SHAMELESS
Bagian dari alternate universe Better Than Revenge
Pada hari ketiga setelah kecelakaan, keadaan Corbyn kian membaik meskipun lebih sering rewel lantaran kepalanya yang terasa sakit. Namun ia senang karena papanya yang tak pernah meninggalkannya kecuali ketika harus pergi ke kamar mandi. Dukungan Jimin lah yang membuat Corbyn semangat untuk sembuh dengan mau menghabiskan makanannya meskipun terasa hambar di lidahnya.
“Papa, Corbyn waktu—”
“Biasakan kalau lagi makan jangan banyak bicara! Aaak!” Jimin segera memasukkan makanan di sendok yang dipegangnya ke dalam mulut Corbyn.
“Hungg!” Corbyn pun merengek sebal dengan mulutnya yang mengunyah bubur. “Corbyn ’kan pengen cerita. Emang gak boleh?” rengeknya sembari cemberut setelah menelan buburnya.
“Habisin dulu. Ini tinggal dikit!”
“Papa marah marah terus. Corbyn lagi sakit tapi dimarahin terus. Sebel!”
“Karena kamu nakal.”
“Kalo nakal kenapa papa nangis-nangis bilang kalo Corbyn anak baik, jadi gak boleh ninggalin papa. Ini buktinya Corbyn di sini, berarti gak nakal dong.”
“Heh kamu jangan ngarang. Kapan aku bilang gitu?”
“Waktu Corbyn masih bobo, kedengeran kok papa bilang gitu.”
“Idih. Gak pernah ya aku bilang gitu. Itu kamu mimpi aja—Aww mama sakit ih!” Jimin memekik kesal kala ibu Park mencubit pinggangnya.
“Ngaku aja. Apa susahnya? Emang kamu begitu, sok gak mau ngaku,” ucap ibu Park. “Corbyn, papamu cuma gengsi aja itu. Beneran kok, papamu nangisin kamu terus waktu kamu tidur lama,” lanjutnya, kemudian kembali duduk di sofa. Sementara ayah Park hari ini tak menemani lantaran ada beberapa kerjaan yang diurus di kantor.
Corbyn tertawa dengan tatapan mengejek ke arah Jimin. “Xixi papa malu-malu.”
“Ini tinggal satu suap. Hak!” Jimin buru-buru mengalihkan topik karena ia terlalu malu untuk mengakui rasa sayangnya pada putra semata wayangnya itu.
“Yey habis! Papa, Corbyn pinter ’kan makannya dan minumnya banyak?”
“Hm.”
“Biar cepet sembuh. Nanti kalau sembuh, dianter dan dijemput pulang deh sama papa. Yeey!”
“Iya, tapi gak—”
“Setiap hari, karena papa harus kerja cari duit yang banyak untuk Corbyn.” Corbyn memotong perkataan papanya dengan senyuman riangnya.
“Heh! Kamu tuh sebenarnya sadar ya waktu bobo lama? Kamu pura-pura ya? Ngaku?”
“Ung? Enggak kok. Tapi emang kedengerannya papa ngomong gitu. Makanya Corbyn pengen buru-buru melek, biar papa gak nangis lagi.”
“Hih, dasar.” Setelah menurunkan posisi ranjang seperti semua—karena sebelumnya diubah sedikit tegak lantaran Corbyn harus sarapan—Jimin naik ke kasur. Berikutnya, ia membaringkan tubuhnya di samping Corbyn dan memeluk tubuh putranya itu. Kasur tempat Corbyn berbaring memang besar karena itu berada di ruangan Very Very Important Person.
“Thank you, my precious son.” Jimin berucap, kemudian mengecup pipi Corbyn.
“Hah? Apa, pa?”
“Tidur.”
“Iiihh ulangi! Papaaaa, ulangii!” Corbyn memukul pelan dada Jimin karena kesal. Ibu Park serta pengasuh hanya tertawa sembari menggelengkan kepala saat melihat interaksi Jimin dan Corbyn.
“Papa?”
“Tidur.”
“Papaaa, Corbyn mau cerita. Boleh ya?” Corbyn berucap dengan nada pelan dan lembut.
“Oke. Cerita.”
“Jadi, waktu Corbyn bobo. Masa ada om dokter ganteng yang nyamperin. Itu namanya mimpi ya, pa? Kenapa om dokter ganteng—”
“Om dokter ganteng? Siapa?”
Corbyn hendak menjawab pertanyaan Jimin, namun suara ketukan pintu menginterupsi. Saat itu pengasuh buru-buru membukakan pintu.
“Wah! Om dokter ganteng panjang umur! Baru aja diomongin xixi!” Corbyn memekik riang kala mendapati sosok yang sebelumnya baru ia bicakan. Sosok itu adalah Jungkook, yang masuk ke dalam ruang rawat Corbyn dengan senyumannya.
“Hai Corbyn.” Jungkook menyapa Corbyn yang segera membalas sapaannya dengan riang. Ia memberikan bingkisan buah-buahan pada ibu Park yang juga menyambutnya dengan hangat. Berikutnya, ia menuju ke samping kasur Corbyn, lalu memberikan boneka Pokemon yang kemarin dibelinya.
“Om dokter bawa ini untuk Corbyn. Semoga suka ya.”
“Wah! Makasih om dokter ganteng! Corbyn suka xixi lucu. Pokemon, pokemon!” Corbyn menerima kado yang dibawa Jungkook dengan riang.
