BE MY ESCAPE
Tags: ± 2300w, mention of past recreational drugs, mention infidelity, making out, character study, band au!
Notes: Baca pelan-pelan aja ya, jangan skimming nanti nggak asik. Kalau bisa dengerin dulu Be My Escape dari Relient K, dan Kiss Me dari New Found Glory baru baca, karena kayaknya nggak akan fokus kalau baca sambil denger lagu, malah headbang. And support your local author by clicking this link!
153. Be My Escape
Ada satu gitar akustik yang sering lolos dari pandangan seseorang ketika mampir ke studio pribadi Atof, yang sebenarnya tak terlalu ia sembunyikan juga, namun siapa pun yang berkunjung lebih memilih untuk melihat alat musik lain. Tidak menarik, begitu. Hanya tersimpan di sudut ruang yang enggan membuat orang bergegas ke sana untuk sekadar memetik gitar usang.
Itu adalah gitar pertamanya.
Atof tidak berbakat dengan mengunjungi memori masa lalu karena ia lebih suka melupakannya ketimbang menggenggamnya erat-erat. Coping mechanism, kata terapisnya. Ia disarankan untuk pelan-pelan tidak membuang apapun yang bernilai sejarah dalam hidupnya, agar ketika ia tak sengaja bersirobok dengan sesuatu yang mengingatkannya pada hal-hal di masa lalu, itu tidak terlalu menimbulkan efek. Namun tentu saja sulit, habits die hard, Atof cenderung tak punya sesuatu yang berharga kecuali alat musiknya karena ia butuh, tidak berkunjung ke tempat-tempat yang menorehkan sesuatu, membangun dinding dan meminimalkan terbentuknya ikatan apapun dengan sesuatu di sekitarnya: orang, benda, tempat, dll.
Kebanyakan barang yang berada di apartemennya ia beli ketika ia mulai bersekolah di SMA Eton; sekolah musik namun juga menerapkan kurikulum Cambridge agar dapat ijazah yang kredibel. Dari sesederhana pakaian, hingga televisi cerdas yang jarang ia nyalakan, tidak ada satu pun barang bawaan dari rumah orang tuanya di Sentul. Semuanya nyaris baru, seolah ia berteriak akan memulai hidup kedua, kecuali gitar yang satu itu.
Ia agak berat hati untuk meninggalkannya, atau bahkan membuangnya.
Tak banyak yang bisa Atof ingat dari gitarnya selain ia mulai belajar memetik ketika duduk di sekolah dasar; setelah agak bosan bermain piano. Gitar itu turunan dari Papanya; lebih ke–gitar yang sudah lama tak digunakan, dan Atof mengambilnya. Sebab sang Papa waktu itu jarang pulang ke rumah—sibuk dengan jadwalnya sebagai musikus, atau dengan wanita barunya, Atof tidak tahu—, ia tidak bisa izin pula untuk menggunakannya.
Pertama kali mencoba, kulit di ujung jarinya mengelupas. Rasanya tidak menyakitkan, hanya tangannya lebih kasar dibandingkan saat ia bermain piano. Menyenangkan, akan ada lebih banyak pengorbanan. Sebab, ia lebih memilih untuk bermain musik dengan guru yang sudah tua, ketimbang bermain dengan anak-anak seusianya yang orang tuanya mengasihani hidup Atof.
Kecuali Yunita waktu itu, karena Mamahnya tak sempat ke sekolah sama sekali meskipun ada pertemuan wali siswa; sibuk jadi orang tua tunggal. Setiap Atof memicingkan mata melihat apapun di hadapannya, Yunita seolah berkomplot dan bersedekap ikut menghakimi apa yang Atof amati. Mereka seperti dua batang korek api kecil serupa, mungkin jika hanya satu yang menyala tak akan jadi masalah, namun jika ribuan batang kecil itu disatukan dan dipantik maka akan terjadi kebakaran.
Mereka pun jadi puing-puing sisa kebakaran karena batang kayunya ikut hangus, yang meski dipulihkan dengan berbagai usaha, bekasnya masih tersisa; abadi. Maka dari itu, mereka tetap berbagi luka, sampai dewasa.
Kepala Atof terantuk sesuatu yang empuk membuatnya terjaga. Ia mengerjapkan mata menyadari bahwa itu bahu Zi— oh, kenapa ia tertidur padahal terlalu banyak suara saling sahut di belakang panggung, bahkan ada yang latihan dengan terbuka.
“You can sleep more, you know, masih ada sepuluh urutan lagi,” sahut Zio yang jadi korban sandaran.
Atof memijit pangkal hidung, mencoba meraih botol air mineral di sisi kakinya agar lebih sadar. Ia merasa agak malu sering tertidur di hadapan orang yang sama. “Sorry ketiduran.”
