LOOK BACK

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Content warning: contain homophobic


Flashback—7 years ago: START

Semenjak lulus kuliah Manajemen Bisnis setahun lalu, Jimin memilih membuka bisnis sendiri di Seoul. Jimin membuat café yang terletak di wilayah Gangnam. Pun, bisnis tersebut cukup ramai pengunjung kalangan anak muda. Usaha yang terbilang sukses itu membuat Jimin semakin semangat bekerja agar bisnisnya menjadi lebih besar.

“Bos, ada tamu,” ucap salah satu karyawan yang masuk ke ruang kerja Jimin.

“Siapa?”

“Perempuan, katanya temennya bos.”

Jimin menaikkan sebelah alisnya, seingatnya, teman-teman perempuannya akan langsung masuk ke ruang kerjanya jika berkunjung. “Suruh ke sini,” ucapnya pada karyawan.

Tak lama kemudian, tamu yang dimaksud karyawan tadi langsung diantar ke dalam ruang Jimin. Karyawan yang mengantar pun segera menutup pintu dan pergi dari ruangan tersebut. Awalnya Jimin fokus pada laporan-laporan bulanan, namun ketika tamu yang dimaksud telah masuk ke dalam ruangannya, ia memasang ekspresi tak bersahabat.

“Hai? Park Jimin?” sapa perempuan yang mengaku sebagai sahabat Jimin. “Dilihat dari ekspresi kamu, kayaknya kamu udah tahu siapa aku ya?” ucapnya santai diiringi kekehan pelan.

“Meskipun gitu, aku mau ngenalin diri sendiri. Aku Minji, Lee Minji,” ucap perempuan itu memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan kepada Jimin untuk diajak bersalaman. Namun sayang, Jimin tak acuh.

Minji tersenyum meskipun mendapat sambutan tak baik dari Jimin. Ia langsung mendudukkan bokongnya di kursi ruang kerja Jimin, meskipun si tuan rumah tak mempersilahkan. “Café kamu bagus banget desainnya. Pantes rame banget,” ucapnya sembari memandang seluruh sudut ruang kerja Jimin.

“Aku salut sama kamu. Orang tua kamu punya usaha besar, tapi kamu memilih merintis bisnis sendiri. Keren,” puji Minji.

“Mau apa kamu ke sini?” Akhirnya Jimin membuka suara.

“Enggak, aku cuma mau kenalan sama temennya calon suamiku. Mungkin nanti kita bisa berahabat baik—”

“Boyfriend, I am Jungkook’s boyfriend.” Jimin memotong perkataan Minji. Pria Park itu memang sudah tahu wajah Minji karena selama satu tahun belakangan ini, Jungkook—kekasih Jimin—telah memberi tahu perihal perjodohan dengan perempuan tersebut. Namun, ini pertama kalinya ia dan Minji bertemu secara langsung. Meskipun dijodohkan, Jungkook sudah berjanji pada Jimin bahwa ia tak akan mau menerima perjodohan itu dan akan tetap memperjuangkan hubungan mereka.

Minji hanya tersenyum, ia meraih cangkir berisi teh—yang sebelumnya disiapkan untuk tamu—untuk diminum.

“Jimin, bukannya aku kontra dengan hubungan sesama jenis. Tapi hubungan kamu sama Jungkook gak akan memiliki happy ending,” ucap Minji dengan sangat tenang, lain halnya Jimin yang telah mengeraskan rahangnya karena tersinggung.

“Jungkook adalah anak tunggal. Ayah dan ibunya ingin generasi penerus dari darah keluarga Jeon. Caranya mewujudkan impian itu adalah Jungkook menikahi perempuan, bukan laki-laki.”

“Aku ke sini gak mau cari ribut, aku cuma memperingatkan kamu untuk mundur pelan-pelan daripada nanti kamu kecewa. Karena hubungan kamu dan Jungkook gak akan berakhir baik. Jungkook tetap akan menikahi aku.”

“Lebih baik kamu lepasin Jungkook, jangan ikat dia. Kasihan ayah dan ibunya kalo anaknya kamu ikat terus. Jangan bikin Jungkook durhaka sama orang tuanya.”

Sedari tadi Jimin mengepalkan kedua tangannya, pun mengeraskan rahangnya. Ia mencoba semaksimal mungkin untuk mengontrol emosinya agar tak menyakiti perempuan di depannya.

