NOT FAKE MARRIAGE

story details: ±1,600 words, flirty mampus, reuni.


Non Disclosure Agreement

Ada dua tipe mahasiswa yang belajar di Melbourne.

Pertama yang memang ke luar negeri karena ingin merasakan kebebasan, memanfaatkan privilese dari orang tua untuk menikmati masa muda. Yang kedua karena sungguhan belajar, jadi mandiri, dan menciptakan koneksi.

Jana tidak terlalu dekat dengan Dierja ketika di Melbourne. Mereka tidak pernah satu kelas karena memilih prodi yang sangat berkebalikan. Interaksi mereka tidak intens, di kepala Jana hanya berisi transaksi ayam geprek. Sering bersua karena teman dari si teman, dan juga satu organisasi di PPI. Pemuda tersebut juga sempat jadi ketua PPI di University of Melbourne maka tak ada yang tak mengenalnya waktu itu.

Maka dari itu, ia kurang tahu Dierja tipe mahasiswa yang mana. Namun jika ditelaah, pemuda itu mengambil double degree kemudian master degree ketika kuliah, sepertinya ia tipe mahasiswa yang kedua.

Dierja is … very comfortable to be with.

Meskipun pemuda itu menghabiskan waktu agak lama di pekarangan rumah—sepertinya karena ingin mengantisipasi canggung. Yang juga membuat perasaan gelisah merayap perlahan di diri Jana. Apalagi mengingat ia ingin meminta pertolongan terkait hal yang tidak biasa, yang kemungkinan besar akan ditolak. Namun ternyata Dierja tak membuat atmosfer jadi kikuk. Ia langsung menyunggingkan cengiran ketika melihat Jana.

Spontan Jana ikut tersenyum, gelisahnya menguap.

Dierja mengenakan pakaian serba hitam, dengan topi jadi pelengkap. Dierja tampak … lebih dewasa dari yang apa memori Jana simpan. Bahunya melebar, rahangnya menegas, rambutnya model undercut, rapi. Tidak seperti jaman kuliah yang agak gondrong dan suka diwarna terang seperti gulali. Auranya sangat menunjukkan ia aktor; yang ketika ia lewat membuat semua orang ikut menoleh dengan arah pandang selalu padanya.

Yang sama dari memori Jana hanya pancaran matanya. Ramah, boyish. Ditambah teduh yang muncul seiring pendewasaan. Dierja kelihatan tiga puluh satu, tapi juga tetap dua puluh dua.

Jana mempersilakannya masuk. Dierja memuji rumahnya—yang sebenarnya hanya ia sewa tahunan karena ia berpikir tak selamanya di situ. Mereka langsung beringsut ke ruang tengah yang membuat Dierja sumringah karena hidangannya.

“Mas Jana pasti ngetik “Apa makanan kesukaan Dierja Rahagi?” di Google,” katanya.

“Kalau saya sih ndak, Mas, asisten saya iya.”

Celetukan Jana membuat keduanya tertawa.

Meja makan Jana sebenarnya hanya menyajikan cuisine daerah. Sop kimlo, kakap bumbu kuning, asinan betawi, cah kangkung, buah potong yang didominasi semangka, dan es pisang hijau.

Jana mempersilakannya untuk mengambil lauk lebih dulu. Kemudian, ia hanya menambahkan sayuran ke piringnya sendiri.

“Mas Dierja ndak minum ya? Asisten saya ngasih tau, keren juga dia risetnya,” Jana membuka obrolan baru di sela makan karena agak penasaran. Ia terperangah ketika diberi tahu informasi tersebut.

Sekelebat ia menemukan senyum Dierja berubah ringisan.

“Saya ndak minum karena kalau coba sekali dan suka, pasti ndak berhenti, Mas.”

Make sense, tapi seinget saya dulu pernah lihat Mas Dierja di bar.”

“Kalau Riza ngajak, jadi DD* saya, ditraktir minum soft drink sampai kembung.”

Jana tertawa, “Oh iya, Riza. Kemarin saya chat sama Riza juga karena Mas Dierja kasih tau partner blind date saya.”

Dierja menaikkan alis, “Oh, Mas Jana ndak tau siapa partnernya?”

Ia menggeleng samar, “Karena saya nggak minat dateng, jadi nggak tanya ke Bapak. Tapi kita agak debat karena bahas Gane.”

“Walah,” Dierja berdecak, “Saya udah bilang berulang kali, ngobrol lagi biar dapet closure, dianya nggak mau. Uwong e bebal.

