Orang-orang zaman dahulu pernah berkata, “semakin kita membenci seseorang, semakin susah pula bagi kita untuk menyingkirkan orang tersebut dari kehidupan kita”.

Perkataan ini benar adanya, setidaknya.. bagi Chanhee dan Changmin.

Seminggu setelah pertemuan pertama mereka, lagi-lagi Chanhee dan Changmin kembali berpapasan di gerbang masuk fakultas mereka.

Namun kali ini, situasi seolah berbalik untuk keduanya.

Siang itu, Chanhee datang ke kampus dengan tergesa-gesa. Laporan praktikum histologi mengenai pengamatan sel darah merah ia dekap erat dengan sebelah tangan, sedang tangan yang satunya sibuk berusaha membuka kaleng kopi yang ia bawa dari asrama.

Senyuman lebar terpatri di wajah Chanhee ketika dirinya berhasil membuka kaleng kopi tersebut. Dengan cepat, Chanhee mendekatkan kaleng kopi tersebut ke arah mulutnya.

Dan tepat pada saat itulah, insiden terjadi.

Dari arah berlawanan, seseorang tanpa sengaja menubruk badan Chanhee dengan cukup kencang. Membuat kaleng kopi terlepas dari tangannya, disusul dengan laporan praktikum miliknya yang jatuh tepat di atas genangan kopi.

Chanhee menatap ke arah laporan praktikum miliknya dengan tatapan tidak percaya untuk beberapa saat sebelum ia mengalihkan pandangannya, hanya untuk kembali bertatapan dengan sosok yang ditemuinya seminggu yang lalu.

Sosok yang menabraknya tadi, Changmin, sedang balik menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak dapat Chanhee artikan.

Changmin di sisi lain, memilih untuk tetap membisu selama beberapa saat dan lantas melanjutkan untuk berjalan melewati Chanhee tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Entah mengapa, lidah Chanhee pun mendadak mati rasa. Kedua matanya tak teralihkan dari punggung Changmin yang akhirnya menghilang di belokan.

Karma?

Chanhee tidak percaya pada karma.

Dengan hati yang berat, Chanhee berjongkok untuk meraih laporan praktikumnya yang kini telah berlumuran cairan gelap. Beragam sumpah serapah terlempar keluar dari mulutnya dengan suara kecil.

Chanhee kemudian membawa “korban insidennya” ke dalam kamar mandi, berusaha untuk membersihkannya dengan menggunakan belasan tissue kering yang selalu ia bawa di dalam tas punggung miliknya.

Sekarang, Chanhee hanya memiliki 2 pilihan di tangannya.

Pulang ke asrama, menulis ulang laporan praktikumnya, dan memakai jatah cutinya yang hanya 1 kali per semester.

Atau bergegas masuk ke dalam laboratorium, menyerahkan laporan tak layak miliknya, dan membiarkan dirinya dimarahi oleh dokter pembimbingnya dengan suara tinggi di depan semua orang.

Sekitar 30 detik Chanhee habiskan dengan berdiri menatap pantulannya di cermin kamar mandi, mencari wangsit mengenai pilihan mana yang harus diambilnya.

Setelah menguatkan hati, Chanhee membuka pintu kamar mandi dengan dramatis. Kaki jenjangnya melangkah lurus menuju laboratorium yang terletak hanya beberapa meter dari tempatnya kini berada.

Ya, Chanhee lebih memilih untuk mengorbankan harga diri dan telinganya daripada mengorbankan jatah liburnya.