BE MY ESCAPE
tags: ±1400, markno, kissing, and well... a lot of talking.
notes: ngintip orang pacaran ini mah, tapi please dengerin the only exception by paramore
The Only Exception
Ciuman! Ciuman! Ciuman!
Itu hal paling konyol yang pernah bandmates Zio teriakan padanya dan Atof. Tidak masalah jika mereka jadi bahan taruhan, namun kalau yang satu ini … sepertinya alkohol membuat mereka kehilangan akal sehat.
Atof dan Zio terhitung jarang melakukan public display affection. Maka dari itu mereka dibilang memiliki repressed sexual desire. Padahal mungkin karena mereka tidak hobi menunjukkannya ke orang, atau belum terbiasa karena baru menjalin hubungan.
Maka, disuruh berciuman di depan tiga orang—yang sudah tidak punya waras pada tengah malam—lumayan membuat Zio malu. Ternyata alkohol tidak menghapus rasa itu dari dalam dirinya.
Pipi Atof sudah merah karena terlalu banyak menenggak alkohol. Sejak tadi ia selalu kalah saat drinking game. Meskipun menang pun, ia tetap disuruh minum karena pemuda itu tak bisa menolak permintaan anggota bandnya. Entah terlalu baik, atau tak ingin mendengar ocehan anggota bandnya.
Namun di antara mereka yang sudah setengah gila, tetap ada seruan yang semakin meninggi.
Cium! Cium! Cium!
“Go watch Netflix series, there're a lot of kissing scenes there,” tolak Atof secara halus.
Ardith mendengus, “Boooooo! Lu berdua tuh pamer online doang, kalau bareng kita—” ia cegukan, “—kayak belum pacaran— keliatan pacaran sih, cuma gua mau liat lebih.”
Gama di sisinya menepuk-nepuk kencang belakang bahu Ardith setuju, “Betul, kek kaga enak sama kita, padahal mah biasa aja– tenggorokan gua seret banget, air dong,” pintanya terus memukul.
“Sakit, anjing,” Ardith menepis tangan Gama yang tak henti memukul.
“Nooo, airnya abis gue juga mau minum, huhuhuuu,” ia membalikkan botol air mineral kosong dan mulai pura-pura menangis.
Di lantai apartemen Atof hanya tersisa beberapa kaleng soda yang belum terbuka, dan bir. Drummer band mereka meraih salah satu soda, dan membukanya untuk Ardith. “Minum ini dulu dah, gue ambil air di galon.”
Zio menoleh pada Atof di lingkaran kecil yang mereka buat. Pipinya terasa panas karena pengaruh alkohol. Sejak tadi ia menyingkirkan kulit kacang, melipat bekas bungkus makanan ringan, merapikan Uno Stacko dan kartu-kartu yang mereka mainkan. Ia selalu malas minum alkohol karena selain pahit, kepalanya berdenyut esok hari, dan ia bergerak seperti vacuum cleaner untuk bersih-bersih.
“Turutin aja? A peck won't hurt?” tanya Atof yang tersenyum setengah mengantuk. Tanpa menunggu persetujuan Zio, Atof mengecup bibirnya sekilas.
Ardith bersorak, namun Gama yang justru baru duduk dan membawa air dingin dari kulkas menggeleng-geleng. Ia memberikan tanda silang tepat di depan dada tidak setuju. “Itu mah bukan ciuman, cuma nempel nggak ada rasanya, gue juga bisa begitu ke semua orang— bangun, Yan.”
Gama menggoyangkan tubuh Dean yang sudah tidur karena kelelahan jadi panitia. Bassist itu mengangkat kepalanya yang bersandar di lutut, langsung dihadiahi kecupan di bibir oleh Gama.
“Tuh, gitu doang mah nggak ada rasanya.”
“Gila lu orang lagi tidur main cipok aja,” tegur Ardith yang tiba-tiba kesadarannya seperti hadir seratus persen.
Dean mengerjapkan matanya berkali-kali, masih disorientasi dan berpikir mengenai apa yang baru saja terjadi. Gama menyodorkan satu botol air dingin yang belum terbuka, senyumnya tampak polos—dan tak waras jika Zio menambahkan. “Biar bangun di momen bersejarah,” ia cekikikan dengan tak wajar sudah mabuk– lagi-lagi dengan tak waras jika Zio menambahkan.
Atof yang jaraknya lumayan jauh, bangkit hanya untuk menoyor kepala Gama. “Anak gila.”
“Et, yang gila beneran kagak boleh begitu.”
Kekasih Zio tertawa kencang karena diledek. Memiting leher Gama di bawah lengan, hingga drummer mereka memohon ampun. Zio ikut tertawa, meneguk sisa bir di kaleng yang ia miliki.
“Make out lezzgoooo, lagian besok juga kita lupa karena sekarang udah pada bego.”
Agaknya Atof berpikir itu hal yang baik. Pemuda itu kembali di sisi Zio. Sejurus kemudian, bibir mereka sudah saling menyatu.
Berantakan, terburu-buru.
“Woooowww,” Ardith dan Gama memekik, mulai menutup wajah mereka dengan telapak tangan, namun tetap mengintip dari sela-sela jari.
“Bravoo, bravooo,” Dean mulai tepuk tangan, menghadiahkan reaksi paling heboh.
Pada akhirnya, Atof menyeret Zio ke kamar, ditemani teriakan jangan lupa safe sex dari anggota band.