Jana tahu Riza memang keras kepala sejak dulu. Jana juga memiliki sifat yang sama—mungkin ia tidak terlalu bebal, namun tetap saja—maka dari itu mereka agak sulit dekat ketika kuliah, meskipun sering bertemu.

Seusai makan, mereka berpindah ke sofa. Jana mencari ponselnya ketika teringat tujuan Dierja datang ke rumahnya.

“Mas, saya izin foto, ya?”

Dierja yang mengerti maksudnya langsung merapikan baju. Kembali mengenakan topinya yang ia lepas tatkala makan. “Candid apa ngarah kamera?”

“Bebas, senyaman Mas Dierja.”

Pemuda itu mulai berpose macam-macam seolah itu pemotretan. Jana terpukau dengan betapa naturalnya Dierja bergaya. Ia seperti memang dilahirkan untuk di bawah bidikan kamera dan lampu sorot. Dierja pun ikut mengambil swafoto dengan refleksi diri di cermin. Mengunggah fotonya sendiri di Story Instagram.

Lantas, Jana menyalakan televisi meski tak ditonton hanya agar suasana tidak terlalu sepi. Es pisang hijau yang berada di meja ia serahkan ke Dierja. Mereka menggenggam gelas masing-masing. Jana sungguhan merasa mereka seperti reuni teman lama.

“Nah, kamu belum cerita full kenapa bisa sebut nama saya sebagai pacar,” Dierja membawa mereka ke topik yang membuatnya meringis.

Es pisang hijau yang Jana makan terasa menyangkut di kerongkongannya. Setengah enggan, ia mengawali cerita, “Waktu itu saya makan siang sama Gane sekalian ambil proposal sponsorship, Mas—itu proposal film yang ada Mas Dierja. Setelah itu saya emang ada janji ketemu Bapak di kantor.”

Dierja mengangguk mendorongnya untuk terus bercerita seraya mengunyah. Pipinya menggembung lucu setiap ia memasukkan makanan ke mulut.

“Bapak kasih saya amplop undangan blind date. Karena saya males, akhirnya saya bohong ngaku punya pacar biar ndak perlu dateng. Eh, Bapak malah tanya ke saya, “Siapa pacarmu? Bapak kenal?” Walah, saya agak kelimpungan, Mas.”

“Saya bingung nama siapa yang bisa saya sebut. Pas saya mikir, saya lihat proposal yang ada di meja. Saya nyeletuk lah, Mas, “Dierja Rahagi yang aktor aktor iku, sibuk pol, ndak bisa ketemu pokoknya.” Gara-gara itu Bapak malah nyuruh saya ajak Mas Dierja ke rumah.”

Wait, w-what? Kapan harus ketemu Pak Pres?” selanya, panik.

“Nggak perlu sekarang juga, Mas, tapi selama Bapak tau Mas Dierja pacar saya, bisa diatur dulu.”

Jana mengulum bibirnya ragu saat ingin mengutarakan permintaannya. Ia tidak tahu apa ini benar untuk dilakukan. Masalahnya ia melibatkan orang lain. Terutama melibatkan Dierja yang sedang naik daun karena proyek filmnya akhir-akhir ini.

“Jadi, uh, Mas Dierja mau bantu saya jadi pacar pura-pura ndak? Saya usahain ndak ganggu karir Mas Dierja. Nanti kalau Mas Dierja butuh sesuatu atau sponsor atau apa pun, Mas Dierja boleh minta ke saya. Seenggaknya sampai setahun ke depan—durasinya bisa kita diskusikan dulu—saya ndak pengin ada acara dijodohin gini aja, Mas, agak jengah juga. Selepas itu, saya tetep akan support kegiatan Mas Dierja, meskipun hubungan kita selesai.”

Jana mengerutkan wajahnya, menunggu jawaban Dierja yang tengah berpikir. Ia setengah berharap Dierja menolak ide gilanya. Sebab, sejak awal ia juga tidak yakin mengenai ini. Maka dari itu, usahanya untuk mendekati Dierja tidak ada.

Namun Dierja membalas, “Oke,” yang membuat pupilnya membesar sekilas. “Jadi kita mulai dari mana?” tambahnya memicu kebingungan serta lega di saat bersamaan .

Es pisang hijau tandas, Jana mengajak Dierja ke ruang kerjanya untuk mengetik Non Disclosure Agreement.


“Surat perjanjian kerahasiaan ini disepakati oleh Dierja Rahagi Rusadi yang selanjutnya disebut sebagai pihak pertama, dan Dias Sujana Waskita yang selanjutnya disebut sebagai pihak kedua.”

Mereka mengetik Non Disclosure Agreement di laptop masing-masing di ruang kerja rumah Jana.

