BE MY ESCAPE
“Coco, Kak Atof ngasih aku kucing biar kamu nemenin aku, bukan biar kamu menguasai Kak Atof begini.”
Zio menarik kaki depan Coco yang menempel di dada Atof. Kucing besar itu mengeong karena sebal diganggu. Tangannya menutup sisi-sisi kepalanya yang merunduk, seolah melindungi diri dari Zio. Anak bulu itu mulai menggesek-gesekkan kepala ke kaos belel yang Atof kenakan.
“Nyebelin lu.”
Kekasihnya sontak tertawa, dan mengelus kepala Coco. Dengan cepat Zio menarik tangan Atof ke kepalanya, agar tidak memberikan perhatian lebih pada peliharaannya. Masa bertahun-tahun pacaran saingannya kucing?
“Elus kepala aku aja jangan dia,” pintanya. Zio—yang padahal sudah tidur di bahu Atof—semakin merekatkan diri, kakinya melingkar ke bagian depan tubuh Atof, menganggapnya guling.
“Susah ada dua anabul gini,” Atof melayangkan protes, namun tangannya tetap mengusap rambut Zio meski agak kesulitan ditempel dua makhluk.
Coco memejamkan matanya, mulai bergetar kecil. Sepertinya Coco sedang dalam suasana hati yang bahagia dan merasa rileks—siapa yang tidak bahagia aktivitasnya hanya tidur, makan, dan main. Pun dicintai dua orang yang sedih jika ia jatuh sakit. Anak bulu itu seperti saksi hidup hubungan asmara Atof dan Zio. Mungkin karena alasan itu mereka tidak menambah peliharaan lain, meski Zio sudah melakukan konsiderasi berkali-kali.
Zio berinisiatif mengangkat Coco dari dada Atof karena takut kekasihnya sukar bernapas. Kucingnya terbangun dan mengeong lagi.
“Iyaaa, sorry dibangunin,” Zio mencium kucingnya sebagai permintaan maaf. Membawanya bersandar ke bahu. Atof yang memperhatikannya agak terkejut ketika Zio mendekatkan diri padanya dan mengecup pipinya juga.
Matanya membulat namun reaksinya justru: “Masa kucing dulu yang dicium baru aku, Doll?” Alis Atof mengerut seperti sungguhan keberatan Zio mendahulukan kucing daripada pacarnya.
“Kak Atof juga ngelus Coco dulu baru aku.”
“Fair enough,” Atof berdecak, reaksinya sangat hiperbolis. Zio berusaha abai, karena jika ia menuruti impuls, pasti ia akan mencium Atof lagi detik itu juga. Ia meletakkan Coco di tempat tidurnya sendiri, mengelus bulunya.
Atof ikut bangkit untuk memadamkan lampu kamar. Mereka berbagi bantal ketika kembali ke kasur. Tidur menyamping agar saling berhadapan. Atof mengecup sudut bibirnya sebagai ucapan selamat tidur.
“Kamu cium anabul mulu, mulut kamu jadi banyak bulunya,” kelakar Zio.
“Itu kamu,” katanya. Pemuda itu mendenguskan kekeh tanpa suara, namun mencuri kecup di sudut bibirnya lagi. Napasnya yang berpendar beraroma mint. Harusnya terasa biasa saja karena mereka menggunakan pasta gigi yang sama. Akan tetapi Atof berhasil membuatnya menggeliat, ingin.
Ruangan tersebut gelap, dan terasa makin hening. Dengkur kucingnya terdengar, bunyi aparatus kendali suhu memenuhi ruang, gesekkan kulit dengan seprai pun tertangkap telinganya. Atof menatapnya, membisu, seperti tak berniat untuk tidur. Membuatnya menerka apa yang ada di pikirannya. Ia menaikkan alis. Dan Atof menghapus jarak, ujung hidung mereka nyaris menempel jika Zio bergerak sedikit lagi.
Atof membasahi bibirnya dengan lidah seraya tetap mengamatinya. Zio terang-terangan memperhatikan bagaimana lidah tersebut menyapu perlahan. Tak peduli jika wajahnya menampilkan ekspresi ingin, saliva yang ia telan terasa sukar.
Atmosfer di antara keduanya sangat menggelitik Zio untuk berlaku lebih. Atof berdeham, jakunnya bergerak naik turun ketika ia secara sadar menelan saliva juga, sengaja.
Pada akhirnya Zio mencondongkan diri dan menyatukan bibir mereka.