“It's fine, kayak abis begadang.“
“To be honest, I pulled an all nighter buat uas kemarin, thank you for letting me sleep—” Atof menenggak beberapa teguk air. “Thank you for letting me sleep on your shoulder I mean, seems like I do it a lot these days, padahal gue bukan orang yang nempel ke bantal langsung tidur.”
Mata Zio melengkung karena tertawa, menyadari presensi rasa malu dari rentetan kalimat Atof yang ingin menjabarkan banyak hal. Atof memalingkan wajah, mengedarkan pandangan untuk melihat lingkaran yang terdiri atas tiga sampai lima orang, hanya untuk tampak sibuk.
Butuh beberapa waktu untuk Atof menyadari bahwa Zio tidak punya intensi yang menentangnya; tidak menunggu kejatuhan Atof, tidak peduli pada sejarah buruknya, tidak bertanya apa-apa. Atau Zio hanya terlalu baik pada semua orang, Atof tidak tahu.
Yang ia tahu, dalam beberapa saat, ia merasa bisa tidur di sekitarnya.
Zio, dia selalu membuatnya mengantuk. Entah suara, presensi, atau hangat tubuh yang anehnya mengguar seolah ia adalah perwujudan matahari pagi. Pemuda itu memaksa matanya untuk terpejam sejenak, mengosongkan kepalanya yang berisik ketika mata mereka bersirobok, kadang tanpa sadar Atof menahan napas sehingga perlu menarik oksigen dengan panjang saat menatapnya.
Here is thing: dulu Atof lebih sering tidur nyenyak dengan pil. Ia sempat tidak bisa bangun tiga hari karena minum obat yang disarankan pengedar—dan ternyata tidak cocok di tubuhnya—maka dari itu ia dipaksa ke terapis saat Althaf tahu. Jadi, rumor Atof pernah mengonsumsi obat benar adanya karena dunia band rock tidak pernah jauh dari seks dan narkoba, untung saja dia tidak mati waktu itu.
“Lo tadi ngigau,” Zio mulai mengangkat gitarnya—yang dulunya milik Atof—ke atas pangkuan, dan memetiknya.
Atof menahan ringisan dengan merapatkan bibir hingga membentuk garis lurus. Zio, terlepas orangnya memang tidak memiliki intensi buruk, seperti tahu tombol mana yang harus ia tekan untuk membuat Atof merespons dengan sesuatu yang tidak dangkal; karena kebanyakan jawaban yang Atof layangkan tidak mampu membuat orang menerka. “Oh, iya, gue mimpi.”
“Lo tau nggak kalau lo mimpi berarti otak lo masih mikir? Tidur tanpa mimpi artinya nyenyak.”
“I know—” —dia lebih tahu mengenai hal itu dari siapa pun.
Kemudian Zio menoleh padanya, menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi tak terbaca. Atof bukan orang yang akan gentar ketika diperhatikan seperti itu, namun ketika Zio melakukannya, ia seperti mampu menelusuri bola mata Atof untuk membaca seluruh pikirannya, dan ia agak takut.
“Do you know you are deep into your thoughts a lot?” senyum yang ia tawarkan lebih lembut dari biasanya. Pemuda itu beranjak dari kursi, membawa pergi gitarnya ke depan panggung usai berbisik thank you dengan suara lirih karena diberi hadiah. Atof menghitung sudah belasan kali Zio mengatakan terima kasih padanya karena gitar itu, punggung Zio menghilang di kerumunan.
Do you know you are deep into your thoughts a lot? Kalimat itu sudah pernah Zio katakan di lain waktu, entah apa tujuannya karena memang sebuah tanya retorika. Zio sudah tahu jawabnya, namun diulang lagi seolah ia mengajaknya untuk tidak berpikir—yang mana tidak mungkin. Meskipun kali ini ia sedang tidak terlalu berpikir, sebab mimpinya barusan hanya mengenai masa kecilnya saat bermain bersama Yunita.
Saat tinggal satu band lagi yang naik ke panggung, Ardith kembali dari menyendiri (yang mungkin akan menjadi ritual barunya sebelum perform). Wajahnya sudah tidak segelisah sebelumnya, ia langsung menyeret Gama dengan kepala temannya di bawah siku ke posisi duduk Atof. Mereka meraih alat musik masing-masing dan berdiri melingkar seperti yang lain. Mungkin ini akan jadi rutinitas baru bagi mereka sebelum naik panggung.
“Kita headbang guys,” Ardith mengulurkan tangannya di tengah.
“Gue mau gebuk drum sampe pegel,” sahut Gama meletakkan tangannya di atas milik Ardith.
“Katanya kalo di band bassist yang paling ganteng,” kelakar Dean membuat mereka tertawa.
Zio dengan setengah terkekeh menimpali: “Hari ini gue perform nggak jadi ninja.”