“Hak pihak pertama,” Dierja menahan tawa selama mengetik, mungkin merasa lucu juga dengan kesepakatan mereka yang seperti bisnis. “Satu, pihak kedua akan mengabulkan tiga permintaan pihak pertama tanpa pengecualian sesuai yang pihak kedua janjikan di ruang obrolan.”

Jana memiringkan kepalanya berpikir meski mereka baru berada di poin pertama. “Pengecualian jika melanggar undang-undang,” tambahnya.

“Saya kecewa, padahal kamu yang proposed saya jadi pacar,” Dierja protes namun nada suaranya meledek.

Jana mengedikkan bahu, “Just in case, Mas, ndak ada yang tau.”

“Segitunya kamu nggak percaya sama saya,” suaranya berubah murung.

Yowes, tak hapus,” Jana menyerah ketika Dierja mulai mengerucutkan bibirnya.

Mereka terus mengetik selama menggagas poin yang harus ada di perjanjian. Mereka membahas tentang batas kontak fisik, durasi hubungan, sejauh mana boleh mengetahui hal personal dan privasi. Kemudian, bernegosiasi mengenai keuntungan untuk satu sama lain. Juga tentang latar belakang hubungan mereka.

“Gini aja background story-nya, Mas,” Dierja mengusul, “Saya suka sama Mas Jana dari di Melbourne, tapi belum ada kesempatan waktu itu. Sekarang kita catch up lagi karena kita nggak sengaja ketemu pas kamu sama Gane lagi makan siang, saya coba reach out kamu.”

“Nggak saya aja yang mulai first move, Mas?” Jana meringis mengingat cuitannya untul Dierja di Twitter, “Soalnya saya sering ngetwit sama likes konten Mas Dierja.”

Dierja menggeleng tak setuju, “No, no, have you seen yourself?

Jana memiringkan kepalanya, “Maksud Mas Dierja saya bukan tipe yang berusaha?” ujarnya, agak tersinggung.

“Bukan itu maksud saya. Kamu- woah- piye ya jabarinnya, masa kamu yang keren gini ngejar saya?”

Okay, Jana mengerti maksudnya, namun ia tidak suka mendengarnya.

“Lebih masuk akal saya yang suka kamu duluan,” tambahnya menguatkan argumen.

“Mas Dierja aktor lho, maklum kalau saya suka.”

“Jadi kamu suka saya?”

Pertanyaan itu sukses membuatnya memundurkan kepala untuk menatap Dierja secara menyeluruh. Ia tercengang. “Y-ya maksud saya, Masnya gini,” Jana tergagap, bingung. Bagaimana ia bisa menjelaskan kalau Jana tak mengedip ketika Dierja di depan pintu rumahnya. Atau menerangkan kalau ia sering menekan tombol hati di akun Twitter penggemar Dierja bukan hanya karena misi kemarin. “Apa sih, serius dong, Mas.”

Tawa kencang Dierja pecah memenuhi ruang kerjanya.


Setelah dokumen rahasia itu ditandatangani oleh keduanya. Jana mengantar Dierja sampai ke mobil.

Dierja pamit dan membuka pintu mobil, namun Jana menahannya agar tak masuk. “Mas, saya boleh nanya satu lagi?”

Lelaki itu membalikkan tubuhnya agar kembali menghadap Jana. Sontak ia mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak, “Kenapa, Mas?”

“Mas Dierja kenapa langsung ngeiyain tanpa mikir lagi?”

“Oh,” Dierja menjeda jawabannya sengaja membuatnya menunggu, “Karena saya mau deket sama kamu.”

Jana membeliak, ia jadi kikuk dan merasakan gelenyar aneh. Namun ia menutupinya dengan menyipitkan mata dan menghakimi jawaban Dierja.

Pemuda itu tertawa, lagi-lagi sukses menggodanya, lantas masuk ke mobil. Ia menyalakan mesin, dan menurunkan jendela. Jana otomatis mencondongkan diri karena ingin tahu apa yang ingin ia katakan.

“Saya serius, kalau bukan kamu, saya mikirnya seribu kali.”

Jana kian menyipitkan mata, bersedekap, “Kamu ngeledek.”

Ia ingat pernah jadi bahan roasting Dierja di acara PPI. Waktu itu HUT RI, Dierja seharusnya sambutan, namun malah meledek Jana ala Stand Up Comedy di panggung.

Dierja tersenyum kecil, “Kamu negative thinking mulu sama saya.”


DD: designated driver Uwong e bebal: Orangnya bebal/keras kepala

© litamateur