NOT FAKE MARRIAGE

story details: 1,900 words, nah no details just go straight to the reading.

notes: enhance your reading experience by listening to limbo by keshi.


Dierja is there, Dierja is everywhere

Dierja sepertinya diberitahu oleh Bagaskara bahwa dirinya mampir. Pemuda itu melambai riang kepada Jana yang berjalan ke arahnya meski jarak mereka masih terbilang jauh. Tubuhnya ikut bergoyang ke kiri dan kanan saking antusiasnya ia melambai.

“Janaaa!!” Dierja berseru memanggil namanya, memicu atensi dari orang sekitar yang tak sadar akan kehadirannya. Ia meringis, setengah malu, tapi juga lucu. Reaksi Dierja yang begitu sumringah membuatnya melebarkan senyum. Dierja meraih ponsel di sakunya, mengetik sesuatu di layar gawai tersebut. Beberapa detik kemudian, ponsel Jana berbunyi notifikasi pesan baru.

Dierja Rahagi: Saya ke sana setelah ini, it’s nice to see you here Dierja Rahagi: Kamu tunggu di dalam rumah aja, minta dianter Bagaskara ke salah satu ruangan kalau capek berdiri

Jana tak membalas, memilih untuk menonton di pinggiran, di bawah pohon yang lumayan rindang. Dierja melirik padanya sesekali ketika make up artist merapikan riasan di wajahnya. Juga ketika menanggapi sutradara yang mengarahkan sesuatu padanya. Jana belum menemukan Gane di sana, sepertinya ia hanya memantau secara umum, dan datang jika dibutuhkan.

Dierja, Gane, Riza … ternyata banyak juga orang yang ia kenal berkecimpung di dunia hiburan, meski dengan role berbeda. Ia dan Hemish adalah outliers.

Ia lupa hari ini, entah kenapa, kalau ada orang lain lagi yang juga bekerja di sini.

“Mas Dias.”

Speak of the devil.

SLATE IN, seru asisten sutradara yang menggenggam gulungan kertas. Seorang crew dengan clapper board berdiri tepat di depan kamera.

ROLL SOUND, ROLL CAMERA! komando asisten sutradara.

ROLLING! sahut sound recordist.

Dierja melihat ke arah Jana lagi sekilas, mendapati dirinya dan Banu berdiri di tempat yang sama. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan pada lawan mainnya. Ekspresinya berubah menyesuaikan skrip.

“Mas Dias,” panggil Banu untuk kedua kali. Akan tetapi Jana tetap tak menoleh padanya, ia ke sana untuk makan siang dengan Dierja, bukan hal lain.

“Aku minta maaf,” suaranya begitu lirih dan menyedihkan, sarat penyesalan yang membuat Jana memiliki campuran perasaan tak menyenangkan.

“Saya lagi ndak pengin bahas apa pun yang mau kamu omongin. Please, leave?” pintanya sopan, pada akhirnya memandang Banu.

Wajah yang tak ia lihat tiga tahun itu memancarkan rasa bersalah. Jana memejamkan matanya, menghitung sampai tiga dan mengatur napas. Marah Jana di enam bulan pertama kepergian Banu yang sudah menguap, kini seperti mengembun kembali karena pemuda itu datang. Sebagian dirinya bersyukur bahwa Banu tampak baik-baik saja, sisanya ia tetap dikelabui amarah. Permintaan maaf dari Banu belum bisa meredam perasaan itu.

“Aku minta maaf, tapi kasih aku lima menit. Cukup lima menit. Aku mau jelasin kenapa aku tiba-tiba perg—”

“Seharusnya kamu jelasin itu tiga tahun lalu, Nuni,” panggilan khusus itu terasa familier namun asing di saat bersamaan, kaku dan membelit lidahnya. “Bukan tiba-tiba minta putus, tiba-tiba ngilang, iya, kan?”

Jana meninggalkan Banu yang terdiam di tempatnya. Juga meninggalkan rasa penasaran mengenai alasan yang ingin Banu utarakan. Saat ini ia sudah memutuskan untuk tak peduli pada masa lalu. Sebab apa pun alasannya, hal itu tak bisa memperbaiki apa yang ia alami. Tak bisa memperbaiki rasa putus asa Jana mencari kabar Banu yang tenggelam ditelan bumi. Tak bisa memperbaiki rasa terpuruk, tak cukup, tak baik, dan hal negatif lainnya yang melingkupi dirinya waktu itu.