Di sisi lain, Jimin telah mendudukkkan tubuhnya di pinggiran kasur. Ia memasang ekspresi terganggu, tentu saja. Namun ia berusaha menahan emosinya demi menjaga suasana hati Corbyn yang masih sakit.
“Jimin—” Kata sapaan Jungkook harus terhenti karena Jimin turun dari kasur dan berbicara pada Corbyn.
“Papa mau ke kantin dulu mau beli makan. Kamu jangan rewel.”
“Oke papa!”
Jarang-jarang Corbyn mau ditinggal Jimin di saat seperti ini, namun nyatanya anak itu segera memberikan tanggapan “oke” lantaran ada Jungkook. Jimin pun segera keluar dari ruang inap putranya untuk mengontrol emosinya sendiri.
Satu jam telah berlalu, Jungkook memilih berpamitan pulang setelah puas bermain bersama Corbyn dan sesekali mengobrol ringan dengan ibu Park. “Om dokter pamit dulu, ya? Inget, Corbyn nafsu makannya harus bertambah biar cepet sembuh, ya?”
“Ay ay, okay Captain!” balas Corbyn dengan riang. “Om dokter besok jenguk Corbyn lagi ’kan?” tanyanya kemudian.
“Iya dong, kalo om gak sibuk, ya?”
“Oke!”
Jungkook tersenyum dan mengelus pelan pipi Corbyn.
“Jungkook, maaf ya. Kayaknya Jimin masih makan di kantin. Kamu pulang dulu gak apa-apa. Gak perlu pamitan ke dia,” ucap ibu Park.
“Iya tante, gak apa-apa. Kalau gitu saya pulang dulu.”
Setelah berpamitan, Jungkook keluar dari kamar inap Corbyn. Ia terdiam sesaat ketika netranya mendapati Jimin tengah memandangnya dari jarak yang tak terlalu jauh. Jungkook memilih berjalan untuk menghampiri Jimin yang berdiri di tengah lorong rumah sakit—yang kebetulan memang sepi.
“Hai, Jimin. Kamu udah selesai makan—”
“Shameless.” Jimin memotong dengan nada datarnya, pun memberikan tatapan seperti demikian pada Jungkook.
“Uh?”
“Gak punya harga diri.” Jimin kembali berucap. “Gak tahu malu dan gak punya harga diri, perbedaannya sangat tipis,” imbuhnya.
“Jimin, aku ngerasa ucapan kamu terlalu kasar.”
“Dan aku ngerasa kamu terlalu gak tahu malu dan gak punya harga diri.” Jimin menekankan setiap kata-kata yang terlontar dari belah bibirnya.
“Aku udah berkali-kali bilang, jangan pernah temuin aku dan keluargaku, tapi kenapa kamu masih dateng?”
“J-jimin, aku ngerasa perlu setidaknya sekali aja buat jenguk Corbyn karena dia pernah jadi pasienku dan aku pernah donor darah untuk dia. Aku juga ngerasa gak enak sama orang tua kamu kalo gak jenguk, setelah beberapa waktu belakangan ini ketemu.”
“Oke, kalo gitu ini terakhir kalinya kamu datang di hadapanku dan keluargaku. Sekarang silahkan pergi.”
“Jimin, apa kita benar-benar gak bisa jalin hubungan persahabatan—”
“Aku masih gak paham sama jalan pikiran kamu. Terlalu gak tahu malu, terlalu menganggap remeh perasaan orang. Aku gak paham. Kamu ini manusia apa bukan?” Nada bicara Jimin memang terlihat tenang, pun ekspresinya seperti demikian. Namun tatapan Jimin pada Jungkook menunjukkan bahwa ia sudah terlampau muak dengan pria Jeon di hadapannya.
“Ji—”
“Aku cuma minta kamu gak usah muncul lagi di hadapanku dan keluargaku. Itu aja.” Jimin memotong, tak membiarkan Jungkook untuk membuka suara.
“Seenggaknya kalau kamu gak bisa nunjukin rasa bersalah kamu atau kamu memang gak ngerasa bersalah, tolong jangan shameless.”
“Asal kamu tahu, mungkin nanti aku bisa maafin kamu, mungkin. Tapi aku gak akan pernah bisa lupain semua rasa sakit yang pernah kamu kasih ke aku. Aku gak akan pernah bisa lupain saat-saat kamu tetap milih ninggalin aku meskipun aku udah ngemis-ngemis ke kamu untuk stay with me.”
“I will never forget it all. It’s safe for you to say that I can’t move on but now at least I have a better life. So, please don’t ruin it. Don’t bother me and my family anymore.”
“Jungkook, aku muak banget sama kamu. Aku benci banget lihat wajah kamu. Just... please.... go. Urus keluargamu sendiri.”
Jungkook menggigit bibir dalamnya, pun kepalanya menunduk. Ia tak sanggup menatap ekspresi kecewa bercampur benci di wajah Jimin yang masih sama seperti saat enam tahun silam ia memilih meninggalkan pria Park itu. “Ma—maaf,” gumamnya pelan.
“Udah cukup aku dengar kata maaf kamu. Aku gak minta kata maaf lagi dari kamu. Aku cuma gak mau kamu nemuin aku dan keluargaku lagi, terutama anakku. Dan kalau gak sengaja ketemu, anggap aja gak pernah kenal. Itu aja.” Usai berkata demikian, Jimin segera melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan Jungkook.
Jungkook menatap sendu punggung Jimin yang semakin jauh dari pandangannya. “Sorry, Jimin. So sorry,” batinnya.
To be continue...