THE REASONS
Bagian dari alternate universe Better Than Revenge
Note: Inhale exhale sebelum baca. Janji gak marah?
Jungkook sudah berdiri di atas atap rumah sakit tempat Corbyn dirawat. Badan pria Jeon tersebut terasa dingin bukan hanya karena udara malam Seoul, namun juga rasa gugupnya. Ia menunggu Jimin dengan sabar, sesekali mencoba menarik nafas secara dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan untuk tenang.
Tak lama kemudian, pintu atap terbuka, menampilkan Jimin yang datang dengan raut wajah datarnya seperti biasa. “To the point aja. I don’t want to waste my time. Lagian ini udah malam,” ucap Jimin yang tak mau berbasa-basi.
Jungkook mengangguk perlahan, “Oke. Boleh aku tanya, di mana ibunya Corbyn?”
“Kami udah cerai dan aku gak peduli dia di mana.”
Jungkook tersenyum tipis, pun menggigit bibir dalam bagian bawah. “Cerai ya,” gumamnya. “Tapi aku cari data kamu, kamu sama sekali belum pernah nikah. Status kamu juga masih lajang.”
Ekspresi Jimin yang tadinya mencoba datar, akhirnya berubah marah. “What do you mean? Are you a stalker? Why are you so obsessed with me?” Nada ucapan Jimin telah meninggi.
“Oke. Jadi jelas, kamu belum nikah. Jadi siapa ibu Corbyn?” Jungkook masih mencoba melayangkan pertanyaan dengan setenang mungkin.
“Apa urusan kamu? Kamu datang ke sini, malam-malam begini minta aku buat nemuin kamu, demi nanyain hal-hal yang gak ada urusannya sama kamu—”
“Jimin, aku cuma nanya, siapa ibunya Corbyn? Itu aja kok. Kamu tinggal jawab dan itu bisa jawab rasa penasaranku.”
“Kamu gila ya? Apa untungnya aku ngasih tahu my personal life ke kamu? Gila!” Jimin membalikkan badannya, berniat untuk pergi, namun Jungkook mencegah dengan memegang tangannya.
“Don’t touch me!” Jimin berteriak, pun menghempaskan pegangan Jungkook pada tangannya.
“Masalah donor darah. Golongan darah Corbyn sama kayak aku... Oke, golongan darah sama ada banyak. Tapi kenapa kamu langsung hubungin aku malam itu? Dan kenapa kamu sebagai ayahnya, tidak bergolongan darah yang sama kayak dia?”
“Jeon Jungkook, apa untungnya aku jawab pertanyaan kamu? Huh?”
“Tinggal jawab, Jimin.”
“Ahh, kamu ikutan gila kayak istrimu? Kamu berandai-andai kalau anakku adalah anakmu yang udah meninggal? Iya?”
“Jimin, just answer my questions.”
“Pertama, karena aku masih ingat kalau kamu punya golongan darah O rhesus negatif. Kedua, karena mantan pasanganku yang merupakan ibu Corbyn juga bergolongan darah O rhesus negatif, jadi golongan darah anakku sama kayak ibunya!”
“Ohh, gitu.” Jungkook kembali tersenyum tipis, namun wajahnya berubah menjadi lebih sendu. Berikutnya ia membuka map coklat, kemudian mengambil selembar kertas dari dalam benda itu. Jungkook memang bergerak diam-diam mencari kebenaran semenjak menyadari bahwa Minji dan Corbyn memiliki alergi yang sama, pun anak kecil itu bergolongan darah sama dengannya. Terlebih, reaksi ibu Park dan Jimin yang sangat mencurigakan, membuat Jungkook mencari tahu kebenaran di balik ini semua.
“Lalu kasih penjelasan ini ke aku.” Jungkook mengangkat selembar kertas yang ia pegang, kemudian ditunjukkan pada Jimin. Itu adalah hasil tes DNA antara Jungkook dan Corbyn. Saat menjenguk Corbyn beberapa hari lalu, Jungkook memang sengaja mengambil beberapa helai rambut anak kecil itu. Kemudian ia mengirim sampel rambut Corbyn tersebut ke rekan kerjanya di rumah sakit untuk dicocokkan dengannya.
“Hasil ini menunjukkan bahwa ada kecocokan 99,9 persen antara Corbyn dan aku. Kenapa bisa gitu?” Usai berkata demikian, Jungkook merasakan panas di pipi kirinya karena Jimin menamparnya.