“Udah ngocehnya? Asal kamu tahu, Jungkook sangat cinta sama aku. Dia juga udah janji untuk memperjuangkan hubunganku sama dia. Dan aku juga akan berjuang meminta restu ke orang tuanya. Jadi kamu gak usah khawatir. Sekarang silahkan keluar dari ruanganku—”

“Enggak, sebelum kamu sakit hati lebih parah, lepasin Jungkook. Mau percaya atau gak itu terserah kamu, tapi kamu dan Jungkook gak akan memiliki happy ending. Yang akan dinikahi Jungkook adalah aku, Lee Minji yang akan jadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya. Yang diinginkan ayah dan ibu Jeon sebagai menantu juga aku, Lee Minji, bukan kamu.”

“Keluar!” Jimin berteriak marah, baru kali ini selama seumur hidupnya ia emosi seperti demikian.

Minji hanya tersenyum tenang. “Manajemen emosi kamu ternyata buruk ya?” Ia terkekeh pelan. “Oke, mungkin itu aja. Aku harap kamu ingat setiap kata-kataku dan siap mental sebelum ditinggal pergi sama Jungkook. Oh ya, maaf udah ganggu waktu kamu, aku pergi.” Perempuan bermarga Lee itu segera keluar dari ruangan Jimin.

Setelah Minji keluar dari ruangan, Jimin meraih cangkir teh tadi kemudian ia lempar ke arah pintu. Tangan Jimin bergetar, pun matanya memerah karena tangisannya akan keluar. Seumur hidup, ini pertama kalinya Jimin merasakan emosi seperti demikian.

“G-gak, Jungkook gak akan ninggalin aku.” Jimin menyeka air matanya, kemudian bergegas pulang ke apartemen tempat ia dan Jungkook tinggal. Ia dan Jungkook memang sudah tinggal bersama di sebuah apartemen sejak tahun lalu. Jika Jimin membuka usaha café, Jungkook disibukkan koas di salah satu rumah sakit karena pria Jeon itu adalah lulusan pendidikan dokter.

Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Jimin untuk melakukan perjalanan dari café ke apartemen. Pria Park itu buru-buru menuju ke unit apartememnya, jantungnya berdegup cepat kala mendapati Jungkook yang memegang dua koper.

“S-sayang? Kamu mau ke mana?”

“J-jimin, aku—”

“Jimin? Ih jangan bercanda deh. Gak lucu. Sejak kapan kamu panggil aku pake namaku.” Jimin mencoba menepis rasa takutnya, pun mengingatkan agar Jungkook memanggilnya seperti biasa dengan panggilan ‘baby.’

“Jimin, maaf—”

“Maaf apa sih, sayang? Kamu gak bikin salah kok.” Jimin tetap mencoba santai, ia mengalungkan kedua tangannya di leher Jungkook, kemudian mengecup bibir tipis prianya itu.

“Aku mau cerita. Masa tadi Minji, perempuan yang kamu bilang mau dijodohin sama kamu itu nyamperin aku di café. Dia pede banget bilang kalau kamu mau nikahin dia. Ck, gak mungkin banget lah. Orang kamu cintanya sama aku. Iya ’kan, sayang?”

“Jimin... M-maaf, aku minta maaf.” Jungkook melepas pelukan Jimin pada tubuhnya.

“S-sayang, kamu kenapa nangis sih?” Jimin buru-buru menghapus buliran air mata pada pipi Jungkook menggunakan kedua ibu jari tangannya.

“Jimin, aku minta maaf. Kita selesai aja ya. Aku gak bisa lanjutin hubungan ini. Maaf.”

“Huh? Haha sayang, kamu jangan bercanda dong. Gak lucu ih.”

“J-jimin... ak—aku gak bercanda. Aku serius, kita selesai sekarang. Aku harus pergi—”

“Sayang, kamu kenapa tiba-tiba gini sih? Kamu udah janji sama aku kalo kamu mau perjuangin aku.”

“Iya, aku pikir aku bisa tapi aku.... Aku gak bisa. Jimin, kamu tahu sendiri, aku anak tunggal. Ayah dan ibuku ingin aku bisa ngasih keturunan untuk keluarga Jeon dengan cara nikahin perempuan, jadi—”

“Oke, kita akan cari cara. Aku akan berubah jadi perempuan, mungkin bisa operasi biar punya rahim dan nanti aku bisa lahirin penerus keluarga Jeon. Kita akan cari cara, aku akan berusaha dapat restu orang tua kamu. Jadi tenang dulu, oke?”

“Jimin...” Air mata Jungkook mengalir deras, bahkan ia tak sanggup menatap Jimin yang tanpa pikir panjang rela berubah menjadi perempuan.

“Sayang, udah dong. Jangan nangis. Kita usaha lagi, ya?”

