BE MY ESCAPE
tags: ±1800 words, markno, fluff, over all wholesome
notes: i recommend you to listen to this is how you fall in love by jeremy zucker to enhance your reading experience!
this is how you fall in love
Zio tidak punya alasan untuk pergi ke daerah Sentul, Bogor selama ini.
Terakhir kali, ia pergi ke Sentul karena diajak ke Jungle Land oleh teman SMAnya. Setelah itu tak pernah terlintas dalam kepalanya untuk berkunjung ke sana. Sampai akhirnya ia berada di salah satu kluster di perumahan Sentul City.
Mobilnya bergerak mengikuti pemandu Google Maps untuk berbelok ke arah rumah Atof. Ia menjumpai rumah yang tampak tak berpenghuni ketika pemandu virtual itu berkata Zio sudah sampai tujuan. Lumayan heran dengan orang tua Atof karena memilih hunian di Bogor; pemandangan gunung, dan masih rerumputan asri, meski akses terhitung mudah. Mungkin ibu kota terlalu penat bagi pemusik mencari inspirasi.
Kak Atof
Langsung masuk aja, aku di ruang tamu
Ia menjinjing dua paper bag ke sana.
Hal pertama yang Zio dapati setelah masuk pintu adalah kain putih. Kain-kain itu menutupi furnitur yang tak pernah digunakan sejak lama agar tidak berdebu, kecuali sofa yang diduduki Atof dan meja. Beberapa foto Atof, Althaf, dan foto orang tua mereka yang warnanya menunjukkan diambil pada awal 2000-an menempel di dinding.
Atof yang tengah menatap kosong ke arah lain, segera menoleh ketika kedatangannya yang berisik muncul di ambang pintu.
“Kita makan kue?” tawarnya dengan cengiran saat mereka saling pandang. Mengangkat paper bag besar berisi kue dari Mamah.
Ia tersenyum padanya, mengangguk.
“The cutleries inside the cabinet are dusty. Mbak biasanya cuma bersihin yang kelihatan aja; yang di lemari nggak kena.”
Zio membuka kabinet di atas kepalanya, dan segera terbatuk kecil karena sungguhan berdebu. Atof tengah mencuci alat makan yang akan mereka gunakan nanti, Zio berinisiatif mengeringkan dengan lap bersih yang ia temukan.
Semua barang di rumah Atof tampak dibersihkan berkala. Kompor gas juga masih berfungsi karena katanya Althaf membiarkan sang asisten rumah tangga menggunakan rumah itu jika butuh.
“Kenapa nggak dijual aja rumahnya?”
Atof menggeleng, “Althaf bilang suatu hari bisa jadi kita bakal di sini lagi.”
“Kamu mau di sini lagi?”
“Belum pernah mikir itu.”
Setelah itu, Zio bernyanyi Happy Birthday dengan riang ketika menyalakan lilin pada kue di ruang tamu. Atof bergeleng menyuruhnya berhenti karena suaranya menggema dalam hening malam, atau karena malu ditilik dari bagaimana Atof terkekeh. Zio semakin kencang bernyanyi sehingga Atof cepat-cepat meniup lilinnya agar ia diam. Dengan alat makan bersih yang baru saja mereka cuci, Atof memotong kuenya, menyuap diri sendiri karena dipaksa olehnya, lalu menyuapi Zio karena tidak mau makan sendirian.
Mereka berbagi satu piring untuk potongan kue yang semakin mengecil seiring jam berjingkat, obrolan sudah melompat dari satu topik ke topik lain. Zio menyodorkan satu paper bag berisi hadiah darinya dan Mamah.
“You know you don't have to,” kata Atof sungkan, Zio segera menggeleng.
“Bisa abis dimarahin Mamah aku, kalau hadiahnya nggak sampe tujuan.”
Atof mengeluarkan sebuah kemeja navy yang Mamah Zio beli—entah kapan beliau menyiapkannya Zio tidak tahu. Mengelus permukaan kain itu dengan senyum tipis.
“Itu dari Mamah, masih ada yang lain dari aku.”
Lalu Atof segera merogoh paper bag.
“Maaf hadiahnya nggak aku bungkus,” Zio menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. “I'm supposed to give you something you like, tapi malah—”
Pupil Atof melebar takjub melihat dua buku serupa namun berbeda kondisi. Satunya sudah lumayan lusuh dengan banyak sticky notes di pinggir buku, dan yang lain masih terbungkus plastik dengan rapi. Ada highlighter, pensil, pulpen, sticky notes dengan berbagai warna dan bentuk di dalam paper bag.
Dead Poets Society.
