WITHOUT YOU
Bagian dari alternate universe Better Than Revenge
Catatan: Aku saranin bacanya sambil puter ini biar agak ngefeel.
Jungkook berdiri mematung ketika tiba di depan kafe milik Jimin—yang sekarang dikelola oleh kerabat Jimin. Sudah lama sekali ia tak ke sini, tempat dirinya dan Jimin dulu merajut kasih. Benak Jungkook tiba-tiba dipenuhi bayangan ketika selesai melakukan pekerjaan di rumah sakit, ia akan datang ke kafe ini, kemudian tertawa bersama Jimin, lalu ketika sudah larut pulang ke apartemen mereka. Jungkook tersenyum getir, andai waktu bisa diulang, ia akan lebih memilih menjadi anak durhaka daripada harus merelakan kebahagiannya bersama Jimin sirna.
Jungkook membuyarkan lamunannya sendiri kala matanya menangkap Jimin yang menatap kehadirannya. Ia segera melangkahkan kaki untuk memasuki kafe itu. “Hai, Ji. Maaf bikin kamu nunggu.” Ia duduk di kursi, berseberangan dengan Jimin.
“No worries. Kafenya sepi karena aku nutup lebih awal. Semua pegawai udah pulang.” Jimin merespon dan memberi tahu Jungkook bahwa keadaan kafe sudah steril, sehingga mereka bisa mengobrol empat mata.
Suasana masih canggung, Jungkook dan Jimin kembali diam. Hanya lagu terputar yang meramaikan suasana kafe. Jungkook tersenyum getir kala menyadari makna lagu yang terputar.
I got to learn how to love without you I got to carry my cross without you Stuck in the middle and I’m just about to Figure it out without you And I’m done sitting home without you Fvck, I’m going out without you I’m going to tear this city down without you I’m going Bonnie and Clyde without you
“Lagunya bagus.” Jungkook berucap untuk memecah keheningan.
“Aku suka lagu ini, makanya aku puter, karena sangat relate sama keadaanku.” Jimin berucap terus terang. Ia memang sengaja memutar on loop lagu tersebut agar Jungkook sadar. Jungkook diam tak merespon, alih-alih tersenyum canggung.
“Oh ya. Tadi aku bikin ini.” Jimin menunjuk peanut butter banana smoothie dan banana cream tart yang ada di atas meja, “Cobain,” pintanya.
Jungkook tersenyum, ia mulai memasukkan satu sendok banana cream tart ke dalam mulutnya, kemudian meminum peanut butter banana smoothie. “Enak.” Ia memuji sembari memberikan dua acungan jempol.
“Corbyn juga suka kalo aku bikinin itu.” Jimin tersenyum, mengingat Corbyn yang memiliki kesukaan seperti Jungkook. “Dia suka makanan apapun berbahan pisang... Kayak kamu.” Ia menambahi. Ia tersenyum kala melihat Jungkook terlihat sangat menikmati kue dan minuman buatannya. Dada Jimin terasa nyeri, bayangan masa lalu ketika ia dan Jungkook masih menjalin kasih kembali muncul, saat-saat mereka tertawa bersama menghabiskan waktu di kafe ini maupun di apartemen. Kalau boleh jujur, Jimin ingin sekali kembali ke masa itu.
Jungkook menghentikan kegiatannya untuk makan dan minum ketika menyadari Jimin yang menatapnya sendu dengan mata berkaca-kaca. “J-jimin?” Perasaan pria itu diselimuti kekhawatiran ketika kristal bening berjatuhan membasahi wajah Jimin.
“Hem?” Jimin menyeka air matanya yang tanpa ia sadari telah membasahi pipinya. Ia tersenyum canggung dan bergumam, “Maaf.”
“Jimin aku—”
“Jungkook aku mau kembali ke Los Angeles, sama Corbyn.”