“Jimin, maaf, gak bisa. Aku dulu udah cerita ke kamu ’kan? Keluargaku berhutang budi sama keluarganya Minji, bahkan di saat sekarang Minji sebatang kara, mau gak mau aku harus nikahin dia karena orang tuaku merasa bahwa Minji udah jadi tanggung jawab mereka. Orang tuaku sayang banget sama dia dan minta aku nikahin dia. Jadi maaf, aku sangat minta maaf karena gak bisa lanjutin hubungan kita. Maaf.”

“Jungkook...” Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya Jimin kembali memanggil kekasihnya menggunakan namanya. “Kamu udah janji sama aku kalo kamu gak akan ninggalin aku, kalo kamu gak akan nyerah perjuangin aku,” ucapnya mengingatkan.

“Jungkook, kita udah berhubungan dari SMA sampai lulus kuliah dan kamu mau hancurin hubungan kita karena perjodohan gila ini?”

“Maaf... Aku gak punya pilihan lain, Ji.”

“Bahkan setelah aku setia nemenin kamu berjuang mati-matian masuk kedokteran hingga jadi dokter, kamu tega ninggalin aku demi perempuan arogan itu?”

“Jimin...”

“Selama delapan tahun ini, kamu anggap aku apa? Kamu tega ngorbanin cinta yang udah kita bangun selama delapan tahun ini demi perjodohan sialan itu?”

“Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku gak punya pilihan lain. Aku gak bisa nolak permintaan orang tuaku. Maaf, Ji. Aku berdoa supaya setelah ini kamu nemu pasangan yang baik—”

“Aku gak butuh siapa-siapa. Aku cuma mau kamu, Jungkook!” Jimin berteriak marah, bahkan wajahnya sudah banjir air mata kekecewaan.

“Aku gak butuh maaf kamu. Aku cuma pengen kamu stay with me!”

“M-maaf, aku harus pergi.” Jungkook melangkahkan kakinya dengan berat hati sembari menarik dua kopernya.

“G-gak. Jangan pergi! Jungkook ini rumah kita. Kamu gak boleh pergi dari rumah kita!”

Jungkook menunduk, tak sanggup melihat Jimin. Ia memilih meneruskan langkahnya, namun betapa terkejutnya ia saat Jimin berlutut di hadapannya.

“Jimin, jangan gini.” Jungkook menarik tubuh Jimin agar berdiri, namun pria Park di hadapannya itu menolak.

“Jungkook, aku mohon jangan pergi, ya? A-aku... aku gak bisa bayangin hidupku tanpa kamu... Sayang, aku mohon jangan pergi. Aku cinta banget sama kamu, jangan pergi. Kamu juga cinta sama aku ’kan? So, please, don’t leave me. Please.”

Jimin memohon, ia menjatuhkan harga dirinya untuk berlutut di depan pria Jeon yang sangat dicintainya.

Jungkook ikut berlutut, ia menangis sejadinya sembari memukul temboknya sampai punggung tangannya berdarah. “Aku harus gimana, Ji? Aku gak bisa nolak permintaan orang tuaku. A...aku harus gimana lagi?”

Baik Jungkook dan Jimin menoleh ke arah pintu ketika pintu apartemen mereka terbuka, menampilkan orang tua si pria Jeon yang masuk.

“Jungkook, lama banget sih nak? Ambil baju doang.” Ibu Jeon mengomel. “Ini kenapa coba pake acara nangis-nangisan segala?” ucapnya dengan nada mengejek.

“Jungkook, ayo pulang. Minji udah nungguin di rumah loh. Tadi dia masak makan malam buat kita,” ajak ayah Jeon.

Jimin menghapus air matanya, berikutnya ia berdiri untuk menyapa orang tua Jungkook. “Om, tante—”

“Percuma kamu baik-baikin saya, saya gak akan pernah mau restuin hubungan kamu dan Jungkook. Saya gak mau anak saya nikahin laki-laki. Saya maunya anak saya nikahin perempuan yang bisa ngelahirin cucu untuk saya.”

“Ibu!” Jungkook sedikit meninggikan suaranya untuk menegur ibunya.

“Tante, saya bisa kok opera—”

“Jimin!” Jungkook memanggil dengan nada membentak, ia tak mau mendengar pria Park yang dicintainya itu mau merendahkan diri di hadapan orang tuanya.

“Mau apa? Opera..??”

“Ibu, ayah, ayo pulang. Aku udah selesai beresin barang-barangku.”

“Jungkook, please...” Jimin masih memohon.

“Ibu, ayah. Tolong keluar dulu. Aku janji nanti nyusul. Tolong.” Jungkook memohon, akhirnya ibu dan ayah Jeon terpaksa menuruti permintaan putra mereka dengan segera keluar.

