WHERE ARE YOU FROM

Bagian dari alternate universe Better Than Revenge

Suster menggendong Corbyn untuk keluar dari taksi, sementara supir membantunya mengeluarkan mainan yang dibeli dari mall. “Corbyn jalan dulu, bisa? Soalnya Sus sambil bawa mainan Corbyn,” ucapnya sembari menurunkan Corbyn yang baru bangun tidur. Untung saja Corbyn mengangguk setuju.

Kebetulan Jimin memang belum menemukan supir yang cocok untuk Corbyn, sehingga ketika anaknya mau pergi bersama pengasuh, maka mereka harus naik taksi. Corbyn bersama pengasuhnya berjalan memasuki rumah dengan langkah lelah setelah seharian pergi ke luar.

“Kemana aja jam segini baru pulang?”

Pengasuh Corbyn merasakan jantungnya berdegup cepat, kekhawatirannya benar, Jimin pulang lebih awal dari yang ia kira. Ia tersenyum gugup dan berusaha melisankan alibi yang telah disusunnya. “’Kan dari mall pak,” jawabnya.

“Papa!” Corbyn berlari kecil menghampiri Jimin, kemudian memeluk kakinya sembari mendongak ingin digendong. Sayangnya Jimin masih tak acuh, alih-alih fokus menatap pengasuh putranya karena bergelagat aneh.

“Seharian di mall? Sejak kapan Corbyn betah main di mall selama itu? Milih mainan pun gak akan selama itu.”

“Papa, Corbyn ngantuk.”

“Diem dulu! Aku masih ada urusan sama suster.” Jimin membentak Corbyn sampai puteranya itu kaget dan menunduk takut.

“Iya, pak. Saya sendiri heran, biasanya Corbyn—”

“Saya gak mau dibohongi.” Insting Jimin cukup kuat, hanya dengan melihat gelagat pengasuh anaknya, pasti ada suatu hal yang disembunyikan. “Saya bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi,” lanjutnya dengan tatapan mematikan ke arah pengasuh Corbyn yang mulai gugup sembari meremat baju seragamnya.

“Saya tanya sekali lagi, seharian ini kamu benar-benar hanya bawa Corbyn ke mall?

“Iya pak.” Pengasuh Corbyn masih pada pendiriannya untuk tak mengatakan sejujurnya. Pun, ia merasa berani tetap berbohong karena melihat Corbyn yang sepertinya bisa diajak kerjasama.

“Oh, begitu.” Jimin memilih cara lain untuk mencari kebenaran. Ia setengah berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Corbyn, kemudian melayangkan pertanyaan, “Tadi kamu di mana aja sama suster?”

Pengasuh Corbyn menggigit bibir dalamnya dan merapalkan doa agar anak bosnya itu tidak berkata jujur.

“Ke mall. ’Kan itu beli mainan.” Corbyn menunjuk ranjang berisi mainan barunya.

“Thou shalt not bear false witness againts thy neighbour.” Jimin mengucapkan kalimat itu untuk mengingatkan pada Corbyn bahwa tidak boleh memberikan kesaksian palsu. Corbyn menunduk gugup dan memainkan jari-jari mungilnya sendiri.

“Corbyn, you don’t want to answer me?”

Corbyn masih diam, alhasil Jimin tak memiliki pilihan lain selain membentak, “Answer my question or i will never hug you again? Choose!”

“H-hiks, papa!” Corbyn menangis takut, kemudian bergerak hendak memeluk Jimin, namun papanya itu segera menjauh.

“P-papa takut.” Anak kecil itu merasa bingung sendiri. Jika ia berkata jujur, maka pengasuhnya akan dimarahi habis-habisan. Di sisi lain ia juga tak mau Jimin marah padanya.

“Takut apa? Bilang yang jujur!”

“T-tapi jangan marahin Corbyn, ya?”

Kaki pengasuh Corbyn merasa lemas bahkan rasanya sudah tak sanggup untuk berdiri. Alhasil, ia tak punya pilihan lain selain segera berlutut di hadapan Jimin.

“Pak, saya mohon maaf. Saya berbohong. Benar, tadi saya memang mengajak Corbyn ke mall sesuai kemauan dia. Tapi setelah itu saya mencuri waktu untuk pergi ke rumah sakit jiwa, untuk menjenguk sepupu saya setelah dua tahun lamanya. Saya bersalah karena tidak izin terlebih dahulu ke pak Jimin, saya pasrah jika harus dipecat karena kesalahan saya ini.”

Pengasuh Corbyn memilih jujur jika ia membawa anak bosnya pergi tanpa izin, namun memilih masih bungkam mengenai pertemuannya dengan Jungkook dan istrinya.