“Eh? Iya juga anjing?” kata Ardith yang baru sadar. “Gue lupa kita perform sama pro—aku mah noob, perlu tutor dulu.”
“Wagila, Andromeda first reveal,“ Dean menyenggol-nyenggol bahu Zio yang telinganya mulai memerah malu. Sang korban senggolan hanya menggeleng, tangannya yang bebas menepis-nepis udara. “Nggak lah, gue atas nama Zio bukan Andromeda.”
“Woooo!” riuh sorak ramai mereka saling sambung-menyambung, mereka semua mengacak rambut Zio hingga pemuda itu menunduk sebab tekanan tangan. Atof hanya tersenyum mengamati, mengikuti yang mereka lakukan; mengacak rambut Zio.
“Sok keren banget ini orang atu,” celetuk Gama, membuat Zio menyubit pinggangnya.
“Aw, aw, ampun dong, anjir lo kuat banget, Zi.”
Zio tertawa riang, ia menjeling pada Atof. “Founder, tinggal lo doang.”
Ia berdeham pelan, “I'm sorry it will be serious, honestly, I've never thought we would go this far, even though I know this only can be counted as our first step, but still, thank you for the hard work these past months. Someone said, selalu ada kali pertama untuk segala hal dan nggak masalah untuk melakukan kesalahan, tapi karena stok kesalahan lo semua udah dibabat habis pas latihan dan udah diperbaiki, gue yakin kalian bisa nunjukin versi terbaik tanpa kesalahan meskipun kali pertama. So if you are nervous, don't be, you guys just have to do what we usually do when we practice, okay?“
“SIAP PAHAM!” mereka menjawab serentak, membuahkan tawa dari Atof sebab suara mereka mengalahkan dentum stereo di depan. Atof mengamati satu-persatu anggota bandnya yang mengukir senyum dengan ekspresi bergelora, menunggu Atof untuk melanjutkan kalimatnya. Degup jantungnya mulai naik karena adrenalin, Rhapsody adalah langkah pertama lagi bagi Atof.
“Rhapsody, let's have fun,” tutupnya.
Ini seperti bukan lomba, mereka bak bukan amatiran, rasanya gila.
Mungkin karena sudah setengah tahun Atof tidak naik panggung, ketika mereka disinari lampu yang lebih terang daripada penonton, bulu kuduknya meremang. Tatkala Ardith berbincang kecil sebelum masuk lagu, Atof menengadah, menilik lampu sorot yang paling terang, matanya memicing.
Rasanya nostalgia berdiri di bawah lampu sorot. Atof tak tahu bahwa ia serindu ini berada di atas panggung, di dalam sebuah band dengan orang-orang yang awalnya begitu asing. Tanpa sengaja Atof berdoa—ia sudah lama tak berdoa, ia tak yakin apakah Tuhan masih bersedia mendengarnya—semoga ia bisa bermusik untuk waktu yang panjang dengan Rhapsody.
Bunyi petik gitar Zio yang memainkan intro lagu Kiss Me seolah menjadi sebuah amin.
Jari Atof bergerak dengan autopilot karena terlalu sering mengulang lagu yang sama dalam beberapa bulan terakhir. Ia bisa saja terpejam dan semuanya tiba-tiba selesai tanpa sadar. Akan tetapi Atof tidak ingin begitu, ia ingin tenggelam dalam euforia familier yang baru ia rasakan lagi setelah sekian bulan.
Daripada skill gitar yang Dean usulkan untuk tampil tempo hari. Mereka memilih untuk menambahkan satu chorus dengan lirik baru yang coba Atof dan Zio tulis. Ardith pun tidak headbang kali ini, ia berteriak menyuarakan hatinya hingga urat di lehernya mencuat.
Para peserta ikut menyanyikan lagu Kiss Me dengan lantang. Atmosfer rock tahun 2000-an itu menggema melalui dentum stereo. Mereka mendapatkan tepuk tangan paling meriah.
“You are rock, guys!” tutup Ardith dengan mengudarakan sign metal ke udara.
Seluruh anggota Rhapsody bergegas turun panggung, berselebrasi di backstage hingga suaranya tertangkap oleh Atof; yang masih berdiri sendirian di panggung dengan dengung menyenangkan di telinganya.
Atof mengatur napas, setia menengadah ke lampu sorot yang paling terang di sana. Mungkin juri akan bingung mengamatinya, namun ia masa bodoh. Senyum lebarnya perlahan-lahan terbit, ia tertawa keras mengeluarkan semua energi yang tersisa di dalam tubuhnya. Pembawa acara memanggil namanya dua kali agar ia mau turun dari panggung.
