BE MY ESCAPE
tags: ±3,100 words, markno, nsfw: blow job, face fucking, come swallowing, dom/sub undertones, fluff, hurt/comfort at the end of the story
notes: in case you don't know what does producer tag mean that will be mentioned throughout the story, please read this or watch this video. and support your local author by clicking this link!
187. still friends, not lovers
“Eh!”
Atof menengadah kaget ketika ponsel yang tengah ia gunakan dirampas oleh seseorang. Kepalanya diantuk kepal tangan oleh Zio karena ditantang untuk menoyor. Memicu suara aw! sebagai reaksi, Atof mengusap kepalanya sendiri. Lantas Zio menghadiahkan toyoran kedua untuk bonus, Atof mengaduh membuatnya nyaris terbahak.
“Ngapain beneran nyelem timeline Twitter orang?” hardik Zio. Ia bergerak tangkas ketika Atof ingin merebut ponselnya kembali. Mengangkat ponsel Atof tinggi-tinggi hingga ia berjinjit meskipun ia tahu bahwa pemuda itu bisa meraihnya.
Atof tertawa ringan, “You know I can take it, right?” katanya, mulai bangkit dari posisinya yang duduk di ranjang. Namun Zio memindahkannya ponselnya ke tangan lain secepat kilat, berlari kecil ke luar kamar. Saat ia berada di ambang pintu, ia menjulurkan lidahnya, “Maklum orang tua geraknya lama.”
Ekspresi Atof saat kalimat itu terlontar lumayan menyenangkan jadi pemandangan di pagi hari. Pemuda itu menunjuk-nunjuk Zio seraya menggeleng tak percaya. Namun Zio hanya menyeringai mengejeknya, tawa bernada cemooh tak bisa tak lepas. Dan sebab Atof punya ego tinggi tentu saja ia tahu-tahu berlari untuk menangkap Zio. Mereka mulai berkejaran mengitari apartemen hanya untuk berebut ponsel. Bunyi gerobok kaki dan ledak riang menghiasi akhir pekan itu. Mungkin tetangga apartemen Atof akan heran karena biasanya tempat itu jarang gaduh kecuali bunyi alat musik sesekali.
Zio tidak pernah melihat Atof seramai itu sebelumnya. Jika ia harus berlari 10 km demi mendengar tawa lepas Atof, ia akan melakukannya. Kendati pada akhirnya, kakinya menyerah juga karena sejujurnya Zio tak berolahraga belakangan ini. Napasnya mulai ribut ditarik satu-satu sedang dadanya naik-turun. Tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram kencang hingga ia berputar kaget.
Atof … dia … napasnya juga berantakan, namun senyumnya menakjubkan. Mungkin Zio agak tolol jika ia ingin menangis, entah kenapa rasanya haru.
“I got you,” kata Atof tertawa. Berusaha merogoh bagian belakang celana jeans Zio dimana ia menyimpan ponsel itu saat berlari. Posisi Atof setengah mendekapnya, wajahnya begitu dekat dengan Zio, membuatnya menegang kaku. Atof menjeling menyadari betapa kikuk Zio, semakin mendekatkan diri hingga dirinya menahan napas. Muncul dengus tawa tanpa suara dari Atof, napasnya berpendar hangat. Atof membubuhkan kecup kilat nan samar di sudut bibir Zio, lalu pergi—bak tak ada apapun yang terjadi—dan duduk di sofa.
Sirkuit di kepala Zio berhenti, ia mematung selama beberapa detik. It's just a peck, but still, setiap Atof yang menginisiasi sesuatu, sebab dimotori oleh keinginannya sendiri; bukan karena diprakarsai Zio, rasanya lebih menyenangkan. Bekas cengkeraman Atof yang menyengat nan membakar pergelangan tangannya membuat Zio tersadar akan sesuatu.
Mungkin sejak dulu Zio memang sudah sedikit jatuh cinta. Bukan karena ia penggemar Atof, namun sebab ia memang sudah melabuhkan rasa tanpa disadari. Maka dari itu, ia tetap tinggal di band meskipun mereka ribut besar saat latihan pertama kali. Pun membiarkan Atof bolak-balik ke kosnya dini hari. Pun mengajaknya belanja mengisi kulkas yang kosong, dan khawatir dengan pola makannya. Pun berjerih payah agar Atof dekat dengan seluruh anggota band sebelum ia berhenti. Pun dengan tindak-tanduk Zio yang kelewat baik bahkan menurut dirinya sendiri.
