WHO ARE YOU
Bagian dari alternate universe Please, Love Me
Aku rekomendasiin denger ini:
Jimin membuka mata, yang ia lihat pertama kali adalah ruangan bernuansa putih. “Oh, i‘m hospitalized,” pikirnya sembari melihat tangan kirinya yang tertancap selang infus. Netranya tertuju pada jam di dinding, ternyata sudah pukul delapan malam. Sepertinya ia tertidur sejak siang tadi.
Saat pandangan beralih ke kanan, Jimin mendapati Jeongguk yang tertidur dengan menyandarkan kepala pada pinggiran ranjang dan memegang tangannya. “Jeongguk,” lirihnya.
Senyuman tipis terpatri di wajah Jimin, pria bermarga Park itu membawa tangannya untuk mengelus pucuk kepala ayah dari anak-anaknya. Sebisa mungkin ia membuat pergerakan tangan yang sangat pelan agar tidur Jeongguk tak terusik.
“Sorry. Gara-gara aku, kamu tidurnya kayak gini. Pasti gak nyaman.” Jimin membatin dengan tangan yang tetap mengelus surai kepala Jeongguk penuh sayang. Memang, sebenarnya Jimin menyayangi Jeongguk, namun ada banyak hal yang membuatnya untuk tak menunjukkan kasih sayangnya.
“Jimin?”
Suara serak itu berhasil membuat Jimin menghentikan pergerakan tangannya untuk mengelus surai kepala Jeongguk. Sepertinya ia terlalu asik melamun dan berpikir sampai-sampai tak menyadari bahwa si pria Jeon telah terbangun. Ia terdiam karena malu ketahuan memberikan elusan untuk Jeongguk, kemudian memilih memosisikan tangan kanannya di atas perut.
“Gimana? Udah gak kenapa-napa ‘kan perutnya?” tanya Jeongguk. Anggukan kepala dari Jimin menjadi jawaban.
“Good. Aku panggilin perawat dulu.” Jeongguk beranjak dari duduknya, kemudian hendak keluar dari kamar, namun Jimin mencegahnya.
“Kamu cuci muka sama makan malam aja dulu. Kalo manggil perawat ‘kan tinggal mencet ini,” ucap Jimin sembari menunjuk tombol di dekat ranjang yang dikhususkan untuk memanggil dokter dan perawat.
“Gak apa-apa, aku—”
“Justin, please.”
Akhirnya Jeongguk mengangguk karena tak mau berdebat dengan Jimin. “Oke, aku ke kamar mandi dulu. Kamu pencet tombolnya biar ada perawat yang periksa kamu,” ucapnya
Jimin mengangguk, sementara Jeongguk segera ke kamar mandi yang ada di ruang inap tersebut. Jimin pun segera memencet tombol di dekat ranjangnya untuk memanggil perawat. Beberapa menit kemudian, Oliver—dokter kandungan Jimin—bersama perawat datang untuk memeriksa.
“Keadaan lo udah mending dibanding tadi, tapi tetap harus nginep di sini. Mungkin kalo besok udah lebih baik, besok siang lo boleh pulang.” Oliver memberikan penjelasan usai kembali memeriksa keadaan Jimin.
“Bayi gue gak apa-apa ‘kan?”
“Untuk saat ini masih aman. Gak tau lagi kalo lo bandel tetep milih kebanyakan stress.”
Jimin mendengus pelan usai mendengar respon dari Oliver.
“Gimana? Udah aman semua ‘kan?” tanya Jeongguk yang baru keluar dari kamar mandi.
“Yup, tapi masih harus opname. Mungkin besok siang boleh pulang, tapi tetep harus dalam pengawasan gue. Satu lagi, gak boleh stres.” Oliver kembali memberikan penjelasan yang panjang. Setelah Jimin dan Jeongguk mengangguk paham, Oliver berpamitan untuk keluar.
Berhubung lapar dan memang waktunya makan malam, Jeongguk memanggil pengawalnya untuk memesankan makanan. Di saat yang bersamaan, pegawai rumah sakit mengantarkan makanan untuk Jimin.
Jeongguk pun memilih duduk di kursi samping ranjang Jimin selagi menunggu makan yang dipesan pengawalnya. “Aku suapin kamu dulu sambil nungguin makananku dateng,” ucapnya.
“Justin, aku bisa makan sendiri.”
