BE MY ESCAPE

tags: ±2200w, markno au, non linear narrative.

notes: please bacanya yang teliti soalnya alur agak bolak-balik.


child

I'm a child I can't be the person you want — Mark Lee

Atof tahu segala sesuatu tak selalu berjalan sesuai dengan harapannya. 

Ia berjalan bak di atas titian ke bagian belakang rumah Zio, tepatnya ke taman. Mencoba duduk di kursi kosong bersama Ayah Zio, yang menatap pohon, dan bunga-bunga yang tumbuh di sana. Mata Ayah Zio mengawang jauh. Wajahnya tampak tua dengan kerut-kerut yang baru muncul di usia setengah abad. 

Ayah dua anak itu tidak menoleh meski menyadari eksistensi Atof. Ia ikut menatap apa yang beliau tatap.

Rumah itu belum familier karena ini kali kedua Atof berkunjung ke sana. 

Biasanya, Atof tak pernah merasa nervous ketika ia berkunjung ke tempat baru. Ia tipikal anak pramuka yang menyiapkan segala sesuatu secara seratus persen sebelum berangkat. Sebab tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan, terlalu visioner. Akan tetapi kali ini ia menemukan dirinya kesulitan menelan saliva.

Matahari bulan September pada jam dua siang sedang terik-teriknya. Atof merasa gerah meski angin bersilir-silir. Dua pot sukulen yang ia jinjing untuk Mamah Zio sudah ikut berjajar dengan teman-temannya. Zio berada di kamar setelah kejadian di meja makan.




“Gimana kuliah kamu?” 

Pertanyaan itu tidak hangat, terdengar mencecar. Zio berhenti menggerakkan sendoknya. Tangannya mulai menurunkan alat makan, mengepal di pahanya sendiri. 

“Baru mulai, Yah. Belum ada yang bisa dilaporin.”

Atof belum pernah mendengar suara Zio sekaku itu selama mengenalnya. Atau Atof belum mengetahui Zio seutuhnya. Apa lah satu tahun dari sembilan belas tahun hidup Zio? Bahkan Atof tak hadir seperempatnya. Ia melingkupi kepal tangan Zio di bawah meja, meremasnya lembut. 

“IPK tingkat satu harusnya bisa lebih tinggi untuk mitigasi seandainya turun. Nanti pas tingkat dua coba ditingkatkan. Kalau ada kendala langsung bilang ke Kakakmu, atau Mamah, atau Ayah.”

“Iya, Yah.”

Mamah Zio setengah berdiri menuangkan nasi biryani lagi ke piring Ayah Zio, juga ke piring Atof yang sudah nyaris kosong. “Ayo Nak Atof dimakan.”

Ia tersenyum sopan meski perutnya sudah tak kuat menampung, seharusnya ia tidak sarapan tadi. “Iya, Tante. Makasih.”

“Kalau Atof ini jurusan apa?” Ayah Zio mengalihkan atensi, menatapnya dengan serius. 

“Teknik sipil, Om.”

“Oh, bisa nyambung ya kalau ngobrol. Kemarin IPKnya berapa?”

Ia tak langsung menjawab karena bingung. Mungkin keterkejutannya terpancar jelas sehingga Hera menyela: “Ih Ayah, nggak sopan tanya nilai ke orang, Yah.” 

Atof belum pernah ditanya mengenai nilainya seumur hidup oleh Althaf. Masnya yang satu itu hanya bersyukur jika Atof mampu makan dengan teratur. Bahkan, ketika ia memilih teknik sipil pun Althaf menjawab: Good, semoga belajarnya seru.

“Lho kenapa? Bisa jadi motivasi buat Jordan. Kalau teman-temannya pada pintar, harusnya dia juga.”

Ringisan hampir meluncur dari Atof jika ia tidak bisa menahan diri. Ia tidak tahu bahwa orientasi hidup Ayah Zio adalah pencapaian nyata seperti angka. Sejujurnya, Atof juga peduli pada hasil, namun selain itu ada hal-hal tak kasat mata saat mengejar sesuatu yang lebih ia pedulikan. Ia suka berproses.

Ia melirik Zio yang berekspresi tak enak hati, menggumamkan sorry tanpa suara.

“Syukur masih cumlaude, Om,” jawab Atof berusaha tak menyebut angka.

“Nah itu, kamu harusnya pintar-pintar cari teman dan koneksi biar mudah nanti kedepannya, Jordan. Daripada main sama Enricho itu, masa IPKnya nggak sampai tiga padahal baru tingkat satu.”

Mamah Zio memukul lengan suaminya, “Mulutmu ta’ cocol pake sambel ya, dari tadi didiemi kok makin ngelantur ngomongnya, Yah.”

