BE MY ESCAPE

± 1600w


97. The Beginning

“Ulang.”

“Ulang.”

“Kecepetan.”

“Sekarang kelambatan.”

“Lo bisa main drum nggak? Lo ini yang kontrol tempo, mainnya kacau gini kapan mau mulai?”

“Ulang.”

“Ardith belum nyanyi bahkan sedetik, Gama.”

Zio terbiasa belajar sendiri dalam bermusik, hanya mengikuti banyak tutorial sehingga ia punya kebebasan penuh ingin menguasai skill apa, dan menggeluti bidang mana. Akan tetapi ini, ini adalah sesuatu yang mungkin ia inginkan jika ia berada di sekolah musik, namun bukan di studio yang berisi lima mahasiswa dari jurusan berbeda.

Hela napas tak sadar terlepas setiap Atof angkat suara untuk menghentikan latihan mereka—yang bahkan masih intro. Sudah hampir satu jam mereka di studio; dengan ringisan Gama sebab salah tempo, decak Atof yang makin sering terdengar, dan bunyi napas lelah yang muncul silih berganti dari Zio, Ardith, dan Dean.

Mereka seperti ikan yang disuruh untuk terbang.

Mungkin ini yang mereka bilang saat Atof jadi bossy. Pemuda itu sangat disiplin saat mereka latihan seolah ini adalah sebuah akademi militer yang harus push-up ketika terlambat, bukan band ecek-ecek yang baru saja terbuat kemarin sore. Dan masalahnya, mereka band ecek-ecek, dan Atof seseorang yang menggeluti musik hampir seluruh hidupnya. Kesenjangan mereka terlalu jauh, sehingga mereka tidak akan mampu satu tempo dalam satu malam, namun Atof tetap bekerja sesuai gayanya.

“Besok gue langsung jadi Beethoven nih,” celetuk Ardith di antara hela napas, membuahkan gelak tawa dari Dean.

Atof berdecak lagi mendengar komentar Ardith, menoleh dari Gama ke Ardith dengan wajah sudah kepalang jengkel karena sejak tadi mereka tak memulai apa-apa. “I let it slide this time because you didn't make any mistake,” katanya, lalu menaikkan alis. “Lo nggak bikin salah karena belum nyanyi sama sekali.”

Bola mata Ardith sontak membesar karena sahutan Atof, tercengang sejenak lantaran direndahkan secara tersirat, setelah itu ekspresinya langsung berubah marah. Pemuda itu menghentakkan kaki menghampiri Atof, menarik bagian kaosnya di dada hingga Atof mendongak congkak. Seringai yang pernah Zio lihat ketika pertama kali bertemu dengan Atof muncul lagi saat ini. Kepala Zio mulai berdenyut.

“Lo ngehina gue?” kata Ardith tak terima.

“Lo merasa dihina? Berarti lo merasa sesuai sama apa yang gue omongin?”

“Anjing, lo tau apa tentang gue sampe berani ngomong begitu?”

“Gue nggak bilang apapun, lo yang tersinggung sendiri—yang mana mengartikan kemampuan lo gimana.”

Ardith semakin mencengkeram kaos yang Atof kenakan. Ketika Ardith membuka mulut ingin bersuara lagi, Atof menambahkan: “What? Lo mau marah karena gue ngomong hal yang bener?”

“Gak usah berlagak kayak dewa. Lo pikir orang takut sama lo?”

That thought never crossed my mind, but sure, maybe you are the one who’s afraid of me.

Ardith mendorong tubuh Atof, hingga pemuda itu terhuyung kecil. “Anjing lo ya, gue mau diajak ngeband bukan buat direndahin. Lo harus inget, lo yang mohon dan minta kita semua buat ada di sini. Jangan karena lo—”

Lihat, Zio yakin mereka semua akan langsung keluar besok. Dan Zio perlu membantu cari member lain untuk Atof. Ah, kepalanya semakin berdenyut.

Atof tidak menggubris kalimat yang masih Ardith lontarkan ke udara dan malah memutar tubuh untuk menghadap ke orang lain di belakang.

“Jangan congkak muter-muter stick doang, tapi skill nol,” tunjuk Atof pada Gama. “Lo latihan pakai metronom nggak? Atau asal aja main gebuk-gebuk kayak meja sekolah? Kita sejam latihan cuma nungguin lo adaptasi main drum, gue tanya kapan terakhir kali main drum? Setahun lalu? Dua tahun?”

