BE MY ESCAPE
story details: 2,300 words, slice of life, uhhh graduasi lah pokoknya.
notes: sambil dengerin maybe dari hui coba! <3
Graduation
“Do you want your parents to come to your graduation?”
Kalimat itu akhirnya berani Zio layangkan setelah berpikir selama berbulan-bulan sejak Atof selesai sidang.
Atof belum menemukan pekerjaan—atau lebih tepatnya memilih untuk tidak mencari pekerjaan dengan telaten karena ingin beristirahat. Kalau Zio tidak bilang, “Aku bantu apply di Linkedin sama Kalibrr,” mungkin Atof sama sekali tidak cari kerja. Kini akun media sosial mereka menyangkut di gawai satu sama lain, karena terlalu sering saling bantu.
Awalnya hanya di sore hari setelah Atof sidang dengan mendapatkan banyak rangkai bunga, dan bingkisan dari penggemar. Atof mengajukan pertanyaan saat mereka membuka bingkisan satu-persatu. “Is it okay for me to take a break? Cuma ngurusin Coco dan pacarku yang makannya harus disuapin?”
Zio tertawa karena kalimat tersebut. Mungkin ini pertama kalinya dalam hidup Atof bahwa ia tidak ingin berlari untuk mengejar sesuatu. Padahal indeks prestasi kumulatif akhirnya cemerlang dan ia bisa saja langsung memburu yang ia mau, namun ia justru ingin rehat. Maka dari itu, Zio mengangguk dan berkata, “As long as you’re content with what you do.”
Kekasihnya mencubit pipinya gemas, berucap okay dengan suara yang terbilang lirih. Atof menyusun rangkai bunga yang masih bisa segar dalam beberapa hari untuk diletakkan di vas. Alunan lagu band mereka terdengar dari gumam bibir Atof, Zio lagi-lagi jadi tahu hal baru bahwa Atof menikmati kegiatan seperti itu. Rangkai bunga mawar berbagai warna dipajang di meja belajar di kamar, juga di studio musiknya.
Mulai saat itu, Atof sehari-hari sungguhan seperti bapak-bapak yang menikmati masa pensiun dengan main burung. Yang membuat Zio semakin sadar bahwa Atof begitu lembut dengan hewan. Meski kadang membuatnya tertawa setiap kekasihnya bercerita, “Kemarin burungnya Pak Sudrajat menang kontes.”
Sering kali Atof main catur mengenakan sarung, angkat kaki ala makan di Warung Tegal bersama Pak Sudrajat—pemilik kosnya—di depan rumah. Dibanding Zio, Atof lebih akrab dengan Bapak Kosnya karena sering mengobrol.
Sebab tak ada kesibukan pun bulu-bulu yang tumbuh di sekitar mulut Atof jadi jarang ia cukur kecuali jika ada acara tertentu seperti gigs. Kadang Atof harus digeret oleh Zio jika ia mulai merasa bulu halus itu menusuknya ketika mereka berciuman.
“Kamu tau nggak ini nusuk? Mukaku bisa luka juga kalau kegesek?” gerutunya.
Atof hanya berdeham, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk teratur pinggang Zio yang kini tengah duduk di atas pangkuannya—membantu Atof bercukur.
“Kalau nggak dicukurin lama-lama janggutnya bisa dikepang kayak Peppy. Do you know Peppy a comedian?”
“Tau, sengaja biar kamu geregetan mau ngebantuin shaving.”
Sejujurnya Zio tahu Atof akan beralasan begitu. Mata kekasihnya yang kini tak henti mengikuti pergerakannya, membuatnya sedikit salah tingkah. Ia tak fokus karena tatapan Atof begitu menguarkan afeksi, rasanya Zio ingin memukul batok kepala Atof dengan alat cukur di genggaman. Pemuda itu langsung mengangkat tubuh Zio yang duduk di pangkuan usai selesai. Spontan Zio menyalak dan mencengkeram bahunya. “Kaget, gila lu.”
Atof tertawa mencondongkan wajah padanya seiring menggendongnya ke kamar. “Kiss me, pleasee.”
Zio mengerutkan wajahnya dongkol, matanya mengecil menelisik.
“Jelek kamu merengut begitu mirip bocah kalah main FF,” katanya. Atof ini tingkahnya sudah seperti bapak-bapak yang hobi meledek anaknya sampai menangis. Wajah Zio semakin tertekuk. Kekasihnya kian tertawa karena reaksinya, memohon sekali lagi untuk dicium. “Please ciummmmm.”
Meski dengan setengah hati, ujungnya tetap saja mereka berciuman. Lumayan bergairah meski masih pagi. Apalagi ketika Zio dibaringkan di kasur, dan Atof mulai menjulang di atasnya. Melesakkan kepala ke leher untuk menjatuhkan kecupan di sana.