“Jeon Jungkook, kamu udah kelewatan batas!” Jimin berteriak marah pada pria Jeon di hadapannya. “Silahkan pergi ke psikiater, kayaknya kamu emang udah gila!” teriaknya, ia kembali hendak pergi dari atas atap, namun Jungkook mencegahnya lagi.
“Lepas!” Jimin memberontak, namun Jungkook tetap memegang tangannya dengan kuat.
“Jelasin dulu ke aku. Please, Ji.”
“Iya, Corbyn emang anak kamu. Aku hamil waktu kamu lebih milih ninggalin aku demi nikahin wanita itu!”
“J-jimin, gak ada laki-laki yang bisa hamil—”
“Ada, aku. Sekarang lepasin tanganku!” Jimin menghempaskan genggaman Jungkook pada tangannya.
“Terus ini apa?” Pertanyaan yang Jungkook keluarkan kembali menghentikan langkah Jimin. Jungkook mengangkat selembar kertas dan foto, kemudian ia tunjukkan pada Jimin.
“Hasilnya 99,9 persen ada kecocokan DNA Minji dan Corbyn. Dan foto ini adalah tanda lahir Jungmin waktu bayi dan aku lihat tanda itu juga Corbyn miliki.”
Jungkook memang mencari sesuatu khas di tubuh Corbyn ketika ia menjenguk anak itu beberapa hari lalu. Ketika melihat ada tanda lahir Corbyn di belakang siku tangan sebelah kanan, Jungkook buru-buru menghubungi perawat Han—yang membantu proses persalinan dan perawatan Jungmin saat lahir—untuk mencari dokumentasi pemeriksaan setelah lahir. Saat menemui perawat Han beberapa hari lalu, Jungkook diajak ke rumah sakit tempat Jungmin lahir untuk mencari arsip enam tahun silam. Benar saja, ia mendapati tanda lahir Jungmin dan Corbyn sama persis. Ia juga mencari bukti tambahan dengan mencocokkan DNA Minji dan Corbyn yang hasilnya 99,9 persen cocok.
“Kenapa bisa gini hasilnya, Ji? Mungkin kamu bisa kasih pembelaan?”
Jimin diam, namun ia tetap mencoba tenang. Meskipun begitu, tubuhnya terasa lemas dan siap untuk ambruk. Ia pun tetap berusaha kuat dengan mengepalkan kedua tangannya.
Jungkook melihat itu semua, netranya menangkap kegugupan dan keterkejutan Jimin. Namun pria Jeon itu menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya jika tuduhannya benar adanya.
“G-gak mungkin ’kan, Ji? Kamu gak... Iya, kamu gak mungkin ngelakuin itu ’kan?”
“J-jimin, jawab aku.” Jungkook memegang kedua bahu pria Park di depannya.
“Ini semua salah, ’kan? Iya, hasil-hasil tes ini kayaknya salah... tapi...” Jungkook tak mampu melanjutkan perkataannya kala melihat buliran air mata yang telah keluar membasahi wajah Jimin.
“J-jimin, kasih pembelaan, please? Bilang ke aku kalau semua ini pasti salah. Kasih aku alasan kalau ini semua salah.”
“So what?” Jimin berusaha bersuara meskipun dengan nada bergetar, sebab ia menahan isak tangisnya. Meskipun matanya sudah siap mengeluarkan cairan bening, pria Park itu tetap berusaha memberikan tatapan intimidasi pada Jungkook.
“Terus kenapa kalau Corbyn itu Jungmin?”
“G-gak, J-jimin, kamu gak mungkin—”
“Iya, aku ambil anak itu dari rumah sakit, aku tukar dengan bayi yang udah meninggal. Lalu aku bawa dia ke Los Angeles, aku ubah nama dia, aku palsuin semua data dia. Aku asuh dia dengan kasar, aku pastiin dia gak nerima afeksi layaknya anak pada umumnya. Terus kenapa?” Jimin memilih membuat pengakuan, mengingat Jungkook yang telah berhasil mengumpulkan puzzle tentang Corbyn.
Banjir sudah air mata Jungkook, bahkan pria Jeon itu tak sanggup berkata-kata setelah mendengar pengakuan Jimin. Ia menggelengkan kepala, masih mencoba menolak fakta yang didengarnya.