Jungkook memegang kedua bahu Jimin, ia memberikan kecupan di seluruh wajah prianya itu terutama bibir plump kesukaannya.

“Jimin, aku bersumpah, aku sangat cinta sama kamu. Aku gak akan pernah cintai orang lain selain kamu. Kamu akan tetap jadi pemilik hatiku, tapi aku minta maaf, aku harus korbanin hubungan kita. Maaf, mungkin kita emang gak ditakdirkan bersama—”

“Jungkook, kamu tega? Kamu tega ninggalin aku demi perjodohan itu?”

“Maaf Jimin, aku benar-benar harus pergi. Kamu baik-baik ya?” Jungkook menarik kedua kopernya untuk keluar. “I love you, Jimin. I swear to God, I will always love you,” ucapnya sebelum menutup pintu apartemen.

Jimin mematung setelah kepergian Jungkook, air matanya masih mengalir deras membawahi wajah rupawannya. Malam itu ia hanya bisa menangisi kepergian Jungkook dari apartemen yang biasanya penuh canda dan tawanya bersama pria terkasih.


Delapan bulan berlalu.

Setelah kepergian Jungkook, pun ditinggal menikahi perempuan lain, Jimin semakin menyibukkan dirinya untuk mengurus bisnis. Ia merasa bahwa fokus pada bisnisnya bisa meredakan sedikit sakit hatinya. Padahal ada banyak perempuan maupun laki-laki yang berebut menjadi kekasih Jimin, namun pria Park itu lebih memilih menutup diri.

“Good evening, pretty.”

“Selamat datang di Serenphoria Café, mau pesan ap—Oh astaga, kak Namjoon! Kirain siapa.” Jimin memukul pelan lengan kakak kelasnya sewaktu duduk di bangku SMA itu yang berdiri di depan kasir.

“Paham, paham, yang sibuk ngitung duit.” Namjoon menggoda.

“Apaan sih?” Jimin berjalan keluar dari area counter kemudian meminta karyawannya untuk menggantikannya. Berikutnya ia duduk menemani Namjoon setelah mengatakan pesanan kakak kelasnya itu pada karyawannya.

“Kok sendirian aja kak?” tanya Jimin.

“Kenapa? Kamu berharap aku dateng sama Jungkook?”

“Ih enggak.”

Namjoon tertawa, “Jungkook lagi sibuk di RS, ini dia shift malem. Tadi pagi dia ngeluh pusing ke aku karena istrinya ngidamnya aneh-aneh, mana morning sickness istrinya parah banget, padahal udah jalan enam bulan.”

“H-hah?”

“Eh? Kenapa, Ji?”

“J-jungkook... istrinya... hamil?”

“I-ya, emang kenapa, Ji?” Jantung Namjoon berdegup kencang, ia takut melihat ekspresi Jimin yang berubah terkejut dan kecewa. “Ini gue salah ngomong? Jimin belum move on apa ya?” batinnya.

Namjoon panik ketika melihat tangan Jimin yang gemetaran. “J-jimin? Kamu kenapa? Are you okay?”

Jimin mengabaikan pertanyaan Namjoon, alih-alih ia berlari keluar dari café, kemudian pergi mengemudikan mobilnya menuju ke suatu tempat. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, Jimin tiba di tempat tujuannya. Ia berlari menuju ke tempat yang diyakininya adalah ruang kerja orang yang dicarinya.

“Jimin? Hai? Kamu ngapain ke sini malem-malem, ngos-ngosan pula—”

“Jungkook, kak Namjoon pasti salah ngomong ’kan?” tanya Jimin memotong, yang dicarinya memang Jungkook—mantan kekasih yang masih dicintainya.

“Kak Namjoon? Emang dia ngomong apa?”

“E-entah, gak jelas banget. Masa dia ngomong kalo Minji hamil. Gak mungkin ’kan?”

“J-jimin, k-kamu...”

“Kamu gak mungkin ngehamilin Minji ’kan? Jungkook! Jawab pertanyaanku!”

“A-aku... Jimin, aku kira kamu udah lupain aku... A-aku, iya, Minji hamil anak kami.”

PLAK

Jungkook merasakan panas pada pipi kanan dan kirinya yang ditampar dua kali oleh Jimin.

“J-jungkook, k-kamu...” Nafas Jimin terasa berat, ia memukul dadanya berkali-kali karena terasa nyeri, pun air matanya mengucur deras membasahi pipi tirusnya.

“J-jimin, aku gak paham kenapa kamu...” Jungkook tak melanjutkan perkataannya karena takut menyinggung Jimin.