“Aku suapin aja. Please jangan ngebantah, Christian.”
Alhasil Jimin mengalah, ia membiarkan Jeongguk untuk menyuapinya.
“Udah ya, aku kenyang.”
“Tapi kamu baru makan enam sendok loh, Ji.”
“Tapi aku mual, Gguk.”
“Gak apa-apa, pelan-pelan aja makannya. Ini harus kamu makan sampe habis. Inget, kamu gak sendiri, ada adek yang butuh nutrisi.”
“Tapi aku bener-bener ken—”
“Jimin, tolong, tolong banget. Makan pelan-pelan, habisin. Kamu lagi sakit dan kamu harus sembuh. Aku gak mau adek kenapa-napa.”
Rasanya dada Jimin seperti dihantam batu besar. Tak munafik, ia merasa tersinggung dengan perkataan Jeongguk yang seolah-olah hanya memerdulikan kondisi bayi di kandungannya.
“Hormon sialan.” Jimin bergumam pelan sembari mengelap kasar buliran air mata yang telah berjatuhan membasahi wajahnya. Ia kesal karena mudah emosional ketika hamil.
Jeongguk mendesah kasar, “Kenapa malah nangis sih? Aku cuma minta kamu makan. Apa yang salah?”
“Justin, mending kamu pergi. Panggil Jade ke sini. Aku gak mau debat sama kamu.”
“Christian, aku gak ngajak kamu debat. Astaga.”
“Kamu masih marah sama aku. Jadi jangan pura-pura peduli—”
“Oh, God. Christian, kontrol emosi kamu. Kamu cuma lagi sensitif karena hormon hamil. Oke?”
“Iya. Aku emang lagi sensitif karena hormon hamil, tapi aku tersinggung dengar ucapan kamu yang seakan-akan cuma peduli sama adek. Dan kamu di sini cuma karena adek, bukan karena aku juga.”
Jimin membiarkan isakannya lolos begitu saja, pun nafasnya terengah-engah. Ia membawa punggung tangannya untuk selalu mengelap air matanya yang membasahi wajahnya.
“Okay, i apologize. Now please stop crying.” Jeongguk berusaha menenangkan Jimin dengan mengelus punggungnya. Sayangnya, Jimin menghempas kasar tangan Jeongguk.
Jeongguk sudah berusaha semaksimal mungkin untuk sabar, namun sekarang ia sudah berada di ambang batas. “So what do you want me to do?” tanyanya.
“Pergi dari sini. Ada Jade yang bisa ngurus aku.”
“Oke,” balas Jeongguk tanpa pikir panjang. Ia meletakkan mangkuk makanan di atas nakas samping ranjang, kemudian membalikkan badan berniat untuk keluar.
Jimin tersenyum getir karena Jeongguk sudah berubah banyak semenjak pertengkaran mereka di The Forum beberapa minggu lalu. Pria bermarga Jeon itu tak lagi memerdulikannya kecuali janin dalam kandungannya.
“Rumor itu emang benar. Aku emang pengen ngasih adek buat Charlotte biar dia punya saudara dan itu harus sedarah sama dia, itu artinya harus kamu yang jadi Daddy-nya.”
Perkataan Jimin tersebut berhasil membuat Jeongguk menghentikan langkah, namun enggan membalikkan badan. “Buat apa ngejelasin hal yang udah jelas,” ucap Jeongguk diiringi kekehan sinis.
“Tapi bukan berarti aku anggap kamu cuma bank sperma.”
“Terus apa kalo bukan bank sperma?”
“Karena aku, a-aku...” Jimin menjeda perkataannya karena terlalu bingung untuk mengucapkannya. “Aku cinta sama kamu. Aku gak mungkin punya anak lagi kalo bukan sama kamu,” lanjutnya gugup.
Jeongguk berbalik, ia menatap Jimin dengan tatapan sendu. “Christian, when will you stop playing with my feelings?”
“W-what? N-no, i don’t—”
“Kamu terpaksa bilang gitu karena sekarang lagi butuh perhatianku, iya?”
“No, Justin!”
“And then what?” Kali ini Jeongguk meninggikan suaranya. Sungguh, ia tak berniat untuk lepas kendali, namun pernyataan Jimin membuatnya merasa dipermainkan untuk kesekian kalinya.
