Tepukan ringan di pundak Sunwoo berhasil menariknya kembali dari alam mimpi. Sunwoo bahkan tidak sadar sejak kapan dirinya tertidur di bahu Kevin.

Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Sunwoo mendongakkan kepalanya dan bertatapan langsung dengan Chanhee- orang yang barusan membangunkannya. Chanhee memiringkan kepalanya sedikit, memberi sinyal agar Sunwoo mengikutinya.

Sunwoo menggelengkan kepalanya kuat-kuat sebagai balasan. Sunwoo tidak mau meninggalkan Changmin yang masih terbaring lemah di ICU.

Menyadari ketegangan yang mulai terjadi, Kevin menepuk punggung Sunwoo beberapa kali. Memberikan senyuman tipis, menyuruh Sunwoo agar menuruti ajakan Chanhee, sekaligus meyakinkan Sunwoo bahwa Kevin tidak akan pergi kemana-mana untuk menjaga Changmin.

Dengan berat hati, akhirnya Sunwoo mau melangkahkan kakinya untuk mengikuti Chanhee ke taman belakang di rumah sakit tersebut.

Chanhee kemudian meminta agar Sunwoo duduk terlebih dahulu di bangku yang terletak di taman, sementara Chanhee pergi ke kantin untuk membeli kopi panas untuk mereka berdua. Ditemani udara pagi hari yang dingin, keduanya menikmati kopi masing-masing dalam keheningan.

Tak lama setelah kopi miliknya habis, Chanhee mengutarakan maksudnya tanpa banyak basa-basi.

“Changmin.. sakit ya, Nu?”

Sunwoo terdiam selama beberapa saat, berusaha menekan firasat buruknya.

“Buat apa gue kasih tau lo soal itu? Bukannya habis ini lo bakalan ninggalin abang gue karena udah tau soal penyakitnya?”

Chanhee mengerutkan keningnya, bingung dengan reaksi pedas yang Sunwoo berikan padanya.

“Siapa yang bilang sama kamu kalau aku bakalan ninggalin Changmin, Nu? Aku beneran pengen tau soal penyakitnya aja kok.”

Cukup lama Sunwoo menatap ke dalam netra lawan bicaranya, berusaha untuk mencari celah kebohongan yang mungkin ia tutupi.

Tetapi, semakin jauh Sunwoo mencari- semakin jelas baginya bahwa sosok di depannya telah mengatakan yang sebenarnya.

Sunwoo pun akhirnya menyerah, memilih untuk mengikuti hati nuraninya. Terlebih ketika memori Chanhee yang menangis karena Changmin terus-menerus berputar dalam pikirannya.

“Bang Changmin.. punya penyakit jantung bawaan,” mulai Sunwoo dengan ceritanya, tatapannya senantiasa terkunci pada wajah Chanhee; mengamati setiap perubahan ekspresi yang akan terjadi pada wajah itu.

“Penyakit ini baru ketauan pas abang kuliah. Tepatnya di tahun terakhir, di tengah-tengah pengerjaan skripsinya.”

“Waktu itu, abang sering ngeluh pusing dan ngerasa capek. Gue kira itu cuman karena skripsinya, karena banyak yang emang ngerasa stress pas skripsian 'kan?”

“Ternyata, masalahnya lebih serius dari sekedar stress.”

“Setelah itu, abang jadi sering pingsan dan sering sakit dada. Tapi sebagai anak SMP, gue gak ngerti apa-apa. Terlebih, waktu itu gue juga gak terlalu merhatiin abang karena kita berdua baru aja ditinggal sama mami papi.”

Netra Chanhee makin lama makin meredup. Changmin memang sudah bercerita tentang kedua orangtuanya yang meninggal karena kecelakaan pesawat terbang, tetapi ia tak pernah menyangka bahwa Sunwoo kehilangan keduanya di usia yang masih sangat muda.

“Akhirnya waktu itu, abang ngelakuin operasi di jantungnya dan terpaksa buat nunda pengerjaan skripsinya karena keadaan fisiknya juga udah gak mendukung. Selama 6 bulan lamanya, abang fokus buat proses pemulihan.”