Jungkook membulatkan mata bambinya, ia terkejut, rasanya dadanya baru saja dilempari ribuan tombak. Sontak air mata pria Jeon itu berjatuhan, “J-jimin? Kembali? Maksudnya cuma sebentar aja ’kan? Setelah itu balik ke sini ’kan?”
“Enggak, aku mau tinggal di sana lagi.”
“T-tapi... E-enggak, maksudku... Kenapa? Kenapa tiba-tiba?” Nafas Jungkook tersengal-sengal, sungguh, ia terkejut mendengar pernyataan Jimin yang tak diduganya.
“J-jimin, tadi aku udah bicara sama Minji. Dia setuju untuk tetap biarin kamu tinggal sama Corbyn. Dia gak akan ambil dan minta Corbyn dari kamu. Jadi jangan pergi, ya?”
“Keputusanku... udah bulat.” Jimin terisak pelan, ia menundukkan kepalanya karena tak sanggup melihat Jungkook yang terlihat syok berat.
Jungkook beranjak dari duduknya, ia segera berlutut di depan Jimin. “Jimin, aku mohon. Jangan pergi, ya? Aku mohon, please stay in here.” Ia berusaha membujuk dengan nada paniknya sembari menggenggam tangan Jimin.
Jimin menggelengkan kepalanya, masih tak sanggup menatap Jungkook.
“J-jimin, jimin, lihat aku.” Jungkook menangkup wajah Jimin agar mau menatapnya langsung. “Jangan pergi, aku mohon. Jangan pergi.” Nada bicara Jungkook terdengar menyedihkan. “Kamu udah janji gak ngelarang aku ketemu Corbyn, t-tapi... kenapa jadi gini?”
Jimin masih terisak, ia mengepalkan tangannya kemudian memukul dadanya sendiri yang terasa nyeri. “Jungkook, aku masih sakit. Aku.. aku... a-aku masih sakit.”
“Semenjak kembali ke sini, luka itu balik nyakitin aku. Aku kembali ingat semuanya. Aku ngerasa tertekan. Aku... aku gak sanggup tinggal di sini. Rasanya trauma, aku... aku masih sakit.”
“Sebenarnya aku masih mau mikirin matang-matang sampai seminggu atau dua minggu ke depan. Tapi tiba-tiba tadi pagi Corbyn nangis, dia ngajak pulang ke Los Angeles karena dia rindu rumah, sekolah, dan teman-temannya, makanya aku mutusin untuk balik ke sana. Keputusanku sekarang udah bulat. Aku akan pulang ke Los Angeles.”
“Aku gak bohong, kamu bisa tanya Corbyn sendiri kalau gak percaya. Dan aku bersumpah, aku gak maksa dia.”
Nafas Jungkook tersengal-sengal, dadanya kempang-kempis, air matanya mengucur semakin deras. Ia menangis sesenggukan, masih syok dan tak menyangka bahwa Jimin akan membuat keputusan seperti itu. Ia kira semuanya secara perlahan akan baik-baik saja, namun ekspektasinya sangat jauh dari kenyataan.
“A-aku... J-jimin... A-aku...” Rasanya sulit bagi Jungkook untuk melanjutkan ucapannya, berujung ia kembali terisak karena dilanda syok berat.
“Maaf, maafin aku. Jungkook, maaf.” Jimin berusaha menenangkan Jungkook dengan mengusap pelan pucuk kepala pria Jeon yang tengah berlutut di depan kedua kakinya.
“Kamu... Kamu masih trauma waktu malam itu?” Jungkook menduga-duga bahwa Jimin masih sakit hati jika mengingat ditinggalkan dan dilontarkan kata-kata sindiran cukup kasar dari tuan-nyonya Jeon.
“Aku mewakili ayah dan ibuku, aku minta ampun. Aku minta maaf... Oh, Minji juga, aku mewakili dia, aku minta maaf, aku minta ampun, mohon ampun, t-tapi hiks Jimin, jangan pergi...” Pria Jeon itu mendongak, masih berusaha memohon pada Jimin.
