LET-OFF

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jimin tengah tertidur pulas sembari memeluk Corbyn yang juga memejamkan mata. Namun sayang sekali indera pendengaran pria Park itu menangkap suara keributan sampai ia terbangun. Pelan-pelan, ia melepaskan pelukan Corbyn, kemudian keluar ke ruang tamu kamar inap tersebut.

Jimin mengernyitkan keningnya kala menangkap raut pengasuh Corbyn yang panik. Memang saat ini Jimin dan Corbyn hanya ditemani pengasuh, lantaran ayah serta ibu Park tidur di rumah. “Kenapa, sus? Ini udah tengah malem kok masih melek?” tanyanya penasaran.

“O-oh, gak kenapa-napa kok pak, saya emang lagi gak bisa tidur. Pak Jimin kenapa bangun? Butuh apa, pak? Bilang saya.”

Jimin tak merespon pertanyaan pengasuh, alih-alih segera membuka pintu kamar inap, lantaran sedari tadi wanita di hadapannya itu melihat ke arah pintu.

“I-itu pak, ada dokter Jeon. Tadi mau masuk ke sini, tapi saya tutup lagi kok pintunya. Saya sendiri heran, kok bisa ya malam-malam ke sini?” Akhirnya pengasuh membuka suara dengan posisi Jimin sudah melihat sosok yang dimaksud.

Jimin tak tahu harus memasang ekspresi seperti apa, tatapannya hanya datar ke arah Jungkook yang terlihat mabuk. Pun, di sekitar pria Jeon tersebut ada dua satpam yang berusaha menyeretnya keluar.

“Oh! Itu Jimin!” Jungkook memekik sembari menunjuk ke arah Jimin, ekspresi dan suaranya khas sekali sedang mabuk. “Itu, saya mau ketemu dia, pak.” Jungkook menghempas tangan dua satpam yang hendak membawanya keluar.

“Lepasin, pak. Biar saya yang bawa dia keluar.” Jimin berkata pada dua satpam di depannya.

“Tapi pak—”

“Gak apa-apa. Biar saya yang urus,” ucap Jimin dengan sopan. Sebelum berjalan ke arah Jungkook, ia berpesan pada pengasuh, “Jaga Corbyn, saya mau urus dia bentar.”

Berikutnya Jimin menghampiri Jungkook, kemudian menuntunnya untuk berjalan keluar menuju ke taman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Jungkook selalu tersenyum bahagia layaknya anak kecil yang permintaannya dituruti. Pria Jeon itu mengoceh acak, namun Jimin hanya diam.

Saat tiba di taman rumah sakit, Jimin membuat Jungkook duduk di kursi, pun ia juga ikut mendudukkan bokongnya di samping.

“Kenapa ada dokter kerjaannya mabuk dan bikin rusuh di rumah sakit lain gini?” Jimin membuka suara dengan nada dan tatapan yang muak kepada Jungkook.

“Pengen ketemu Corbyn, pengen ketemu Jimin, pengen peluk.” Jungkook mengoceh, sementara Jimin hanya diam.

“Pengen minta maaf sama Jimin hik aku hik banyak salah hik Jimin maafin hik aku.” Perkataan Jungkook terputus-putus karena pria Jeon itu cegukan akibat terlalu banyak minum soju yang membuatnya mabuk berat.

“Aku salah... hik... Gimana cara dapat maaf dari kamu, Jimin?”

“Aku salah... Hik... Harusnya aku gak nurutin mau orang tuaku... harusnya aku gak bertindak gini... hik...”

“Hik andai aku gak nyerah... hik semua gak akan kacau kayak gini... Kita pasti udah hidup bahagia bersama hik...”

Jimin hanya diam mendengar ocehan Jungkook. Mata pria Park itu juga melihat gerak-gerik Jungkook yang telah menangis dan berlutut di depannya. “Jimin hiks maaf, posisiku juga sulit hik... Maaf karena aku pengecut hik... maaf.” Pria Jeon itu menangis dan memohon maaf, namun masih dalam keadaan mabuk parah. Jimin pun hanya diam kala Jungkook menumpukan kening sembari menunduk pada kedua pahanya.

“Jimin, bukan cuma kamu yang sakit hik aku juga... hik...”

“Aku lelah hidup dalam rasa bersalah... Aku semakin ngerasa bersalah setelah tahu kalau kamu culik Jungmin...”

“Andai aku gak ninggalin kamu, pasti gak akan ada kejadian seperti ini. Pasti aku gak bikin Minji gila, pasti aku gak bikin kamu sedih dan jadi bertindak jahat... hiks... andai...”

