SOLUTION
Bagian dari alternate universe Better Than Revenge
Jimin berjalan menyusuri lorong rumah sakit jiwa sembari menggandeng tangan mungil Corbyn. Ia datang ke sini untuk bertemu dengan dokter Lee, direktur rumah sakit tersebut yang dulu pernah merawatnya saat sakit jiwa. Ia butuh bantuan dokter Lee untuk mengatasi masalah batinnya dan mencari solusi mengenai yang harus dipilihnya nanti.
“Selamat pagi, Jimin.” Dokter Lee menyapa dan berjabat tangan dengan Jimin. Berikutnya, pria paruh baya itu setengah berjongkok untuk menyapa putra Jimin, “Halo, Corbyn.” Dokter Lee adalah sahabat baik ayah Park, sehingga ia cukup tahu banyak mengenai rahasia keluarga Park, termasuk asal usul Corbyn.
“Dokter Lee. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya. Eh, maaf, kayaknya harus merubah panggilan, karena sekarang sudah jadi Professor Lee?”
“Haha Jimin, panggil saya kayak biasanya juga gak apa-apa. Saya juga senang akhirnya kamu datang lagi. Senang kalau saya bisa membantu.”
Setelah saling menyapa, mereka mulai masuk ke dalam ruangan. Jimin mulai berkonsultasi dengan dokter Lee, sementara Corbyn duduk tenang di sampingnya. Meskipun anak kecil itu tak mengerti perbincangan antara papanya dengan dokter, namun ia berusaha menjadi anak baik dan tetap tenang.
“Jimin, jalan satu-satunya adalah berdamai dan kurangi egomu. Jangan buat dirimu dipenuhi rasa benci dan balas dendam. Dengan begitu, kedamaian hati akan bisa kamu rasakan. Memang, itu semua butuh waktu yang lama bahkan untuk memulainya butuh niat yang tinggi. Tapi ini adalah jalan satu-satunya.”
“Mulailah untuk berdamai, sehingga hidup kamu nantinya tidak ada bayang-bayang rasa bersalah maupun penyesalan. Sekarang kamu memang terlihat baik-baik saja dan hidup normal, tapi batin kamu masih sakit. Kamu harus berusaha untuk sembuh seratus persen meskipun itu butuh waktu yang lama bukan hanya 1 atau 2 tahun, tapi lebih dari itu.”
“Kalau kamu tidak ingin kehilangan Corbyn, mulailah untuk jujur dan kasih pengertian untuk dia mulai sekarang. Jangan sampai menyesal di kemudian hari.”
Jimin mendengarkan semua solusi yang diucapkan dokter Lee. Ia segera mengelus lembut wajah Corbyn yang tertidur pulas dipelukannya ketika dokter Lee mulai menyebut nama putranya itu.
“Abaikan egomu, mulailah turuti keinginan hatimu untuk berdamai. Saya yakin, jauh di lubuk hatimu, kamu memiliki niat yang baik dan bagus untuk menyelesaikan masalah ini.”
Jimin merespon perkataan dokter Lee dengan senyuman tipisnya. Pun, ia mengangguk paham. “Iya, saya rasa semua saran dari dokter Lee itu benar. Memang saya harus berusaha berdamai agar tenang.”
Jimin menundukkan kepalanya untuk mengecup kening Corbyn. “Saya juga harus memberi pengertian untuk dia mulai sekarang.”
“Bagus, ini progres yang bagus, Jimin. Kamu harus berusaha lebih, saya yakin, kamu bisa melewati ini semua.”
Dokter Lee dan Jimin kembali berbicara empat mata untuk membahas solusi lainnya. Saat sudah cukup melakukan konsultasi, Jimin segera berpamitan karena dokter Lee juga memiliki banyak kerjaan.
Jimin berjalan sembari menggendong Corbyn yang tertidur untuk meninggalkan area ruang kerja dokter Lee. Langkah pria Park itu terhenti ketika ada yang memanggilnya.