“On monday you said you didn’t need me. On tuesday you made me feel stupid. On wednesday we were making love. On thursday you wanted me to go. On friday we didn’t talk. On saturday you said you needed space. On sunday you said you needed me. It had always been repetitive for years, and now I’m so tired with it. Christian!”
Jimin menundukkan kepala karena tak sanggup menatap wajah terluka Jeongguk yang menangis. Bibirnya bergetar, lidahnya terasa kelu untuk membela dirinya sendiri.
“Aku bingung harus gimana lagi cara menghadapi kamu. Aku manusia biasa, Ji. Aku gak selalu bisa sabar. Aku capek sama hubungan yang rumit ini. Aku cinta sama kamu, aku pengen hidup sama kamu, tapi kamu selalu menghindar meskipun kamu sendiri gak pernah berhubungan sama orang lain.”
Jeongguk menghapus kasar air matanya menggunakan punggung tangannya. Ia berharap Jimin membuka suara untuk menanggapi perkataannya, namun pria Park yang tengah mengandung anak keduanya itu hanya diam dan terisak.
Jeongguk memejamkan mata, merutuki dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol emosi. Ia memilih untuk kembali hendak keluar meninggalkan Jimin agar mereka tak terlibat lagi dalam pertengkaran. Sayangnya, langkah Jeongguk terhenti lagi ketika mendengar suara lirih dari Jimin.
“My daddy cheated on my papi,” lirih Jimin. “When i was 6 years old,” lanjutnya.
“Mereka berantem hampir tiap hari, sampai akhirnya pisah rumah dan daddy bawa aku. Daddy gak bolehin papi buat ketemu aku sekalipun aku nangis minta ketemu papi. Bahkan aku lihat papi berlutut di depan rumah buat minta ketemu aku tapi daddy gak ngasih izin.”
“Selama satu tahun lebih aku gak boleh ketemu papi. Aku homeschooling, aku gak punya teman kecuali Jade anaknya asisten daddy. Waktu aku nonton tv, ada berita kalo papiku udah jalan sama pria lain. Beberapa minggu setelahnya juga papi dan daddy resmi bercerai secara hukum. Dan aku...”
Jimin menjeda perkataannya karena sangat sulit untuk mengutarakan rasa sakit hati yang disembunyikannya dari Jeongguk selama ini. Air mata pria Park itu tak henti menetes sampai jatuh membasahi baju pasien yang dikenakannya.
“Aku...aku sakit hati. Hidupku berantakan. Aku ngerasa udah gak punya keluarga. Hidup sama daddy tapi daddy gak ngasih kasih sayang seperti sebelumnya. Ingin hidup sama papi tapi daddy gak ngasih izin.”
Jimin memukul dadanya sendiri, “Rasanya sakit.”
Jeongguk menatap sendu Jimin yang tengah terisak di atas ranjang, tetapi ia perlu menanyakan sesuatu karena penasaran. “Oke, terus apa hubungannya sama aku? Kenapa kamu cerita masalah itu ke aku? Hem?”
“Because i hate my daddy and you are the daddy in our family!” Jimin berteriak dan masih tersedu-sedu.
Jeongguk mengernyit sembari menggeleng pelan. Untuk sesaat ia mencoba memahami perkataan Jimin, namun hal tersebut sangat sulit dicerna oleh otaknya. “I don’t get it,” gumamnya bingung.
“Justin, seharusnya malam itu kita gak ngelakuin itu. Seharusnya aku gak pertahanin Charlotte. Seharusnya kita gak ketemu, jadi aku gak bisa nyakitin kamu.”
“J-jadi kamu gak mau nikah sama aku bukan karena trauma gagalnya pernikahan orang tua kamu aja tapi juga karena aku sosok daddy? Jadi kamu ngelimpahin rasa benci kamu sama daddy kamu ke aku? Gitu, Christ?”
“S-sorry. Seharusnya Charlotte gak ada, seharusnya kamu gak cegah aku buat gugurin Charlotte. Seharusnya Charlotte gak ada. Seharusnya Charlotte gak ada.” Jimin meracau.
Air mata Jeongguk mengalir semakin deras. Ia menatap Jimin dengan raut wajah yang sangat terluka. Terkejut, tentu saja, karena ia tak bersalah, namun Jimin mempergunakannya sebagai tempat balas dendam. Sungguh, Jeongguk masih belum bisa menerima alasan Jimin.
