BE MY ESCAPE
tags: ±3200 words, markno, cw self-harm (self-starvation, misusing drugs), very brief passive suicidal thoughts, mental health issues, dysfunctional family, hurt/comfort
notes: beware of the content warning, there is nothing explicit here but please proceed with caution, if you find it triggers your trauma, i advise you to leave the page.
All the kids are depressed
The Riot left.
You don’t have any friends left.
Your parents left.
Karena diri lu sendiri.
Apa yang mantan manajer Atof katakan terus berdering di telinga seolah ingin menulikannya.
Sejak awal Atof memang berpikir ia terlalu rumit untuk ditangani, entah sebagai anak, teman, atau kolega. Dan ketika seseorang memberitahunya lagi dengan perkataan mereka bahwa semua orang pergi karena dirinya sendiri, ia menyadari perkara itu lebih sering bergaung di kepalanya dari tiap ujaran yang dilayangkan.
He is too much? He knows, that’s why everyone leaves? He tries not to think about it.
But he can’t.
Terapisnya pernah mengatakan bahwa apa yang terjadi pada hidup orang bisa disebabkan oleh faktor internal, seperti diri sendiri (perilaku, dan pola pikir), atau eksternal dari orang lain dan lingkungan. Dan apa-apa yang terjadi dalam hidup Atof kebanyakan dari luar, lantas respons trauma Atof akan melakukan pertahanan diri. Entah itu hanya untuk menghibur Atof, atau memang sebuah kebenaran. Akan tetapi Atof sudah hidup di neraka yang dibuat khusus untuknya bertahun-tahun, dan kalimat itu tak bisa lagi jadi angin sejuk. Ia lebih memilih untuk tak mengambil resiko, dan membakar lagi dirinya yang sudah jadi abu. Ia merasa lebih baik mengunci dirinya sendiri dalam sebuah kotak yang sulit ditembus daripada perasaannya dipengaruhi orang lain.
Atof pertama kali belajar piano ketika ia berumur lima. Bukan karena keinginannya, namun ia digiring oleh Althaf ke satu ruang di rumah dimana seruan lantang semakin menghilang frekuensinya sebab jarak. Althaf duduk di hadapan grand piano yang sudah ada di sana sejak Atof memiliki memori di kepalanya, mengisyaratkan Atof untuk duduk di sisinya. Kakak laki-lakinya itu, Mas Althaf yang menjadi mahasiswa di salah satu institut seni, tersenyum pada Atof, tidak sampai ke ujung bibir. Ia memainkan beberapa lagu yang tak mampu Atof telaah nadanya, jari-jarinya berpindah lihai membuat Atof bertepuk tangan dengan meriah.
Hari itu, pertama kalinya Atof menekan tuts piano untuk memenuhi ruang dengan suara yang lebih menyenangkan, menyamarkan amarah yang meledak di ruang lain. Atof memainkan melodi lagu Twinkle Little Star dituntun Althaf. Ada air mata menggenang di mata Althaf, namun ia tertawa ketika jari-jari kecil Atof melompat ke sana-sini untuk menekan tuts dengan semangat mengikuti apa yang ia instruksikan. Usia mereka terpaut lima belas tahun, Atof merasa Althaf adalah sosok yang sangat nyaman untuk jadi sandaran, tanpa mengetahui fakta bahwa Kakaknya melewatkan kesempatan berkuliah di luar negeri hanya untuk menemaninya di rumah.
Usai kejadian itu, Atof selalu digiring ke sana, bahkan Althaf kadang kala membawa teman kuliahnya yang suka anak kecil. Atof pernah tak sengaja menguping ketika Althaf ikut berseru, “For God's sake, Atof is five,” atau, “Don’t let Atof see your fight,” pada orang tuanya. Kadang suara orang tuanya membuat Atof berjengit kaget, dan takut. Anehnya ia tidak menangis, tapi ia tak berani menyuruh mereka untuk berhenti. Sebab Atof tidak pernah dekat dengan Papanya karena ia tak pernah pulang. Sedang Mamanya tak pernah ingin melihat Atof beberapa bulan terakhir, entah kenapa.
Mereka mulai jadi orang asing yang hidup satu rumah. Mungkin Mamanya sudah tidak tahu jika Atof mulai tak suka susu vanilla karena merasa mual tiap meminumnya.