Atof menoleh padanya, tersenyum. “Thank you, and tell your mom I love the gift.“
“Itu … aku pengen kamu bac– annotate, nanti buku yang kamu annotate buatku, kamu pegang yang punyaku– maksudnya kita tukeran– I wanna know what's your thought about my favorite book– aku liat beberapa buku novel dan self improvement di kamarmu, jadi aku kasih ini– maksudnya– aku pengen hadiahin buku karena mungkin kamu juga bakal suka english cla– arrrrgghhhh,” Zio menunduk mengacak rambutnya frustrasi, bingung sendiri dengan racauan yang meluncur dari bibirnya.
Terlalu banyak hal yang ingin Zio sampaikan pada Atof, seharusnya ia bikin teks pidato. Akan tetapi tawa kecil Atof muncul membuatnya sedikit lega.
“Aku ngerti.”
“Ngerti apa?!” ujar Zio sewot karena diliputi rasa malu.
“Kamu mau aku baca dan anotasi buku favorit kamu.” Atof membuka buku milik Zio yang sudah bertahun-tahun berada di ranjang, atau nakas karena ia baca berulang-ulang. Memperhatikan anotasi darinya, mengusap sticky notes yang sudah lecek. “You like it that much?”
Zio mengangguk, “I feel like I resonate with the main character.“
“I should read it then.”
Senyum lebar mengembang di bibir Zio.
Sejurus kemudian, Atof merogoh ponselnya di saku, menyodorkannya dengan layar kunci menyala. Notifikasi dari Google Calendar, Gmail, Line, BCA Mobile, dan Whatsapp Zio baca satu-persatu, sampai menemukan apa yang Atof maksud. Zio langsung meletakkan ponselnya di meja, memikirkan kalimat apa yang harus ia katakan pada situasi seperti ini.
Suara pergerakan Atof menyandarkan kepala ke kepala sofa menarik atensinya. Pemuda itu mengawang melihat langit-langit ruang keluarganya yang lumayan tinggi.
“Whenever my birthday comes, my parents try to reconnect with me. Entah kirim hadiah, atau pesan lewat Althaf. Aku merasa mereka cuma melakukan itu karena sebuah keharusan, bukan karena mereka peduli dan beneran senang aku hidup sejauh ini. From time to time whenever they change number to contact me I block them, but my brother tries to make us reconcile—he is not actually in a good term with my parents but he is just– i don't know– too kind, he said he is too old and has no time for hating our parents, while me, I can't do that. I hate my birthday because it feels like it's the most miserable day of my life.”
Itu kalimat terpanjang yang pernah Atof katakan tanpa jeda padanya. Zio meneliti air muka Atof yang sedang berpikir jauh. Ikut bersandar dan menatap satu titik yang sama dengan Atof; tak menarik.
Zio jadi tahu mengapa Atof kurang suka perayaan hari jadinya. Sebab Atof sendiri justru mengingat hal yang tak menyenangkan.
“When I read their messages I was like ... “Ah, this is the time,” and I came here just to find that instead of hatred I missed this place.” Atof menoleh padanya, “Mau tour rumah?”
“Aku lebih penasaran sama kamarmu.”
“Pas sekolah di Eton aku pindah ke apartment, di sini nggak ada apa-apa.”
Kamar Atof tampak seperti kamar remaja lainnya.
Sejujurnya Zio tidak berekspektasi apa-apa, karena kamar Atof sudah tak berpenghuni kurang lebih empat tahun. Apartemen Atof tampak lebih hidup, namun masih tersisa karakteristik Atof di sana.
Cat dinding kamarnya berwarna hijau sacramento. Kasurnya tak diberi seprai, tak ada yang menarik. Di atas kepala ranjang ada beberapa poster rock band favoritnya. Meja belajarnya tampak baru mungkin karena selalu dibersihkan.
Zio lebih tertarik pada foto kecil Atof yang berjajar manis di lemari kaca. Kebanyakan hanya sendiri, atau dengan Althaf. Kadang mengangkat piala, atau menggigit medali, namun ada juga menggunakan mantel musim dingin, mengendarai sepeda tandem. Semakin dewasa Atof, fotonya semakin tidak ada. Bagian bawah lemari berisi suplai senar gitar, dan stick drum.
“You looked happy in the photos,” gumamnya.
“Thanks to my brother.”
Ada keyboard yang ditutupi kain putih di dekat pintu. Di atasnya terdapat rak kayu yang menempel langsung ke dinding. Beberapa buku masih tertinggal.
Atof memainkan satu lagu yang sangat Zio sukai. Membuatnya menarik atensi dari foto-foto kecil Atof, menuju keyboard; menuju Atof. Pemuda itu menggeser dirinya di kursi, memberi ruang untuk Zio ikut duduk.
“How do you know? This is my fav—”
“Your Line’s ID,” balas Atof meski Zio belum menyelesaikan kalimatnya.
“Of course my ID.” Zio mengulang, memandang bagaimana jemari Atof yang menari di atas tuts keyboard memainkan Nocturne no.2 E flat major op 9 no. 2. Merasa hangat karena Atof mengingat hal-hal kecil tentangnya. “This is the only piece I listen to when I do my tasks, it makes me focus.“
“Kamu harus dengar playlist tidur aku kalau gitu.”