“Udah tujuh tahun lamanya. Aku pikir aku bisa lupa... Iya, aku sedikit lupa waktu tinggal di Los Angeles, tapi waktu balik ke sini, aku ingat semuanya. Aku selalu yakinin diriku sendiri kalau semuanya baik-baik aja, aku selalu berusaha bahagia, berusaha baik-baik aja. Aku cari kesibukan kerja, aku cari hiburan, godain Corbyn sampe dia nangis, clubbing sama temen-temenku. Tapi nyatanya rasa sakit itu tetep ada. Maaf, aku susah lupain itu semua. Aku masih belum bisa move on.”
Jimin menangkup wajah Jungkook yang masih mendongak menatapnya. Ia membawa kedua tangannya untuk menyeka air mata yang membahasi pria Jeon di bawahnya. “Aku emang masih cinta sama kamu, sejak dulu, hari ini, besok, sampai seterusnya.” Ia beralih membawa tangannya untuk merapikan rambut Jungkook, kemudian mengelusnya. “Rasanya susah buka hati untuk orang lain meskipun aku biarin mereka deketin aku. Tapi untuk kembali ke kamu, aku masih belum bisa.”
“Sekarang prioritasku masih cuma Corbyn. I want the best for him. Kalau dia minta balik ke Los Angeles, aku akan kabulin, terlebih aku sendiri juga pengen balik ke sana.”
Isakan Jungkook sudah sedikit reda meskipun air matanya masih berjatuhan. Ia menyimak baik-baik setiap perkataan yang keluar dari belah bibir Jimin. Ia mulai paham bahwa sakit yang diberi olehnya sendiri dan keluarganya untuk Jimin sangat sulit disembuhkan. Mungkin memang sudah seharusnya ia merelakan Jimin untuk pergi, demi kebaikan si pria Park yang masih dicintainya.
“Kalau...” Jungkook akhirnya kembali membuka suara meskipun ia berusaha keras lantaran tenggorokannya terasa sakit. “Kalau memang itu yang terbaik untuk kamu dan Corbyn, oke, gak apa-apa kalau kamu pergi.” Ia berkata dengan suara seraknya.
“Rasanya emang berat karena ekspektasiku kamu akan tetap tinggal di Seoul tapi kalau Los Angeles adalah tempat ternyamanmu, oke, gak apa-apa. Aku ngerti.”
Jungkook mengangkat tangannya untuk mengelus wajah Jimin yang masih basah air mata. “Aku gak tahu sesakit apa yang kamu derita, tapi aku coba memahami kalau itu rasanya benar-benar sakit karena kamu masih ngerasain itu hingga detik ini.”
“Aku harap setelah kamu kembali ke sana, pelan-pelan kamu bisa sembuh... Oke, gak apa-apa, kamu boleh pergi sama Corbyn, aku berusaha ngerti.”
“Jimin, nanti aku akan kerja lebih keras. Kalau uangku kekumpul dan cukup, boleh aku berkunjung ke Los Angeles?”
Air mata Jimin kembali merembes keluar, pun rasanya dadanya ditendang berkali-kali usai mendengar perkataan Jungkook dengan nada menyedihkan. Ia merasa bersalah karena perekonomian Jungkook yang menyedihkan setelah dihancurkan oleh ayah Park.
“Eng-enggak.” Jimin menggelengkan kepala, “Simpan uangmu untuk hal-hal yang lebih penting karena aku sama Corbyn akan pulang ke sini saat liburan sekolah Corbyn.”
“Enggak, aku akan tetap berusaha sesekali bisa berkunjung ke sana.” Jungkook berucap yakin.
Jimin mengulas senyum, tangannya kembali mengelus wajah tegas Jungkook. “Oke, terserah kamu.” Ia menarik tangan Jungkook agar pria itu berdiri. “Balik ke tempat duduk kamu, habisin kue tart sama smoothiesnya.”