“Christian, how can you...” Jeongguk tidak sanggup melanjutkan perkataannya, alih-alih menjambak rambutnya sendiri.
“Y-you, you hurt me, Christian. You broke my heart into pieces,” lirih Jeongguk dengan nada serak karena menangis.
“Not only me, but also Charlotte.” Jeongguk tak bisa lagi menyembunyikan fakta mengenai Charlotte pada Jimin. “She knew it all. She knew about us. She knew we were fighting, she knew,” lanjutnya.
“I know!” Jimin memekik. Beberapa kali ia memang mengetahui Charlotte yang diam-diam memergokinya dan Jeongguk ketika berseteru, namun memilih diam.
“A-apa? Jadi kamu juga tahu kalo Charlotte tahu? Jimin, di mana rasa simpati kamu? Apa kamu gak merasa bersalah bikin aku dan Charlotte terluka? Kamu gak merasa bersalah sama sekali? Hem?”
“But i love you, Charlotte, and adek.”
“No, you don’t love us, Christian. If you really really love us, you don’t hurt us.”
“Jeongguk, kamu jangan nyalahin aku aja dong. Jangan mojokin aku. Aku emang salah tapi aku bingung. Aku terjebak dalam rasa sakit hati dan trauma. Kamu gak tahu rasanya jadi aku. Kamu gak tahu rasanya cinta sama orang tapi rasa sakit di hatimu ngedorong kamu buat lampiasin ke mereka. Kamu gak tahu!”
“Aku emang gak tahu, tapi kamu keterlaluan. Sangat keterlaluan! Bertahun-tahun kamu nyakitin aku dan Charlotte karena pelampiasan rasa sakit hati kamu? Kenapa kamu lebih milih terjebak di masa lalu? Kenapa kamu gak mau move on aja di saat ada aku yang tulus cinta sama kamu? Hem? KENAPA?”
Tangisan Jimin semakin keras kala mendengar bentakan Jeongguk.
“Answer me, Christian. Why?”
Jimin merasa tak sanggup bersuara lagi, ia hanya menggelengkan kepala dan terisak.
“Fuuuucckk!” Jeongguk mengumpat, kakinya menendang tembok di ruangan bernuansa putih tersebut. Ia tak mau lebih emosi, sehingga memutuskan pergi dari ruangan tersebut.
“Lebih baik aku pergi. Aku gak mau lepas kendali kalo terus di sini. Aku suruh Jade ke sini setelah ini,” ucap Jeongguk sebelum pergi, tanpa menatap Jimin.
Jeongguk keluar dari ruangan, kemudian berjalan gontai dan mengajak pengawalnya untuk menyusul Charlotte. Saat baru menjauh beberapa meter dari ruang inap Jimin, ia bingung ketika melihat dokter dan beberapa perawat berlarian panik. Ia tak acuh, namun mengetahui arah mereka menuju ke ruang inap Jimin membuat jantungnya berdetak kencang.
“Kenapa mereka ke—JIMIN!” Jeongguk berlari kencang menuju ke ruangan Jimin ketika melihat dokter dan beberapa perawat masuk ke sana.
“JIMIN!” Jeongguk memekik panik kala mendapati Jimin sudah tak sadarkan diri di atas ranjang.
Jeongguk tak tahu bahwa saat keluar ruangan, Jimin merasa perutnya sakit namun enggan memberi tahu ayah dari anak-anaknya. Jimin memilih memencet tombol di samping ranjangnya untuk cepat mendapatkan pertolongan dari dokter. Sayangnya setelah menekan tombol, Jimin hilang kesadaran.
“Bawa ke ICU!” teriak Oliver.
“Iya, dok.” Para perawat segera mendorong ranjang Jimin untuk dipindahkan ke Unit Perawatan Intensif.
“Apa yang lo lakuin? Hah? Kenapa tiba-tiba Christian kayak gini padahal tadi baik-baik aja? HAH?” Oliver menarik kerah jaket Jeongguk.
“G-gue...”
“Dok, tolong jangan emosi dulu. Ayo kita ke ICU,” ucap salah satu perawat. Akhirnya Oliver melepaskan kerah Jeongguk dan segera berlari menuju ke ICU.
Tubuh Jeongguk merosot ke lantai, rasanya sangat lemas. Andai ia tak menanggapi Jimin, pasti ini semua tak akan terjadi. Andai saja.
Bersambung...