Mereka semua tertawa tertahan. Sekilas wajah Ayah Zio seperti merajuk karena ujaran Mamah Zio, atau Atof yang salah lihat. “Nak Atof, Ayahnya Jordan ini sok serem aja, bahas nilai-nilai tok. Padahal hidup bukan cuma soal nilai, ya Nak Atof?”

Atof mengangguk, tersenyum pada Mamah Zio yang mengisyaratkannya untuk kembali makan.

“Ya hidup bukan cuma nilai, tapi nilai bisa jadi salah satu faktor yang menggiring kita ke masa depan, Mah,” Ayah Zio tetap tidak mau kalah, Atof jadi tahu bakat debat Zio dari mana.

“Aku pulang karena mau ngasih tau aku ngeband,” Zio menunduk, suaranya beradu dengan denting alat makan. 

Ayah Zio menurunkan sendok miliknya, memandang Zio yang sungkan melihat Ayahnya di mata. “Kamu memang tidak ada kegiatan lain yang lebih bermanfaat?” 

“Aku sukanya itu.” 

“Hobimu itu nggak manfaat, nggak usah ngeband-ngeband. Ayah nggak pernah larang kamu buat main game, ini malah ditambah ngeband. Waktumu bakal habis cuma buat itu.”

Zio mendongak untuk beradu tatap karena tidak terima. “Daripada aku diem-diem kayak dulu. Mending terbuka sama Ayah, kan? Ngeband nggak akan ganggu kuliah aku.” 

“Nggak ganggu gimana? Pas SMA nilaimu turun, kamu sering kabur les cuma buat ikut acara nggak bermanfaat, dan malah ambil uang les.”

“Kalau Ayah nggak ngelarang, aku nggak bakal begitu,” suara Zio semakin tinggi.

Ayah Zio berdecak. “Kamu cuma suruh fokus kuliah aja susah sekali. Segalanya sudah di-support, bahkan dibolehkan ngekos biar waktumu nggak habis di jalan. Harusnya bisa lebih baik dari Kak Hera. Ikut organisasi yang bermanfaat supaya ada pengalaman. Bukan malah izin ngeband yang nggak berguna buat masa depanmu.”

“Ayaaah, jangan gitu ke Odan. Adek udah usaha masa nggak boleh nyari hiburan?” Hera menyela.

“Kamu, Kak, Adikmu jangan dibela terus. Ajarin biar bisa kayak kamu.”

Atof hanya diam mengamati wajah mereka satu-persatu. Sejujurnya, ia jarang menonton film, kebanyakan karena diajak atau direkomendasi orang lain. Film bergenre keluarga paling ia hindari. Kali ini, ia justru menontonnya secara langsung. Ia bertanya-tanya apa setiap rumah dengan keluarga utuh pasti punya formasi seperti ini? Ayah yang lumayan keras, Ibu yang membela sang anak, Kakak yang jadi panutan, Adik yang riang namun tiba-tiba pendiam karena dibanding-bandingkan. 

Obrolan itu terus berlanjut. Tek-tok antar anak dan Ayah yang membela opininya masing-masing. Suara mereka beradu dan ramai hingga jadi white-noised. Atof seperti berada di dalam gelembung sendiri, bukan di meja makan. Telapak tangannya tiba-tiba menerima remasan dari Zio di bawah meja. 

Gelembungnya pecah.

“Saya juga ngeband, Om,” selanya, masuk ke obrolan. “Saya yang ajak Zio- Jordan ngeband. Saya termasuk lulusan terbaik sekolah musik meskipun sering bolos karena jadwal manggung. IPK saya masih cumlaude, kalau Om memperbolehkan Jordan buat ngeband sama saya, saya janji juga buat jaga IPK Jordan biar stabil. Win-win solution ya, Om?”

Atof yakin ia seperti manusia tidak tahu diri sekarang. Akan tetapi sepertinya ia perlu pamer banyak pencapaian nyata agar Ayah Zio mengizinkan. “Saya udah punya penghasilan dari producing lagu sejak 2016 sama band saya yang dulu. Papa saya konduktor terkenal, silakan Om searching Mikhael Rianto di Google. Mas saya dosen di sekolah seni di Singapore. Jadi kalau Om memperbolehkan Zio- maksud saya Jordan ngeband sama saya, sepertinya masa kuliah Jordan juga bisa terjamin. Dan kalau Jordan mau serius di musik, dia punya koneksi dari saya.”