“Kamu tahu? Aku puas banget bisa ngasuh anak itu secara kasar, bikin anak itu nangis karena gak ngerasain kasih sayang dari aku, aku puas! Aku juga puas banget dengar kabar wanita itu masuk ke rumah sakit jiwa karena ngerasa kehilangan anaknya. Aku juga puas banget kamu jatuh miskin setelah kedua orang tua kamu meninggal. Aku puas banget!”
Nafas Jimin tak beraturan, pun air matanya bercucuran membasahi wajahnya. Namun ia masih belum mau berhenti meluapkan emosinya pada Jungkook.
“J-jimin....k-kenapa?” tanya Jungkook dengan suara yang sangat lirih disela isakan tangisnya.
“KENAPA? KAMU TANYA KENAPA?” Jimin berteriak marah setelah mendengar pertanyaan konyol yang dilontarkan mantan kekasihnya itu.
“Kamu pikir aku rela biarin kamu bahagia dengan keluargamu after you broke my heart into pieces?”
“Perasaan cintaku ke kamu selama delapan tahun kita berhubungan, kamu hancurin gitu aja demi wanita itu. Terus kamu pikir aku bakal baik-baik aja setelah kamu tinggal pergi?”
“Setelah delapan tahun kamu bikin aku seolah-olah I’m the one and only for you, seolah-olah cuma aku pemilik hati kamu. Bahkan kamu juga berhasil bikin aku ngerasa kamu satu-satunya kehidupanku. Tapi tiba-tiba kamu mutusin hubungan kita gitu aja demi wanita itu, kamu pikir aku bisa baik-baik aja?”
“Aku rela buang harga diriku dengan cara ngemis-ngemis ke kamu buat jangan tinggalin aku tapi kamu tetap memilih nikahin wanita itu. Kamu pikir aku masih akan baik-baik aja setelah itu?”
“GAK! AKU GAK BAIK-BAIK AJA!” Jimin berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan amarahnya.
“That’s the reasons aku lakuin ini semua! Kamu dan keluargamu harus bayar semua rasa sakit yang udah aku alamin karena kalian!”
“J-jimin... Bukannya udah aku jelasin alasannya? A-aku punya alasan dan kamu tahu itu, t-tapi kenapa—”
“Alasan? Alasan konyol itu? Kamu pikir aku bisa memaklumi alasan sialan itu?”
“Jimin, memang aku cinta sama kamu bahkan sampai detik ini perasaanku masih tulus buat kamu, tapi kamu tahu sendiri aku gak mungkin bisa—”
“No, you don’t love me anymore! You loves her! Kalau kamu benar-benar cinta sama aku, gak mungkin kamu tega ngelakuin itu! Gak mungkin kamu tinggalin aku demi wanita itu dan keluargamu. Gak mungkin kamu gak pertahanin hubungan kita. Gak mungkin!”
“Ji..min..”
“Dan sekarang apa yang akan kamu lakuin setelah kamu tahu kalau anak itu adalah Jungmin? Hem? Kamu pikir kamu bisa ambil dia?”
“G-gak, gak mungkin kamu ambil Jungmin. Jimin yang aku kenal gak gini.” Jungkook masih belum bisa menerima fakta bahwa mantan kekasih yang masih dicintainya itu melakukan tindakan kriminal.
“Park Jimin yang dulu pernah jadi kekasih kamu itu udah mati. Park Jimin yang ada di depan kamu sekarang ini adalah monster yang berhasil kamu buat.”
Tubuh Jungkook terasa lemas, ia sudah ambruk terduduk di lantai. Ia menjambak rambutnya sendiri dan menangis keras. Ia tak menyangka akan seperti ini jadinya. Ia tak pernah menyangka tindakannya meninggalkan Jimin bisa berdampak seperti ini.
“J-jimin, ak-aku minta maaf. Aku berdosa besar ke kamu. Kamu boleh pukul aku, kamu boleh bunuh aku tapi... tapi jangan Minji. Kasihan dia, dia gila karena kehilangan anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan. Dia seorang ibu, dia sangat kehilangan, setiap hari dia—”
“I don’t fucking care!” Jimin memotong dengan berteriak.
“That’s her karma setelah bersikap arogan dan menjatuhkan mentalku. Kamu, dia, dan keluargamu semuanya adalah iblis yang pantas mendapatkan karma buruk.”