Ia menarik tungkainya, hanya menyusuri halaman rumah sewaan yang jadi lokasi syuting, sebab tak tahu harus melangkah ke mana. Akan tetapi beruntungnya ia menemukan Bagaskara yang sepertinya tengah mencari Jana. “Wah, Mas Dias, saya nyariin sampai ke mobil ternyata di sini. Tadi di-chat Dierja suruh nganter ke ruang tunggu, takutnya Mas Dias sungkan.”

“Saya pengin lihat Mas Dierja di sana, tapi panas,” jawabnya berkilah.

“Mending di rumah aja, Mas, adem. Kalau mau nonton Dierja akting lagi, kapan-kapan saya kasih tau pas dia take scene di dalem ruangan. Soalnya hari ini nggak ada yang di dalem. Gosong dah tuh dia kena matahari seharian, sukurin.”

Sontak Jana melepaskan tawa sebab komentar dari Bagaskara, sepertinya pemuda itu lebih dianggap sebagai teman oleh Dierja ketimbang manajer karena cara berbicaranya sangat kasual. Pemuda itu menggiringnya ke rumah, lantas izin pergi ke mobil untuk mengisap rokok elektrik yang mengalung di lehernya.

Ruang tunggu itu kosong sebab semua orang sibuk di luar. Di sana juga tak ada pendingin ruangan maka dari itu tak jadi pilihan crew untuk singgah. Jana mengamati ruangan itu, mendapati ransel Jansport hitam milik Dierja yang pernah ia lihat di jok belakang mobil pemuda tersebut. Ia juga ingat dirinya pernah mendapati Dierja mengenakan ransel serupa ketika di Melbourne. Tak tahu memang sama, atau itu ransel berbeda.

Entah kenapa ia jadi ingat banyak hal tentang Dierja ketika kuliah. Memori itu terkubur karena memang ia tak pernah sengaja untuk menelusuri. Sekarang memorinya dipantik dengan eksistensi Dierja yang mengisi harinya. Pemuda itu bukan sekadar pelanggan ayam gepreknya dulu, namun juga bukan teman, bukan juga hanya Dierja Rahagi yang meledeknya di salah satu acara PPI.

Dierja selalu satu meja dengannya jika Gane dan Riza berjanjian di Revolver Upstairs. Juga jadi teman nongkrong tanpa sengaja jika Dierja diusir dari apartemennya di Lonsdale—yang ia bagi dengan Riza—saat Gane datang untuk bermalam. Juga suka muncul di Giblin Eunson Library padahal bukan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Pemuda itu selalu ada, namun Jana tak terlalu memperhatikan sebab sibuk dengan dunianya sendiri. Dierja sering duduk di sebelahnya meski tak bertukar kata, atau menghampirinya untuk sekadar menyapa kemudian lalu. Sekarang pemuda itu tak hanya lalu, ia menghampirinya dan tinggal. Berdiri di hadapan Jana dengan senyum yang selalu menular. “Janaa, what brings you here?”

Lunch,” ia tersenyum simpul.

Akan tetapi senyumnya luntur ketika ada seseorang yang lewat, langkahnya berhenti di ambang pintu ruang tersebut, seperti menunggu Jana untuk mengizinkannya masuk, atau Dierja membalik badan dan mengajaknya makan siang bersama untuk formalitas.

Ia berharap Dierja terus memunggungi Banu dan tak memutar kepalanya.

Ia yakin Banu tahu hubungannya dengan Dierja, tak mungkin ia tak mendapati berita kencannya di media sosial. Pemuda itu lantas melangkah perlahan, meski tak diberi izin untuk masuk.

“Mas, sorry.”

Dierja mengangkat kening bingung karena dirinya tiba-tiba mengucapkan maaf. “Kenapa? Kamu lagi ada masalah?”

Mata Jana yang semula melirik Banu dari balik bahu Dierja, kini memandang Dierja yang menunggu jawabannya. Raut cemasnya memicu perasaan bersalah, namun ia segera menangkup rahang Dierja, pemuda itu berjengit. “Jana?” panggilnya.