Fur Elise jadi lagu yang tak pernah Atof mainkan lagi usai Mamanya hanya diam seribu bahasa ketika ia mempersembahkan lagu itu untuknya.
Nyaris enam bulan untuk menyempurnakan permainan, Atof menghitung, sampai lagu itu menghantui dan masuk ke dalam mimpinya. Akan tetapi tidak ada tepuk tangan bangga sesuai apa yang anak umur lima tahun harapkan.
“Kamu mirip banget sama Papa,” kata Mamanya lirih dengan senyum menyedihkan. Mamanya keluar ruangan, membuat Atof terdiam di kursi piano, bola matanya bergerak mengikuti kepergiannya.
Anehnya, Atof tidak menangis atau tantrum seperti anak seumurannya. Ia hanya membalik halaman buku musik dengan kumpulan lagu untuk pemula. Menenggelamkan emosinya dengan menekan tuts. Ia pikir mungkin ia salah memilih lagu.
Umurnya enam tahun ketika semuanya sungguhan dimulai.
Papanya pulang dari Paris usai memboyong orkestranya ke kancah internasional. Menjadi konduktor yang disegani ketika kembali. Sangat mentereng hingga keluarganya disorot oleh kolega sang Papa, dan Atof salah satunya.
Atof mulai lebih dekat dengan Papa karena diajak pergi ke mana-mana. Dipamerkan dengan bangga seperti piala bergilir. Ketika Papanya berbohong bahwa Mama yang mengajarkannya bermain piano Atot ingin menyela namun tak mampu. Ketika Papanya bilang bahwa ia bercita-cita jadi konduktor seperti dirinya, Atof menggigit bagian dalam mulutnya. Ia merasa tidak masalah, lagi pula ia jadi dekat dengan Papanya. Sang Papa akan tersenyum pada Atof, menggiringnya ke acara dengan banyak makanan meskipun genggaman tangannya terasa dingin.
“Papa keterlaluan manfaatin anak sendiri. Kenapa bukan aku? Kenapa mesti Atof yang masih kecil?” Althaf mengatakan itu di satu malam saat Atof baru saja pulang. Merangkung di hadapannya, memeluknya dengan erat.
Akhir-akhir ini, mata mas Althaf selalu berkaca-kaca.
“Jaga bicara kamu, ini buat Atof. Kalau Papa berhasil, kamu juga lebih mudah.”
Papanya pergi lagi setelah mengantarkan Atof pulang, tak pernah menyapa Mamanya. Mereka hanya akan berkumpul berempat jika ada acara penting, menjaga reputasi. Hidup dalam topeng yang dibuat Papanya cukup lama, Mamanya bersedia berpartisipasi sebagai persyaratan sebelum bercerai.
Atof selalu bertanya-tanya apa yang salah dari Atof? Apa yang tidak Atof ketahui? Mengapa Mamanya semakin tak terjangkau dari hari ke hari?
Sampai pada akhirnya Papa tak sungkan lagi membawa wanita baru ke rumah.
Atof berpura-pura tersenyum saat disapa karena sudah diajarkan dengan baik. Memukul drum dengan asal-asalan ketika ditinggal sendiri, hingga stick-nya patah.
Sejak awal Atof memang tumbuh dengan sandiwara, pada dirinya sendiri, dan orang lain. Sampai ia tidak tahu mana emosinya yang nyata.
Ironi, hidupnya begitu menarik untuk ukuran anak sekolah dasar. Atof ingin tidur saja, tiduuuuur yang panjang sampai ia tak pernah bisa membuka mata.
Rasanya akan lebih baik jika ia tidak bangun saja.
Atof terbangun karena merasa mimpinya terlalu nyata. Menghela napas karena lagi-lagi memori tak menyenangkan yang jadi bunga tidur. Kepalanya pusing usai lebih dari 22 jam terlelap, badannya pegal setengah mati meski hanya dibawa berbaring. Botol obat terbuka dari terapisnya jatuh dari nakas saat ia berusaha meraih ponsel. Sisa tabletnya yang hanya segelintir melompat keluar, terlalu cepat habis karena kemarin ditenggak melebihi dosis anjuran.
