BE MY ESCAPE

tags: ±2100w, markno, fluff


127. Atof, Zio, dan Mamah

Sesuatu yang perlu kalian tahu adalah: pemilik kos Zio kenal dengan Atof dan mobilnya. 

Sebab terlalu terbiasa bolak-balik ke kos Zio entah apapun alasannya—lebih banyak tentang kucing dan band—, Atof mulai kenal dengan pemilik kosnya, Pak Sudrajat. Herannya, kedatangan Atof sangat disambut. Bapak kos Zio akan menyerukan Talatof!! saat mobil Atof parkir di pekarangan kos, dan herannya lagi mereka sangat akrab seperti teman lama tak bersua. Pak Sudrajat akan menepuk-nepuk punggung Atof, mempersilakannya masuk ke rumahnya jika ia ingin, meski ujungnya Atof akan menolak sopan karena punya urusan dengan Zio. Padahal menurut Zio, Atof bersikap sama saja saat bersama Pak Sudrajat seperti dengan orang sebaya, lebih banyak tersenyum tipis dan mengangguk ketika mereka mengobrol, atau tiba-tiba jadi Socrates. Namun mereka seperti terkoneksi, mampu berbincang tanpa mengenal waktu. Mungkin Atof adalah salah satu orang tua yang terjebak dalam tubuh mahasiswa. Maka dari itu, selera lagunya berputar di lagu-lagu jadul milik The Beatles, Queen, dan The Rolling Stone, sedangkan Zio lebih suka Arctic Monkeys, Panic! At The Disco , dan The Neighbourhood. 

Dari sana juga ia tahu Atof bisa main catur (karena Zio sempat melihatnya bermain dengan Bapak kos hingga larut tempo hari). Zio tidak ingin bertanya bagaimana bisa? atau kapan ia mulai bermain? Sebab eksistensi Atof sendiri sudah jadi teka-teki, mungkin akan lebih banyak puzzle yang akan ia temukan di tempat terpisah, yang akan menyatu jadi bingkai utuh seorang Atof. Namun itu juga jika Atof ingin dikenal utuh, dan ia yakin Atof tidak semudah itu terbuka dengan orang lain. 

Anehnya lagi, Atof sangat nyaman menggendong anak kucing miliknya yang lebih sering dipanggil little Atof ketimbang Coco nama aslinya. Atof seperti sangat menikmati waktu bermain bersama kucing meski Zio melihat hal tersebut tidak Atof sama sekali. Namun tiap Atof memangku anak bulu itu, mengelus tubuhnya, atau bermain dengan pancingan bulu agar Coco melompat-lompat, tak ayal membuat Zio tersenyum, lucu saja orang seperti Atof jadi budak kucing. 

Ada binar pada wajah Atof, yang tak Zio temui ketika Atof berinteraksi dengan manusia, dan justru ia dapati saat pemuda itu bermain dengan anak bulu. Rasanya menyenangkan meskipun hanya menonton. Zio tidak akan berbohong berkata tidak senang kucingnya dapat makanan gratis dari Atof, juga dapat mainan-mainan baru, rasanya Atof juga pemilik kedua Coco. Mungkin Atof menemukan hiburan dari kucing, sama seperti Zio ketika ia merasa agak tertekan dan kucingnya seolah tahu lantas menghampirinya, mengeong bak tengah bertanya keadaannya. 

Saat memandikan kucing pun mereka tertawa karena Coco berontak tidak ingin kena air. Atof lebih sering berujar it's okay baby we got you pada Coco ketika Zio mulai menyiram dan menyabuni tubuh kecilnya. Meskipun kamar mandi kos Zio tidak disarankan untuk dimuat oleh dua orang pria dewasa, mereka berhasil menyelesaikan misi, Atof sungguhan belajar memandikan kucing.

Kini Coco yang bersih dan wangi sudah berjemur di luar setelah dikeringkan dengan pengering rambut. Bermain dengan kucing lain yang suka mampir ke pekarangan kos. Atof bersiap-siap pulang namun Zio mencekal tangannya yang ingin pergi, membuat tubuhnya berjengit kaget. Zio tertawa saat Atof menatapnya dengan ekspresi terkejut. 

“Duduk dulu bentar,” pintanya, wajah Atof lekas melunak. 

“Kenapa? Ada yang perlu dibahas?” 

“Ada, coba lihat tangannya.”

Atof mengulurkan kedua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Lantas, Zio membaliknya, menemukan garis panjang di punggung tangan kanan Atof hasil cakaran Coco. Ia menggiring Atof ke sofa, mengisyaratkan pemuda itu untuk duduk di sisinya. 

