OVERBOARD

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Jimin sudah membawa Corbyn untuk pulang dari rumah sakit. Kini keluarga Park tengah menyantap makan malam di rumah, Jimin menyuapi Corbyn dengan bubur, sesekali bergantian menyuapkan spageti ke dalam mulutnya sendiri.

“Pak Jimin, ada tamu untuk bapak.”

Jimin menoleh ke arah sumber suara, asisten rumah tangga memberinya informasi bahwa ada tamu untuknya.

“Siapa?”

“Katanya namanya Jeon Jungkook.”

Seketika semua yang sedang makan menghentikan kunyahan mereka, tentu saja kecuali Corbyn.

“Waah om dokter ganteng jengukin Corbyn? Yeeayy!” Corbyn memekik girang. “Mana mana mana om dokter ganteng?” tanyanya antusias.

Jimin mengeraskan rahangnya, ia memindahkan Corbyn dari pangkuannya untuk duduk ke kursi samping. Lalu beranjak dari kursinya.

“Jimin, jangan emo—” Ayah Park menghentikan ucapannya ketika Jimin membua suara untuk memotong.

“Suster, suapin Corbyn. Abis itu kasih obat dan ajak tidur.” Jimin memerintah pengasuh Corbyn. “Aku pergi dulu, ma, pa,” pamitnya, kemudian berjalan pergi dari ruang makan tanpa memerdulikan rengekan Corbyn yang ingin ikut.

Ketika sampai di luar rumah, Jimin menatap datar pria yang sedang menunggu. “Ngapain lagi ke sini?” tanyanya.

Sosok yang dilontari pertanyaan segera menoleh. “Hai, Ji,” sapa Jungkook dengan ramah seperti biasanya, namun kali ini terkesan canggung.

“Aku mau jenguk Corbyn, katanya dia udah pulang. Aku juga mau ngobrolin hal penting sama kamu—”

“Ikut aku.” Jimin memotong perkataan Jungkook. Pria Park itu berjalan terlebih dahulu untuk menuju ke garasi mobil. Jungkook bingung, namun ia segera mengikuti langkah Jimin.

“Masuk.” Jimin meminta Jungkook untuk masuk ke dalam mobil, tepatnya di samping kemudi. Jungkook pun menurut, untung saja ia ke sini dengan menaiki taksi.

Saat Jungkook sudah duduk di kursi samping kemudi, Jimin segera melajukan mobilnya untuk keluar dari rumahnya.

“Kita mau ke mana, Ji?” tanya Jungkook yang bingung, juga berusaha memecah keheningan. Sayangnya Jimin hanya diam, alih-alih fokus mengemudi.

Hanya dalam waktu sekitar lima menit, Jimin sudah menghentikan mobilnya di area taman dekat rumahnya. “Keluar,” ajaknya pada Jungkook setelah mematikan mobil.

Jungkook pun keluar, ia segera mengikuti langkah kaki Jimin yang berjalan mendahuluinya. Ketika Jimin duduk di salah satu kursi taman, Jungkook juga ikut mendudukkan bokongnya di samping.

“Kenapa kita harus ngobrol di sini? Aku gak enak tadi gak sempet nyapa—”

“Kalo kamu benar-benar ingat sama apa yang aku ucapin semalem, seharusnya kamu gak punya muka untuk nemuin aku sekarang.” Jimin menoleh ke arah Jungkook, ia menatap tajam pria yang duduk di sampingnya itu.

“Jimin, kamu keterlaluan gak sih kalau—”

“Harus berapa kali aku bilang kalau aku udah gak mau ketemu ataupun berhubungan sama kamu? Biarin aku hidup bahagia tanpa kamu ngemis-ngemis atensi dari aku, bisa?”

“Kata-katamu bener-bener keterlaluan, Ji.” Intonasi perkataan Jungkook kali ini sangat serius seperti Jimin. Tak dapat dipungkiri, ia sangat sakit hati mendengarkan perkataan Jimin untuknya.

“Iya, emang—”

“Seperti yang aku bilang kemarin-kemarin. Aku gak akan pergi gitu aja karena ada Corbyn. Corbyn itu darah dagingku, Ji.”

“Tapi Corbyn secara hukum adalah anakku. Percuma, kamu nempuh jalur hukum pun gak akan bisa ambil dia dari aku—”

“Aku gak akan ambil Corbyn dari kamu, Ji!” Jungkook sedikit meninggikan suaranya. “Berapa kali aku bilang? Aku gak akan ambil dia dari kamu,” lanjutnya, kali ini menurunkan nada bicaranya.

“Yang aku minta cuma dia kenal siapa ayah dan ibu kandungnya. Itu aja. Aku juga minta dia untuk sering ketemu Minji sampai Minji sembuh. Dengan begitu aku gak hidup dalam rasa bersalah karena bikin Minji—”

“Aku gak akan pernah mau nurutin permintaan kamu!” Jimin akan selalu tersulut emosi setiap kali ia mendengar Jungkook menyebutkan nama Minji.

“Tapi kamu gak bisa egois kayak gini, Ji. Lebih baik kamu kasih tahu semua faktanya ke Corbyn sejak dini. Supaya nanti kalau dewasa dia gak akan kecewa dan ngerasa kamu bohongin.”

“Kalau dia dewasa dan nanya siapa ibunya, aku tinggal jawab kalau ibunya pergi sama laki-laki lain dan aku sama ibunya udah cerai. Simple!”

“Jimin, kamu gak bisa kayak gini—”

“Aku bisa dan kamu gak bisa larang-larang aku!” Jimin beranjak dari duduknya, membuat Jungkook melakukan hal yang sama. Dua pria itu terlihat sama-sama emosi.