Ia menggulir ponselnya yang nyaris tak berfungsi karena habis daya. Tumpukan notifikasi ia baca satu-persatu. Ia berbohong pada Yunita, dan Dylan dalam teksnya agar mereka tidak khawatir, lagi pula ini hanya tentang Atof dan masalah mentalnya.
Rasanya akan lebih baik jika ia tidak bangun saja.
Langit-langit kamarnya tidak menarik untuk dipandang.
Kadang Atof merasa ia terlalu mendramatisir hidup, namun suara di kepalanya sangat berisik bak mengejeknya bahwa ia memang tidak waras.
Atof menyeret kakinya ke kamar mandi, mengambil makanan yang disediakan oleh Yunita di depan pintu dengan dada tak nyaman karena perasaan bersalah. Kemudian, ia berbelok ke studionya hanya untuk duduk menatap layar laptop yang mati merefleksikan wajahnya.
Matanya kosong.
Ini pukul tujuh malam, Atof tertawa miring melihat wajahnya sendiri. Lumayan takjub bisa bertahan 19 tahun dengan keadaan merasa tak ingin hidup. Atau sebenarnya Atof ingin hidup, namun bukan hidup yang ini. Ia melanjutkan lagunya karena tak ada lagi yang bisa Atof lakukan untuk mengalihkan pikirannya. Saat jam sepuluh pagi, ia kembali ke kamarnya untuk tidur. Menenggak obat, agar tak bermimpi sama sekali.
Rasanya akan lebih baik jika ia tidak bangun saja.
Akan tetapi lagi-lagi ia terjaga sebab kasurnya melendut seperti ada beban baru meskipun ia sendirian. Langit-langit kamarnya masih sama tidak menariknya meski ia sorot jutaan kali, namun ekor matanya menemukan seonggok tubuh manusia di ranjang. Ia berbalik, mengerjapkan mata berkali-kali merasa disorientasi dan melantur.
Rasanya baru sebentar ia tertidur, bukankah lebih baik jika ia tidak bangun saja?
“Hai,” sapanya seraya menguap.
“Why are you here?” tanya Atof bingung dengan suara serak bangun tidur. Zio meraih botol air minum yang tiba-tiba ada di nakas, menyerahkan padanya.
“Karena mau di sini.”
Lagi-lagi Atof mengerjapkan matanya linglung, kepalanya berdenyut. Beberapa teguk air pada akhirnya mampu mengembalikan sedikit kesadaran, dan membasahi kerongkongan yang sekering gurun. Ia menerka sudah berapa jam ia terlelap setelah terakhir kali bangun. Kamarnya gelap tidak dinyalakan. Tak ada perubahan sama sekali kecuali Zio yang tiba-tiba berbaring di sisinya, sepertinya ia tidur juga karena rambutnya lumayan masai.
“Temen lo udah ke sini tadi, gue gantian shift malem,” ujarnya sempat bercanda, tak mengenakan ekspresi kasihan, atau menyinggung apa pun yang Atof benci. “Sorry yang kemarin, sorry juga nggak izin ikut tidur di kasur.”
Ia menggeleng, “Jam berapa?”
“Delapan malem.”
“Latihannya gimana?”
“Pada latihan sendiri di studio,” jawab Zio. Ia hanya mengangguk, masih bingung mengapa Zio justru di sana daripada di studio. “Bangun yuk, temenin makan?”
Atof menilik Zio yang berwajah setengah mengantuk. Ingin bertanya banyak hal meski baru saja bangun tidur, sebab terlalu banyak kemelit yang bercokol di otaknya sejak lama dan tak ingin ia asumsikan tentang Zio, atau dirinya dan Zio.
Sejak kapan Zio seberani itu untuk melewati batas tak kasat mata yang ia punya? Atau sejak kapan mereka jadi begini?
Sejujurnya ia tahu jawabannya, ia hanya tak berani menyuarakannya karena jika kalimat itu bergulir di lidah semuanya akan terasa semakin nyata.
Jika Atof bukan Atof apa Zio akan begini?
“Are you not … tired?”
“Of what?”
Atof yakin Zio bisa memahami makna implisit yang terkandung dalam pertanyaannya. Namun pemuda tersebut selalu jadi yang paling berani di antara keduanya, tak ingin sembunyi, ingin membuat semuanya sebersih langit pagi tanpa mendung. Dan Atof, dia pengecut, mungkin. Benci terlihat rentan ketika jujur. Makanya banyak berpura-pura, khawatir, terlalu berpikir, dan pada akhirnya tetap bersembunyi dengan topeng stoic.