Gama tak mampu menjawab, membuat Zio berasumsi bahwa ia sudah lama tak berlatih. Atof mendenguskan tawa; tawa mencemooh yang pernah Zio dengar juga saat pertama kali bertemu. Darahnya ikut mendidih di dalam namun kakinya tak bergerak barang seinci untuk menghentikan perseteruan mereka, terlanjur pusing.

See? That’s why you need to tell us daripada arogan ngaku udah bisa duluan. Gue tadi nanya sebelum latihan lo beneran bisa nggak? Lo jawab bisa-bisa aja, ini lagu gampang. Apa gue marah pas Dean bilang dia nggak bisa mainin lagunya dari awal?” lanjut Atof dan lagi-lagi tak ada yang mampu menyanggah. “Lo cupu, nggak berani ngaku nggak bisa.”

“Apaan sih anjing!” Gama membanting stick drumnya ke bawah karena egonya disenggol. “Gue tau gue salah tapi lo nggak perlu jadi berengsek cuma karena perkara beginian.”

Ia berdiri dari tempat duduknya di drum, berjalan lurus menuju Atof dan menunjuknya di dahi—meski Atof lebih tinggi—yang langsung ditepis. Mereka saling melemparkan belati dengan mata. Ardith ikut berada di samping Gama bersekongkol melawan Atof, Dean hanya bingung mulai melerai meski usahanya berkata, hei, kita omongin baik-baik dulu deh guys, sambil duduk sambil makan tidak membuahkan hasil.

Darah di dalam diri Zio semakin mendidih mendengar cekcok yang saling bersahut-sahutan. Ia memejamkan mata dan meremas bagian leher gitar, menghitung sampai lima sebelum ikut andil melerai, namun emosinya yang diredam tak terbendung saat ia membuka mata dan menemukan mereka mulai kembali saling meraih kerah pakaian.

Ia melepaskan gitarnya yang tengah ia kalungkan. Melemparkan ke arah Gama dan yang lain yang tengah berkumpul, membuat seluruhnya agak terlonjak, dan menoleh padanya.

“Bangsat lo semua,” serunya. “Gue yang keluar dari band, pake tuh gitar buat mukul satu sama lain, berantem sana sampai mati.”

Zio bergegas keluar studio.

Ia mendengar bunyi jejak kaki terburu yang mengejarnya dari belakang. God, selalu jadi keputusan bodoh untuk membantu orang lain, Zio banyak mengorbankan dirinya sendiri secara fisik atau mental. Apakah ia harus jadi manusia anti sosial agar bisa menemukan kedamaian? Kenapa juga ia punya sifat seperti ini? Ini semua pasti karena orang tuanya terlalu strict dan mendidiknya dengan baik, ia harus jadi pemberontak sekali-sekali saat masih jaman sekolah.

“Zio— Lazio, c’mon, talk to me, you can’t just leave like that,” Atof berusaha menyamakan langkah mereka, menarik tangannya namun ia tangkis. “You can’t leave, you promised me.”

Atof mencengkeram tangannya sampai Zio berputar, menemukan pemuda itu sudah berlutut di bawah. Zio mencoba melepaskan diri namun pergelangan tangannya dicekal sekuat tenaga hingga terasa sakit dan memerah, ia yakin akan ada bekasnya. Pergerakan Zio mati, ia tidak bisa melangkah lagi atau Atof akan ikut terseret. Mungkin kalau Zio tega, ia akan menendang Atof sekarang, tapi brengseknya ia tahu ia bukan orang yang seperti itu.

“Lo ngapain?” tanyanya gusar.

“Berlutut, sesuai permintaan lo di chat waktu itu.”

Mulut Zio membuka tak percaya, tak menyangka juga Atof akan mengingat kelakar terlewat batas itu. Dari sekian banyak tukar pesan yang mereka lakukan, ia tidak terlalu memikirkan apa saja yang ia katakan pada Atof kecuali hal-hal penting mengenai band. Sebab sebisa mungkin ia berusaha tak menyakiti orang meski mereka sering debat via pesan.

“Berdiri.”

No.”

“Berdiri.”