“Luka sekecil apapun diobatin, nanti kena tetanus.“ 

Nah, it's not a big deal, mana mungkin dari kecakar kucing jadi tetanus,” balas Atof pada celetuknya. Zio menunduk, mengoles alkohol agar tidak terinfeksi, obat merah, lalu memasang plester meski lukanya tidak seberapa.  “Kayaknya gue nggak bisa mandiin lagi,” tambah Atof. 

Zio tertawa, “Baru sekali mandiin udah nyerah.”

“Aktif banget Atofnya.“ 

Senyum Zio terukir mendengar kalimat tersebut. Rasanya lucu mendengar Atof memanggil nama Atof seolah tengah menyebut diri sendiri. Saat ia mendongak, Atof tengah menatapnya lekat-lekat.

Apa Zio pernah bilang bola mata Atof sangat kelam seolah ia bisa tenggelam? Kalau iya, mungkin ia akan menyatakannya lagi. Zio seperti terserap ke sana, tenggelam.

“Ada bulu mata jatoh,” bisik Atof lirih.

Jemari Zio berusaha mengusap sekitar area matanya karena tidak tahu dimana tepatnya bulu mata yang jatuh. Sedang Atof terus memperhatikannya, tampak agak gemas karena ia tidak berhasil menemukan bulu mata yang dimaksud. 

“Bukan di sana,” telapak tangan Atof menangkup rahangnya, membuat Zio mematung dan menahan napas. Atof mengusap pergi bulu matanya. Ia tidak yakin hanya imajinasinya saja atau sungguhan, namun Atof seperti mengelus tulang pipinya sekilas. Zio agak tersentak menjauhkan wajahnya dari sentuhan Atof karena ujung jarinya lebih dingin. Mungkin seluruh tubuhnya juga bersuhu sama dingin, seperti air laut yang menenggelamkan.

Sorry.” 

Mereka sama-sama berpaling ke arah lain karena bingung. 

Here is the thing: sebenarnya banyak hal yang bisa Zio bahas dengan Atof, apapun: tentang band, kucing, proses bermusik, lagu yang paling enak untuk bermain gitar, atau bahkan bangunan, karena tak ia sangka mereka juga nyambung. Mereka sempat berhenti di salah satu sudut mal saat Dean mengajak satu band untuk nonton, tanpa sadar sama-sama menilik bangunan. Atof mengetukkan jarinya ke dinding, menebak komponen, dan Zio mendongak untuk melihat pondasi dan struktur bangunannya, lalu mereka berbincang lama—lebih seperti berdebat lantaran tidak ada yang mau kalah—hanya karena satu topik itu.

Namun sayangnya, kejadian tadi justru memicu kepala Zio mengeluarkan banyak opsi tanya, dan ia malah pusing ingin bertanya yang mana. Pasti ia akan kikuk, kagok, gugup, berbicara dengan terbata-bata, dan Atof akan menertawakannya, Zio tidak ingin jadi bahan bulan-bulanan.

Thank you sarapannya.“ 

Zio sadar suara Atof agak tergugu, namun ia justru mengangguk berkali-kali seperti burung pelatuk ikut salah tingkah. Tuh, kan. Ah, sialan. Atof bangkit dari posisinya, mulai menepuk-nepuk saku mencari kunci mobilnya sendiri, benar-benar ingin pulang karena tidak ada lagi yang perlu ia kerjakan.

“Jordannnn!!! Kok pintunya dibuka? Mamah masuk yaaa?” seru seseorang dari luar dengan suara mirip Mamahnya.

Ia menoleh ke bagian luar kamar—kosnya memiliki dua ruangan—, lalu ke Atof yang berdiri tidak jauh darinya. Zio membulatkan mata pada Atof, Atof juga menatapnya kaget. Mereka saling pandang selama beberapa detik, Atof ikut panik karena ekspresi Zio sangat panik. “Mamah?!”

“Itu Mamah lo?”

Kepalanya mengangguk cepat, Mamahnya tidak mengabarinya lebih dulu sebelum berkunjung, namun untungnya beliau adalah seseorang yang selalu mengumumkan kedatangannya dengan suara lantang atau mengetuk pintu. Dengan tergesa Zio berusaha menyembunyikan gitarnya serta hal-hal yang berbau band. Atof mengamatinya dengan bingung, diam di tempatnya berdiri sejak tadi. 

“Jordaaan, ini Mamah bawa makanan.” Mamahnya melongok ke kamar ketika Zio berdiri di samping Atof memastikan metronom, tuner, gitar, amplifier speaker, dan barang-barang lain berhasil disembunyikan. “Eh ada tamu?”