“Udah nggak nusuk, kan?”
Pupil mata Zio berputar sangat cepat nyaris membuatnya pening, “You're annoying.”
“Aku laser aja for your convenience, gimana?”
“Janganlah, jadi nggak bisa nyukurin sambil dipangku.”
Atof bangkit dengan mengusak puncak kepala Zio, hatinya jumpalitan meski ribuan kali Atof melakukannya. “Tuh, kamu yang suka. Thank you, Baby Doll.”
Kebiasaan baru Atof memang sangat berkebalikan dari rutinitasnya yang dahulu, namun Zio senang melihat bagaimana Atof menikmati hidupnya. Apalagi ketika Atof mulai menggendong Coco dan menimang-nimangnya seperti bayi sungguhan karena bobot Coco sudah terlalu berat saking dimanja. Bahkan Atof lebih sering menginap di kosnya karena apartemen Atof kini merangkap jadi basecamp anak Rhapsody jika ingin bertemu. Untungnya, Bapak Kos Zio tidak pernah keberatan dengan eksistensi Atof di sana.
Malam itu, sama saja dengan malam-malam lain saat Atof menunggu waktu wisuda. Pertanyaan Zio tentang surat undangan graduasi dibuat menggantung di udara selama beberapa detik. Hanya desah yang lumayan panjang berembus dari belah bibir Atof. Lampu kamar sudah dimatikan karena lewat tengah malam. Zio sedikit merasa bersyukur tak mampu membaca ekspresi Atof dalam gelap, sebab pasti ia akan ikut sendu.
“Nggak tahu … Mamah jauh kayaknya agak susah buat datang ke wisuda, and my dad– well–”
Atof mengalihkan atensi pada undangan wisuda di nakasnya. Satu undangan yang diperuntukkan bagi dua orang, dan biasanya untuk orang tua. Masih sekitar dua pekan sampai upacara wisuda itu diselenggarakan, Atof lumayan punya waktu untuk menentukan akan diserahkan ke siapa undangan miliknya. Kali ini, perasaan bersalah merayap dalam diri Zio sebab ia bertanya meski sudah menimbang beberapa bulan terakhir.
“Mungkin Kak Dinda yang datang, atau Althaf … pasti dia ambil cuti for my graduation day.”
Zio segera menyandarkan kepala di bahu Atof, dan merangkulnya dengan erat. “Sorry for asking.”
“No, Baby Doll, it's okay.”
Kekasihnya mengecup samar dahi Zio yang tertutupi rambut. Zio suka rambut panjangnya karena ia sadar Atof lebih sering mengelusnya ketimbang saat pendek. Namun rambut itu mulai menusuk mata, mungkin ia perlu memangkasnya sedikit. Dirinya semakin mengeratkan pelukan, menepuk-nepuk pelan dada Atof.
“Kamu tidur, besok harus bangun pagi buat ngempan burung bapak kosku.”
Tawa ringan Atof membuat perasaan bersalahnya berkurang.
“Nyuapin kamu kali yang sibuk mentang-mentang udah semester tujuh.”
Kini Zio yang tertawa. Akhir-akhir ini ia selalu disuapi karena susah sekali untuk makan. Sibuk menyelesaikan tugas yang segunung meski dikerjakan bertahap.
Jika Zio boleh jujur, jadwal mereka sungguhan padat sejak Rhapsody lumayan dikenal banyak orang. Tatkala Atof menggarap skripsinya, mereka sedang bepergian manggung ke berbagai tempat. Akan tetapi kekasihnya itu jarang mengeluh, karena Atof lebih suka menyibukkan diri daripada tidak melakukan apa-apa. Sesekali mengeluh pasti karena bagian bawah punggungnya pegal terlalu lama duduk.
“Kamu tidur juga, besok kelas pagi,” bisiknya lagi, “Don’t worry, it’s just another graduation.”
Kalimat tersebut bukan menenangkannya justru memunculkan gelenyar tak nyaman. Setidaknya untuk yang satu ini, Zio tidak ingin acara tersebut hanya jadi graduasi-graduasi lain untuk Atof. Zio perlu mengusahakan sesuatu.
Undangan itu tergeletak di nakas hingga hari kelima sebelum wisuda diselenggarakan. Zio mengambilnya.
Tak ada keluarga Atof yang datang saat wisuda karena Atof melarangnya.
Zio sering kali tak mengerti jalan pikiran kekasihnya meski ia sudah berada di sisinya selama ini. Ia hanya bisa berasumsi dari pengalaman bersamanya, bahwa Atof terlanjur terbiasa serba sendiri sehingga hari graduasi pun tak jadi sesuatu yang spesial. Tak ingin mengundang, tak ingin merayakan, sama seperti hari ulang tahunnya—yang justru ia anggap jadi hari yang menyedihkan. Meski tiga tahun terakhir Zio berusaha membuatnya spesial.