“Jimin, aku mohon, bantu aku. Aku gak akan ambil Corbyn, demi Tuhan. Aku juga gak akan minta kamu balik ke aku. Aku cuma minta tolong bantuin Minji sembuh. Biaya rumah sakit sangat mahal, Ji. Aku ingin dia sembuh—”

“Berapa kali aku bilang bahwa aku gak peduli?”

“Jimin, bantu aku. Sekali ini aja. Hanya ini. Kalau kamu gak mau Corbyn tahu siapa orang tua kandungnya, oke. Tapi aku mohon bantu Minji—”

“Perusahaan orang tua kamu bangkrut karena ulah papaku.” Jimin memotong, ia memutuskan untuk memberi tahu semua kebenaran pada Jungkook.

“H-huh?” Jungkook tentu saja terkejut. Ia berharap Jimin bercanda atau membohonginya, namun dirinya tak menemukan kebohongan sama sekali di pancaran netra pria Park dk hadapannya.

“Semua kemalangan yang kamu alami sekarang adalah ulahku dan keluargaku.”

“J-jimin, kamu pasti bohong—”

“Gak, aku jujur.” Jimin memasang ekspresi datar dan tak merasa bersalah. “Jadi seharusnya kamu gak ketemu dan berhubungan lagi sama orang yang udah menghancurkan hidup kamu.”

“Corbyn anakku. Corbyn adalah bagian dari keluarga Park. Jadi harusnya kamu gak ada alasan buat berhubungan lagi sama kami yang udah bikin hidup kamu kayak gini.”

Bibir Jungkook bergetar, air matanya mengalir deras tanpa permisi. Ia bahkan tak sanggup berucap sepatah kata. Tidak, ia berharap Jimin berbohong padanya.

“G-gak, k-kamu..” Jungkook berusaha tersenyum dalam tangisannya. “K-kamu bohong ‘kan, Ji? Kamu dan orang tua kamu gak mungkin sejahat itu.”

“Nyatanya kami semua emang jahat. Lagian itu semua emang harga yang harus dibayar karena kamu bikin aku sakit hati.”

“Park Jimin!” Jungkook memanggil nama lengkap Jimin dengan nada membentak.

“Kenapa kamu egois? Kenapa kamu ngerasa kalau cuma kamu yang sakit di sini?”

“Kamu pikir aku juga gak sakit? Kamu pikir aku senang setelah ninggalin kamu gitu aja?”

Jungkook menatap Jimin dengan tatapan tak percaya. Ia tak menyangka bahwa Jimin benar-benar diselimuti dendam dan rasa benci padanya.

“Kalau gak senang terus apa? Kamu bertingkah dan beranggapan seolah-olah aku baik-baik aja. Ngira kalau aku udah move on lah, ngajakin aku temenan lah. Bahkan kamu punya anak sama wanita itu!”

“Oke, aku salah karena ngira kamu udah move on. Demi Tuhan, aku gak tahu kalau kamu masih benar-benar berharap sama aku—”

“Aku gak akan berharap lebih kalau kamu gak bilang bahwa aku orang yang satu-satunya kamu cinta, Jungkook!” Jimin berteriak marah. “Pembahasan kita selalu ini dan pembelaan kamu selalu sama, aku muak banget sama kamu!” lanjutnya berteriak. Untung saja hari sudah malam, sehingga di taman tak ada orang lain kecuali Jimin dan Jungkook.

“Oke, aku akuin kalau aku memang salah. Tapi pembelaanku menghamili Minji karena orang tuaku yang ingin cucu. Aku gak mungkin nolak keinginan—”

“Terserah. Aku udah gak peduli tentang pembelaan kamu! Aku cuma minta kamu gak usah temuin aku dan keluargaku lagi! Jangan berharap Corbyn akan manggil kamu ayah!”

Jimin melangkahkan kaki untuk meninggalkan Jungkook di taman.

“Kamu benar-benar jahat, Jimin. Balas dendam kamu ke aku itu keterlaluan.” Jungkook bergumam pelan, namun Jimin tetap bisa mendengarkannya bahkan menghentikan langkah.

“Iya, aku emang jahat. Kamu boleh benci aku sepuasmu, karena aku udah sangat benci ke kamu. Ingat semalam aku bilang apa? Aku udah lepasin kamu. Jadi aku harap setelah ini kita jadi orang asing.”

“Jimin, andai bisa kembali lagi ke waktu itu, aku akan lebih milih jadi anak durhaka daripada semuanya kacau kayak gini.”

“Tapi nyatanya kamu gak bisa balikin waktu itu ’kan? Jadi terima semua karmamu.”

Tanpa menoleh, Jimin melanjutkan langkah kakinya untuk menuju ke dalam mobil. Saat sudah naik mobil pun, ia segera mengemudikan kendaraan roda empatnya untuk pergi dari area taman, meninggalkan Jungkook sendirian.

Jungkook ambruk ke tanah dengan posisi duduk. Ia menatap mobil Jimin yang semakin menjauh. Pria Jeon itu masih menangis, ia benar-benar tak menyangka bahwa Jimin dan keluarganya melakukan hal keji pada keluarganya. “Jimin, kenapa kamu jadi sejahat ini?”

Jungkook berteriak marah, ia membenci nasibnya yang seperti ini. Ia membenci semuanya. Pria Jeon itu menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya sendiri.

Keadaan Jimin tak berbeda jauh dengan Jungkook. Ia membenturkan dahinya pada setir mobil berkali-kali setelah dirinya berhenti di jalanan pinggir Sungai Han. Ia menangis, merasa bersalah karena membuat hidup Jungkook menjadi susah. “Maaf, Jungkook, maaf. Tapi aku benci banget sama kamu. Aku masih sakit hati karena keputusan kamu.”

Bersambung...