“B-bentar, aku ambilin minum.” Jungkook hendak mengambil minum untuk Jimin, namun perkataan pria Park di hadapannya menghentikan langkahnya.

“Selama ini aku sabar. Aku masih setia nungguin kamu. A-aku... aku pikir kamu akan ceraiin Minji karena pernikahan kalian gak berhasil, karena kalian gak saling cinta. Aku pikir kamu akan kembali ke aku dan perjuangin aku. Aku berharap sangat besar setelah kamu bilang kalau cuma aku pemilik hati kamu, kalau kamu cuma cinta aku t-tapi... tapi ini apa? KAMU HAMILIN DIA?”

Jungkook tergagap, ia tak bisa merespon amarah Jimin. Ia tak menyangka Jimin akan semarah ini. Bahkan ia kira Jimin sudah bisa melupakannya setelah dirinya menikah dengan Minji.

“That’s mean that you... you already loves her? You don’t love me anymore?”

“Jimin, I always love you but—”

“No, you loved me. Now you don’t love me anymore!”

“Jimin, maaf—”

“I hate you Jungkook! Hiks I hate you! I hate you and your family!” Jimin berteriak murka, setelah itu ia berlari keluar dari ruang kerja Jungkook. Jungkook mengejar Jimin, namun mantan kekasihnya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Saat tiba di rumah, Jimin berlari ke kamarnya tanpa merespon pertanyaan kedua orang tuanya. Pun, sesampainya di kamar, ia membanting semua barang hingga berserakan di lantai. Ia menangis histeris memikirkan nasibnya, nasib ditinggalkan orang yang sangat dicintainya. Jimin memukul kepalanya sendiri, meratapi betapa bodohnya ia yang masih mengharapkan cinta dari pria yang tak mau memperjuangkan dirinya.

“Ya Tuhan, Jimin!” Ibu Park berteriak panik kala mendapati kaki dan tangan Jimin yang berdarah akibat terkena pecahan kaca.

“M-mama I I hate him, I HATE HIM!” Jimin berteriak marah sembari menangis histeris. Malam itu ibu dan ayah Park mencoba semaksimal mungkin untuk menenangkan putra semata wayang mereka.


Satu bulan berlalu, keadaan Jimin menjadi sangat mengenaskan. Badan pria Park itu semakin kurus, pun wajahnya yang sangat pucat disertai mata panda. Jimin menghabiskan hari-harinya hanya berdiam diri di kamar dan melamun, sesekali menangis sampai tertidur. Bisnis café Jimin terpaksa harus dialihkan pada bawahan ayah Park. Ia tak merespon siapapun yang mengajaknya berbicara, terutama kedua orang tuanya.

Ayah dan ibu Park sudah memanggil dokter, betapa terkejutnya mereka ketika Jimin dinyatakan depresi berat bahkan sudah bisa dikatakan gila. Pasangan itu tak sampai hati untuk membawa Jimin ke rumah sakit jiwa, oleh sebab itu, mereka hanya memanggil psikiater agar bisa membantu putra mereka meraih kesadaran penuh seperti biasanya. Namun hasilnya nihil, bahkan keadaan Jimin semakin memburuk.

“Papa, anak kita hiks anak kita kenapa jadi begini?” Ibu Park menangis meratapi nasib putranya. Wanita paruh baya itu bisa saja datang menghampiri Jungkook dan melayangkan tamparan berkali-kali karena telah menyakiti Jimin, namun ia masih memiliki harga diri untuk tak melakukan tindakan murahan seperti itu.

“Jimin, nak? Papa mohon, sadar ya? Masih ada orang baik yang bisa jadi pasangan kamu. Move on, ya? Lupakan dia. Papa mohon, sadar, nak.” Ayah Park menggoyangkan bahu Jimin, sayang sekali putranya itu hanya diam tak merespon, bahkan menatap kosong ke depan.

“Om? Tante?” Ayah dan ibu Park menoleh ketika mendengar suara Chaeyoung, sahabat Jimin semasa kuliah dan sekarang telah menjadi direktur keuangan di perusahaan milik keluarga Jimin.

“Chaeyoung! Chaeyoung! Bantu tante! I-ini teman kamu kenapa bisa gini hiks tante gak sanggup lihat anak semata wayang tante kayak gini hiks bantu tante. Bantu tante biar Jimin bisa sadar dan hidup normal kayak dulu. Tante mohon.” Ibu Park memohon frustasi pada sahabat Jimin.

Chaeyoung pun merasa hatinya teriris ketika melihat raut sedih ibu dan ayah Park. “Iya tante. Tante sama om yang sabar ya? Kita usaha biar Jimin bisa sadar.”

