WANNA GO WITH YOU
Bagian dari alternate universe Better Than Revenge
Note: Anggap aja ini pas Corbyn ngomong dia masih cadel ya, tapi aku ngetiknya normal aja biar gak bingung yg baca.
“Papa mau kemana kok pakai baju bagus?” Corbyn bertanya dengan kedua tanganya yang sibuk mengucek mata karena ia baru terbangun pagi ini. Anak kecil itu terbangun karena mendengar bunyi berisik akibat pergerakan Jimin.
Selama di Seoul, ayah dan anak itu memang tidur di kamar yang sama karena Corbyn masih rewel dan selalu butuh pelukan Jimin. Lagipula kamar untuk Corbyn sendiri masih belum jadi. Sementara waktu masih di Los Angeles, kamar mereka terpisah karena paksaan Jimin yang tidak mau tidur dengan Corbyn, meskipun setiap malam sebelum si kecil terlelap, sang ayah harus memeluknya terlebih dahulu hingga benar-benar memejamkan mata.
“Kerja lah.” Jimin menjawab tanpa menoleh ke arah putranya karena ia sibuk memakai dasi di depan cermin.
“Kata nenek, papa kerjanya minggu depan, kok udah mau kerja? Ini ’kan baru tiga hari.” Corbyn merupakan anak yang cerdas, sehingga ia sudah bisa berhitung meskipun baru berusia lima tahun.
“Kerja lebih cepet. Males lama-lama di rumah.”
“Oh.” Corbyn bergumam, anak kecil itu beranjak dari kasur dan turun perlahan. Ia berlari kecil untuk menghampiri Jimin, kemudian memeluk kakinya. “Good morning, papa,” salamnya diiringi kekehan riang.
“Apaan sih peluk-peluk kaki segala? Lepas. Aku mau jalan.”
“Papa jangan cepet-cepet dandannya. Corbyn ’kan belum mandi.”
“Masa aku berangkat nungguin kamu mandi segala? Gak usah ngaco deh.”
“Loh ’kan Corbyn ikut papa ke kantor baru?”
“Enggak lah. Ngapain!”
“Hung? Kok enggak?” Corbyn mulai merengek. “Pengen ikut papaaa,” rengeknya lagi.
“Pagi-pagi gak usah nyusahin, bisa?”
“P-papa...” Air mata Corbyn telah menggenang dan siap untuk meluncur membasahi pipi.
“Lepas ah. Kalau mau mandi panggil suster sana. Aku mau berangkat, lepas.”
“Hiks P-papa....” Pecah sudah tangisan Corbyn, anak itu masih memeluk kaki jenjang Jimin.
“Corbyn Park, pagi-pagi jangan tantrum dan nyusahin aku, bisa?”
“H-hiks pengen ikut papaa...”
“Corbyn Park!”
Bentakan Jimin sukses membuat Corbyn segera melepaskan pelukan di kakinya. Corbyn menunduk dan berusaha meredam isakannya karena ketakutan.
“Jimin! Apa-apaan sih? Pagi-pagi kok udah teriak-teriak?” tanya ibu Park yang baru memasuki kamar Jimin setelah mendengar teriakan putra semata wayangnya itu.
“Ya Tuhan, kenapa cucu nenek kok nangis?” Ibu Park segera menggendong Corbyn. Saat dalam gendongan sang nenek, tangisan Corbyn kembali pecah seakan mengadu karena ulah Jimin. “Jimin! Kamu apain anak kamu?” tanya ibu Park dengan nada marah.
“Biasa lah, ma. Mau ikut. Udah tau aku mau kerja, ikut ikut segala.”
“Namanya juga anak kecil, ya jelas pengen nempel ke papanya dong. Kamu jangan aneh-aneh deh.”
“N-nenek, Corbyn pengen ikut papa.”
“Corbyn Park, aku bilang enggak ya enggak.” Jimin kembali meninggikan suaranya.
“Main di rumah aja! Aku kerja tuh juga buat kamu beli mainan segala macem. Jadi jangan rewel!” Usai berkata demikian, Jimin segera keluar dari kamarnya tanpa memerdulikan tangisan Corbyn yang ingin ikut.
“Jimin! Jimin! Ini anak kamu nangis kejer loh, nanti dulu.” Ibu Park—sembari menggendong Corbyn—berteriak mengikuti langkah Jimin.
“Ada apa pagi-pagi kok ribut?” tanya ayah Park kala mendapati ekspresi tidak bersahabat dari istrinya dan putranya, serta cucunya yang menangis keras.
“Jimin, ajak Corbyn ke kantor. Apa susahnya sih? Bawa suster juga biar ada yang jagain. Lagian dia gak akan ganggu kamu, nak.”
“Mama, udah deh. Astaga. Urusan Jimin tuh banyak banget, harus ngurus A, B, C, D, dan lain-lain.”
“Kamu juga, Corbyn. Jangan cengeng, bisa? Jangan bikin aku pusing terus!”
“Kalau kamu gak bisa bawa Corbyn, seenggaknya tenangin anak kamu dulu itu. Gendong dia sampe berhenti nangis, nanti baru berangkat. Dia masih belum bisa beradaptasi di sini, Ji.” Ayah Park memberi solusi setelah mengetahui duduk perkaranya.
“Hah, anak itu. Nanti juga berhenti nangis kalo capek. Main-main sendiri nanti juga bisa adaptasi sendiri.” Jimin tetap enggan menenangkan putranya, alih-alih berjalan cepat untuk keluar dari rumah. Ia mengabaikan teriakan orang tua dan tangisan putranya.
To be continue...