“Jimin? Kamu ngapain ke sini?”
“Kak Namjoon kerja di sini?” Jimin menjawab pertanyaan dengan bertanya, lantaran melihat Namjoon memakai jas dokter rumah sakit jiwa yang dikunjunginya sekarang.
“Iya, aku kerja di sini.”
“Oh.”
“Kamu ngapain ke sini—”
“Ada janji sama salah satu dokter di sini.” Jimin memotong.
“Kamu kenapa?”
“Gak kenapa-napa, kak. Cuma nyapa salah satu sahabat baik papaku aja kok,” ucap Jimin berbohong.
Namjoon pun dapat menangkap sinyal kebohongan Jimin, namun ia memilih tak melanjutkan rasa penasarannya.
“Mau mampir ke ruang kerja ku? Sambil ngopi? Lagian itu anak kamu kayaknya pules banget tidurnya.”
“Emang ini anak kebo banget. Gampang tidurnya, di mana pun selama aku yang pelukin.”
“Kayak—Haha kayak kamu dulu pas SMA gampang banget tidurnya.” Namjoon berkata diiringi tawa canggungnya karena hampir kelepasan mengatakan, “Kayak Jungkook.”
“Gimana? Mau mampir?”
“Boleh.”
Namjoon terkejut ketika mendengar ketersediaan Jimin untuk mampir ke ruang kerjanya. Sayangnya, baru saja akan berjalan menuju ke ruang kerja Namjoon, ternyata Corbyn sudah bangun dari tidurnya. “Papa,” rengek anak itu memanggil Jimin.
“Apa?”
“Laper, haus juga.”
“Kalo gitu ke kantin aja tuh di depan.” Namjoon memberikan saran. Jimin pun menyetujui ide Namjoon dan segera ke kantin. Di sana, mereka memakan roti, kimbap, dan susu pisang kesukaan Corbyn.
“Makan terus, biar kayak babi.”
“Papaaa.” Corbyn merengek kesal ketika papanya mengejeknya.
Namjoon tertawa, ternyata interaksi Jimin dan putranya sangat lucu. “Love language-mu ternyata ngatain anakmu ya, Ji?” tanyanya diiringi tawa.
“Gak juga, soalnya ini anak nakal banget. Ngabisin duitku, kak.”
“Papa! Corbyn anak baik.” Corbyn kembali merengek sembari memukul pelan dada papanya yang tengah memangkunya. Selagi memakan makanan ringan, Jimin dan Namjoon berbicara basa-basi. Sampai akhirnya atensi mereka tertuju pada seorang wanita yang datang dengan wajah ceria ketika melihat Corbyn.
“Jungmin!”
Namjoon panik ketika Minji datang menghampiri, namun Jimin memasang ekspresi tenang.
“M-minji—”
“Gak apa-apa.” Jimin meyakinkan Namjoon. “Corbyn, turun.” Ia menurunkan Corbyn dari pangkuannya. “Sapa ibu,” ucapnya kemudian.
Namjoon membulatkan matanya, ia tak percaya Jimin mengatakan hal demikian.
“Kok ibu, pa?”
“Emang kamu mau manggil apa?”
“Ini ’kan tante cantik dulu.”
“Oh iya, terserah kamu mau manggil apa. Ibu juga gak apa-apa.”
“Tante aja hihi.”
“Ya terserah.”
“Ibu, ini ibu, ibunya Jungmin.” Minji sudah berjongkok untuk menyamakan tinginya dengan Corbyn. Tangannya mengelus anak itu penuh sayang, pun matanya berbinar. “Ibu kangen sama Jungmin, akhirnya Jungmin jenguk ibu lagi.” Kali ini wanita itu memeluk Corbyn yang untung saja tak memberontak. “Yah, tapi ayahnya Jungmin lagi kerja. Gak apa-apa ya, besok ketemu lagi hihi.”