“I don’t know … everything—” —me, Atof sangat ingin bertanya.
Seseorang yang selalu bersahabat dengan kepura-puraan, tidak akan pernah terbiasa dengan Zio yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Lagi-lagi, Zio menjawabnya dengan lantang.
“No.”
Ia terbungkam.
Kepala Atof tidak akan pernah mampu memformulasikan pikiran Zio, mungkin otaknya agak korsleting. Sebab Atof pun mengerti, ini Zio yang tak ada celahnya. Jika Atof berada di sisinya, ia adalah celahnya.
Sebab Atof begini, terlelap dua hari karena ansietas memakan kewarasannya. Sedang Zio … apa yang Zio cari dari orang seperti Atof setelah tahu bahwa megahnya Atof di layar dulu berbanding terbalik dengan kenyataannya?
Sebab jika pada akhirnya Zio tak memilih Atof pun, tak akan ada yang sanggup memilih Atof.
“Are you insane?” tanyanya, mengundang kekeh ringan. Zio menyengir memperlihatkan gigi-giginya yang rapi, matanya membentuk bulan sabit. Atof sudah terlalu sering melihat pemuda itu dari jarak pandang sedekat ini, namun tak pernah tak membuatnya terkesima. Ia lebih suka saat Zio terpejam karena bulu matanya berjajar lentik, dengan landang di bawah mata jadi aksen. Kulitnya lembut, Atof penasaran apa Zio rutin menggunakan skincare. Hidungnya bangir dengan rahang tegas seperti pahatan, ia yakin akan lebih tegas lagi seiring bertambahnya usia, sungguhan personifikasi boneka.
“Never been this insane.”
“I think you should go to a therapist with me.”
Lagi-lagi Zio hanya tertawa. Ada gap tak kasat mata yang Zio jaga, mungkin karena mereka sedang tidak baik-baik saja, atau sebenarnya Atof yang tak baik. Kebanyakan, Atof merasa lega karena seseorang sungkan untuk mendekat, namun kali ini, muncul gelenyar tak nyaman. Mungkin karena ini juga mereka jadi begini. Saat Atof menurunkan kewaspadaan di sekitar Zio—karena ia tahu pemuda itu tak pernah punya niat buruk, Zio meresap ke celah-celah dirinya.
“Can I touch you?” tanyanya seakan tahu apa yang tengah Atof pikirkan, ia menjawab samar.
Jemari itu pada akhirnya berani mendarat di pipinya, mengelusnya vertikal dengan ibu jari. Atof yakin masih ada sisa efek obat yang ia tenggak karena dirinya kembali mengantuk.
“Touching you like this still feels like a dream,” suara Zio lebih hening dari bunyi pendingin ruangan yang berdengung tak berarti. Ujung jarinya kali ini lebih dingin dari suhu tubuh Atof.
“You dream about me?”
“Once in a while, in my dream you are like this.”
“I’m still bad even though it’s in a dream.”
“No, you’re just you,” jemari Zio turun ke lehernya, menekan nadinya yang berdetak, lalu mengelusnya. “You know I bought my first guitar because of you.”
Pupil Atof sejenak melebar, “Tell me more.”
“Pas SMP, gue ikut ekskul musik meskipun nggak punya gitar. Akhirnya, pembina ekskulnya—dia juga guru matematika—minjemin gitar ke gue, gitarnya full sticker. Rasanya nostalgia pas beliau cerita karena setiap sticker punya kenangan. Setelah itu, gue izin nambahin beberapa sticker juga. Waktu SMA, akhir tahun 2016 gue balikin gitarnya karena udah beli yang baru—” Zio menjeda kalimatnya hanya untuk tersenyum, “Do you remember what you said when you were seventeen in one of interviews?”
Atof menaikkan kedua alisnya tidak tahu apa yang Zio maksud. Kebanyakan apa yang ia katakan saat wawancara hanya gagasan selewat saat itu juga, atau ia tak sengaja mengutip sesuatu yang pernah ia baca, atau justru nilai hidup yang Atof tancap dalam dirinya tanpa sadar. Apa pun itu, mungkin ujarannya lebih berharga bagi Zio dibandingkan dirinya sendiri.