“How dare you?” Jimin berteriak murka pada pengasuh hingga membuat tangisan Corbyn kembali pecah karena terkejut dan takut. Bahkan beberapa asisten rumah tangga mulai datang untuk melihat karena mereka sama terkejutnya usai mendengar teriakan Jimin.

“Kamu bawa anak saya pergi tanpa sepengetahuan saya? Di rumah sakit jiwa? Otak kamu di mana sampai bisa-bisanya bawa anak saya ke tempat seperti itu? Saya kira selama lima tahun ini saya bisa percaya sama kamu, tapi ini apa? Ha?”

“M-maaf, pak. Saya salah. Kesalahan saya ini sangat fatal. Saya minta maaf.”

“Papa, maafin suster, ya? Gak apa-apa kok, ini Corbyn gak kenapa-napa, gak ada yang lecet, lihat, pa! Ya? Papa jangan marah-marah lagi, Corbyn takut.” Corbyn menangis memohon agar Jimin memaafkan pengasuhnya.

Jimin hanya diam, tetapi ia segera meraih tubuh Corbyn untuk digendong. “Pilih, saya pecat atau potong gaji 50 persen di bulan ini?”

“Hiks papa, jangan pecat sus. Sus ’kan bestfriendnya Corbyn.”

“Diam! Jangan ikut campur,” bentak Jimin pada Corbyn.

“Potong gaji aja, pak.” Pengasuh Corbyn memilih tawaran tanpa ragu sedikitpun.

“Ini terakhir kalinya kamu bawa-bawa anak saya pergi tanpa izin. Gak akan ada toleransi kalau kamu mengulangi kesalahan yang sama.”

“Iya pak. Saya janji.”

“Jangan langsung istirahat. Tata semua mainan yang dibeli tadi di playroom dengan rapi!” Perintah Jimin pada pengasuh Corbyn.

“Bibi Kim, buatin susu! Bawa ke kamar saya!”

“Siap, pak.”

Usai berkata demikian, Jimin segera pergi menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai dua—kamarnya—dengan Corbyn dalam gendongannya. Sesampainya di dalam kamar, Jimin menurunkan tubuh Corbyn dari gendongnnya.

“Mandi sana.”

“H-ha?”

“Mandi sana! Kamu bau asem.”

“Hungg papa, mandiin.”

“Kamu udah gede! Jangan manja. Yang mandiri!”

“Hunggg!” Corbyn menghentak-hentakkan kakinya di lantai, kemudian berlari menaiki kasur.

“Heh! Bau! Jangan nempel-nempel kasur. Mandi sana!”

“Maunya dimandiin papaaaaa.”

“Kamu jangan nyusahin aku ya!”

“Ya udah, Corbyn mau bobo aja.”

“Corbyn Matthew Park!” Jimin naik pitam, akhirnya ia mengalah dan menggendong Corbyn menuju ke kamar mandi untuk dimandikan.

“Dasar anak nakal.” Jimin menggerutu sembari melepaskan baju Corbyn.

“Kata nenek, kalo marah-marah terus, nanti cepat tua.”

“Kata Tuhan, kalo anak kecil berani bohong ke orang tuanya, nanti masuk neraka.”

“P-papa, Corbyn minta maaf tadi bohong ke papa. Soalnya disuruh suster.”

“Papa, Corbyn minta maaf.” Corbyn mengulangi perkataannya karena papanya hanya diam.

“Ini baju kamu kok banyak rambutnya sih?” Jimin diam karena sedari tadi ia memerhatikan beberapa helaian rambut panjang di baju milik Corbyn yang baru dilepasnya. “Rambutnya suster ’kan pendek. Terus ini rambut siapa kok panjang?”

“Oh, rambutnya tante cantik.” Corbyn menjawab dengan jujur. “Tadi tante peluk-peluk Corbyn terus. Corbyn diajak bobo juga di kamarnya,” lanjutnya dengan polos.

“Tante? Tante siapa?”

“Tante cantiknya om dok—ups.” Corbyn segera menutup mulutnya saat sadar akan sesuatu.

“Lanjutin ceritanya!”

“Papa, badan Corbyn kedinginan. Ayo mandii.”

“Lanjutin ceritanya!”

“Corbyn gak tahu tante itu siapa, papa. Papa tanya suster aja yang tahu.”

“Hiks papa, dingin.”

“Ck, dasar manja. Anak nakal!” Jimin memilih menanyakan hal itu nanti pada pengasuh Corbyn dan segera memandikan anaknya yang merengek kedinginan. Lagipula jujur saja ia sudah lelah marah-marah sedari tadi, pun ingin segera beristirahat.

To be continue...