From Summer, To Autumn.

CW : Alcohol consumption.

Musim panas, setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Chanhee melonggarkan ikatan dasi yang melingkar di kerah bajunya, berusaha mendapatkan sedikit kesejukkan serta membebaskan diri dari terkaman hawa panas yang menyengat.

Satu persatu teman kelasnya keluar dari dalam ruangan, hingga pada akhirnya hanya tersisa Chanhee sendirian yang masih setia menduduki bangkunya. Sesaat kemudian, Chanhee bangkit dari mejanya dan berjalan menuju jendela yang berada tepat di sampingnya. Netranya menatap lurus keluar, menyaksikan pemandangan puluhan murid berseragam sama dengannya yang sedang berteriak riuh rendah menyambut libur musim panas.

Hela napas meluncur keluar dari belah bibir tipisnya, Chanhee lantas memutar tubuhnya untuk kembali ke arah bangkunya; menyampirkan tas ransel di bahunya lalu meninggalkan ruang kelas.

Jikalau biasanya Chanhee langsung menuju rumahnya setiap pulang sekolah, kali ini sebuah bisikan kecil di dalam hatinya membuat Chanhee membelokkan langkahnya. Menjauhi jalan menuju rumah dan bergerak menuju sebuah bukit kecil yang terletak tak jauh dari sekolahnya itu.

Sembari memacu langkahnya, pikiran Chanhee melayang jauh menerobos angkasa. Bayangan dirinya yang akan dapat menikmati tidur siang ditemani semilir angin sejuk di bawah pohon rindang sungguh menggoda jiwanya.

Akan tetapi, alangkah terkejut dirinya ketika mendapati seorang remaja lelaki yang berbaring di bawah pohon yang biasa Chanhee tempati dahulu. Ya, sudah lama sejak kali terakhir Chanhee mengunjungi bukit kecilnya. Seingat Chanhee, musim semi 3 tahun yang lalu adalah kunjungan terbarunya ke bukit kecil ini.

Chanhee berdiri diam di tempatnya, menatap tajam pada sosok yang sudah mengambil alih tempat kesukaannya tanpa izin. Melihat sosok di hadapannya yang tak kunjung bergerak dan membuka matanya, Chanhee memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah sosok tersebut. Jari telunjuknya bergerak untuk menusuk pinggang si manusia lainnya.

Buah manis bagi Chanhee, sosok di sebelahnya langsung membelalakkan matanya dan bergerak untuk duduk. Beberapa detik sosok itu habiskan untuk mengumpulkan nyawanya yang masih berserakan di alam mimpi, sebelum ia menoleh dan menatap ke arah Chanhee dengan ekspresi kesal bercampur bingung.

Ditatap seperti itu, Chanhee jadi kelabakan. Tapi di sisi lain, Chanhee juga masih kesal karena spot kesukaannya malah ditempati oleh yang lain.

“Apa liat-liat?” ujar Chanhee, galak.

Sosok di hadapan Chanhee terlihat semakin kesal.

“Kau duluan yang liat-liat. Kenapa? Naksir?” balasnya tak kalah sewot.

Balasan yang Chanhee dapatkan lantas membuatnya mengerutkan wajahnya.

Orang di depannya ini kenapa sih? Kenapa malah Chanhee yang dikira naksir sama dia?

Entah mendapat keberanian dari mana, Chanhee menoyor kepala si lawan bicara- membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.

Sebab tersulut api emosi, si lawan bicara tak tinggal diam karena ulah Chanhee.

“EH! Gak usah main fisik ya, kamu mau ngerasain pukulanku?”

Ditantang seperti itu, Chanhee mulai merasa ciut. Memang sih sosok di hadapannya ini berperawakan tak jauh beda dengan Chanhee, tapi kalau urusan adu fisik.. Chanhee sadar betul kalau ia akan kalah dalam cepat atau lambat karena Chanhee memang tak pernah terlibat perkelahian sebelumnya.

Oleh karenanya, Chanhee memutuskan untuk membuang muka. Berpura-pura membersihkan tangannya lalu mengangsurkan tangan kanannya pada sosok yang sebelumnya ia toyor.

