LOST 2

Bagian dari alternate universe Please, Love Me
Trigger warning: Miscarriage

Jeongguk berjalan gontai ketika memasuki rumah. Ia memilih pulang ke rumah Jimin untuk menemui Charlotte. Sesuai dugaan, Charlotte masih terjaga meskipun sudah pukul setengah dua dini hari. Pasti putrinya itu khawatir akan keadaan Jimin, pikir Jeongguk.

“Daddy!” Charlotte turun dari pangkuan Roseanne kala melihat Jeongguk baru tiba. Gadis itu memeluk Jeongguk yang telah berjongkok untuk menyambutnya.

“Why, dad? Why are you crying?” tanya Charlotte sembari menyeka air mata Jeongguk menggunakan jemari mungilnya.

Sial sekali, pikir Jeongguk. Ia berusaha tegar di depan Charlotte, namun nyatanya dirinya terlalu lemah untuk tidak menangis dalam keadaan terpuruk seperti sekarang.

“Mm, Charlotte kenapa jam segini belum tidur? Hem?”

“No, dad. Don’t change the topic. Why? What happen? How’s papi?”

Bibir Jeongguk bergetar, lidahnya terasa kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan putrinya. “S-sorry, daddy is sorry,” lirihnya.

“S-sorry what?” Air mata Charlotte telah jatuh membasahi wajah cantiknya meskipun ia belum tahu pasti sebab ayahnya menangis.

“A-adek, we lost him. Sorry, Charlotte.”

Bibir Charlotte bergetar, ia masih belum bisa memahami perkataan Jeongguk. Maka ia bertanya kembali, “Dad, maksudnya gimana? Charlotte g-gak paham.”

Jeongguk menggigit bibir bagian dalamnya dan memilih untuk menundukkan kepala. Sungguh, ia tak sanggup menghadapi ini, namun sudah seharusnya dirinya memberikan penjelasan pada putrinya, bukan?

“D-daddy?”

Sorry, baby. Adek di perut papi udah pergi ke surga. Adek udah gak di perut papi lagi. Maaf, ya?”

Jeongguk menatap Charlotte, nampak putrinya itu berusaha menahan isakan, namun air mata tanpa bisa dicegah telah bercucuran deras membasahi wajahnya. Tak ada yang bisa Jeongguk lakukan kecuali merengkuh tubuh mungil malaikatnya ke dalam pelukannya.

“Jangan ikut nangis. Jangan ikut nangis.” Roseanne bergumam sangat lirih sembari menutup mulutnya untuk mencegah isakannya. Wanita Park itu ikut menangis kala melihat dan mendengar tangisan pilu Jeongguk maupun Charlotte.

“D-dad, is it because of me?”

Jeongguk mengernyitkan dahi usai mendengar pertanyaan yang dilontarkan putrinya. “Maksud Charlotte apa? Hem?”

“Tadi waktu Jade ke toilet sebelum pergi ke rumah sakit, Charlotte gak sengaja baca chat dia sama daddy. Dia ngetik andai Charlotte gak lahir, pasti daddy sama papi gak berantem. Pasti adek gak pergi.”

“H-hum?” Air mata Jeongguk mengalir semakin deras, pun lidahnya terasa kelu. Tidak, bukan seperti ini yang ia inginkan. Putrinya masih terlalu kecil untuk mengetahui semua ini. Untuk pertama kalinya ia menyesali Charlotte yang sudah bisa membaca di umur belum genap tujuh tahun.

“N-no.” Jeongguk menggelengkan kepala. Ia menggerakkan kedua ibu jarinya untuk menyeka air mata di wajah Charlotte. “It’s not like that,” ucapnya lagi.

Hey, baby girl. Don’t mind it, hem? Jade gak bermaksud ngetik gitu kok dan papi sangat sangat sayang sama Charlotte. Papi sangat bahagia udah lahirin Charlotte. Jadi Charlotte jangan berpikiran macam-macam, ya?”

“T-tapi di c-chat itu—”

“Enggak. Itu gak bener. Udah ya, jangan dipikirin lagi. Hem?”