Jungkook menjambak surai kepalanya semakin kuat, pun kepalanya menggeleng. Ia merasa menjadi manusia paling jahat setelah tindakannya berhasil membuat Jimin yang dulu murah hati dan periang, menjadi seorang yang diliputi amarah serta balas dendam.
Jimin membuang muka, sebisa mungkin ia tak melihat Jungkook yang hancur setelah mengetahui perbuatannya selama ini. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya secara kasar.
“Kamu ngemis-ngemis sampai nangis darah pun gak akan aku serahin anak itu ke kamu. He’s mine dan aku akan asuh dia semakin kasar. Silahkan kalau kamu mau ambil jalur hukum dengan bawa bukti-bukti yang kamu miliki. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, aku punya segalanya, aku punya uang, dan anak itu juga berkewarganegaraan Amerika.”
Setelah puas melampiaskan emosi, Jimin segera pergi dari atap rumah sakit, meninggalkan Jungkook sendirian yang menangis dalam kesedihan dan kekecewaan.
Jimin berlari menuju ke ruang rawat Corbyn, air matanya kembali mengucur deras saat melihat ibu dan ayah Park yang duduk di ruang tamu kamar tersebut.
“J-jimin? Kamu kenapa, nak?”
Jimin mengabaikan pertanyaan ibu Park, alih-alih naik ke kasur sembari memeluk Corbyn.
“P-papa? Papa kenapa nangis?” Corbyn terbangun dan sangat terkejut kala melihat Jimin yang menangis sembari memeluknya erat.
“Hiks, papa kenapa? Papa sakit? Nenekkk, kakekkk.” Corbyn panik dan ikut menangis.
“Corbyn, papa lagi gak enak badan. Gak apa-apa kok. Corbyn puk-puk aja punggungnya papa biar nanti berhenti nangisnya. Hem? Corbyn anak baik ’kan?” ucap ibu Park.
“Corbyn jangan ikut nangis. Katanya pengen jadi jagoan buat papa, jadi Corbyn hibur papa aja ya? Gak apa-apa kok, nanti papa juga diam.” Kali ini ayah Park ikut menenangkan cucunya.
Setelah mendapatkan anggukan mengerti dari Corbyn, dua pasangan paruh baya itu kembali ke ruang tamu untuk memberi ruang Jimin menangis. Mereka memilih tak bertanya banyak, alih-alih membiarkan Jimin agar tenang dengan sendirinya terlebih dahulu.
“Cup cup, papa berhenti nangisnya. Corbyn sedih kalo lihat papa nangis.” Corbyn berucap dengan nada merengek, tetapi tangan anak itu bergerak untuk menepuk pelan punggung papanya sesuai saran neneknya.
“Papa jangan sakit, biar Corbyn aja yang sakit.”
“Oops, gak jadi. Kita gak boleh sakit. Soalnya papa bilang kalo Corbyn harus cepet-cepet sembuh.”
“Corbyn pengen cepet sembuh, pengen keluar dari rumah sakit. Biar nanti diajak jalan-jalan ke Jeju sama papa. Biar nanti dibeliin mainan yang banyaaaaakkkk banget sama papa.”
Tangisan Jimin perlahan mereda setelah mendengar ocehan random putranya. Ia mengecup pipi Corbyn penuh sayang, “Corbyn, promise to papa that you will never leave papa no matter what. Hem?”
“Of course I will, papa.” Corbyn memekik semangat. “Corbyn ’kan sayaaaanggg banget sama papa. Ngapain Corbyn ninggalin papa?” Corbyn memeluk erat tubuh papanya.
“Tapi aku gak sayang sama kamu.”
“Heeeengg papaaa kumat lagi ngeselinnya.”
“Oke, papa sayang Corbyn, tapi jangan nakal? Jangan mainan mainan terus. Mainan belinya pake uang. Cari uang tuh susah.”
“Masa Corbyn gak boleh beli mainan lagi? Hengg.”
“Sebulan sekali, boleh.”
“O-oke, tapi papa gak boleh nangis lagi ya?”
“Oke, deal. Ayo bobo.”
Setelah berjabat tangan dengan lucu, Jimin kembali memeluk Corbyn erat, kemudian mereka sama-sama tertidur. Jimin memaksakan diri untuk tenang dan tidur, meskipun pikirannya penuh dengan rasa bersalah serta takut kehilangan Corbyn, sumber kehidupannya setelah pernah di titik terendahnya.
To be continue...