Hemish pernah bilang Jana agak gila ketika ingin mencapai tujuannya. Ia melakukan banyak hal yang orang biasa tak akan pikirkan. Misal, tiba-tiba berkencan dengan Dierja hanya untuk terlepas dari kencan buta, atau seperti sekarang mencondongkan wajahnya pada Dierja, pura-pura menciumnya agar Banu pergi. Bibir mereka tak bertemu karena dibatasi ibu jarinya.

Banu membeku di tempatnya berdiri. Tak maju lagi untuk mendekat. Kemudian, Jana memejamkan mata seolah-olah memang tengah mencium Dierja. Telinganya dengan seksama mendengar langkah kaki terburu-buru yang pergi dari ambang pintu ruangan tersebut.

Ketika suara langkah kaki tersebut tak lagi mencapai frekuensi telinganya, ia segera menjauhkan wajah. Ia mendapati mata Dierja membola, wajahnya terkejut bukan main.

“M-maaf, Mas, ada Banu tadi. Dia mau ke sini, jadi aku pengin usir dia secara halus– maksudnya karena dia tetap ke sini meskipun tau kita lagi berdua jadi aku coba pakai cara lain. Maaf tiba-tiba begitu. Mas Dierja ndak apa-apa, kan? Pasti kaget banget ya? Sorryyy, Mas.”

Wajah Dierja yang tercengang perlahan kembali ke sedia kala, mencoba paham dengan situasinya. Jana memundurkan diri untuk kembali menjaga jarak, namun Dierja menahan tubuhnya untuk bergerak. Tangannya yang bertengger di pinggang Jana sebab reaksi spontan—meremas pakaiannya karena kaget—kini melingkar di punggung bawah, lebih lugas merangkulnya.

Tubuhnya kaku di pelukan Dierja.

“Kamu inget kamu harus ngabulin tiga permintaan saya?”

Jana mengerutkan kening sebab pertanyaan Dierja yang tak nyambung. Pemuda di hadapannya tampak tak merasa kesal atau marah karena perbuatannya yang tak ia diskusikan sebelumnya. Ekspresinya amat serius, dan membuatnya tak mengerti. “Maksudnya gimana, Mas?”

“Ini yang pertama.”

Dierja mencondongkan wajahnya begitu cepat sampai-sampai Jana tak mampu memproses bahwa bibir mereka kini menempel, tanpa dibatasi ibu jari.

Ia bisa mendorong Dierja.

Ia bisa mendorong Dierja.

Ia bisa mendorong Dierja.

Alih-alih melakukan itu, ia mulai membalas ciumannya.

Ia belum pernah disentuh Dierja selain tangannya. Kini seluruh tubuhnya seperti gemetar ketika Dierja menciumnya, telapak tangan Dierja mengelus naik-turun punggungnya yang melengkung sebab tergelitik. Jemarinya seolah menyusuri setiap inci tubuh Jana yang bisa ia capai. Lekuk pinggangnya ia remas, usap, rengkuh dengan erat, keduanya melekat tanpa distansi sedikit pun. Dierja menarik bibirnya di antara gigi, lantas melepaskan diri untuk bernapas sekaligus menyeringai mendapati Jana yang terengah tak keruan.

“Gimana?” bisiknya.

“Apanya?”

Jantung Jana memompa dengan gila, wajahnya merah entah kehabisan napas atau sebab berciuman. Dierja kemudian memiringkan kepala ke sudut lain untuk melumat bibirnya lagi. Tak segan menggigit bibirnya agar ia membuka mulut dan menginvasi, menyelusupkan lidahnya untuk membelit milik Jana. Ia mengerang memalukan di belakang kerongkongan. Menarik rambut Dierja dengan lemas karena tenaganya seperti diserap habis, kepalanya kosong. Bunyi kecipak ciuman mereka begitu memenuhi gendang telinganya. Dierja sungguhan bercumbu seperti melabuhkan seluruh hasrat terpendamnya.

Pemuda itu memanuver tubuh Jana, sehingga ia perlu berjalan mundur. Tanpa melepaskan Jana, Dierja menutup pintu di belakang punggungnya.