“Abang baru bisa ngelanjutin skripsinya di semester selanjutnya, di saat temen-temen seangkatannya udah pada lulus duluan.”

Ah- jadi ini alasan mengapa ia dan Changmin lulus di tahun yang berbeda, batin Chanhee.

“Yang gue heranin, kenapa katup mitral abang bisa menebal lagi dan sampe harus diganti lagi? Setau gue penebalan katup mitral ini lebih banyak terjadi di perempuan.”

Chanhee lantas menggerakkan sebelah tangannya untuk meraih tangan Sunwoo.

“Nu, kamu gak tau ya kalau stress dan kelelahan juga bisa memperburuk penebalan katup mitral?”

Gelengan lemah Chanhee dapatkan dari Sunwoo.

“Nu, kamu pasti gak tau ya kalau udah seminggu ini abangmu selalu over-work di kantornya?”

Lagi, Sunwoo menggelengkan kepalanya.

Chanhee menghela napasnya, genggamannya pada tangan Sunwoo bertambah erat.

“Selama kamu gak balik ke rumah, kakak ngeliat gimana stressnya abang kamu. Sebagai pelampiasan dari rasa stressnya, abang kamu ini milih buat over-work biar gak kepikiran sama kamu terus.”

Sunwoo menggigit bibir bawahnya kuat-kuat setelah mencerna penjelasan dari Chanhee.

Tak pernah sekalipun ia menyangka bahwa dirinyalah yang membawa sang kakak hingga ke situasi seperti ini.

Bodoh, Sunwoo bodoh.

Jika setelah ini Changmin memutuskan untuk membencinya seumur hidup, Sunwoo akan menghargai dan menerima keputusan sang kakak dengan lapang dada karena ia merasa bahwa dirinya memang berhak untuk disalahkan.

Melihat Sunwoo yang tampak tersesat dalam pikirannya sendiri, Chanhee segera mengajak Sunwoo untuk kembali ke ICU.

Bertepatan dengan kembalinya mereka berdua ke ICU, dokter yang menangani Changmin berjalan menghampiri mereka. Memberikan kabar bahwa Changmin telah sadar kembali dan sedang diproses untuk dipindahkan ke ruang rawat inap yang biasa.

Sayangnya, dokter berkata bahwa hanya satu orang yang diperbolehkan untuk mengunjungi Changmin saat ini.

Mendengar hal ini, Sunwoo langsung mencuri pandang ke arah Chanhee.

“Sana masuk duluan, Nu. Pihak keluarga harus masuk lebih dulu,” ucap Chanhee dengan senyum manisnya.

Sekali lagi, Sunwoo kembali dibingungkan oleh Chanhee yang mengalah kepadanya.

Ragu-ragu, Sunwoo menggeser pintu kamar Changmin. Indra penglihatannya langsung bertabrakan dengan tatapan sayu yang terhalang oleh masker oksigen dari sang kakak yang terbaring di atas kasur.

Hampir 1 menit lamanya Sunwoo berdiri di depan pintu, tak berani melangkah mendekat pada Changmin.

Hingga kemudian, satu isyarat gerakan tangan dari Changmin membuat Sunwoo langsung menghambur ke arahnya bersamaan dengan tangisannya yang pecah.

Dengan penuh kehati-hatian, Sunwoo memberikan pelukan eratnya pada sang kakak. Melepaskan seluruh rasa rindu dan juga kalutnya.

Dada Changmin bergerak naik-turun perlahan, tertawa lemah melihat kelakuan sang adik. Dengan tangannya yang masih terbelit oleh selang infus, Changmin mengusap punggung Sunwoo perlahan. Berusaha semampunya untuk menenangkan sang adik.

“Udah-udah, jangan nangis lagi adek. Malu ih sama umur.”

Suara serak Changmin membuat Sunwoo mengangkat wajahnya. Mata bengkak dan hidung merahnya membuat Changmin kembali tertawa lemah dari balik masker oksigennya.

“Nu ah, lap dulu sana mukamu. Abang gak mau ya punya adek jelek.”