Sejurus kemudian, Zio merekahkan senyum paling lebar berlari kecil menghampiri Mamahnya, ia merentangkan tangan. “Mamah, kok notice tamu nggak notice anak sendiri di sini?” rengeknya. Ia berusaha menghalangi ruang pandang orang tuanya agar tidak semakin meneliti kamar. “Mamah, Odan udah rentang tangan ini kayak senam, Mamah nggak mau peluk?”

“Ih, Mamah mau sapa tamu kamu dulu, minggir.”

“Nanti aja, tamunya nggak ke mana-mana, peluk duluuuu,” ia merengek lagi.

“Aduh, manjanya anak bungsu.“ 

Zio tertawa, mendekap erat tubuh ringkih Mamahnya yang sudah berusia setengah abad. Menghirup dalam aroma khas rumah yang memiliki hubungan love-hate dengannya. Entah setidak suka apapun Zio berada di rumah, namun tetap saja ada kerinduan untuk pulang, juga tetap saja rumah jadi salah satu tempatnya untuk mencari aman dan nyaman. Ia meremas bahu Mamahnya ketika melepaskan rengkuhan. “Mamah kok cantik banget hari ini?”

“Gombal.”

Tawanya kembali mengguar, sejenak Zio melupakan presensi Atof di belakang mereka sebelum Mamahnya bertanya, “Temenmu namanya siapa?“ 

Ia menoleh ke belakang, melihat Atof masih berdiri namun ada gurat senyum tipis yang menghiasi wajahnya. 

Mamahnya ikut melongok dari balik tubuh Zio, “Namanya siapa, Nak?”

Atof dengan handalnya kian tersenyum (senyum yang hanya ia tunjukkan pada Coco, dan membuatnya terpana). Ia mulai mendekat ke arah Zio dan Mamahnya. Berdiri persis di belakang Zio karena mereka kini tengah berada di ambang pintu. “Nama saya Atof, tante. Temen seban—”

“Kakak tingkat aku, Mah. Ini Kak Atof, anak teknik sipil, suka sharing karena jurusannya bersinggungan,” sela Zio.

“Iya, tante. Saya pamit langsung pulang ya, Tante? Ada keperluan lain.”

“Eh? Buru-buru banget? Nak Atof udah makan? Makan dulu bareng Jordan, ini Tante bawa banyak makanan, sebentar aja 15 menit.”

“Kak Atof orang sibuk, Mah, mau buru-buru pulang, dia juga udah makan, iya kan?”

Zio mengerjapkan mata berkali-kali pada Atof agar pemuda yang lebih tua berkata iya (karena memang ia sudah sarapan tadi, dan agar Atof bisa langsung pulang). Namun sialnya, Atof hanya memasang wajah bingung pura-pura tak mengerti. Sampai pada akhirnya Zio sedikit sebal, mendesis kecil, mulutnya membentuk kata tanpa suara, “Bilang iyaaa.“ 

Mamahnya memukul lengan atas anak lelakinya membuat Zio meringis. “Kamu ya, nggak sopan ngusir tamu.”

“Ah, Mamah mukul-mukul, KDRT tau,” keluh Zio, mengelus bagian yang dipukul. Atof terlihat menahan tawa geli, sialaaan.

Pada akhirnya mereka menghabiskan waktu lebih dari lima belas menit. Makan lagi hingga kekenyangan meskipun sekarang masih jam sepuluh pagi—terhitung snack time. Sebab Mamah Zio mengemas banyak makanan yang bahkan bisa ia bagikan ke satu deret kos berisi lima kamar itu, serta ke pemilik kos, juga membekalkan khusus untuk Enricho. Mamahnya berceloteh ria tentang Zio pada Atof, membuat Atof sesekali tertawa seraya meliriknya.

“Kamu nih ya harus tau dulu Jordan—”

Zio mengerutkan wajahnya gemas, menahan diri untuk tidak merengek meminta Mamahnya berhenti. Mamahnya ini tipikal orang tua yang jika sudah bercerita pada teman anaknya pasti semua aib anak sejak ia tak ingat apa-apa sampai saat ini dibongkar semua seolah Zio tidak ada di sana. Sebenarnya tidak terhitung sebagai aib, namun tetap saja rasanya menyebalkan jika ia mendengarkan lagi dongeng Jordan yang menangis ditinggal Ayahnya mandi dan suka menjambak rambut Kakaknya jika merebut Ayah.

“Mamah, suapin Odan, aaaaaa,” mulutnya menganga menunggu Mamahnya yang sedang menyendok salad buah dari container besar pada wadah milik Atof. Mamah menoleh padanya, mengerutkan kening bingung. Zio berhasil menghentikannya berkisah.