“You said people need to be desperate for their goals,” Zio mengucapkan itu dengan nada paling filosofis meski Atof tidak ingat ia pernah mengatakannya. Masalahnya, Atof memang hobi melupakan masa lalu.
“Saking desperate-nya waktu itu, gue beli gitar pake uang les buat naik level di EF.”
“You’re fearless, Zio.”
Alunan tawa hampir tak bersuara milik Zio kembali mengudara, “Kalau gue berani, gue nggak akan jadi obedient kid yang ambil arsitektur karena Ayahnya, gue cupu.”
Atof tidak pernah berpikir demikian, namun mungkin Zio punya definisi tersendiri untuk kata tersebut. Hidup memang begitu, sudut pandang orang lain sering tak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Pergerakan jemari Zio kini berpindah ke daun telinganya. “Gue kepikiran piercing, sakit nggak pas pertama?”
“No, it felt like a pinch and the pain is fully fade within a week, just try.”
“My father will be angry.“
“He will, but he’ll forgive you.”
“How do you know? Are you my Dad?“
Kini Atof yang terkekeh, “You’ll be unstoppable if it’s not because of your parents.”
“That’s why, orang tua gue punya firasat kali makanya strict,” katanya.
“Lo dilarang aja nekad beli gitar, Zi.”
“Lo motivasi sih.”
“Kenapa jadi salah gue?”
“Hahaha, tapi ada satu mainan yang orang tua gue beliin tanpa pikir dua kali: Lego, kalau mainan lain kadang nggak dikasih—kayaknya karena Lego bikin sibuk, ngajak sabar, dan mikir juga. Ayah asumsi gue mau jadi arsitek karena itu mungkin, sekarang jadi nggak suka Lego.”
Ingatan Atof ditarik kembali pada gantungan Lego di kunci mobil Zio saat mengendarainya tempo hari; saat bandnya ikut kompetisi pertama, juga saat Zio menciumnya. Ia pun mengingat salah satu foto susunan lego di laman Instagram pribadi Zio.
Tidak ada yang menyimpan hal yang tak ia suka. Zio bukan tidak menyukai Lego.
“Kalau Kak Atof?”
“Apa?”
“Suka main apa pas kecil?”
Atof menggeleng karena ia tidak ingat, atau sengaja melupakannya, atau karena memang tidak ada? Sejak dulu dirinya hanya hidup beriringan dengan musik, ia tak tahu apa yang bisa ia kenang selain itu. Lagi pula potongan memori kecilnya lebih banyak kejadian menyakitkan, bahkan kenangan saat orang tuanya menggenggam tangannya menyekat tenggorokan. Atof ingin hidup tanpa masa lalu agar ia tidak sepengecut ini.
“Kapan-kapan kita nyusun Lego bareng.”
Kontradiksi dari kalimat sebelumnya, ternyata Zio sungguhan masih suka menyusun Lego yang diasosiasikan dengan Ayahnya. Sebab sebanyak apa pun rasa tidak suka manusia pada seseorang, ketika orang itu memberikan sesuatu yang membuat mereka tetap merasa hidup, mereka terus akan berpegangan pada hal tersebut.
Ternyata mereka sama saja. Zio dengan Legonya meski tak ingin jadi arsitek seperti Ayah, Atof dengan musiknya meski orang bilang ia jenius karena darah orang tua yang tak ingin ia ingat wajahnya.
“Gue umur lima pas pertama kali main piano,” bisiknya. “It was the very first time I saw my parents fought too, very unpleasant.”
Zio menekan bibirnya sendiri hingga membentuk garis lurus, tampak merasa tak enak. “Don't tell me if it makes you sad, it's okay.”
“No, I am used to it, it's fine.”
