Arsip kedua, Paris dan Lee Juyeon.

Dan semuanya berawal dari aku yang diminta untuk menghadiri workshop dadakan di kota menara Eiffel, dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan.

Workshop kala itu pasti akan terasa seperti sebuah acara ramah-tamah dengan para alien, jika saja kamu tidak mendatangiku.

Ya, kamu.

Kamu, Juyeon.

Entah berapa kali lagi kamu harus mendengar ini dariku, tapi, aku benar-benar bersyukur kamu muncul kala itu untuk membantuku menerjemahkan perkataan mereka.

Dengan iris gelap tajam yang menawan, senyuman semanis permen kapas, dan bahasa Inggris dengan logat Korea yang kental- sosok malaikat penolong tak mungkin lebih baik dari itu.

Juyeon, kamu tau gak sih kalau dari kali pertama kita ketemu.. kamu udah berhasil buat menyihir aku?

Kenapa ya, workshop waktu itu cuman seminggu? Jujur rasanya terlalu sebentar buat aku yang pengen menghabiskan waktu lebih banyak sama kamu, Ju.

Kalau waktu bisa diulang, aku pengen banget buat ketemu lagi sama kamu.

Juyeon, kamu tau lagu Paris in The Rain punyanya Lauv?

Selama seminggu penuh pas aku di Paris, aku terus-terusan ngeplay lagu ini di kamar hotelku sambil ngebayangin kamu.

Lirik, “anywhere with you feels right, anywhere with you feels like Paris in the rain” ternyata bener adanya.

Kamu masih inget waktu kita hujan-hujanan?

Dengan gagahnya, kamu pakai jas-mu buat ngelindungin kita berdua dari dinginnya guyuran air hujan.

Tanpa sadar, sebelah tanganmu ngelingkar di bahuku; narik aku biar berdiri lebih deket ke kamu.

Juyeon, kalau suatu saat kamu baca tulisan ini.. aku minta kamu buat jawab jujur pertanyaanku ya.

Waktu itu, kamu bisa ngerasain debaran jantungku 'kan?

Waktu itu, kamu juga ngerasain hal yang sama kayak aku 'kan?