Jungkook menurut, ia kembali duduk dan lanjut menyantap hidangan untuknya, meskipun suasana hatinya sangat tidak baik-baik saja. Jungkook dan Jimin kembali terdiam, hanya lagu yang meramaikan suasana kafe.
“Aku besok akan kembali jenguk Minji. Aku akan kasih tahu ke dia kalau Corbyn minta pulang ke Los Angeles.” Jimin memecah keheningan.
“Hm, iya.” Jungkook merespon singkat. “Kapan kamu mau balik ke Los Angeles?” tanyanya kemudian.
“Mungkin minggu depan.”
“O-oh.”
Suasana kembali hening. Ketika sudah menghabiskan kue tart dan smoothies, Jungkook mengajak Jimin untuk pulang. Ia menawarkan mengantar pulang Jimin, sehingga mobil mantan kekasihnya itu harus ditinggal di parkiran kafe.
Selama perjalanan pulang, Jungkook dan Jimin sama-sama diam, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saat sampai di rumah, Jungkook dibuat terkejut karena Jimin tiba-tiba memeluk erat tubuhnya.
“Sebentar aja.” Jimin bergumam pelan, pelukannya mengerat, ia mencium aroma apel dari tubuh Jungkook.
Diam-diam Jungkook kembali meneteskan air matanya. Ia sedikit senang karena akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, dirinya bisa kembali mendapatkan pelukan dari Jimin. Ia membawa tangannya untuk melingkar di tubuh Jimin, membalas pelukan mantan kekasihnya.
Merasa cukup, Jimin segera melepaskan pelukannya. Ia menatap sendu ke arah Jungkook yang ternyata kembali menangis. Tangan pria itu tergerak untuk menyeka air mata Jungkook, “Don’t cry,” gumamnya.
“Hm, kalo gitu aku pulang dulu. Kamu masuk aj—”
“Kamu mau dianter supirku? Karena kamu masih nangis—”
“Gak, aku bisa pulang sendiri. Aku gak apa-apa.”
“Oke, hati-hati di jalan.”
“Hm, good night, Ji.”
“Good night, Jung.”
Jungkook membalikkan tubuh, ia berjalan untuk kembali ke dalam mobilnya. Sementara Jimin masih menunggu hingga Jungkook benar-benar pergi dari area rumahnya.
FLASHBACK
Malam hari saat memutuskan pergi ke bar, Jimin mengungkapkan kegundahan hatinya pada Seongwoo, berharap mendapatkan solusi yang baik.
“Sejak gue di sini, gue semakin tertekan, gue sering panik. Luka itu kembali bermunculan. Sakit hati karena ucapan Minji dan kedua orang tua Jungkook, sakit hati karena Jungkook yang milih ninggalin gue. Udah tujuh tahun, rasanya masih susah buat lupain dan sembuhin luka itu. Gue tekanan batin, capek banget.”
Jimin menyesap martini yang sebelumnya ia pesan, sementara Seongwoo duduk di sampingnya, berusaha mendengarkan curhatannya dengan baik.
“Kalo gitu lepasin Corbyn dan balik ke Los Angeles.”
Jimin sampai tak jadi kembali menyesap martininya usai mendengarkan saran dari sahabat yang juga mencintainya. “Apa? Ulangin.”
“Kalo lo tetep sama Corbyn, lo akan sering ketemu atau komunikasi sama orang tuanya, yang artinya, lo akan ketrigger ngerasain sakit itu lagi. Jalan terbaik adalah balikin dia ke orang tuanya, dan lo bisa buka lembaran baru di Los Angeles.”
Jimin menatap Seongwoo dengan tak percaya, bisa-bisanya sahabatnya itu menyarankan hal yang menurutnya tidak masuk akal. “Gue gak habis pikir, gimana bisa lo nyaranin gue pisah dari anak gue padahal dia segalanya untuk gue saat sekarang?”