Atof terkekeh di sela ciuman, tersenyum miring. Menikmati kemenangan sederhananya, dan mulai merangkul pinggang Zio, melekatkan tubuh keduanya.
Ciuman lembut yang hanya saling mengulum bibir, makin liar ketika Zio berguling dan berada di atas Atof. Kekasihnya menarik bagian belakang paha Zio agar semakin menekuk di sisi tubuh Atof. Pemuda itu tiba-tiba bangkit mengubah posisi menjadi duduk, sontak Zio memekik memegang pundaknya. Kakinya otomatis melingkar di tubuh Atof, kini ia duduk di pangkuan kekasihnya.
“Pakai aba-aba dong kalau ganti posisi,” Zio memukul bahunya.
Atof tergelak, “Jorok mulu kamu mikirnya,”
Zio memutar bola matanya, “Eh, kamu yang mikir jorok, aku cuma bilang ganti posisi dari tiduran jadi duduk.”
“Oh ya? Posisi dalam aktivitas apa?”
“Nggak tau ah, kamu yang salah kok aku yang dipojokkin,” gerutunya.
Lagi-lagi Atof tertawa, lebih lembut dan rendah karena tidak ada ruang di antara mereka. “Posisi lagi ciuman gini maksud kamu?”
Atof menekan tengkuk Zio dan meraih bibirnya lagi. Pemuda itu mendorong, mendorong, mendorong, menyesap apa pun rasa yang tersisa di bibir dan mulutnya seperti tidak pernah cukup. Ia mengurut tengkuknya, tangannya yang lain menelusup ke balik kaos, mengelus kulitnya naik turun, punggungnya melengkung seperti disetrum. Zio mengeratkan tangannya yang memeluk Atof, jari-jari kakinya menekuk.
Kepalanya kopong, tubuhnya seperti seringan kapas. Di pikirannya hanya ada Atof, dan bibirnya, dan ciumannya yang candu, dan apa yang bisa Atof lakukan dengan bibir, lidah, tangan, dan anggota tubuh lainnya.
Tanpa sadar pinggulnya bergerak sesekali. Atof menahannya, meremasnya dengan kencang; yang pasti akan meninggalkan bekas kemerahan.
“If we keep doing this we'll get hard, and you know what will happen next,” bisik Atof mengakhiri ciuman. Atof tersenyum padanya dengan bibir yang basah dan merah, dadanya naik turun mengatur napas. Kekasihnya meneliti raut wajah Zio, menunggu persetujuan. Sepertinya Atof tidak masalah jika mereka melanjutkan ke sesi yang lebih menguras tenaga, namun ia mempertimbangkan keputusan Zio.
“We should sleep, you must be tired too,” jawabnya menyerah, kehabisan napas. Zio tidak ingin ambil resiko berjalan agak aneh esok saat bekerja. Dan hari ini, Atof pasti lelah karena site visit ke empat lokasi konstruksi sekaligus. Sebab salah satu rekan kerjanya cuti sakit.
Zio menyentuh kedua rahang Atof, dan Atof yang mengerti, mengulum bibir Zio lagi begitu lama untuk terakhir kali. Zio menarik diri lebih awal dan mengelus kedua bahu kekasihnya, perlahan mendorongnya ke kasur.
Rambut Atof terhampar di atas bantal. Tangannya masih setia menghangatkan pinggang Zio dengan mengelusnya pelan. Zio menjulang di atas Atof, menumpu tubuhnya dengan kedua telapak tangan. Wajah Atof tampak lelah, namun ia tak pernah menunjukkannya. Tak pernah ingin membuat orang lain khawatir akan dirinya.
“Kenapa?” Atof mengerutkan kening.
Zio bisa saja mengucapkan kata yang terlintas di pikirannya saat ini juga. Atau kalimat yang mencuat saat melihat Atof bangun tidur dengan rambut semrawut tiap pagi. Atau kata yang muncul ketika menemukan kaki Atof dengan ceroboh terantuk kaki kursi. Atau ungkapan yang ia simpan rapat dalam hati tatkala hanya menatap punggung Atof dari kejauhan.
Ia bisa menulisnya jadi buku dengan puluhan jilid. Tidak perlu terjual juta eksemplar, yang penting Atof tahu perasaannya di sana.
Namun Zio tidak punya waktu untuk semua itu, makanya ia menggeleng, dan hanya berujar: “You're perfect.”
Ia menjatuhkan diri.
It's like a free fall, but he knows exactly who will catch him.