Ekspresi tak percaya dari Ayah Zio membuat kerongkongannya terasa seperti diganjal kerikil. Ayah Zio mendesah lelah. “Kamu ini beda, Atof. Kamu masuk sekolah seni, keluargamu juga sudah di seni. Sedangkan Jordan nggak akan pernah bisa kayak kamu karena basisnya bukan di sana. Untuk apa ngeband-ngeband yang nggak bisa menunjang Jordan untuk jadi arsitek? Saya bukan nggak suka dengan musik, pencapaianmu juga layak diapresiasi, tapi nggak cocok dengan Jordan.” 

Kursi milik Zio berderit membuat seluruh pasang mata terfokus padanya. Ia bangkit dari posisinya dengan wajah masam. “Odan kenyang mau ke kamar.” 

Tanpa menoleh pada Atof, Zio meninggalkan meja makan. 




“Memang kamu mau pursue music selamanya?”

Ayah dua anak itu menarik koran di bawah meja untuk dibaca. Sepertinya masih berlangganan koran meski media massa fisik sudah tergerus digital. Hal itu membuat Atof kian sadar bahwa pola pikir Ayah Zio tergolong tempo dulu. Ia sedikit memiringkan posisi duduknya ke arah Ayah Zio, namun lebih condong ke taman. Dari sana, ia menemukan sisi wajah beliau yang sangat mirip dengan anaknya.

“Belum tau juga, Om. Tapi karena saya ambil teknik sipil mungkin bisa diseriusin ke sana. Saya juga senang belajarnya.”

“Bagus itu, meskipun kamu bisa punya income dari produksi lagu. Kamu harus punya income bulanan yang stabil,” sanjung beliau, membalik halaman koran.

“Musik ini—selain jadi akademisi seperti Masmu—pasang-surutnya cepat sekali. Perlu terus berkreatifitas. Nggak banyak band di Indonesia yang bisa mengeluarkan hits tiap tahun. Selain itu, sekarang sudah lari semua ke digital, dan sepertinya fees-nya tidak seberapa ya? Kecuali diajak manggung sana-sini.”

Atof mengangguk mafhum. Paham sekali bagaimana industri musik bekerja, terutama di Indonesia yang budaya album fisik nyaris punah.

Ia sering berbicara dengan orang tua, atau orang yang memiliki rentang umur jauh darinya. Kebanyakan dari mereka berbicara dengan Atof mengenai pekerjaan dan menganggapnya sebagai kolega. Atau menceritakan tentang masa muda mereka, dan Atof hanya mendengarkan dengan seksama.

Akan tetapi kali ini, ia mengobrol dengan Ayah Zio, dengan keadaan ia seorang anak, dan Ayah Zio adalah orang tua. Atof merasa kecil, atau ia memang anak kecil yang bahkan baru menanjak umur dua puluh. Sudah lama sekali tak ada yang menasihati Atof selayaknya seorang Ayah yang berbagi perspektif. Di masa-masa seperti ini, ia teringat Papanya. Menyedihkan. 

“Kamu pacar anak saya?”

Atof membeliak. Ia juga belum tahu apakah yang mereka punya dinamakan pacaran. Namun jika kata itu yang paling cocok untuk melabeli hubungan mereka, maka mulutnya berkata: “Iya, Om.”

Ayah Zio tertawa, “Pantas kamu bicaranya seperti ingin menjamin hidup anak saya seumur hidup tadi.”

Jujur, Atof tidak pernah semalu ini dalam hidupnya. Sekali ini, ia berharap bumi terbelah dan menenggelamkan dirinya. Memang kalimat menggebu-gebu yang ia ucap di meja makan terasa berlebihan. Ia tidak pernah seperti itu sebelumnya: menyombongkan diri untuk mendapatkan restu orang tua. Biasanya ia akan mulai congkak ketika merasa diremehkan.

“Kamu tahu Jordan suka sekali susun Lego?”

Atof mengangguk.

“Waktu saya belum punya studio sendiri, ekonomi kami masih biasa saja. Saya dan Mamah Jordan jadi arsitek junior di tempat yang berbeda. Karena kami kurang percaya sama baby sitter, Jordan selalu kami bawa kerja bergantian.”

“Anak itu … aktif sekali, apa saja dipegang. Lari-lari di ruangan, sudah berani naik tangga sendiri pas umurnya masih tiga. Semua teman kerja saya suka sekali karena dia sopan dan suka bersalaman, cerewet banyak tanya meski omongannya belum jelas.“ 

“Kalau saya minta Jordan untuk duduk, dia nurut, saya bikin maket, anak saya susun Lego. Dia selalu bilang dia mau bikin rumah seperti saya.“ 




Kamar Zio di kosnya lebih hangat dibanding di rumah. 

