkan tak sanggup untuk sekedar melihat Jungkook tertawa bahagia bersama Minji dan Corbyn.

“I hate them being happy together. I hate it.”

Bersambung...