LIE
Bagian dari alternate universe Please, Love Me
Jade menghela nafas secara kasar usai membalas pesan dari Jeongguk yang mengatakan bahwa Charlotte ingin pulang. Ia merasa bersalah karena harus berbohong mengenai Jimin yang sibuk agar Charlotte tak pulang. Setelah memerintah asisten lain untuk pergi mengantar barang-barang Charlotte ke rumah Jeongguk, ia segera kembali ke kamar Jimin.
“Gimana keadaannya, dok?” tanya Jade pada dokter yang selesai memeriksa Jimin.
Memang, Jimin sedang terbaring lemas di atas kasur karena badannya demam, namun ia hanya meminta Oliver—dokter kandungan sekaligus sahabatnya—yang datang memeriksa. Ia menolak ajakan Jade sebelumnya untuk pergi ke rumah sakit karena takut disorot media. Pun, ia yang meminta Jade berbohong untuk merahasiakan sakitnya pada Jeongguk dan Charlotte.
“Tekanan darahnya tinggi dan kecapekan. Makanya sampe demam.” Oliver memberikan jawaban sembari menyuntikkan vitamin di selang infus Jimin. “Christian, gue rasa lo stress juga. Jadi, jangan stress. Kalo lo stress, kandungan lo bisa dalam bahaya,” ucapnya mengingatkan.
Christian hanya bergumam dan mengangguk lemas. Lain halnya Jade yang mendesah kasar.
“Dengerin kata dokter. Dibilang jangan kerja terus-terusan dan jangan stress. Lo sayang adek gak sih?” Jade mengomel.
“Gila lo?” Jimin menatap jengah ke arah asistennya. “Ya sayang lah. Anak gue sendiri,” lanjutnya.
“Makanya!” Jade dan Oliver berkata bersamaan, membuat Jimin mendengus.
“Oliver, lo udah belum sih? Cepetan pulang sana kalo udah. Gue ngantuk banget ini gara-gara diinfus.”
“Bagus, udah diperiksa malah ngusir.” Pria yang juga berasal dari Korea dan bermarga Ong tersebut mendengus sebal. “Obatnya di sini semua ya. Harus diminum biar cepet sembuh,” ucapnya sembari menunjuk beberapa obat untuk Jimin di atas nakas. “Ntar beberapa jam lagi gue suruh perawat dateng ke sini buat ngecek keadaan lo,” imbuhnya.
“Iya, thanks. Udah sana, pergi. Gue ngatuk.”
“Iya ini gue mau pergi. Inget, jangan kebanyakan pikiran, istirahat yang cukup, dan makan teratur kalo lo pengen sehat dan kandungan lo baik-baik aja.” Setelah berkata demikian, Oliver berpamitan untuk pergi dari rumah Jimin.
“Christian, lo gak bisa terus-terusan kayak gini.” Jade membuka suara setelah kepergian Oliver. “Jangan stress kalo lo gak mau kandungan lo kenapa-napa,” lanjutnya.
“Jangan sampe kejadian waktu hamil Charlotte terulang kembali. Inget, lo dulu terlalu stres sampai hampir kehilangan Charlotte. Jangan sampe kejadian di adek.”
“Shut up, Jade.”
“Gue ngomel demi kebaikan lo, Christ.” Jade sedikit meninggikan suaranya pada sahabat sekaligus bosnya.
“Udah dong, Christ. Stop it all. Berhenti siksa semuanya. Lo bukannya ngerasa lega, justru ngumpulin sakit buat lo sendiri. Demi kebaikan lo sendiri dulu deh. Please, stop.”
Jimin membuang muka ke samping, satu butir air matanya jatuh membasahi wajahnya tanpa permisi. “Lo yang paling tau gue. Lo seharusnya ada di pihak gue, Jade,” suaranya bergetar, mencoba menahan tangis namun nyatanya tak sanggup.
“Jade, gue juga gak mau kayak gini. Tapi gue gak mau berhenti.”
“Astaga, Park Jimin.” Jade menjambak surainya sendiri. “Bahkan lo tahu sendiri kalo tingkah lo ini gak ada baik-baiknya loh, yang ada malah lama-lama senjata makan tuan,” ucapnya kesal.
“Lo pikirin dong perasaan Justin dan Charlotte. Mungkin Charlotte emang masih kecil dan gak tahu apa-apa, tapi kalo gede ntar gimana? Gimana juga adek kalo udah gede?”
“Christian, Justin itu sebaik-baiknya pria. Dia sosok ayah yang sangat baik buat Charlotte. Selama hampir enam tahun ini dia juga setia sama lo, setia nungguin lo. Sabar ngadepin lo. Apa hati nurani lo bener-bener gak kasihan sama Justin?”
“Dan sikap Justin yang sekarang itu dia udah nyerah, stok sabar dia udah habis sampe muak sama lo. Apalagi lo cuma diem aja gak mau ngasih penjelasan ke dia masalah rumor itu.”
“Rumor itu bener.” Akhirnya Jimin kembali membuka suara. “Gue emang pengen punya anak lagi dan itu harus sedarah sama Charlotte,” lanjutnya.
“Tapi lo cinta sama dia, bukan semata-mata anggap dia sebagai bank sprema doang.”
“Jade, gue ngantuk.”
“Jangan alihin pembicaraan dulu, Christian.” Jade memohon.
“Gue kayak gini karena gue sayang sama lo. Gue gak mau sahabat gue kenapa-napa. Berhenti denial. Berhenti nyakitin Justin. Lo cinta sama dia, makanya kejar balik. Jujur ke dia, jelasin semuanya ke dia.”
“Lihat keadaan lo sekarang, lo sakit karena—”
“Karena gue kelelahan, Jade!” Jimin memotong.
“No, Christian!” Jade sedikit berteriak.
“Lo sakit karena mikirin perubahan sikap Justin. Lo sakit karena ada masalah sama Justin. Lo sakit karena mikirin Justin yang gak mau berurusan lagi sama lo. Lo harus sadar ini.”
“Lupain balas dendam lo. Jangan balas dendam lagi ke Justin, dia gak tahu apapun. He’s innocent, Christian.”
Jimin hanya diam dan kembali membuang muka ke samping. Ia terisak, wajahnya basah karena air matanya yang terus-terusan keluar.
Jade mendesah pelan, ia membawa tangannya untuk mengelus pundak Jimin yang tengah menangis.
“Jade, i can’t.”
“You can, Christ.”
“No, Jade. Please, jangan paksa gue. Gue gak bisa. Please, Jade. Tetap berpihak ke gue. Cuma lo yang ngertiin gue. Please?”
Jade menghela nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.
“Oke, oke. Tapi lo harus sembuh. Jangan banyak pikiran. Lo harus sehat, lo harus pastiin anak di kandungan lo baik-baik aja. Ya?”
Akhirnya Jade memutuskan berhenti berusaha membuat Jimin sadar. Seharusnya ia sadar bahwa Jimin sangat keras kepala. Sekeras apapun ia berusaha membuat Jimin sadar, sahabatnya itu tetap memilih terjebak dalam rasa sakit dan balas dendam.
“Hm.” Jimin bergumam pelan sembari mengangguk. Ia memilih segera memejamkan mata karena sangat mengantuk meskipun di pikirannya ada begitu banyak kekhawatiran.
“Sorry, Justin. Sorry, Charlotte. Sorry, adek.” Jimin membatin sebelum ia benar-benar pergi ke alam mimpi.
Bersambung...