Jana didorong lembut untuk bersandar seluruhnya pada pintu. Kedua paha belakangnya digenggam kuat lantas dirinya diangkat. Reflek ia melingkarkan kakinya di pinggang Dierja. Punggungnya terus-menerus bersinggungan dengan pintu karena ciuman Dierja begitu menuntut, ia mengejar bibirnya seolah merasa tak pernah cukup.

Sudah berapa banyak lawan main yang dicium Dierja hingga ia sehandal ini? Ia tak ingin memikirkannya. Berusaha mengeratkan tangan dan kakinya yang melingkari Dierja takut jatuh.

Tiba-tiba muncul dering ponsel yang bukan miliknya.

“Mas … telepon,” ujarnya susah payah karena bibirnya masih dikerjai. “Mas.”

Dierja terus menyesap bibirnya, tak peduli pada ponselnya yang berdering. Jana yang mulai merasa terganggu mencoba menjauhkan wajahnya dari Dierja. Pemuda itu menatap Jana dengan pupil mata yang melebar. Sungguhan bertanya dengan bingung, dan tak sadar kenapa ia menarik diri.

“Telepon, Mas,” bisiknya.

Ia diturunkan dengan hati-hati, saat Dierja menunduk seraya merogoh saku celananya, dering teleponnya sudah mati. Ia mengangkat kepalanya lagi, mengamati Jana. Jemarinya naik untuk membelai rahangnya, ia mengecup lagi bibir Jana yang terasa bengkak dan kebas.

Akan tetapi Jana sepertinya memang sudah gila. Ia terbuai lagi oleh Dierja. Kaos putihnya ditarik oleh Dierja dari kungkungan ikat pinggang. Lelaki itu menyusupkan jemarinya untuk merasakan kulit Jana. Ia menggeliat, semuanya terasa geli entah di perutnya, kulitnya, kepalanya, setiap sel-sel di dalam dirinya. Bulu kuduknya meremang karena sensasi yang Dierja berikan sekarang.

Lagi ponsel Dierja berdering. Pemuda itu sepertinya jengkel setengah mati, ia melebarkan jarak dengannya dan merotasikan bola mata.

Fuck, saya nggak suka diganggu kayak gini,” sungutnya. Rahangnya mengeras kesal.

Oh, Jana baru pertama kali mendengar Dierja mengumpat. Ia baru sadar pemuda itu santun sekali dan Jana tak ingat Dierja pernah berkata kasar. Anehnya, Dierja jadi tampak … seksi? Mungkin karena ini keterbalikan dari sikap Dierja biasanya.

Aktor itu mengeluarkan ponselnya hanya untuk menekan dengan gusar tombol Do Not Disturb. Raut wajahnya melunak ketika kembali menoleh pada Jana.

“Saya harus keluar, Jana.”

“Iya,” Jana menjawab linglung.

“Kita perlu ngobrol.”

“Iya.”

“Bibir kamu merah kena make up saya.”

Ia sontak mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Dierja hanya mengamati Jana dengan dalam. Matanya yang sering kali tampak ceria dan berkilau seperti konstelasi kini hanya gelap. Amat serius. Jana merasa seperti ditelanjangi dengan tatapan tersebut. Tak ada tanda bahwa Dierja menyesal telah menciumnya.

Tangan Dierja terangkat sejenak ke arah wajahnya dengan ragu, sepertinya ingin membantunya menghapus noda yang tak tersentuh tangannya sendiri, namun turun lagi. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat di sisi tubuh, seolah menahan semua perasaannya yang meluap dan menyalurkannya ke sana.

“Maaf saya cium kamu tanpa izin, tapi saya nggak nyesel karena saya memang mau. Kita omongin ini nanti, karena saya harus ke set sekarang, talk to you later?

Jana hanya mampu mengangguk kaku sebagai jawaban. Dierja menarik senyum untuknya, sangat amat tenang, kejadian itu tak mengguncangnya sama sekali, lantas ia memintanya berpindah dari belakang pintu, pergi dengan langkah besar.

Sontak Jana merosot usai Dierja tak terlihat, disorientasi, berjongkok di ruangan itu. Ia menarik rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Jantungnya masih berdegup tak wajar. Ia tak tahu apa yang terjadi.

What the hell.

© litamateur