“Oh ya?”
Atof mengangguk, “Aku kalau nggak bisa tidur pakai itu.”
“Nanti aku ketiduran bukan ngerjain tugas.”
“Do you want to play?”
“Kamu tau aku nggak bisa.”
Salah satu buku yang berada di rak ditarik oleh Atof. Ia meletakkan bukunya yang terbuka di penyangga, menampilkan sebuah halaman.
“Twinkle Little Star?” Zio tertawa saat membaca judul lagu yang Atof pilih di buku. “Serius? Dari sekian banyak lagu?”
“Hei, it doesn't hurt, I do the chord, you do the melody.”
Kini, Zio mengikuti pergerakan Atof yang memosisikan tangan di atas keyboard. Ketika ia mendengarkan instruksi Atof tentang chord di keyboard, tanpa sadar ia memajukan bibir karena kebiasaan saat fokus. Ia mencoba memahami dengan sesekali manggut. Beruntungnya ia mengerti not balok karena diajarkan guru matematikanya dulu.
Mereka mulai memainkan lagu sederhana tersebut. Dengan tidak terlalu kepayahan, Zio menekan tuts sesuai buku meski sesekali Atof menoleh mengisyaratkannya untuk menekan.
Tangannya baik-baik saja, namun kakinya lumayan merasa ingin lari karena menempel dengan sisi kaki Atof, kursi mereka seharusnya untuk satu orang.
Ditambah fokus Atof kini berpindah dari jari-jari Zio menjadi ke wajahnya. Mungkin ke bibir Zio yang mencebik tanpa sadar karena ia sedang serius.
Mereka berhenti bermain.
“What do you look at?” tanya Zio.
“Nothing,” Atof menyangkal.
Zio mulai menatap Atof yang sedang menatapnya. Mata Zio meluncur ke bawah untuk memperhatikan bibir Atof yang dengan sengaja ia basahkan menggunakan lidah. Mata Zio panik beralih ke hal lain, namun dengan malu-malu kembali melihat ke bibir lagi.
Pemuda sialan itu menaikkan alisnya karena tahu, ia pasti tahu.
Atof selalu tampak seksi setiap hari, Zio tidak bohong, sungguhan. Eksistensinya ketika hanya berdiri dan menghakimi orang dengan mata bahkan bisa membuat lututnya lemas. Akan tetapi mungkin hari ini sebuah pengecualian karena ia tampak lebih menawan—dan seksi—dari hari biasanya, apa karena ia baru menginjak 20 tahun?
Ruang di antara mereka semakin menyusut ketika Atof mendekat tanpa ragu, selalu punya determinasi atas apa yang ia inginkan.
“May I?” Napasnya berpendar di atas bibir Zio, membuatnya gemetar.
Mata Atof begitu kelam, Zio ingin tenggelam.
Ia mengangguk samar, memejamkan matanya ketika bibir Atof mendarat.
Pemuda itu mengulum bibir bawahnya dengan lembut. Tangan kanan Atof mulai bertumpu di kursi, di belakang punggung Zio agar lebih mudah mencenderungkan diri. Jemari Zio yang berada di atas tuts keyboard terangkat ke atas ketika Atof kian mendorong pelan untuk merasakan bibirnya.
Akan tetapi ciuman Atof hari ini paling lembut, paling polos di antara semua yang mereka bagi. Hanya menyesap hati-hati tanpa gairah yang selalu menanjak tiap Zio merasakan Atof. Rasanya mango mousse cake.
Suara jantungnya berdentum di telinga.
Mereka tertawa malu saat sama-sama menarik diri, menunduk. Ekor mata Zio menemukan bahwa Atof juga tengah meliriknya rikuh. Zio tanpa sadar menggigit bibir bawahnya sendiri, tak bisa menutupi ujung bibirnya yang tertarik ke atas. Rona merah muda menjalar di wajah Atof hingga ke telinga, Zio ingin menjerit karena bisa membuat Atof begitu meski ia yakin dirinya sama merah.
“I didn’t expect a kiss,” bisiknya kecil, meskipun begitu nada suaranya sangat riang.
“I know.” Atof terkekeh tanpa suara, “I wanted to kiss you though.”
“Oh.”
“Yeah.”
Mereka tertawa lagi karena sama-sama tak tahu harus berkata apa. Zio masih ingin teriak sebenarnya, namun spontan menekan tuts karena salah tingkah, membuatnya dengan reflek menjauhkan tangannya.
Keduanya saling toleh, tawa mereka tak ada habisnya melambung ke udara.
Memori Atof memainkan Twinkle Little Star saat berumur lima tahun bergeser jadi Twinkle Little Star saat Atof berumur 20 tahun.
© litamateur