Realisasi sungguhan menabraknya seperti truk.
Ia membalik raganya cepat, memicu Atof yang sedang menekuri ponsel kini tengadah. Mata mereka bersirobok, Zio ingin mengurai arti segala tatapan, kalimat, gestur, sikap yang Atof berikan padanya.
“No, I got you,” kata Zio untuk dirinya sendiri.
Zio mencondongkan diri dan menangkup rahang Atof dengan kedua tangannya, membuat Atof semakin mendongak ketika bibir mereka berpaut. Tangan Atof menggerapai mencari pegangan karena setengah terkejut. Dari pergelangan tangan Zio, naik ke lengan, lantas bahu, kemudian turun mengelus sisi tubuhnya, sampai pada akhirnya bertengger di pinggang. Zio langsung dirangkul tatkala mengikis jarak yang tidak ada, naik ke atas sofa; ke pangkuan Atof untuk memperdalam ciuman hingga kepala Atof bersandar seutuhnya di kepala sofa.
Ini masih pagi—what the fuck. Bubur mereka pasti rasanya akan tak enak jika sudah dingin. Namun Zio sungkan menarik pagutan sebelum paru-parunya perlu dipasok oksigen. Sebab Atof menciumnya seperti ia menyentuhnya, tegas akan tetapi tidak memaksa, memberi ruang untuk Zio melepaskan diri.
Saat Zio akhirnya menyerah, Atof dengan perlahan membuka kelopak matanya. Ya Tuhan, he is so pretty, walau dengan rambut yang mencuat sana-sini, bekas jerawat mengering di pipinya karena terlalu sering begadang, untungnya sudah mandi pagi. Pemandangan itu ingin Zio tancapkan di kening selamanya.
Zio sangat amat sungguhan yakin bahwa ia sudah jatuh bebas.
“I like you–” Zio membulatkan mata karena kalimatnya sendiri, “I mean your band since your debut song, I dig all of The Riot's songs especially the ones with your producer tag.”
Jantung Zio rasanya hampir meledak karena kelepasan. Namun Atof hanya mengangkat kedua alisnya. “Oh wow, really?”
Kepala Zio mengangguk mantap, “for Talatof ... that's so sick. Gue penasaran kenapa for Talatof bukan from Talatof, because technically the songs are from you.“
“Now you're openly saying you are my biggest fan, padahal dulu pas dikejar nolak sampai cekik leher.”
Tawa ringan Zio mengudara, “Gue beneran nggak mau ngeband, and if you forgot the memo, you were an asshole, masa ngajak ngeband nggak ada sopan-sopannya.”
“I'm glad I was an asshole, I found that you are into choking.”
Telapak tangan Zio menangkup pipi Atof, namun kali ini tekanannya lebih keras hingga pipinya mencekung. “That's not the topic, Baby.”
“So it's a yes.”
“Sayang, listen.”
“I'm one hundred percents listening.”
Atof mungkin tidak sadar bahwa telinganya sendiri memerah. Terlepas ia tampak tenang dan tak terkesiap sama sekali mendapat panggilan berbeda dari Zio, namun rona yang merambat itu tidak bisa menipu. Pemuda yang lebih tua setahun tersebut menahan senyumnya agar tak melebar lebih jauh dengan mengulum bibirnya sendiri.
Lucu, lucu edan. Rasanya Zio baru saja melalui seluruh rintangan dan mengalahkan prajurit benteng Takeshi satu-persatu untuk memenangkan sisi Atof yang ini. Zio ingin menciumnya lagi, so he does.
Ia menghadiahkan kecupan lembut di bibirnya yang basah. Kali ini Atof tidak mampu mengontrol ekspresi tercengangnya, sangat mendadak. “What was that for?”
“A reward.“
“For what?”
“For explaining for Talatof means, so explain now.”
Kini Atof tergelak, suaranya melengking manis, manis permen kapas yang mudah lumer di mulut dan membuat Zio ingin meraup seluruhnya; adiksi.
“Bossy,” ujar Atof.
“I'm.”