“We let them sleep there?” tanya Zio ketika sudah berada di kasur.
“They'll be fine, the carpet is warm.” Atof menyamankan diri di bantal, “No actually I hope they take the couch, or move like zombies to bed in the studio.”
Keduanya tertawa, lantas hening. Wajah Atof sangat bersemu, seperti mengenakan perona pipi. Warnanya cantik, meski efek dari alkohol. Atau Zio saja yang kadung cinta.
Setiap mereka punya waktu berdua, banyak hal yang ingin Zio tanya pada Atof. Tentang sembilan belas tahun Atof yang belum sepenuhnya Zio selami. Tapi hari ini, karena ia sudah dipengaruhi alkohol juga, Zio justru hanya berkata: “You're pretty.”
Atof spontan menyembunyikan setengah wajahnya di bantal, namun matanya yang tak terhalang bantal melirik Zio. “You're very straight forward.”
Zio terkekeh mengetahui kekasihnya malu, “Yah, mana ini rocker aku yang jago flirting?”
“I flirt with purpose, you don't flirt– okay, you flirt back sometimes, it's different, but now you're just being honest.”
“I'm flirting.”
“No, I can tell. Look, flirting is easy, but honesty, it's a hard thing to do. You're like … very honest with every desire you have, sometimes it makes me afraid. You wear your heart on your sleeve, and get vulnerable in front of me, I can wreck y–”
“You can break me,” Zio menyela, menarik napas panjang saat Atof terhenyak tak merespons, “You can break my heart if you feel like it, I don't mind, as long as you let me have you for a while.”
Mata Atof nyalang, namun sepersekian detik kemudian melunak. Seolah hitam pekat yang ada di matanya dipulas warna yang lebih terang. Jemarinya naik untuk mengelus tulang pipi Zio. “I feel like a sinner to harbor a feeling I'm afraid to put a name on before. You are such a magnificent pretty thing that feels too sacred to be touched.”
“But why such a pretty thing that shouldn't be touched can be reached within an arm's length like this..? Why such a pretty thing like you love a broken piece like me?”
Zio menggeleng tak terima dengan perkataan Atof. Ia mengecup telapak tangan Atof yang merengkuh pipinya. Kemudian, Merambat ke pergelangan tangan, ke bagian dalam siku, lengan atas, hingga mendarat ke bibirnya. Mereka saling melumat lembut, membuka mulut untuk membelitkan lidah. Zio berputar hingga duduk di atas perut Atof. Kekasihnya mengerang ketika bibirnya digigit, spontan meremas pinggangnya.
Ia menarik diri hanya untuk melihat bagaimana dada Atof naik-turun setelah berciuman. Bibirnya basah dan bengkak, rambutnya tergerai di bantal. Atof bukan sesuatu yang rusak, Zio tak akan pernah menganggapnya begitu. Ujung jarinya menyentuh kelopak matanya, membuat Atof terpejam.
“I've never loved someone like I love music, you are my music,” Atof meracau, mengetuk-ngetuk pinggangnya dengan jari.
“Tell me more.” Zio menenggelamkan diri di bawah rahang Atof, menggigit kecil kulit yang bisa mulutnya gapai.
“I'm possessive, if you give, give, and give, I'll take you as a whole. No one touches mine, I don't like sharing.”
Zio tertawa, “I like that.”
“I can't lose you if you are this sweet and caring.”
“Hold me in an iron grip then.”
“I wanna kiss you—stop biting my neck, it'll be red all over it, God, kamu kayak nyamuk.” Atof berusaha menjauhkan lehernya, dan menarik kepala Zio dari sana. Zio tertawa malah berpindah ke kaos yang Atof kenakan karena teringat obrolan mereka tempo hari.
“Aku bisa robek baju.” Kalimatnya sangat berkebalikan dengan keadaan Zio saat ini. Tangannya tak ada tenaga untuk merusak pakaian padahal ia sudah sok-sokan ingin pamer.
Atof menonton aksinya yang gagal dan justru ikut tertawa. “You drank too much.”
“I have high tolerance.”
“You passed your limit then.”
Sebab sulit, Zio beralih ke ikat pinggang milik Atof. Ia menggeleng karena kesadarannya menipis, mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan matanya.
“Doll,” Atof menahan tangan Zio. “Can we do this when the both of us are fully sober?”
Zio berhenti bergerak. “Yeah, okay– of course, yeah, I guess.”
Atof merengkuh wajahnya karena nada suaranya yang sarat ragu, “Zio, you're not upset right?” Sang kekasih meniliknya dengan sorot mata khawatir.
“No, of course, I agree. I'm sorry, it's– I– I don't know– I've been– I just– I don't want another rejection.”
“Baby Doll, I don't reject you, we just delay it for the better.”
Kepalanya ditahan agar tak menunduk, “Sayang, look at me. I'm sorry you need to wait again because of me. Aku mau kita ke sana tanpa pengaruh alkohol, okay?”
Zio mengangguk dua kali, Atof menariknya ke rengkuhan. Semuanya terasa seperti dejavu.
Mereka pernah berada di posisi ini, ketika Zio menyentuh Atof pertama kali. Ia masih ingat bagaimana indera penglihatannya dibebat. Sebuah pukulan agar Zio mundur. Akan tetapi Zio ternyata sama keras kepalanya dengan Atof.
“Thank you,” Atof mengelus punggungnya. Zio berusaha membuka mata, hanya untuk menangkap gumam-gumam acak yang Atof ujarkan.
© litamateur