Jimin menangis, tatapannya tersirat luka dan tersinggung karena orang yang dipercayanya memberikan saran seperti itu.
Seongwoo mendekat, tangannya mulai merengkuh tubuh Jimin. “Sshhh, sorry, sorry, gue gak maksud nyakitin lo. Gue salah.” Ia menepuk pundak Jimin agar isakannya sedikit mereda.
“Kalo gitu, kalo lo tega, lo bawa balik Corbyn ke LA. Kalian kembali hidup di sana kayak dulu. Gue paham, LA adalah tempat terbaik bagi lo untuk sekarang.”
“Tadinya gue mikir gitu tapi... Apa gue gak jahat karena misahin anak dan orang tua kandungnya?”
Seongwoo melepaskan rengkuhannya pada tubuh Jimin. Ia memutar kursi depan counter agar mereka duduk saling berhadapan.
“Jimin, pikirin kebahagiaan lo sendiri. Kalo lo butuh Corbyn di hidup lo, pertahanin. Lebih-lebih, lo sedang sakit dan anak lo yang bisa bikin lo semangat hidup. Jadi gak perlu khawatir dianggap jahat.”
Jimin mengangguk pelan, ia setuju dengan perkataan Seongwoo, sama seperti yang dikatakan kedua orang tuanya dan Chaeyoung. Pun, ia juga memegang prinsip untuk tak masalah menjadi egois dan jahat demi kebaikan diri sendiri.
“Tapi...”
“Tapi apa, Ji?”
“Apa... Lo gak masalah kalau gue pergi lagi?” Jimin berkata demikian karena sedikit tak enak hati pada Seongwoo yang telah bertahun-tahun menantinya kembali, pria itu menyukainya sejak lama ketika ia masih menjadi kekasih Jungkook. Sesaat kemudian ia dibuat bingung kala Seongwoo tertawa.
“Kenapa lo ketawa?”
“Ji? Emangnya gue siapa? Gue cuma sahabat lo dan bahkan berada di nomer belasan dalam hidup lo.” Seongwoo berkata santai diiringi kekehan. “Lo gak perlu khawatirin gue.”
“Seongwoo, maaf, gue kayaknya juga gak bisa dan mungkin gak akan bisa nerima lo.”
“Gue tahu, Ji. Lo gak perlu khawatir. Gue bisa ngatasin perasaan gue sendiri. Emang sekarang gue masih suka sama lo, tapi mungkin nanti gue akan nemu orang yang bisa bikin gue move on. Lo gak usah khawatir dan sungkan sama gue.”
Jimin mengulum senyum, meskipun ditolak berkali-kali, Seongwoo masih tetap setia menjadi salah satu suppory systemnya, bahkan sering mengunjunginya di Los Angeles. Ia segera memeluk Seongwoo, “Maaf ya, gue gak bisa bales perasaan lo. Tapi gue sayang banget sama lo sebagai sahabat. Makasih banyak udah jadi sahabat gue.”
Seongwoo balas memeluk tubuh pria yang lebih mungil. “That’s okay, bae. No need to feel sorry.” Setelah itu ia mengajak Jimin untuk kembali bersenang-senang menghilangkan penat dengan menari dan minum.
Esok paginya, Jimin terbangun dengan kepala pusing. Pusing yang ia alami cukup reda setelah makan dan minum pereda mabuk. Ia membersihkan tubuh, saat keluar dari kamar mandi, ternyata ada Corbyn yang menunggunya.
“Good morning, papa!” Corbyn menyapa papanya dengan nada riang seperti biasanya.
“Hemm, good morning bocil.” Jimin bergegas menuju ke meja rias untuk mengeringkan rambutnya dan mengaplikasikan beberapa produk skincare di wajahnya.
“Papa?”
“Apa? Pagi-pagi jangan bikin aku kesel.”
“Engg, papa... pulang yuk?”
“Pulang ke mana sih bocil? Ini udah di rumah. Dibilangin pagi-pagi jangan bikin kesel.”