Charlotte mengangguk kecil, ia kembali menenggelamkan kepala di pelukan ayahnya dan terisak.

“Charlotte, papi loves you. That’s a fact.” Jeongguk berucap, tangannya mengelus punggung Charlotte untuk setidaknya menghantarkan rasa tenang.

“Hiks, tapi a-adek...adek...” Suara Charlotte masih bisa terdengar meskipun anak itu menangis di dalam dekapan Jeongguk.

“Ssh, adek udah di surga. Doain adek aja ya biar bahagia di sana. Doain papi juga biar cepat sembuh.”

“Charlotte mau ketemu papi. Mau peluk papi.”

“Nanti kalau papi udah sembuh kita ketemu papi ya. Sekarang tidur yuk. Kita harus istirahat biar gak sakit, biar bisa ketemu papi, hem?”

Merasakan anggukan Charlotte, akhirnya Jeongguk memutuskan untuk berdiri dan menggendong putrinya menuju ke kamar. Ia harus kuat dan tidak sakit, sehingga memilih untuk segera beristirahat bersama Charlotte. Sementara Roseanne tidur di kamar tamu.


Jimin membuka mata yang terasa masih berat. Ia merasakan kepalanya sedikit pusing, membuatnya bertanya-tanya, semalam apa yang terjadi padanya?

Pandangan Jimin mengedar ke ruang rawatnya, yang ia cari pertama kali adalah Jeongguk, namun matanya hanya menemukan Jade dan Hoseok—yang terlelap—di atas sofa.

Rungu Jimin menangkap suara pintu yang terbuka dari luar, ia berharap itu adalah Jeongguk, namun pupus harapannya ketika sosok tersebut adalah Oliver.

“Good morning, Christian. Glad, you’re awake,” sapa Oliver yang berniat memeriksa keadaan Jimin di pagi hari.

Baik Jade dan Hoseok terbangun saat mendengar suara Oliver. “Christian, you’re awake!” pekik mereka bersamaan.

Jimin tak punya semangat untuk menjawab pertanyaan orang di ruangan tersebut, alih-alih melemparkan pertanyaan pada Oliver. “Semalem gue kenapa?” tanyanya.

Muka Oliver menegang, rupanya Jimin belum menyadari bahwa ia mengalami keguguran. Pun, Jade dan Hoseok sama-sama panik kala Jimin mempertanyakan keadaannya.

“Kenapa muka kalian jadi tegang?” Jimin bertanya curiga dan panik.

Oliver menafik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia berusaha tenang, kemudian menarik kursi dan duduk di samping ranjang Jimin.

“Christian, I’m so sorry. I tried my best but unfortunately, you lost him. Sorry.”

Air mata Jimin menetes begitu saja, pun bibirnya bergetar. Hoseok bergegas untuk memeluk Jimin yang sudah menjerit pilu.

“W-why? Why you can’t save him? Why?” tanya Jimin dengan suara sangat lirih. Ia merasakan hatinya sangat hancur, tentu saja sedih karena janin yang baru tiga belas minggu di kandungannya harus gugur.

“It’s my fault. Andai gue gak kecapean, andai gue gak stres. Andai.... hiks, adek, a-adek maafin papi hiks.”

“Christian, don’t blame youself.” Jade membuka suara. “Adek udah di surga. Emang mungkin begini takdirnya. Jadi jangan nangis, nanti dia sedih. Yang penting sekarang lo harus fokus pulih,” lanjutnya. Ia menggerakkan tangan untuk mengelus surai kepala Jimin.

Oliver mengelus lengan Jimin agar sahabatnya itu bisa tenang. “Lo boleh sedih, tapi jangan terlalu larut ya. Fokus pulih dan move on. Masih ada Charlotte yang butuh lo,” ucapnya menenangkan.

“Bener kata mereka. Yang penting sekarang lo harus pulih. Charlotte pasti nungguin banget lo sembuh.” Hoseok ikut membuka suara.