Atof mengenakan pakaian serba hitam, dan rambutnya ia gel membentuk comma. Tak ingin ke salon, atau beli pakaian formal baru, semuanya hanya ia ambil dari lemarinya. Meski kali ini, Zio sengaja menginap di apartemennya untuk menyiapkan.
Pemuda itu sungguhan terlalu cuek dengan penampilannya. Sehari-hari pun hanya kaos putih atau hitam, dipadu jaket atau hoodie atau PDH teknik sipil tiap kuliah. Lebih suka mengoleksi sepatu yang warna-warni. Namun Atof effortlessly memiliki aura yang tak tersentuh, membuat orang hormat dan segan. Maka, hanya dipoles sedikit, Atof tampak semakin menawan.
Jika bukan hari penting, pasti Zio minta dibawa ke puncak gairah tatkala Atof mengenakan pakaian tersebut.
“Sebenarnya kamu undang siapa, Doll?” tanya Atof lagi. Sudah lebih dari sepuluh kali kekasihnya bertanya sejak undangan itu berada di tangan Zio.
“Adaa, nggak usah khawatir,” jawabnya. Merapikan sleber bergaris biru di leher Atof agar tak miring. Ia mengalungkan tali wisuda, dan memasangkan pin di tengah.
Undangan wisuda yang pada akhirnya Atof hadiahkan pada Zio sudah ia berikan ke orang yang ia rasa tepat menggantikan peran orang tua Atof. Ia menyetir hari ini, tak membiarkan Atof mengerjakan apa pun. Atof mengenakan topi wisudanya saat di depan gedung, tersenyum pada Zio. “Thank you mau repot.”
Zio menggeleng, meletakkan tali topi wisuda Atof di sisi kiri. “Wisuda S1 cuma sekali harus keren.”
“Nanti aku S1 lagi, jadi dua kali.”
Ia menyipitkan mata menghakimi karena respons Atof. “S2 aja sekalian, aku dukung.”
“Kamu aja S2, aku tambahin biayanya.”
“Ogah, aku kuliah S1 aja ngos-ngosan.”
“Ya udah S1 lagi aja tapi sesuai yang kamu minati, gimana? Aku bantu kalau kamu mau—seandainya nggak dapet financial support dari Ayah.”
Bola matanya yang melebar sejenak mengindikasikan bahwa Zio terkejut, namun tidak terlalu juga pada ujaran Atof, karena yah … kalimat itu terdengar sangat Atof. “Belum lulus udah bahas sekolah lagi, pusing. Sana duduk yang manis tunggu dipanggil,” ujarnya menggiring Atof masuk gedung.
Kemudian, Zio menuju mobil karena enggan di bawah terik matahari. Dalam perjalanan ia tak sengaja menemukan papan bunga bertuliskan Selamat Wisuda Manu Talatof dari sebuah fanbase, ia memotretnya.
Mamah Super: Udah di dalem, dek Jordan: okay, fotoin mah Jordan: kak atof nggak tau mamah yang dateng, jadi surprise aja nanti tepuk tangan sama minta ayah siul yang kenceng pas dia maju, atau nari-nari Mamah Super: Bocah iki jan
Zio mampu mendengar bagaimana Mamahnya berdecak meski tak melihat ekspresinya.
Sebuah pesan Zio kirim pada anak Rhapsody yang sudah berada di apartemen Atof (kecuali Dean yang terpaksa ke kampus lebih dulu jadi fotografer gratisan). Mereka mengambil kue yang ia request pekan lalu. Sebab ingin mengadakan sebuah selebrasi sederhana dengan makan kue, karena ia tahu Atof pasti sungkan jika dibuat megah.
Beberapa jam menunggu, satu notifikasi muncul di ponsel Zio.
Mamah Super: Hhiii, ndelok ki cah lanangku cumlaude
Mamah Zio mengirimkan beberapa foto blur yang menampakkan Atof berjalan ke depan. Juga merekam pantulan proyektor ketika Rektor memindahkan tali topi wisuda Atof dari kiri ke kanan. Ibu paruh baya itu bertepuk tangan dengan meriah, dan Zio sungguhan menangkap sebuah siulan yang dilakukan Ayahnya.
Lumayan menghibur karena siulannya menggelegar seperti memanggil burung. Ia mengirimkan kembali foto-foto blurnya ke Atof yang segera dibalas secepat kilat.