Ayah dan ibu Park keluar dari kamar Jimin lantaran ada Chaeyoung yang menemani putra mereka. Sementara Chaeyoung menitikkan air mata saat melihat keadaan sahabatnya yang mengenaskan.

“Jimin? Gue main nemuin elo nih. Maaf ya? Semingguan ini gue sibuk banget ngurus keuangan perusahaan bokap lo, makanya baru sempet main.”

Chaeyoung berlutut di depan Jimin yang duduk di pinggiran kasur. “Ji, gue sedih banget lihat lo yang kayak gini. Biasanya lo periang banget, kenapa bisa berubah drastis kayak gini?”

“Ji, bukan cuma orang tua lo dan gue doang yang sedih lihat lo kayak gini. Temen-temen kita yang lain juga tiap hari nangisin elo.”

“Ji, kita kangen banget sama elo. Pengen banget seru-seruan liburan sama elo lagi.”

“Ji, ayo dong. Balik kayak dulu lagi, hem?”

Air mata Chaeyoung mengalir semakin deras lantaran Jimin hanya diam menatap kosong ke arah depan, tak meresponnya sama sekali.

“Jimin, kenapa lo bodoh banget sih? Ngapain lo jadi gila kayak gini sedangkan Jungkook sama istrinya hidup bahagia bahkan mau punya anak? Hah?”

“Lihat diri lo sendiri. Lo menyedihkan, lo mengenaskan. Tapi Jungkook sama istrinya? Mereka hidup bahagia!”

“Jimin, denger gue. Denger gue baik-baik.” Chaeyoung meraih kedua tangan sahabatnya untuk digenggam.

“Elo gak boleh hidup kayak gini. Lo harus bahagia. Dan lo berhak balas dendam ke Jungkook dan keluarganya. Semua rasa sakit lo harus dibayar sama mereka.”

“Lo harus balas dendam. Buat mereka menderita.”

“G-gimana?” Jimin merespon dengan tatapan polos namun penuh penasaran.

Chaeyoung sangat terkejut setelah mendengar respon dari Jimin. Ia tak mengira, Jimin akhirnya mau membuka suara untuk merespon, meskipun tatapannya masih belum ‘Jimin’ sepenuhnya.

“Lo mau balas dendam? Gue bisa bantu kalo lo mau.”

Jimin mengangguk antusias layaknya anak kecil yang ditawari permen. “Gimana?”

“Dengar, kurang dari dua bulan istrinya Jungkook melahirkan. Kenapa kita gak culik aja bayinya? Kita tukar dengan bayi yang udah mati, kita bikin seakan-akan anak mereka mati. Biar mereka frustasi kehilangan anak mereka. Setelah itu anak mereka kita buang ke panti asuhan, bahkan lebih bagus ke panti asuhan luar negeri aja. Gimana?”

“Oke.” Jimin mengangguk setuju. “Aku pengen mereka menderita,” gumamnya kemudian.

“Oke, gue akan bantu lo balas dendam tapi dengan syarat, lo harus sadar. Lo harus semangat hidup, lo harus kembali seperti semula. Oke?”

Jimin mengangguk semangat, meskipun ia belum sadar sepenuhnya. Sementara Chaeyoung tersenyum bangga, akhirnya ia bisa membuat Jimin kembali semangat hidup.

Dua bulan berlalu, Jimin sudah normal seperti sebelumnya. Ia sudah kembali mengurus bisnisnya, namun sifatnya berubah drastis. Jimin menjadi lebih sensitif dan galak, sudah tak ada lagi sosok Park Jimin yang periang. Meskipun penasaran mengenai bagaimana Jimin bisa normal kembali, ayah dan ibu Park sangat senang bisa melihat putra mereka sembuh dari depresi.

“Jimin? Itu apa, nak? Eh? Itu ayunan bayi?” tanya ibu Park penasaran kala mendapati Jimin menggoyang-goyangkan ayunan bayi.

Jimin hanya bergumam “iya”, kemudian kembali fokus menggerakkan ayunan bayi.

“Chaeyoung, itu bayi siapa?” Kali ini ayah Park melayangkan pertanyaan pada Chaeyoung yang duduk di seberang Jimin. Chaeyoung hanya meringis canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Ini bayi iblis, papa.” Jimin membuka suara untuk menjawab rasa penasaran ayah Park.

“B-bayi iblis?”

Jimin tersenyum tipis, tak mau merespon lebih. Ia menyalakan kamera, kemudian meletakkan tak jauh darinya setelah memastikan alat itu nanti bisa merekamnya secara penuh. Berikutnya, ia meraih pisau dapur yang sebelumnya digunakan untuk mengupas buah di atas meja.