“Ih, kamu nggak malu depan temanmu?“ 

“Nggak malu, kenapa emang? Aaaaaa.”

Mamahnya menyerah, dan mulai menyendokkan potongan salad buah (yang lebih banyak buah mangga karena Zio menyukainya) dengan tumpukan keju di atasnya. Menyorongkan pada mulutnya untuk dilahap dengan nikmat.

“Enak Cah lanang?”

Zio mengangguk, terus-terusan menyela tiap Mamahnya ingin lanjut bercerita dengan meminta menyuapinya berkali-kali. “Ih, kamu ya orang lagi ngobrol digangguin aja,” keluh Mamahnya dengan nada sedikit sebal ala ibu-ibu.

“Suapinnn,” rengeknya lagi, membuat Atof menggeleng-gelengkan kepala karena geli melihat tingkahnya yang manja. Zio berusaha tidak peduli, menyeringai saat memiliki ide brilian di kepalanya. “Biar adil sekalian suapin Kak Atof.“ 

Sontak Atof membulatkan mata karena kalimatnya. Mamahnya langsung  memutar tubuh menghadap Atof untuk menyodorkan sendok dengan buah-buahan itu. 

“Eh? Nggak usah, Tante, nggak apa-apa, saya bisa sendiri,” tolaknya sopan.

“Suapin, Mah, suapin, dia malu-malu aja padahal mau,” bujuknya, Zio terkikik sempat bersorak, “Suapin! Suapin!” seperti supporter bola membuat Atof mendesis melemparkan belati dari matanya. 

“Nurutin bocah lanang, dia bawel soalnya.”

Akhirnya, Atof menyerah ikut jadi korban, disuapi oleh Mamahnya membuat Zio tertawa kencang. Oh, ia akan menyimpan memori ini seumur hidup. Kapan lagi ia bisa meledek Atof dengan tameng Mamahnya? 

Sepanjang mereka mengobrol, Zio mengamati profil wajah sang Mamah yang kulitnya sudah semakin keriput karena usia. Ia baru menyadari bahwa orang tuanya yang dulu tampak sangat besar di matanya—sehingga ia perlu mendongak saat kecil untuk bertemu pandang—ternyata tidak sebesar itu. Tangan Mamahnya yang dulu sangat kuat menggendong Zio ke mana-mana lebih kurus dari miliknya. Punggung Mamahnya yang dulu juga bisa menghadang badai demi melindungi Zio juga sangat ringkih. It's about time. Zio harus berbakti pada orang tuanya yang begitu baik karena ia tahu tidak semua orang tua bersikap seperti mereka, agar ia tidak menyesal.

“Mamah pucet banget, lagi sakit?” tanya Zio menyadari warna kulit sang mamah yang lebih pucat dari biasanya.

“Enggak, ini begadang aja tadi malem karena ada catering orang resepsi. Ini juga mau langsung kondangan ke anak teman Mamah.”

Zio mencebik, “Aku udah pernah bilang nggak usah ikut ngurusin catering lagi, kan banyak karyawannya. Aku yang anter pulang ya? Jangan pake Gocar lagi, punya anak udah gede tuh diberdayakan.”

“Nggak usah, itu Nak Atof masa diusir lagi.”

“Dia juga mau pulang kok.”

“Iya, tante. Saya mau pulang kok, nggak masalah. Atau saya yang antar sampai rumah? Sekalian pulang, biar Jordan nggak khawatir.”

Zio tak menyangka Atof akan menawarkan diri, namun Mamahnya langsung mengangguk mantap saat Atof menawarkannya—lebih memilih diantar Atof ketimbang dirinya (dasar pilih kasih padahal baru kenal sehari). Ia mengantarkan mereka hingga ke gerbang depan. 

“Mamah hati-hati, jangan cerita aneh-aneh lagi tentang aku ke Kak Atof, awas aja,” ancamnya bercanda. Ia tahu Mamahnya pasti akan mengabaikan ancaman kecil itu dan mulai bercerita lagi. Namun ia berharap Atof tidak terlalu banyak mengetahui sisi kelamnya saat masih belia.

Mamahnya mengenakan seat belt seraya merespons: “Ih, kepedean banget kamu mau diomongin sama Mamah.”

Atof tersenyum di balik kemudi mendengarkan percakapan mereka dan mengangguk pada Zio, ia juga memberikan gestur serupa, dan kaca mobil pemuda itu ditutup. Ia mengantarkan kepergian mobil Atof hingga mengecil dan menghilang di persimpangan. 

Senyum Zio tidak luntur saat ia berbaring di kamarnya. 

© litamateur #BME