Crop top hitam sleeveless yang dipadukan dengan leather skinny jeans berwarna senada adalah pilihan pakaian Chanhee pada malam itu. Meski hawa dingin menusuk tulang terus-menerus menghampirinya, Chanhee masih menunggu dengan sabar di depan pintu.

Tepat setelah Chanhee membunyikan bel untuk ketiga kalinya, pintu itu pun akhirnya terbuka. Menampilkan sosok Juyeon yang terkejut. Juyeon hendak membuka mulutnya untuk bertanya kenapa Chanhee berada di depan pintu rumahnya, namun niatnya ia urungkan ketika Chanhee mendorongnya masuk ke dalam rumah sambil menyunggingkan senyuman manis kepadanya.

Jari-jemari lentik milik Chanhee menari dengan sensual di bagian kulitnya yang terekspos; Juyeon menggigit bibir bawahnya dengan keras- menghasilkan geraman dengan nada rendah.

Jari telunjuk Chanhee kemudian berhenti di belah bibir Juyeon, mengusapnya perlahan sebelum bibir mungil milik Chanhee menggantikan posisi telunjuknya.

Chanhee bukanlah pencium amatir dan Juyeon tahu betul mengenai hal itu. Ritme yang Chanhee buat selalu berhasil membuat dirinya hilang akal, terlena oleh kelihaian Chanhee memainkan lidahnya di gua hangat milik Juyeon.

Entah sejak kapan Juyeon sudah berada di atas kasurnya, dengan posisi Chanhee yang berbaring di atasnya.

Merasa pasukan oksigennya sudah mulai menipis, Juyeon mendorong Chanhee perlahan untuk menjauh; untaian benang saliva terbentuk setelahnya.

Sayangnya, Chanhee tidak mengizinkan Juyeon untuk bernapas dengan bebas. Bibirnya kembali meraup kasar bibir Juyeon, menciumnya seolah Juyeon adalah hidangan utamanya.

Kemudian secara tiba-tiba, Chanhee menghentikan permainannya. Juyeon menatap bingung pada lelaki yang berada di atasnya itu. Sepersekian detik berikutnya, Juyeon dapat merasakan cairan hangat mengalir di tubuh bagian bawahnya.

Bersamaan dengan Chanhee yang melompat turun dari atasnya, Juyeon mendudukkan dirinya di atas kasur. Erangan penuh kesakitan meluncur cepat dari mulutnya.

Terlihat jelas oleh Juyeon bahwa genangan berwarna merah pekat yang kental itu telah mengotori sprei putihnya.

Mual, perih, dan pusing menyerang Juyeon secara bersamaan pada detik itu juga.

Netranya beralih cepat pada Chanhee yang berdiri di dekat ujung kasur dengan pisau berlumur darah dalam genggamannya, ekspresi dingin tanpa emosi adalah hal terakhir yang Juyeon ingat dari Chanhee sebelum kegelapan menyapanya.

Seringai puas tercetak di wajah Chanhee. Dengan langkah riang, Chanhee berjalan keluar. Senyumnya kian mengembang tatkala indra penglihatannya menangkap sosok yang dirindukannya.

Sosok yang membuat Chanhee gila ketika ditinggalkan olehnya.

Sosok yang membuat Chanhee rela membuang akal sehatnya.

Dan sosok itu pula lah yang menyuruh Chanhee untuk menghabisi Juyeon.

Sosok itu, Ji Changmin.

Changmin berdiri di seberang jalan sambil bersender pada mobilnya, kedua tangannya ia silangkan di depan dadanya. Chanhee berjalan cepat ke arah Changmin, menatapnya dengan penuh pemujaan.

Changmin mengulurkan tangannya untuk membersihkan tangan Chanhee yang bersimbah darah. Tangannya kemudian tergerak untuk mengusap pipi Chanhee dengan halus.

“Great job, Kitten.”

“Shall I reward you with something nice, now?”

fin.