“My type.“
Gemuruh di perut Zio seperti sedikit lagi akan tumpah. Atof is such a flirt, entah memang sungguhan suka orang bossy atau hanya bualan. “Let me know, are you into choking?”
“Why are you so curious about that?” keluhnya malas, namun ujung bibir Zio tidak sanggup untuk pura-pura jengkel. Pipinya sakit karena terlalu banyak senyum, ia suka berdebat hal tak penting seperti ini dengan Atof.
Pemuda itu hanya mengedikkan bahu, wajahnya masih dengan raut ingin meledek. Zio ingin menjawir telinga Atof sampai ia minta ampun. Namun Zio bukan lahir kemarin sore, ia sudah mahir tentang bagaimana cara menyikapi leader band-nya itu.
“You have to find out yourself.”
Kali ini Zio sudah tidak peduli tentang buburnya ketika memeluk leher Atof untuk berciuman. Atof menarik tubuhnya hingga ia nyaris duduk di pangkal paha. Ujung jemarinya yang menyusup kaos Zio untuk merangkul pinggangnya terasa dingin, badannya refleks berjengit kecil.
“I'm sorry,” gumamnya di atas bibir Zio. Akan tetapi Zio abai, kembali memagutnya. Menggigit daging tak bertulang itu dengan lembut, dan menariknya di antara gigi. Atof mengerang kecil, semakin meremas pinggangnya. Sepertinya Atof punya obsesi dengan pinggang Zio karena setiap mereka bersama pemuda tersebut akan menggerapai pinggang; biasanya dari luar, ini pertama kalinya ia seberani itu.
“You are hard,” gumam Zio.
“We've been making out for a while, it's a biological reaction.”
“Your words make men in STEM look like nerds who never get laid.”
Tawa Atof mengalun, “Lo yang ngomong, bukan gue.”
“Can we do more than this? We always stop halfway, I will be impotent anytime soon if you keep giving me blue balls.”
Atof tersenyum miring, “You are funny.”
“Can I go down for you?”
“That escalated quickly, Mr. Lucky Fan.”
Bola mata Zio sontak berotasi mendengar gurauan Atof. Ia membuka ruang di antara tubuh mereka agar pergerakannya lebih mudah.
“Don't–” Atof menepis tangan Zio yang hendak turun meski belum menyentuh perut, Zio tersentak menatapnya kaget.
“I'm sorry,” ia menunduk malu, merasa bersalah. “I'm sorry, really– God, I'm so stupid, I shouldn't cross the line.”
“Maaf, beneran, gue– aduh– sorry,” kalimat maaf dirapal Zio berulang-ulang. Ia meringis menyesal, ingin pamit dari sana sekarang juga, pulang ke kosnya dan menyelimuti tubuh sampai kepala. Begonya Zio, Atof memperbolehkan dirinya dicium bukan berarti ia juga mau hal lain.
Hela napas panjang terembus, Atof memperhatikannya yang merunduk. “Do you really wanna do it?”
“Yeah, but if you don't feel like doing it, don't– I mean it's okay, I understand I—“
“Can you do it using a blindfold?”
Zio langsung mengangkat kepalanya, “Why?”
“Because.”
“I will do it, but can you be honest with me for this one?”
Atof bergeming, hanya memandangnya sarat teka-teki. Zio tak akan berpaling hingga Atof menjawabnya dengan alasan yang logis. Akan tetapi pemuda itu malah hampir bangkit, berusaha menurunkan Zio dari pangkuannya, mengisyaratkan bahwa ia menyudahi apapun yang mereka lakukan. Zio duduk di sana sekuat tenaga tak ingin berpindah tempat.
“I will do it, really, I will do it, but please hold my hand.”
Pemuda itu memancarkan riak tak percaya sekilas, namun dengan cepat kembali tenang dan tanpa ekspresi. Atof menarik dagu Zio hingga ia menengadah. “Why are you so eager for me?”
Kalimat sederhana itu sukses meremangkan bulu kuduk di seluruh tubuhnya. Gairah Zio semakin naik, mengirimkan hangat ke bawah, celananya terasa menyempit.
“What are you? A pretty doll made for me to fuck?” tambahnya, kian menghempaskan kewarasan Zio.
Atof menyeringai, tertawa miring, mencemooh.