“Maaf, aku cuman emosi karena kamu malah nempatin spot kesukaanku.”

Perkataan Chanhee yang tulus, membuat sosok di hadapannya melunak seketika.

“Oh.. maaf juga kalau gitu.”

Chanhee melirik lawan bicaranya dengan sudut matanya, anggukan kepala ia berikan setelahnya.

“Mhm, gapapa.”

Kemudian, keheningan datang menyambut. Baik Chanhee maupun sosok di sebelahnya tak mengeluarkan sepatah kata apapun, keduanya terdiam sambil memandang ke depan.

Selang beberapa menit, sosok di sebelah Chanhee mendadak berdiri dari duduknya. Chanhee memutar lehernya, menatap sosok yang sedang bersiap untuk meninggalkan bukit tersebut.

“Mau kemana?” tanya Chanhee.

Nampaknya, sosok tadi tak menduga akan mendengar pertanyaan seperti itu dari Chanhee. Raut wajah bingung bercampur terkejut tercetak jelas pada wajahnya.

“Pergi..? Kamu bilang ini spot favoritmu, 'kan? Kalau gitu pasti kamu mau disini sendirian?”

“Enggak, gapapa. Kamu di sini aja sama aku.”

Sang lawan bicara sempat terdiam untuk beberapa saat, sebelum melemparkan tasnya asal dan kembali duduk di sebelah Chanhee. Sejenak, Chanhee terhenyak. Bingung kenapa ia memilih untuk ditemani oleh sosok asing yang sebelumnya nyaris adu jotos dengan dirinya itu.

“Changmin.”

Lamunan Chanhee buyar seketika, jabatan tangan ia berikan seraya tersenyum tipis sambil turut memperkenalkan dirinya sendiri.

“Chanhee.”

Senyuman tipis yang Chanhee berikan disambut dengan baik oleh Changmin, entah karena tingginya suhu pada hari itu atau karena senyuman Changmin- Chanhee dapat merasakan kedua pipinya memanas.

Hari itu, Chanhee habiskan sisa siangnya bersama Changmin. Ditemani angin segar dan sinar oranye dari mentari yang berpulang- Chanhee dan Changmin hampir lupa dengan waktu. Nada dering yang berbunyi dari handphone Chanhee berhasil menariknya kembali pada realita, menyadarkan dirinya bahwa hari mulai gelap.

Sebelum beranjak dari tempatnya, Chanhee dan Changmin beradu tatap.

“Besok.. mau kesini lagi?”

“Boleh.”

Changmin dan bukit kecil menjadi sebuah perpaduan yang Chanhee sukai di libur musim panas kali ini. Setelah mengerjakan PR liburan musim panas dari sekolahnya, Chanhee akan langsung berlari keluar dari rumahnya untuk menemui Changmin di bukit kecil mereka.

Ya, bukit kecil mereka.

Karena semenjak pertemuan pertama mereka, Chanhee akhirnya berbagi tempat kesukaannya dengan Changmin. Demi menjadikan tempat pertemuan mereka lebih nyaman, Chanhee bekerjasama dengan Changmin untuk mendirikan sebuah tenda untuk dua orang di bukit kecil itu. Setiap harinya, masing-masing dari Chanhee dan Changmin akan membawa barang dari rumah mereka untuk mengisi tempat kosong di dalam tenda tersebut.

Sama halnya dengan Chanhee dan Changmin yang setiap harinya mengisi tenda mereka berdua dengan beragam barang, hari-hari keduanya pun turut diisi dengan beragam kenangan yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, Chanhee dan Changmin mulai membuka diri dan menampakkan sifat serta watak aslinya masing-masing. Pernah di suatu waktu, Chanhee terkejut bukan main karena kelakuan Changmin.

Ketika Chanhee datang ke tenda mereka di siang hari itu, pemandangan dua buah botol minuman keras dengan dua gelas plastik kosong berukuran kecil menyapa indera penglihatan Chanhee. Di belakangnya, Changmin hanya memamerkan senyuman tanpa dosanya.