“Hehe, maksudnya pulang ke Los Angeles.”
Jimin menghentikan aktivitasnya, ia segera menoleh ke arah Corbyn ketika menyadari suara putranya itu mulai bergetar. Benar saja, mata Corbyn berkaca-kaca dan siap untuk tumpah. Perasaan Jimin tidak enak karena tak biasanya Corbyn seperti ini. Sontak ia berlari untuk menghampiri Corbyn. Ia berlutut di depan sofa, tempat putranya duduk.
“What’s happening?” Jimin bertanya, namun respon yang ia dapat dari Corbyn adalah gelengan. “Jujur sama papa, ada apa kok tiba-tiba kamu ngajak pulang ke LA?” Ia mengulangi pertanyaannya.
“Hiks huwe.” Tangisan Corbyn pecah, air matanya juga berjatuhan. Anak itu menangis sembari mengucek matanya.
“Hei kok nangis sih? Bocil! Jangan nangis ah.” Jimin menepuk pelan punggung putranya, pun jemarinya menyeka air mata anak itu.
“Hiks papa, Corbyn wants to go home. Corbyn misses friends, teachers, school. Corbyn miss everything in LA. Please papa, Corbyn want to go back to LA.” Anak itu menangis sesenggukan, memohon-mohon kepada papanya untuk diajak pulang ke Los Angeles.
Jimin terdiam, ini pertama kalinya ia mendengar serta melihat Corbyn memohon dengan serius dalam artian tidak nakal dan merengek seperti biasanya. “Corbyn, bilang sama papa. Ada yang nyakitin Corbyn? Ada yang bikin Corbyn gak nyaman di sini? Jangan bikin papa panik dan khawatir. Gak biasanya kamu gini, sayang.”
Pikiran Jimin kalut, ia takut kalau ternyata Corbyn mengalami perundungan di sekolah. Ia segera meraih ponselnya untuk menghubungi wali kelas Corbyn lantaran anaknya masih memilih bungkam.
“Halo, selamat pagi, pak Jimin papanya Corbyn ya?”
“Iya, bu Im. Maaf telpon pagi-pagi begini. Saya sekarang panik karena anak saya tiba-tiba nangis mengajak pulang ke Los Angeles. Apa di sekolah ada sesuatu yang terjadi kepada anak saya ya, bu?”
“Loh? Gak ada sesuatu yang salah kok, pak. Saya jujur, pak Jimin juga bisa lihat CCTV di sekolah. Corbyn aman di sekolah, dia riang bermain bersama teman-temannya kok, pak. Saya berani bersumpah, dia di sekolah baik-baik saja. Aduh.. kok bisa tiba-tiba gitu ya?”
Jimin menatap Corbyn yang diam. Ia percaya dengan perkataan wali kelas karena dirinya sangat mengenal Corbyn selalu bercerita entah mengenai hal baik maupun buruk yang dialaminya. “Baik kalo gitu, bu. Mungkin ada hal lain yang tidak berkaitan dengan sekolah. Kalau gitu saya akhiri telponnya, sekali lagi saya minta maaf menelepon bu Im pagi-pagi.” Jimin segera mengakhiri panggilan setelah mendapatkan respon dari wali kelas.
“Papa kenapa nelpon ibu Im sih? Corbyn sudah bilang, Corbyn rindu Los Angeles. Corbyn mau pulang ke rumah, bukan di sini.”
“Corbyn yakin? Memangnya Corbyn gak apa-apa jauh dari ayah dan ibu? Seoul dan Los Angeles itu jauh banget, beda benua.”
“Memangnya kenapa sih, pa? Yang penting Corbyn sama papa. Biasanya juga gitu. Nanti kalau ayah sama ibu kangen Corbyn ’kan bisa berkunjung ke Los Angeles?”
“Iya sih... Tapi Corbyn yakin? Papa gak mau kalo tiba-tiba kamu nangis dan pengen balik ke Seoul.”