Akan tetapi daripada merasa terhina, justru Zio menyandarkan dagunya ke telapak tangan Atof. “I'm your pretty doll.”
“A pretty doll should behave, right?“
Zio mengangguk.
“Tunggu di sini.“
Ia turun dari pangkuan Atof, duduk di sofa dengan sedikit gelisah. Menyibukkan diri dengan menyisir ruang depan apartemen Atof yang sejujurnya tampak kosong. Tak ada barang yang meneriaki karakteristik seseorang di sana. Ruang studio Atof lebih hangat dan hidup dengan dominasi warna biru dongker; yang membuat Zio tahu bahwa mereka memiliki kesamaan warna favorit juga, biru.
Atof kembali dari arah kamarnya dengan menjinjing dasi hitam, meletakkan kotak tisu di sofa. Otomatis Zio turun, dan berlutut di antara tungkai Atof yang terbuka untuknya.
Pemuda itu mengamati Zio begitu lama seraya meremas dasi di tangannya sampai mengerut. Teramat ragu dengan keputusan yang sekonyong-konyong terjadi, karena ia tak menyangka sampai sini. Memicu gagasan di kepala Zio mungkin dulu Atof memperlakukan partner seksnya seperti ini. Dan Zio bukan partner seks, ia anggota band-nya.
“Do you really wanna do it?”
Lagi, Zio mengangguk samar.
“Words, Lazio.”
“I do, I trust you.”
“Close your eyes.“
Dengan perlahan Zio menutup kelopak matanya. Penglihatannya segera dibebat kain dasi, gelap yang ia hadapi semakin kelam. Zio menghirup udara dengan dalam mengatur napas, menyadari dasi tersebut beraroma lemari, mungkin tak pernah dikeluarkan dari sana sama sekali oleh Atof.
“Kekencangan? Sakit?”
“Enggak.”
Indera pendengarannya semakin peka karena yang lain dibatasi. Ia menangkap suara pergerakan kecil Atof yang mulai menurunkan celananya sendiri. Zio menebak pasti Atof tidak menanggalkan seluruhnya. Entah apa yang membuat Atof sesungkan itu, padahal rumornya ia sempat banyak melakukan seks.
Tangan kanannya diraih oleh Atof, menuntunnya untuk menyentuh batang penis Atof. Zio tidak mampu menerka berapa ukurannya, namun ketika ia berusaha melingkari dan mengurut pelan penisnya dari ujung hingga kepala, ia merasakan urat-urat yang mencuat.
“Fuck,” Atof mengumpat ketika ujung ibu jari Zio bergesekkan dengan celah di kejantanannya.
Zio menjulurkan lidahnya, menjilat bagian bawah penisnya, lantas memasukkannya ke mulut. Mengulumnya dengan tempo berantakan meski tak mampu sampai pangkal karena tak muat. Sebelah tangannya pun digenggam, ia tak bisa mengurut sisa yang tak masuk dengan baik.
Kendati demikian, ia menangkap erangan Atof, sebagian suaranya tidak keluar. Atof meremas tangan kiri Zio sebagai pelampiasan.
“Kak Atof.”
“What?” napas Atof terdengar berat. Zio setengah mati menahan diri untuk menanggalkan dasi yang menghalangi penglihatannya karena ingin mengetahui ekspresi Atof. Namun ia mau Atof percaya padanya, pun mau mengerti bahwa Atof meminta hal ini bukan tanpa alasan.
“Can you let me hear your voice? Gue nggak bisa lihat, masa nggak boleh denger juga? Okay?” Zio menunggu sampai lima detik namun nihil respons. “Tarik rambut gue, moan my name, tell me how good it is, I like it.“
Atof, Zio tahu, ia terbiasa dengan segala sesuatu berada di bawah kontrolnya. Eksistensi Zio dan keberaniannya adalah sebuah variabel yang tak masuk perhitungan Atof.
“I don't think I can take it all. Do you want to fuck my throat instead?“
Tak ada balasan lagi. Zio seolah berbicara di ruang hampa, keheningan yang hadir terasa berat di atmosfer.
“Mikirnya jangan kelamaan banget, Kak, ini bukan konferensi Asia-Afrika yang ha–”
“What did I tell you before?” potong Atof.