Gelar “anak baik” yang telah Chanhee jaga sepanjang hidupnya, terpaksa harus ia lepaskan pada hari itu untuk mengikuti permainan Changmin. Akan tetapi, baru di tegukan kedua- Chanhee sudah mulai kehilangan kesadarannya. Sembari meneguk minuman beralkohol itu, Chanhee dan Changmin bercengkrama kesana kemari; tawa lepas silih berganti terdengar dari kedua remaja lelaki itu.

Setelah meneguk isi gelasnya yang kelima, Chanhee merasakan rasa pusing yang hebat di kepalanya. Pandangannya mulai mengabur dan tepat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya, Chanhee dapat merasakan sapuan hangat pada bibir kenyalnya. Bibir Changmin menempel dan mengunci bibir Chanhee dengan pas, seolah-olah bibir keduanya tercipta sebagai sepasang.

Pagutan demi pagutan Chanhee berikan pada bibir Changmin, tak ada satupun dari mereka yang tampak keberatan dengan pertautan bibir yang mendadak ini. Saat dirasa pasokan udara miliknya mulai menipis, Chanhee mendorong dada Changmin untuk menjauh. Lantas tertidur karena efek alkohol dari minuman yang Changmin bawa untuk mereka.

Tanpa Chanhee ketahui, Changmin terus terjaga hingga mentari terbenam di ufuk barat. Dalam diam, Changmin memperhatikan Chanhee yang tertidur pulas. Ibu jarinya ia letakkan pada bibirnya sendiri, menelusuri jejak bibir Chanhee yang tadi datang menyapa; tersenyum penuh kemenangan selagi memori pertautan mereka terus-menerus diputar dalam kepalanya.

Hari ini, Chanhee membawa sebuah tas besar dari rumahnya sebelum pergi ke tenda mereka. Alasannya adalah karena Chanhee berniat untuk bermalam di tenda bersama dengan Changmin, dalam rangka menikmati hari terakhir libur musim panas mereka. Sesampainya di sana, Chanhee segera merapikan isi tenda dan menggelar kasur lipat beserta selimut miliknya, lalu mengeluarkan bantal dan juga boneka penguin yang ia bawa bersamanya.

Changmin datang beberapa menit setelahnya. Mengikuti Chanhee, Changmin juga menggelar alas tidurnya dan turut mengeluarkan boneka gajah yang ia bawa. Changmin juga mengeluarkan sebuah lampu cadangan untuk menerangi tenda mereka di malam hari nanti. Setelahnya, Chanhee dan Changmin bercengkrama seperti hari-hari sebelumnya. Menikmati senja sebelum bintang malam bermunculan di langit.

Di tengah kegelapan malam, Chanhee menatap langit malam bersama dengan Changmin yang berbaring di sebelahnya. Kerlap-kerlip cahaya bintang nampak sangat indah malam itu, membuat Chanhee benar-benar memfokuskan atensinya pada hamparan kanvas hitam yang berada di atas mereka.

Hingga kemudian, suara Changmin membuat perhatiannya teralihkan.

“Chanhee, aku boleh tanya tentang sesuatu?”

“Tentang apa, Changmin?”

Cukup lama tak terdengar balasan dari Changmin, hanya suara jangkrik dan serangga lain yang mengisi keheningan di antara mereka.

“Soal.. ciuman kita waktu itu. Kamu masih inget 'kan, Hee?”

Chanhee sempat membeku untuk sepersekian detik, sebelum tawa hambar ia keluarkan untuk menutupi rasa paniknya.

“Yang mana ya, Min? Kok aku gak inget?”

Mendengar jawaban Chanhee, Changmin segera bangkit dari tidurnya dan merubah posisinya menjadi duduk. Chanhee menyusul setelahnya, kini mereka duduk berhadapan.

“Kamu.. beneran gak inget, Hee?”

Tatapan Changmin yang penuh selidik membuat Chanhee berjuang keras untuk menelan ludahnya, ujung jari tangan dan kakinya kini mulai terasa dingin bersamaan dengan jantungnya yang berdegup lebih cepat.