Jimin tak sanggup merespon perkataan para sahabatnya, yang dilakukannya hanya menangis sembari mengelus perutnya, tempat janinnya bertahan di kandungannya selama tiga belas minggu belakangan. Oliver pun izin untuk memeriksa Jimin karena tujuan utamanya ke ruangan tersebut adalah melakukan itu selain memberikan dukungan. Selesai memeriksa dan mengatakan bahwa Jimin hanya perlu pemulihan, maka Oliver berpamitan keluar untuk lanjut memeriksa pasien lainnya.


“Kapan lo pulang dari Paris?” tanya Jimin pada Hoseok setelah sedikit tenang. Ia juga sudah memakan menu sarapan yang diberikan pihak rumah sakit agar lekas sembuh.

“Beberapa jam yang lalu. Dari bandara, gue langsung ke sini. Namjoon belum bisa ke sini, kerjaannya banyak,” respon Hoseok. “Anyway, gue udah denger semuanya dari Jade.” Ia mengaku setelah Jade akhirnya memberi tahu semua tentang trauma masa kecil Jimin dan alasan menyakiti Jeongguk.

Jimin tersenyum getir, “Gue aneh, ya?”

Hoseok menggeleng pelan, “Gak. Gue gak tahu rasanya punya trauma kayak gitu, tapi gue cukup memahami sikap lo. Gak bisa dibenarkan tapi gue paham, lo emang lagi bimbang. Lo emang terjebak di masa lalu yang menyakitkan dan pengen balas dendam tapi sayangnya pada orang yang salah.”

Hoseok memegang tangan kanan Jimin yang tak tertancap jarum infus, kemudian memberikan elusan menenangkan.

“Tapi seperti yang gue bilang sebelum-sebelumnya, lo harus berhenti. Gue tahu pasti susah, tapi lo harus berhenti. Dengan begitu, lo gak akan sakit lagi. Dengan begitu, orang-orang yang lo cinta juga gak akan sakit lagi. Sulit, tapi usaha ya? Ini semua demi kebaikan lo sendiri.”

Jimin menundukkan kepala, ia kembali terisak. Menyesal, tentu saja. Ia menyesal telah melakukan ini semua yang berdampak membuatnya sakit hingga kehilangan malaikat kecilnya. Sungguh, ia ingin berhenti dan keluar dari rasa sakit di masa lalu, namun rasanya teramat sulit. Ia merasa lega telah menyakiti Jeongguk, namun bersamaan dengan rasa penyesalan.

Jade mengelus punggung sempit Jimin. “Bener kata Hoseok, coba pelan-pelan buat move on dari masa lalu yuk? Ada Justin yang tulus sama lo, ada Charlotte yang butuh lo. Jangan sampai menyesal untuk yang kedua kalinya.”

“Udah, jangan lihat ke belakang. Sekarang fokus ke depan aja. Perbaiki diri, sembuhin diri. Kejar Justin, bilang maaf. Jangan sia-siain pria sebaik dia.” Hoseok kembali berbicara.

“Hiks, t-tapi Justin udah nyerah. Semalem dia pergi ninggalin gue—”

“Enggak. Semalem dia nungguin lo di ICU—”

“Tapi dia pasti marah dan kecewa ke gue karena adek udah gak ada, Jade.”

“Gak. Percaya sama gue. Semalem dia terpukul karena kehilangan adek, tapi dia masih tetap Justin yang tulus ke elo. Ini dia gak ada di sini karena pengen nenangin dan ngasih pengertian ke Charlotte kalo adeknya udah di surga.”

“Udah ya, Christ. Jangan mikir yang macem-macem lagi. Trust me, everything is gonna be okay. Sekarang lo harus pulih dulu, baru minta maaf ke Justin. Ya walaupun menurut gue sebenarnya Justin sendiri juga salah karena egonya tinggi,” ucap Hoseok.

Jimin memberikan respon anggukan pada Jade dan Hoseok. Benar kata kedua sahabatnya itu, Jimin harus pulih dan membebaskan diri dari masa lalu. Memang sulit, namun kali ini Jimin harus berusaha keras. Ia menyesal, dirinya tak mau hal seperti ini terulang kembali.

Bersambung...