“YAKIN!” Corbyn memekik sangat yakin. “Ya, pa? Ayo pulang ke LA, hiks.” Anak kecil itu membawa tangannya untuk mengalung di leher papanya yang berlutut di depannya.
“Oke kalo gitu, nanti kita pulang.”
“Hiks papa jangan bohongin Corbyn. Corbyn gak suka dibohongin, dikasih harapan palsu.”
“Enggak, sayang. Papa janji, minggu depan kita pulang, oke?” Jimin kembali menyeka air mata di wajah Corbyn. “Jangan nangis lagi. Papa panik banget lihat kamu nangis. Jangan bikin papa panik dan sedih, ya?”
“P-papa, maafin Corbyn...”
“Iya, papa maafin. Sekarang Corbyn udahan ya nangisnya. Papa janji, minggu depan kita pulang.” Jimin memeluk tubuh mungil di depannya, tangannya memberikan elusan lembut pada punggung putranya.
“Thank you papa.” Corbyn mengecup gemas wajah papanya. “Corbyn lebih suka tinggal di Los Angeles. Mallnya bagusan di sana, mainannya lengkap di sana. Terus kalo liburan diajak papa ke Hawaii. Corbyn rindu U.S.A.”
“Dasar, mainan mainan terus.” Jimin menggigit gemas pipi tembam putranya.
“Papa, nanti papa beli rumah di Hawaii ya? Biar kalo liburan, kita bisa pulang ke Hawaii tanpa harus repot nginap di hotel, ya pa?”
“HEH!” Jimin memekik kesal usai mendengar permintaan anaknya. “Kamu makin lama kok makin banyak maunya ya?” Jimin mulai menggoyang-goyangkan tubuh Corbyn. “Tahun ini Hawaii jadi negara bagian termahal buat ditinggali. Rumah di sana mahal! Astaga Corbyn Matthew Park!”
Corbyn terkikik geli, ia suka jika papanya marah seperti sekarang. “Heengg papa, uang papa ‘kan banyak. Masa gak mampu beli rumah di Hawaii?”
“Uang papa harusnya sangat banyak kalo gak kamu pake beli mainan yang harganya belasan juta itu! Kalo kamu gak beli mainan, papa bisa beli rumah di Hawaii.”
“Hengg papaaa. Mainan mainan terus yang dibawa huh!”
“Ya iyalah. Biar kamu gak buang-buang duit beli mainan mahal.”
“Ih biarin. Corbyn suka, jadi harus beli. Papa jangan pelit sama anaknya dong. Masa beliin mainan aja ngomel terus huh.”
“Haduh, tau ah. Aku gak dandan dandan kalo nanggepin bocil bawel kayak kamu.” Jimin melepaskan pelukannya pada tubuh mungil putranya. Ia kembali duduk di depan kaca rias untuk berdandan.
“Yey Corbyn gak sabar ngemall di LA lagi hihi.” Corbyn memekik bahagia, pun senyumannya mengembang. Jimin bisa melihat itu semua melalui kaca riasnya.
“Which is your favourite LA mall?” Jimin melayangkan pertanyaan pada putranya untuk berbasa-basi selagi ia berdandan.
“Eenggg... South Coast Plaza... aaannnddd Westfield Century City... Aaaah The Grove juga bagus, Corbyn seneng kalo nemenin papa shopping di sana xixi.”
Jimin terkekeh pelan, ia sadar diri, sebenarnya Corbyn cenderung suka berbelanja dan pergi ke mall karena pengaruh darinya sendiri. “Oke, minggu depan ya.”
“Asik!!”
Pagi itu Jimin akhirnya membuat keputusan bahwa ia akan mengajak Corbyn untuk kembali tinggal di Los Angeles. Kedua orang tuanya pun menyetujui ide tersebut demi kebaikan Jimin dan Corbyn.
FLASHBACK END
Bersambung...