“We did it!” Zio berseru dengan ekspresi sumringah, berlari menghampirinya yang berdiri di antara palang tinggi penyangga di belakang panggung. Mata Zio berbinar, sangat tampak seperti anak kecil yang bersemangat, jemari Atof tanpa sadar naik untuk menyentuh wajah Zio namun baru setengah jalan ia urungkan niat tersebut. “Yeah, we did it.”
Tiba-tiba kedua tangan Zio merengkuh rahangnya, ia menanamkan kecupan sederhana di bibirnya.
Atof membulatkan mata, he doesn't fucking see that coming. Itu hanya kecup kilat bahkan tak terasa sama sekali, namun lututnya hampir menyerah.
Zio menarik diri terkejut dengan aksinya sendiri, dengan tergesa ia melepaskan tangannya.
“Kak, sorry, gue– Kak, gue– fuck– sorry,” ujar Zio bingung. Ia panik melebarkan distansi, matanya bergerak ke segala arah agar tidak bertemu pandang dengannya, berusaha lari. “Kak, sumpah, sorry, fuck, gue impulsi—”
“Hei, hei, listen—” Atof menangkup rahang Zio dengan kedua telapak tangannya, menempelkan kedua dahi mereka yang basah keringat. Detak jantungnya yang masih berkecamuk karena adrenalin di atas panggung kian meningkat karena kejutan dari Zio. “Do you want this?“
Zio tak langsung merespons. Mereka terpejam lama seraya mengatur napas, bunyi lagu dari band lain mulai mengalun, dentumnya beradu dengan degup jantungnya. Atof merasakan jemari Zio merambat melingkari kedua pergelangan tangannya, meremasnya erat. “Yes, please,” bisiknya menarik udara satu-satu.
“Please kiss me,” ulangnya meyakinkan.
Tanpa membuka mata sebab Atof takut dirinya akan sadar, ia menjatuhkan gitar serampangan. Atof segera mempertemukan bibir mereka kembali, memanuver tubuh Zio ke sudut yang gelap agar mereka bisa lebih leluasa. Kedua tangan Zio mengepal kaosnya di bagian pinggang mencari pegangan, perlahan menjejak mundur, kepalanya terus mendorong berusaha meraih Atof yang seinci lebih tinggi.
Zio terasa seperti ledak konfeti; mengejutkan namun menyenangkan. Ia menuntut dan penuh urgensi, tidak seperti Zio sehari-hari. Sarat tekanan, sangat mengagetkan mengingat bagaimana Zio begitu lembut dalam berperilaku dan berbicara. Atof terus ditarik mendekat seolah Zio kelaparan dan ingin melahapnya. Ini… tidak pernah masuk ke kepala Atof, namun rasa mulut Zio begitu sakarin.
He can't— fuck, he shouldn't kiss his bandmate, it will ruin their band. Tidak ada yang terasa salah, namun seharusnya mereka memang tidak begini. Atof bukan tipikal orang yang serampangan mencium siapa saja, dan ia yakin Zio juga begitu. Namun mengapa Zio melenguh di sela ciuman, memanggil namanya dengan setengah merengek minta dicumbu lagi saat Atof menarik diri?
“Can I go down for you?” bisik Zio saat mulai mencium sudut bibirnya, turun ke dagunya, ke leher, mengulum jakunnya menunggu jawaban. Atof gemetar—berengsek—ia meremas belakang jaket kulit yang Zio kenakan. Segala sesuatu tentang Zio terasa kontradiksi, kepalanya pening, ia hanya mampu mendongak.
“Will you regret your decision tomorrow?“
“Maybe,” Zio menghujani kecupan di lehernya hingga ke belakang telinga, menghisap salah satu titik di sana dengan dalam memicu erangan.
“Fuck— then no.”
Dalam keadaan seperti ini, Zio sempat-sempatnya menarik diri untuk mencebik kecewa. Bibir basahnya begitu menggoda untuk dipagut lagi. Tolol rasanya tergoda sebab seakan-akan Atof tidak pernah berciuman. “Why not? Let's pretend we don't care about what we think tomorr–”
Akhirnya Atof menyerah pada keinginan itu, membungkam bibir Zio, menenggelamkan kalimat yang belum selesai. Ia mampu merasakan Zio agak tersenyum ketika bibir mereka saling melumat.
“Let's escape,” kata Atof.
Zio bergegas menarik Atof agar mereka berlari, sepanjang perjalanan tangan mereka saling bertaut. Hangat tubuh Zio begitu menjalar, jika Atof terlalu lama menyentuhnya mungkin ia akan terus-terusan berharap ia bisa melakukannya, sampai pada akhirnya, tubuhnya sendiri mencapai suhu tertinggi dan akan hangus terbakar.
Hari ini, sekali saja, hanya hari ini, ia tidak masalah dibakar.
Pemuda bulan April itu menoleh padanya saat memimpin berlari di depan, menyengir lebar.
© litamateur