Atof mulai berdongeng seolah itu bukan cerita hidupnya. Mengalir dari lidahnya tentang keributan yang terjadi di rumah, kemudian perang dingin, lalu Mamanya yang angkat kaki dengan mulai mengepak barang perlahan-lahan. Juga tentang Fur Elise. Tentang wanita Papanya yang suka bermalam di rumah. Tentang rapor hasil studinya yang tak pernah penting menurut orang tuanya. Tentang Atof yang tergelincir di hutan saat camping namun orang tuanya tak datang meski ia harus ke rumah sakit. Tentang genggaman tangan Papanya yang terasa dingin meski sudut bibirnya selalu naik untuknya. Tentang senyumnya yang terlatih saat kolega Papanya mengajak berbincang. Tentang Mamanya yang menemukan orang baru dan membentuk keluarga tanpa Atof, dan Mas Althaf.
Kemudian, tentang Atof di usia delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas … tentang repetisi mimpi mengenai orang tua yang selalu membuatnya tak bisa tidur. Tentang dirinya yang lelah dengan mimpi tersebut hingga mendorongnya menelan obat yang justru membuatnya tak sadar diri. Tentang Tom, Lana, Guntur, dan The Riot yang dulu ia anggap tempat pulang. Tentang heroine injection, excimer, tramadol, dan nama-nama lain yang tak Atof hapalkan. Tentang piercing telinga kanan, kemudian telinga kiri. Tentang seks yang tak pernah membuatnya bebas, justru merasa hampa. Tentang—
Ia terkekeh miris, “Nggak asik, kan? Nggak kayak Jordan yang nangis karena nggak mau ditinggal Mamah pas TK.”
Zio menggeleng, seiring perjalanan cerita napasnya perlahan berubah menjadi tarikan yang tersendat. Jemarinya menyeka air yang tak henti mengalir menyamping menuju pangkal hidungnya sendiri, lantas turun hingga ke pelipis. Kulit putih Zio memerah, rambutnya lembab. Atof membantu menghapus bulir air lain saat ikut turun.
“Capek ya?” gumamnya begitu lirih.
Atof tak gemar melihat sorot sendu yang muncul karena dirinya, namun Zio seolah hanya bertanya hal biasa. Akan tetapi sebenarnya pertanyaan itu terasa asing karena ia jarang mendapatkannya. Kadang Atof merasa baik-baik saja, dan seolah memiliki ratusan mimpi yang ingin ia raih, kadang ia merasa tak punya apa-apa; hampa, dan tak bermakna, kadang juga ia hidup seperti komputer yang diprogram melakukan rutinitas, kadang ia ingin tidak ada. Yang mana yang harus Atof ucapkan jika ia ingin jujur?
Sampai pada akhirnya ia hanya membisu, namun Atof berharap sekali ini Zio mampu membaca matanya, sebab sejak dulu Zio berhasil menebaknya.
Pemuda itu merentangkan tangan, menyambutnya untuk datang ke dekapan. Zio mengelus rambutnya ketika ia mulai bersandar. “I can't promise tomorrow will be a better day, but let's try?”
Atof semakin melesakkan kepalanya di dada Zio. Berusaha mengatur napasnya yang mulai keluar setengah-setengah karena tenggorokannya terasa berduri, dan paru-parunya dipenuhi kerikil.
Nyatanya sekuat apa pun Atof mengokohkan diri, berpikir bahwa memori masa kecilnya sudah tak banyak berdampak ketika ia ceritakan. Ia tetap merasa kerdil, hanya remaja berusia 19 tahun yang terjebak dalam kotak saat umurnya masih lima.
Detak jantung Zio di telinganya seperti ketukan metronom; teratur, dan menghipnotis. Berhasil membuat napasnya kembali stabil. Ia memejamkan matanya menghirup aroma pelembut pakaian dari kemeja biru langit yang Zio kenakan, serta harum tubuhnya yang sudah amat familier di saraf.
Kepalanya yang berdenyut dipijat dengan lembut. Atof tidak ingat kapan terakhir kali seseorang mengusap rambutnya, tengkuknya, telinganya, menyentuhnya dengan hati-hati, menyelimutinya dengan kasih. Atau sebenarnya memori itu memang tak pernah ada sebelumnya?
“Baby, thank you for growing up so well.”
Kalimat itu jadi pelatuk terakhir, ia kian mengepal bagian punggung pakaian yang Zio kenakan. Semakin menyurukkan diri, menahan suaranya untuk keluar karena masih tersisa rasa malu, namun perlahan baju Zio basah meski dalam hening.
Pertahanan terakhirnya luruh. Zio ikut luruh bersamanya.
© litamateur