“Bilang ke gue lo nggak keluar, baru gue berdiri.”

Embus napas lelah keluar dari bibir Zio. Ini sungguhan bodoh karena Atof tengah duduk di aspal, memicu penonton meski tak begitu banyak yang lewat karena studio pilihan Atof termasuk terpencil.

At least stay till the last, I’m not good at this kind of thing,” Atof membuat gestur samar dengan tangannya yang bebas. “Talking and such I mean.”

Jemari Zio menyugar rambut, mengamati Atof yang berlutut untuknya. Sampai pada akhirnya, ia menyerah, tubuhnya ikut turun hingga kakinya menekuk. Lutut bertemu lutut, mereka sama-sama merunduk seolah akan menemukan jawaban saat menekuri lutut masing-masing. Mungkin memang tidak ada jawaban di sana, namun Zio mulai mampu berpikir saat ini meski mereka terlihat seperti orang aneh. Atof belum melepaskan tangannya, namun cengkeramannya mengendur.

I don't believe in rumours or anything they say about you on the internet,” kata Zio begitu hati-hati, menggantung, masih memformulasikan kalimat di ujung lidahnya. Menengadah, ia menatap puncak kepala Atof yang menunduk. Rambutnya kembali hitam legam setelah sempat berwarna kehijauan untuk tour saat ia pertama kali melihat. Gelap, bagai matanya yang kini tertarik menyerahkan atensi pada Zio setelah kalimat sederhana darinya meluncur. “Don't make me believe them.”

Why?”

Just my gut,” Zio mengetukkan jari di lututnya sendiri, menyadari baru kali ini ia melihat Atof begitu dekat karena biasanya ia tak fokus menelisik wajahnya; terlalu sibuk dengan pembicaraan mereka, atau isi kepalanya sendiri. Atof lebih beraura daripada di dalam foto yang sempat ia lihat di profil Line atau di tempat lain. Seseorang yang membuatmu menoleh dua kali karena wibawanya meski ia hanya berjalan. Ada landang di tulang pipi jadi aksen di wajah, alisnya berbentuk camar dan menukik ketika ia serius, dagunya ada pangkal janggut tipis belum bercukur, bibirnya agak kering, dan pucat namun terasa pas di sana, dan lagi-lagi, Zio menatap bola matanya yang sungguhan kelam, seolah ia bisa tenggelam. “Lo beneran mau ngeband?”

What?”

I ask, lo beneran mau ngeband?”

Why did you ask such a question?

Answer me, mau ngeband?”

“Yeah.”

“Senyum ke gue.”

“Maksudnya?”

“Senyum aja, okay?”

Atof berusaha tersenyum padanya meski lebih mirip ringisan. Namun ada rasa puas dalam diri Zio lantaran akhirnya bibir itu menyunggingkan senyum untuknya. Zio tertawa membuat Atof merotasikan bola mata.

God, you are being ridiculous,” katanya, namun Zio tetap tertawa.

Atof is much more captivating when he smiles.

“Dari pertama kita ketemu lo belum pernah senyum beneran ke gue, I don’t know what’s going on inside your mind, but you are too deep into it,” Atof tertegun. “A smile looks good on you. Reminder, band-nya ada lima orang, yang mikir lima orang, we'll work on it together.

Zio berdiri menepuk bagian celananya yang berdebu, kembali masuk studio. Meninggalkan Atof yang mengerutkan kening, bingung memikirkan apa yang baru saja terjadi.

Kemudian, mereka latihan—yang unsurprisingly—lebih lancar karena Gama mulai bisa memukul drum sesuai ketukan. Mereka bermain meski tak mencapai satu lagu full, karena Atof ingin mengulang puluhan kali untuk satu bagian sampai tertangkap sempurna di telinganya sebelum berpindah ke bagian selanjutnya. Muka mereka semua masih tersirat gejolak, Zio belum bisa menerka apa yang akan terjadi esok nanti, yang penting hari ini, ia merasa berhasil memadamkan satu api kecil.

Saat memetik gitarnya—yang untungnya tak rusak—, Zio tanpa sadar menekuri bekas kemerahan di pergelangan tangan yang Atof cengkeram. Kulitnya terasa panas seperti terbakar, ia mengelusnya mencoba menghilangkan rasa tersebut.

© litamateur #BME