“JIMIN!” Chaeyoung, ayah, dan ibu Park berteriak panik kala Jimin membawa pisau tepat di atas bayi, bersiap untuk menikamnya.

“Kenapa teriak lebay sih? Aku harus fokus bunuh ini bayi. Setelah ini mau aku kirim ke Jungkook sama Minji. Biar nangis mereka,” ucap Jimin dengan santai.

“J-jimin, turunin pisaunya. G-gak gitu ya perjanjian kita. Rencana kita cuma nukar bayi itu, lalu kita buang ke panti asuhan. Bukan bunuh!” Chaeyoung berucap panik.

“Chaeyoung! Jadi itu anaknya Jungkook sama istrinya yang baru lahir?” tanya ayah Park dengan nada marah.

“I-iya om.”

“Jimin, sayang. Bayi itu gak salah. Kamu gak boleh lampiasin dendam ke bayi itu. Yang salah orang tuanya, bukan bayi itu. Turunin pisaunya, ya?” bujuk ibu Park.

“Park Jimin! Ini gak benar. Papa gak pernah didik kamu jadi seorang yang bertindak kriminal kayak gini! Ayo balikin ke rumah sakit!” Ayah Park berkata tegas.

“No, no, no, no.” Jimin berkata santai, ia menggoyangkan pisau yang dipegangnya tepat di atas bayi.

“Park Jimin! Jangan hanya karena patah hati, kamu jadi kehilangan akal sehat kamu! Masih ada banyak orang baik di luar sana yang mau jadi pasangan kamu! Lupain Jungkook!”

“Apa? Papa kenapa seenteng itu bilangnya?” Jimin berdiri, mendekat ke arah ayah Park yang menurutnya berkata tak masuk akal.

“Papa mudah banget nyuruh aku move on? Papa gak jadi aku, jadi papa gak tahu rasanya aku yang udah delapan tahun dicintai Jungkook tapi tiba-tiba ditinggal buat nikahin cewek lain. Kalau aku bisa lupain dia dengan gampang, aku akan lakuin. Tapi enggak, susah banget, pa. Aku terbiasa dengan cinta dia, aku terbiasa dia kasih afeksi tapi sekarang... udah gak pernah! Delapan tahun, pa! Delapan tahun! Gak semudah itu untuk lupa!”

Jimin berteriak marah pada ayah Park, memang ia berubah menjadi sensitif, sehingga perkataan sepele seperti tadi dianggapnya sangat menyakiti perasaannya.

“Oke, maaf. Papa minta maaf. Tapi nak, ini gak benar. Bayi itu gak salah apa-apa.”

“Halah! Sama aja! Bayi yang lahir dari darah mereka sama aja iblisnya kayak mereka. Jadi pantas buat dibunuh!” Jimin berbalik untuk kembali menghampiri bayi dan berniat melanjutkan aksinya untuk membunuh. Namun amarahnya pecah ketika bayi itu sudah tak ada di ayunan, alih-alih digendong ibu Park.

“Mama! Siniin!”

“Mama kasih pilihan. Adopsi bayi ini jadi anak kamu dan urus dia atau mama serahin lagi ke keluarga Jeon.” Ibu Park sebelumnya memanfaatkan perdebatan Jimin dan ayah Park untuk segera mengambil bayi dalam gendongan.

“Mama bercanda? Aku? Ngurus bayi iblis itu? NO!”

“Jimin, bayi ini gak ada dosa apa-apa. Bayi ini masih putih. Gak selayaknya kamu nyakitin dia. Jadi pilih, kamu angkat jadi anak, atau mama serahin lagi ke keluarga Jeon.”

“Mama, ini gak bener. Harusnya kita balikin lagi aja dong. Kasihan ma kalau—”

“Papa gak usah ikut campur!” bentak ibu Park. “Jimin, pilih. Kamu membuat kehidupan baru dengan bayi ini atau mama balikin bayi ini hidup bahagia dengan Jungkook dan keluarganya.”

“Oke aku gak akan bunuh bayi itu. Mau aku buang ke panti asuhan Gwangju aja. Siniin, ma.”

“Gak, nak. Pilihan dari mama cuma dua, adopsi bayi ini jadi anak kamu, atau balikin ke Jungkook.”

“Mama!”

“Oke, mama balikin ke Jungkook sekarang aja.” Ibu Park melangkahkan kaki untuk berniat keluar rumah. Namun langkahnya terhenti setelah Jimin membuat keputusan.