Zio tidur menyamping, sengaja menyisakan ruang agar Atof bisa naik. Usai menutup pintu, ia perlahan ikut berbaring, berlama-lama menelisik segala fitur di wajah Zio. Ia teringat tentang obrolannya dengan Ayah Zio, dan bagaimana ekspresi beliau sangat serupa dengan putranya ketika tersenyum. Zio seperti cetak mini Ayahnya dengan sifat seperti Mamahnya.

Apakah jika orang melihat Atof mereka akan teringat dengan Papanya? Apakah senyumnya sama seperti milik Papa? Apakah Atof punya kebiasaan yang sama seperti Papa?

“Mau berapa lama natapnya?” tanya Zio dengan mata masih terpejam.

As long as I could.”

God, you're flirty as hell.” Kali ini Zio membuka kelopak matanya perlahan-perlahan.

Ia seperti melihat bunga yang mekar. 

Good morning,” gumamnya.

I'm not sleeping.”

I know you are not.”

Zio tersenyum, “Do you know why I like you so much? Back then and now?”

Atof menggeleng kecil.

You have what I don't: freedom.”

Jawaban Zio tak mengejutkan, namun juga tidak biasa. Jarang ada yang membicarakan kebebasan Atof menentukan jalan hidup. Namun kini ia bersyukur ia memilikinya, meski kadang Atof justru ingin dibatasi karena merasa butuh pemandu.

Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. 

Why's that?”

I want to be like you. You say whatever you want to say— yes the ‘fuck you’ on Twitter when you were out from the band. You pierced your ears, chose your own major and path of life, got sex a lot, you do what you want to do, and I just really dig your vibe. Cool, hot-headed, strong, sexy, flirty, goals-oriented, look aloof and arrogant but actually very kind.”

That’s not the freedom you talk about, it’s reckless, Baby Doll.

I want that.”

“Hm?”

I want to be reckless, nggak mikirin apa kata Ayah tiap ngelakuin sesuatu.”

Mungkin karena Zio terbiasa merentangkan tangan untuk Atof, maka dari itu ia pun melakukannya. Bak muscle memory, ia menepuk tubuhnya sendiri sebagai ajakan. Zio masuk ke rengkuhnya, juga ke hatinya. 

Baby Doll did well.

Zio mengusap-usapkan wajahnya ke dada Atof. Seperti anak kucing yang mencari tempat nyaman untuk tidur. Semoga kancing kemeja Atof berukuran kecil dan tidak mengganggu.

You said you want to know what 'For Talatof' means,” Atof menguap, entah kenapa ia justru mengantuk, mungkin karena pendingin ruangan. Ia menyamankan kepalanya di bantal, kian merengkuh tubuh Zio.

“Apa?” Ia merasakan jemari Zio mengetuk-ngetuk berpola di punggungnya.

“Aku asal aja sebenarnya.”

Kini punggungnya dipukul, memicu ringisan. 

“Okay- okay, serius. Kenapa 'For Talatof' bukan 'From Talatof' karena even though the songs are technically from me, but I write it as a reminder for myself. Most of my songs are basically about self discovery and coming of age, so yeah, you know, it's more like I make this for myself and share it with you all, not I make this for you all.” 

“Wah, aku lagi meluk orang keren. Jadi orang keren ini mau menjamin hidup aku?” goda Zio mengulang pernyataan nekat Atof di meja makan.

Suara Zio teredam, namun diteruskan dengan kekeh lirih. Atof mengelus belakang kepala Zio naik-turun, ia mulai memejamkan matanya. “If you want to.”

You're too young to say that, isn't it very reckless of you?

You said you want to be reckless.”

“Ya bukan dengan nikah dini lah.”

“Kita nggak dini,” Atof lagi-lagi menguap lebar. “You know, whenever you're around I feel sleepy.

Atof tahu segala sesuatu tak selalu berjalan sesuai dengan harapannya. 

Akan tetapi kali ini ia sangat berharap tidak ada yang mengetuk pintu. Di dalam kamar yang terasa asing ini: hanya ada Atof dan Zio. 






“Odan kalau sudah besar mau jadi apa?”

“Mau bikin rumah seperti Ayah!”

“Odan mau jadi arsitek?”

Zio kecil mengangguk, kakinya yang menggantung karena kursi terlalu tinggi, bergoyang-goyang lebih semangat mendengar pertanyaan tersebut. “Odan jadi aristek!”

“Arsitek, Jagoan. Eja bersama Ayah, Ar.”

“Ar.”

“Si”

“Si.”

“Tek.”

“Tek.”

“Arsitek.”

“Aristek!” sahut Zio semangat.

Ayah Zio tertawa, mengecup puncak kepala putranya yang sedang menggenggam pohon-pohon kecil dengan penuh kasih.

“Ayah janji akan bantu kamu jadi arsitek.”


© litamateur