Kening Zio mengerut bingung. Apa? Apa yang Atof beritahu sebelumnya? Yang mana yang ia maksud? “Apa?“
“Behave, Lazio. Is it so hard to comprehend with your pretty little head?” Atof menunjuk keningnya dengan jari berkali-kali hingga tubuhnya agak terhuyung.
Hatinya bergelenyar tak nyaman diperlakukan seperti itu, apalagi oleh orang yang kini suka menjajah isi otaknya. Akan tetapi nyatanya mengenal Atof tak seperti jalan bebas hambatan, baru saja ia yakin mampu menaklukan satu ruas, tapi faktanya masih banyak labirin yang perlu disusuri. Seharusnya Zio tak besar kepala.
“I'm sorry,” Zio menunduk takut.
Atof mendengus amat lelah. Sering kali Zio mendengar desah berat muncul dari belah bibir Atof karena tingkahnya, namun yang ini paling menciptakan rasa takut. Tangannya gemetar berusaha melepaskan diri dari tautan jemarinya dengan Atof.
Akan tetapi Atof sadar dan menarik tangannya ke atas, Zio merasa punggung tangannya dikecup.
“Doll, listen, it's– maybe it's not for you, I think we should stop here, okay?” nada bicara Atof berubah halus. Konyolnya, hati Zio terbuai, ia menggeleng.
“I want you,” ungkapnya. “I want you to fuck my throat, and if you agree to do more, I want you inside me. But be gentle with your words, please?“
“They hurt you?”
“Iya,” cicit Zio lirih.
“I'm sorry,” kali ini suara Atof sarat penyesalan.
Dalam beberapa kejadian, saat Atof berada di pihak yang benar, Zio yakin Atof tak akan meminta maaf sekasar apapun kalimatnya. Pernyataan maafnya kali ini sedikit mengejutkan Zio. Ia kembali besar kepala bahwa Atof melembut untuknya.
Dirinya lebih besar kepala lagi tatkala telapak tangan Atof naik ke puncak rambut lantas mengelusnya turun hingga melingkupi tengkuknya, memijit pelan. Gelap di hadapannya tak berkurang, namun kini Zio merasa rileks dalam gelap.
“Kak Atof,” panggilnya ragu.
“Ya?”
“Boleh dilanjut?”
“This is the last time I ask you. Do you really wanna do it?“
“Please.”
“Okay, mundur.”
Zio menuruti perintahnya, pun mengubah posisi agar kepalanya setara dengan pangkal paha Atof saat berdiri.
“I will fuck your throat, tap my thighs twice if you want me to slow down, three times if you want me to stop, get it?”
“Yeah.”
“I wanna hear you clearly, Baby Doll.”
“Yes, I understand.”
“Open your mouth wider.”
Tatkala ia melebarkan mulut, Atof mendorong batang kemaluannya sekali entak. Zio hampir tersedak, meremas belakang paha Atof sebagai respons pertahanan diri. Cengkeram di rambutnya terasa menyengat, memicu erang yang keluar tak utuh. Atof mulai merogol mulut Zio tanpa menahan diri, pinggulnya bergerak dengan sodokan-sodokan yang membuatnya pening.
Air mata berkumpul di pelupuk, namun beruntung matanya dibebat. Tiap bulir yang keluar langsung terserap. Gelap, sangat gelap, namun indera penciuman dan pengecap Zio semakin peka pada rasa batang kemaluan Atof yang memenuhi mulutnya.
“My pretty little doll, made for me to fuck,” umpat Atof, mendorong di sela tiap kata dengan membabi buta.
Dagunya basah campuran leleh saliva dan pre-cum Atof. Bunyi benturan kulit dengan mulutnya sangat memenuhi gendang telinga.
“Fuck,” rambutnya ditarik semakin kencang. It stings so much, he likes it.
Pinggul Atof mengentak ke depan sekali, dua kali lagi, sebelum dia mengubur penisnya sejauh mungkin ke tenggorokan Zio. Orgasmenya datang dengan erangan nama Zio yang serak. Zio merasakan aliran ejakulasi hangat di dalam mulutnya dan menelan sebanyak yang ia bisa, tetapi beberapa masih keluar dari sisi mulut Zio, membuat wajahnya semakin berantakan.
Atof menarik Zio untuk naik ke sofa. Ia kembali duduk di pangkuan Atof, namun kali ini dengan posisi Zio membelakanginya, ia tahu sebab hangat tiupan napas Atof berpendar di belakang telinganya.