Sedari tadi Corbyn memasang ekspresi bingung, ia menatap papanya. “Kok Jungmin sih, pa?” tanyanya.
“Itu nama Korea kamu,” jawab Jimin. “Sana, main sama ibu dulu ke taman. Papa tungguin di sini.”
“Promise me, you won’t leave me ya pa?”
“Bocil jangan banyak drama. Papa di sini nungguin. I promise you.”
“Oke.” Corbyn pun akhirnya mau digiring Minji untuk bermain bersama di taman rumah sakit jiwa, lagi pula di sana ada balon warna-warni yang membuat anak itu mau diajak.
“Jimin, are you okay?” Namjoon bertanya khawatir.
Jimin bergumam dan mengangguk. “Pelan-pelan, aku mau berdamai. Corbyn berhak tahu siapa orang tua kandungnya.”
“Pilihan yang bagus. Makasih, yang kamu lakukan ini sangat bagus. Kamu keren, Ji.”
“Hm. Aku harap meskipun dia tahu siapa orang tua kandungnya, dia akan tetap pilih aku. Meskipun misalnya dia gak mau pilih aku, aku akan mencoba nerima dengan lapang dada.”
Namjoon menepuk pelan punggung Jimin. “Kamu keren,” ucapnya memberikan rasa tenang.
Sebenarnya Jimin sangat benci melihat Minji, namun ia pikir sudah tak ada gunanya untuk tetap menyimpan perasaan itu. Ia ingin mulai berdamai dengan masa lalu, meskipun rasanya sulit dan membuat dadanya selalu sesak.
Satu jam berlalu, Jimin ikut masuk ke ruang rawat Minji karena wanita itu membawa Corbyn. Ia duduk di kursi ruang rawat, sembari menatap Corbyn yang tertidur dipelukan Minji di atas ranjang. Sementara Namjoon sebelumnya sudah pamit untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Jungmin, Jungmin anak ibu. Anak ibu tampan sekali, sudah besar.” Minji bergumam, mengelus surai Corbyn penuh sayang.
Jimin mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangannya. Ia mencoba menahan amarahnya dan rasa bencinya pada Minji. Memang sulit, namun ia berusaha mengontrol dirinya sendiri.
“Kamu gak ingat sama aku?” Jimin melontarkan pertanyaan. “Jimin, aku Jimin. Orang yang kekasihnya kamu ambil. Orang yang hidupnya kamu hancurin.”
Minji baru menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar nama Jimin. “Jimin?” Ia mengulangi nama itu dengan tatapan bingung—tentu, karena wanita itu sedang sakit jiwa. “Jimin? Jimin? Maaf.” Wanita itu menunduk, seakan menyadari bahwa ia pernah berbuat salah kepada nama yang disebutnya.
“Ada rasa puas dalam hatiku waktu lihat kamu gila. Wanita yang dulunya arogan, sekarang jadi pasien di rumah sakit jiwa. Aku puas lihatnya.” Jimin tersenyum remeh.
“Jimin.. Jimin.. Maaf.. Maaf...” Minji bergumam.
Jimin hanya diam, tak lagi bersuara setelah sebelumnya puas mengungkapkan perasaannya. Ia akan menunggu Minji ikut terlelap seperti Corbyn, agar bisa mengambil putranya untuk diajak pulang.
Ketika Minji benar-benar terlelap, Jimin dengan dibantu suster mulai meraih tubuh Corbyn untuk diajak pulang. Tanpa Jimin sadari, ternyata sedari tadi Namjoon sudah menyelesaikan tugas dan mendengar semua ucapannya.
“Jimin, aku turut prihatin atas semua yang terjadi. Aku harap kamu, Jungkook, dan Minji bisa berdamai secepatnya.” Namjoon membatin sembari melihat Jimin yang mulai pergi meninggalkan rumah sakit dengan menggendong Corbyn.
Bersambung...