“Aku gak inget, Changmin.”

Bohong.

Chanhee ingat tentang semuanya. Rekaman adegan ciuman mereka malah tak pernah absen dari kepala Chanhee setiap saat Changmin berada di dekatnya.

“Tapi Chanhee.. aku tau kamu masih sadar waktu kita ngelakuin itu. Harusnya kamu inget soal itu, Hee.”

Changmin masih bersikukuh pada pendapatnya, sedang Chanhee mulai terpojok di tempatnya.

“Maaf, Min. Aku beneran gak inget.. kita tidur aja, yuk? Aku ngantuk nih.”

Melarikan diri, Chanhee memilih untuk menggantungkan percakapan mereka pada malam itu. Dengan penuh paksaan, Chanhee menutup erat kedua matanya dan memaksa dirinya untuk dapat terlelap.

Membuatnya tak sempat mendengarkan pengakuan suka yang Changmin lakukan di malam itu.

Pagi hari datang secara tiba-tiba bagi Chanhee. Suara ayam jantan yang berkokok di kejauhan berhasil membangunkannya. Sebelah tangan Chanhee terangkat untuk mengusak matanya, sedang yang sebelah lagi refleks meraba ke tempat pembaringan di sebelahnya.

Dingin dan kosong adalah dua hal yang Chanhee rasakan berikutnya. Kosong karena Changmin tak ada di sana dan dingin menandakan bahwa Changmin telah pergi sejak lama.

Panik, Chanhee langsung menyibak selimutnya dan mengedarkan pandangannya di seluruh tenda. Barang-barang milik Changmin sudah tak terlihat di sana. Segera saja Chanhee melompat keluar dari dalam tenda, berharap Changmin akan menyambutnya dengan senyuman jahil dan menenangkan Chanhee yang panik melalui pelukan hangatnya.

Nihil. Sejauh mata memandang, tak terlihat keberadaan dari sosok yang telah mengisi liburan musim panasnya itu.

Buru-buru Chanhee mengepak barang-barangnya dan meraih handphonenya untuk menghubungi Changmin. Namun alih-alih mendengarkan suara Changmin dari ujung sana, Chanhee malah terus-menerus terhubung dengan suara operator.

Bingung, panik, dan juga cemas bercampur aduk dalam diri Chanhee. Berkebalikan dengan hari sebelumnya, Chanhee pulang ke rumah dengan langkah yang lunglai.

Changmin mendadak hilang dalam semalam dan Chanhee rasa ia menjadi gila karenanya.

Musim panas kini telah berganti menjadi musim gugur, pencarian Changmin yang dilakukan oleh Chanhee akhirnya berhenti.

Di pusat kota, Chanhee melihat Changmin untuk pertama kalinya lagi setelah sekian lama. Keduanya bertukar tatap dari kejauhan, hanya untuk beberapa detik lamanya karena Changmin memutuskan kontak mata mereka secara sepihak.

Changmin terlihat bahagia. Jauh lebih bahagia dari kali terakhir mereka bertemu.

Chanhee hendak berjalan mendekat dan menyapa Changmin, namun niatnya ia urungkan ketika dilihatnya seorang pria lain yang muncul dari dalam sebuah restoran.

Pria itu, melingkar lengannya di bahu Changmin. Menarik Changmin mendekat, lalu mencium pipinya.

Dari kejauhan, Chanhee dapat melihat Changmin yang merona. Binar kebahagiaan Changmin pancarkan pada lelaki di sampingnya. Chanhee terpaku dibuatnya, rasa sakit yang perlahan menjalar di dadanya membuat Chanhee lantas memalingkan mukanya.

Chanhee memutuskan untuk berjalan menjauh dengan kedua tangan yang mengepal menahan emosi di dalam saku hoodienya, merutuki kebodohannya sendiri.

Menyesali perbuatannya.

Dan berharap suatu saat ia akan dapat memutar waktunya, kembali di malam dimana ia seharusnya berkata jujur tentang perasaannya untuk Changmin.

“I should've told you what you meant to me,”

“Cause now, I pay the price.”

Fin.