“Dibuka celananya?” izinnya.
“Please.“
Tak ada komentar apapun dari Atof setelah itu. Telapak tangannya yang berkalus bergesekkan langsung dengan kejantanan Zio yang sudah sakit menahan ingin klimaks karena ia haus disentuh. Atof memompanya mencapai pelepasan.
Kepala Zio tengadah bersandar di bahu Atof. Ia merintih nikmat, mendorong pinggulnya agar penisnya terus dimanjakan telapak tangan Atof. Tak butuh waktu lama sampai–
“Come for me, Doll.”
Punggungnya melengkung, jari-jari kakinya menekuk meraih pelepasan, tubuhnya terbanting kembali ke dada Atof.
Selagi Zio menarik napas dengan ribut, Atof terus mengurut penisnya, tak memberinya waktu untuk turun dari ketinggian.
“Kak, ngilu, jangan dipegang dulu.”
“Ini cuma dikeluarin semuanya, Doll.”
Zio menggeliat, menarik pinggulnya ingin menjauhkan diri karena Atof terus-menerus menyentuh batang kemaluannya yang sensitif.
“Kak, udah, please, please, pleas–“
“I told you to behave,” ujaran Atof sarat otoritas.
Zio langsung berhenti bergerak menurutinya, menggigit bibirnya sendiri dan meremas sofa karena tangan Atof terasa menyakitkan. Suara tarikan tumpuk tisu tertangkap inderanya. Atof menyelimuti penisnya dengan tisu baru, membersihkannya dengan hati-hati. Memintanya untuk mengangkat pinggul memperbaiki celananya menjadi posisi semula.
Ikat dasi yang menghalangi penglihatannya dilepas oleh Atof. Ia mengerjapkan mata dengan perlahan membiasakan retinanya kembali mendapatkan cahaya, menemukan tak ada sisa bulir air mata di wajah karena sudah terserap kain dasi tersebut.
Mereka seakan tidak pernah menurunkan celana.
Resah merayap di dalam dada Zio, sebab ia hanya bisa mengingat lenguh Atof, napas beratnya, dan suara-suara lain yang tak penting tanpa bayangan apapun kecuali hitam. Menyadarkannya bahwa mungkin Atof sengaja agar Zio merasa puas meraih apa yang ia inginkan namun mampu melupakan kejadian ini dengan cepat.
Zio membalikkan badannya.
“Good?” Atof bertanya dengan raut biasa, tatkala suasana hatinya tak bahagia, marah, atau sedih; netral. Dan Zio agak membencinya sebab tampaknya hanya ia seorang yang terdampak akan hal ini.
Kepalanya mengangguk samar.
Wajahnya yang terdapat sisa cairan orgasmenya dibersihkan oleh Atof tanpa sepatah kata. Zio hanya memperhatikan pergerakannya dengan sendu. Terlalu takut kecewa dengan ekspektasinya sendiri jika ia bertanya apa yang Atof pikirkan saat ini.
Ia terlalu serakah, mungkin sejak dulu. Padahal teman-temannya bilang ia punya banyak hal, akan tetapi mungkin akar keserakahan Zio muncul dari sana. Ia suka mengejar sesuatu yang tak mungkin, seperti musik yang dilarang Ayahnya, atau Atof.
“This is not enough, I'm sorry for being greedy.”
Zio merengkuh Atof erat seolah memanjakan keserakahan yang ia miliki, namun Atof hanya mulai mengelus punggungnya dengan teratur. Pernyataan itu menguap di udara tanpa sahutan, akan tetapi Zio tahu Atof tahu.
Kantuk mendera memaksa matanya untuk terpejam, ia mendengar Atof membisikkan sesuatu dengan begitu samar. Zio berjanji akan berusaha mengingatnya saat ia terjaga nanti, tetapi ia tidak yakin bisa ingat karena kesadarannya sudah terlalu direnggut.
Atof yang merengkuhnya berbisik lagi, Zio sungguhan berharap ia bisa ingat. Pemuda itu mengecup daun telinganya, dan menggesekkan hidungnya dengan lembut ke sisi wajahnya.
Zio ... tidak pernah seingin ini pada sesuatu.
© litamateur