“Jimin, aku harus gimana? Aku pengen nyerah, aku pengen mati, tapi aku harus nebus rasa bersalahku ke kamu dan Minji. Aku gak mau hidup dalam rasa bersalah, tapi aku juga gak tahu cara bikin kalian gak sakit lagi... Hiks... aku harus gimana?”

Curhatan diiringi tangisan Jungkook terdengar sangat pilu, namun Jimin masih bergeming. Ekspresi Jimin memang datar, namun matanya telah berkaca-kaca dan merah. Jujur, dada Jimin terasa nyeri melihat keadaan Jungkook seperti sekarang. Namun tentu ego Jimin itu masih tinggi, ia tak mau luluh begitu saja pada pria yang telah menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping.

“Hiks aku harus gimana? Aku pengen kamu dan Minji sama-sama bahagia, dengan begitu aku gak perlu ngerasa bersalah lagi. Aku pengen Corbyn juga tetap tumbuh baik dan bahagia. Aku pengen Minji tahu kalau Corbyn masih hidup, aku pengen dia sembuh sehingga aku bisa lepasin dia dalam keadaan dia udah baik. Dengan begitu aku bisa pergi dengan tenang.”

“Tapi gimana caranya? Gimana cara bikin keinginanku semua itu terwujud? Hiks, Jimin, kasih tahu aku, aku harus gimana?” Jungkook menangis sesenggukan dengan kepalanya yang masih tertidur di atas kedua paha Jimin.

Jimin masih bergeming, namun air matanya sudah turun membasahi wajahnya. Banyak yang mengatakan bahwa curhatan orang mabuk berisi kejujuran dari hati paling dalam, sehingga setiap perkataan Jungkook mampu membuat dada Jimin ikut terasa nyeri.

“Udah lama, lama banget. Aku udah lepasin kamu, aku udah relain kamu sama dia, tapi kenapa rasanya masih sakit setiap dengar kamu nyebut nama dia? Kenapa rasanya masih sakit ketika dengar kamu peduli sama dia?” Bibir Jimin bergetar, pun suaranya sangat lirih. Ia berani membuka suara karena masih ingat kebiasaan Jungkook ketika sangat mabuk, maka esok ketika sadar tak akan mengingat apapun.

“Jungkook, aku pengen move on. Aku pengen buka hati untuk orang lain, tapi kenapa gak bisa? Kenapa aku bodoh banget masih nyimpan perasaan buat kamu? Kenapa kamu harus bikin aku secinta ini sama kamu? Aku juga capek hidup kayak gini. Aku masih gak percaya semua ekspektasi hidup happy ending cinta kita bisa hancur gitu aja.”

“Aku gila karena cinta kamu. Aku juga capek. Aku capek banget.”

“Tapi aku udah gak berharap bisa hidup sama kamu lagi. Aku udah tenang dan bahagia sama Corbyn. Please, don’t take him away from me.”

“Aku benci banget sama wanita itu, aku gak akan bisa lihat dia lagi apalagi biarin Corbyn ketemu dia. Aku gak bisa. Please jauhin aku sama Corbyn. Biarin aku hidup tenang. Aku gak berharap kamu balik karena aku udah punya ganti kamu. Biarin aku hidup bahagia sama anakku. Cuma itu aja yang aku mau.”

Jimin memang sudah merelakan Jungkook bersama Minji. Namun bukan berarti ia bisa melupakan rasa sakit yang diberikan pria Jeon itu. Pun, ia sangat membenci Minji karena wanita itu yang dinikahi dan mendapatkan perhatian begitu besar dari Jungkook. Ya, Jimin memang masih cemburu hingga detik ini.

“Urus aja wanita itu, aku gak peduli mau dia gila atau apa. Yang jelas aku gak mau nyerahin Corbyn ke dia atau sekedar ketemu sama dia.”

Jimin menghapus air mata di wajahnya. Ia memindahkan kepala Jungkook dari pahanya. Berikutnya ia memosisikan tubuh Jungkook untuk tertidur di atas kursi taman, lantaran pria Jeon tersebut sudah tak sadarkan diri sejak beberapa menit lalu.

“Kamu bilang kamu mau tanggung jawab untuk istri kamu ’kan? Makanya aku udah gak berharap kamu kembali. Aku udah lepasin kamu. Jadi urus aja dia. Yes, I still loves you but I deserves a better life with my son, so...”

Jimin berjalan meninggalkan Jungkook yang terlelap di taman. Ia menuju ke pos satpam untuk memberi tahu agar memindahkan Jungkook ke sana lantaran di taman sangat dingin. Berikutnya, ia kembali ke kamar inap Corbyn dan memeluk putranya itu.

“I deserves to be happy, with you forever, my precious son.” Jimin mengecup kening Corbyn sebelum ikut terlelap kembali.

To be continue...