“Oke! Aku angkat bayi itu jadi anakku!” Terpaksa Jimin membuat pilihan. Ibu Park tersenyum puas, sementara ayah Park hanya mampu mendesah pasrah.

“Chaeyoung, urus segala persiapan Jimin dan bayi ini untuk pergi ke Los Angeles secepatnya.” Ayah Park memerintah Chaeyoung.

“Los Angeles? Papa ngusir aku?” tanya Jimin.

“Bukan ngusir, tapi alangkah lebih baik kamu tinggal di luar negeri. Kita buat seolah-olah kamu adopsi bayi itu saat di luar negeri.”

“Papa. Idenya bagus banget deh.” Ibu Park berkata senang. “Benar ide papamu itu Jimin.”

Jimin diam, tak membantah. Ia setuju dengan ide kedua orang tuanya karena dirinya merasa harus memulai kehidupan baru dan melupakan segalanya di Korea.

“Terus ini saya bikin paspornya adek bayi pake nama apa ya, om? Kalo ke luar negeri harus ada paspornya...”

Ibu dan ayah Park terdiam, memikirkan nama yang cocok untuk si bayi. Namun tiba-tiba Jimin membuka suara.

“Corbyn...” ucap Jimin.

“Hah?”

“Corbyn Matthew...” Jimin menggantung ucapannya karena bingung, marga apa yang harus dipakai bayi itu.

“Park. Corbyn Matthew Park.” Ibu Park menyambung.

“Kenapa harus Park?” Jimin melayangkan protes.

“Karena bayi ini adalah anak kamu, kamu papanya. Bayi ini adalah bagian dari keluarga Park. Kita lupakan asal usul bayi ini, anggap aja ini adalah bayi adopsi dari panti asuhan, oke?” Ibu Park memberikan penjelasan.

“Terserah deh.” Jimin melangkahkan kaki untuk pergi ke kamarnya dengan perasaan kesal karena keputusan ibunya. Sementara ayah Park hanya menurut.

Beberapa hari kemudian, Jimin dan keluarganya berangkat ke Los Angeles.

“Jimin, ini Corbyn nangis terus. Coba deh nak, kamu gendong.” Ibu Park panik karena cucunya yang menangis semakin keras begitu tiba di Los Angeles.

“Apasih ma? Malesin banget. Mama urus aja, ’kan cucu mama tuh.”

“Coba deh kamu gendong, siapa tahu bisa diem.” Ibu Park membuat Jimin menggendong Corbyn secara paksa. Benar saja, tak lebih dari semenit, bayi itu diam dalam gendongan Jimin.

“Tuh. Corbyn tuh sadar kalau kamu papanya. Diem tuh akhirnya.”

Ibu dan ayah Park sampai terheran, bisa-bisanya bayi yang telah mereka anggap cucu mau berhenti menangis ketika digendong Jimin.

Jimin pun sama herannya, namun ia mencoba tetap memasang ekspresi datar. Hari-hari berlalu, Corbyn selalu tenang jika digendong Jimin. Jimin pun tetap bersikap tak acuh dengan bayi itu, namun orang tuanya tetap memaksanya agar mau mengasuh.

Sampai pada suatu malam hari, Jimin berada di kamar hanya berdua dengan Corbyn. Tangan pria Park itu memegang botol susu untuk Corbyn yang lapar. Tanpa sadar, ia tersenyum hangat kala mendapati Corbyn yang menatapnya penuh binar. Ia membawa jemarinya untuk mengelus pipi Corbyn. “Minum susu yang banyak, biar cepet gede,” gumamnya.

Tanpa Jimin sadari, dari kejauhan ada orang tuanya yang menatapnya.

“Mama sangat tahu Jimin bagaimana, pa. Lihat, sebenarnya Jimin butuh pengganti Jungkook. Mama yakin, Jimin sangat sayang sama Corbyn. Dia merasa kalau Corbyn adalah obat buat dia karena bayi itu adalah anak Jungkook. Jadi biarin aja, biar ini jadi rahasia keluarga kita.”

Setahun kemudian, ayah dan ibu Park kembali ke Korea Selatan, meninggalkan Jimin yang sudah merintis usaha sendiri di Los Angeles. Jimin tak sendiri, ia ditemani oleh Corbyn, pengasuh, Chaeyoung, dan beberapa asisten rumah tangga.

Jimin berhasil membuka lembaran baru bersama Corbyn—putra semata wayangnya—di California. Ia berhasil membuang semua kenangan pahitnya di Korea Selatan setelah fokus pada perusahaannya dan Corbyn yang menjadi sumber kehidupannya.

Flashback: END

To be continue...