14th Feb: Siapa yang ke sini, Zi? 14th Feb: Be honest with me, I can't see anything, I forgot my specs Jordan: wkwkwk, nanti juga ketemu Jordan: karena pacarku cumlaude, mau cum in me or cum on face, baby? 14th Feb: What the fuck, Lazio, aku masih wisuda? 14th Feb: You tainted this sacred moment
14th Feb typing…
14th Feb: Both, you look good with my cum on your face, or when you're needy in bed moaning my name to paint your wall white Jordan: can't wait ;) Jordan: mau menjajah aku dimana, sayang? Jordan: meja belajar kamu? di atas keyboard? atau sambil main drum? 14th Feb: A devil incarnate indeed 14th Feb: My favorite devil incarnate 14th Feb: Comeback you pretty devil, aku lagi wisuda jadi mikirin yang enggak-enggak Jordan: no nsfw in this sacred moment 14th Feb: You're EVIL
Tak ada yang lebih mengharukan kecuali bagaimana Atof keluar gedung mengenakan gaun wisuda.
Zio sudah mempelajari Atof tiga tahun terakhir secara sadar tak sadar. Dulu Atof sebuah labirin dengan banyak percabangan dengan ujung jalan buntu karena enggan membuka diri. Minimnya ekspresi yang kekasihnya kuarkan nyaris tak mampu Zio terka. Kini Atof masih sebuah labirin yang perlu ia susuri, namun ujung jalannya terdapat sebuah petunjuk yang mengantarkan Zio ke jalan keluar. Seiring Zio memahaminya, menemukan lekuk lembut pada tiap jengkal dirinya, hatinya, dan jiwanya. Atof jadi manusia paling mudah untuk dipahami.
Kekasihnya membulatkan mata menemukan orang tua Zio menunggunya, ekspresinya sontak melembut, senyum tipisnya tak luntur. Ia mendongak ke langit sejenak menikmati terik jam 12 siang. Matanya terpejam karena tak bisa menatap langsung ke matahari.
It's ethereal, Atof seakan jadi simbol ketenangan di tengah riuhnya wisuda.
Sejurus kemudian, kekasihnya direngkuh satu-persatu oleh temannya, kadang tertawa bersama mereka. Meski Zio yakin Atof tak mengenal baik teman yang kini tengah mengobrol dengannya. Ia disapa orang-orang ketika menjejak mendekati Zio dan orang tuanya. Memperoleh buket bunga, boneka, dan berbagai macam hadiah bernuansa wisuda.
“Cah lanangku wisuda,” Mamah Zio setengah berlari dan berseru di keramaian, menghampiri Atof untuk menangkup kedua pipinya. “Udah gede anakku, udah sarjana.”
Zio tidak tahu apa yang Atof alami pada wisuda-wisuda sebelumnya. Namun ujaran sederhana Mamah Zio membuat kekasihnya mengulum bibir.
Mamahnya kemudian mengatakan apa yang selalu Zio dengar setiap kali ia wisuda; entah ketika kelulusan SD, SMP, atau pun SMA. Zio merasa bersyukur ia mengundang Mamahnya, sebab Atof juga berhak mendapatkan doa-doa darinya. Sebuah afirmasi bahwa mereka bangga Atof bisa melewati satu tahap lagi untuk mencapai dewasa.
Atof menggigit bibirnya, hampir menangis, mengangguk berkali-kali berusaha memahami kalimat Mamahnya. Kemudian, merengkuh tubuh Mamahnya yang lebih kecil dengan sangat erat. Ayah Zio pun bergantian memeluk Atof, sudah menganggapnya seperti anak dan tanpa ragu mengeratkan dekapan, menepuk-nepuk punggung Atof dengan teratur meski tak berkata sepatah kata kecuali kalimat selamat.
Zio tersenyum, pandangannya terasa berbayang. Ia melakukan apa yang Atof lakukan sebelumnya, menengadah pada langit siang yang begitu biru hari ini—bersih, tanpa awan.
Kekasihnya berfoto menggenggam buket bunga dengan orang tua Zio di kanan-kirinya. Pada foto entah keberapa yang Dean bidik, Atof menyengir lebar meski pelupuk matanya terdapat genangan yang berusaha tak turun. Lantas, mereka berfoto berdua, dengan Zio mengenakan topi wisuda Atof.
Tanpa tedeng aling-aling, Zio mendekatkan mulutnya ke telinga Atof. Berbisik mengenai topik yang sempat tertinggal di ruang obrolan. “Di kasur aja, kalau di meja nanti buku kamu berantakan.”
Atof sontak menoleh, “Lazio?!” ia menarik kepala Zio dan mengapitnya di bawah lengan karena gemas. Zio tertawa puas meski tercekik menepuk lengan Atof minta dilepaskan.
September adalah bulan transisi, masih terik meski orang jaman dulu mengatakan bulan tersebut memasuki musim hujan. Zio memulai semester baru, Atof wisuda.
© litamateur