Asa dan Ani — Episode 1

Apa coba skenario buruk yang mungkin tercipta antara dua insan yang sudah sejak kecil menjalin hubungan pertemanan dengan begitu akrabnya? Ya, muncul perasaan sayang yang lebih dari sekadar sayang kepada teman.

Skenario buruk satu, checked.

Lalu, ada kah kemungkinan muncul skenario buruk lain yang menyertainya? Ada. Misalnya, kemungkinan kalau rasa sayang yang dipunya tidak berbalas dengan sama besarnya.

Skenario buruk dua, checked.

Selain itu, apakah ada lagi? Ya, it’s the Fear of losing—fear with capital F, Fear.

Skenario buruk tiga, checked.

Maka tiga hal yang telah ter-cheklist itu rasanya sudah lebih dari cukup bagi Asa untuk sama sekali tidak mengungkap perasaannya kepada siapa pun, terlebih pada sang pemeran utama, si teman sedari kecilnya—Ani.

Asa bersumpah. Lebih baik dirinya sembunyikan segala perasaan terhadap Ani dengan konsekuensi menahan sakit selagi ia biarkan semua perasaan itu terkikis sampai habis, daripada ia harus kehilangan Ani yang di hampir seumur hidupnya sudah jadi bagian konstan dalam dirinya.

Tapi dasarnya manusia, dirinya tentu hanya mampu berencana dan berusaha. Hasilnya? Tetap lah sang penulis garis takdir yang punya kuasa menentukan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Asa; dirinya ketahuan.

Skenario buruk empat, checked.

Fucking hell. Asa bahkan tidak punya nyali untuk membayangkan skenario selanjutnya akan jadi seburuk apa. Maka ia berusaha, kembali mencoba dengan seluruh tenaga yang ia punya untuk mempertahankan apa yang masih bisa ia selamatkan.

“Maaf.” Entah ini sudah jadi kata penyesalan yang ke berapa kali, Asa tak punya waktu untuk menghitungnya. Terlebih ketika akhirnya ia pilih untuk menurut pada apa yang jadi keinginan Ani—memberikan penjelasan yang sejujur-jujurnya. “I’ll stop, kalau kamu ada ngerasa keberatan.”

“Sebentar—“ Ani menegakkan tubuhnya. Seisi ruang kamar Asa adalah saksi bisu soal bagaimana si gadis akhirnya buka suara setelah sejak tadi hanya Asa saja yang mati-matian kasih penjelasan. “—jadi Kak Asa ini beneran suka sama aku? Sayang aku?”

“Ya.”

“Suka dan sayang, as in you like me more than a friend?”

“Ya.”

“Terus semua foto aku yang Kak Asa simpan di folder Dear Ani ini, gak lebihnya cuma Kak Asa yang pengen mengenang setiap momen bahagia yang kita habiskan bareng-bareng aja?”

So, here it is; main problem of the day. Ada banyak cara mencintai, dan Asa memilih untuk mengabadikan setiap momen bahagia yang ia habiskan bersama Ani melalui jepretan lensa kamera. Lalu menyimpan setiap dari itu dalam satu folder terorganisir yang ia beri judul “Dear, Ani” dan ia kunci sehingga memungkinkan hanya ia yang dapat mengaksesnya. Maka, lagi dan lagi, Asa tidak punya pembelaan dan hanya mampu menberi jawaban, “Iya.”

“Oh my God—“ sebut Ani tak percaya. “—why are you never show any signs or hints about it then? Kenapa kamu sikapnya malah kayak nunjukin hal yang sebaliknya.”

“Iy—wait. What?!” Asa pikir, ia harus sudah persiapkan diri untuk menerima skenario terburuk nomor lima. Tapi, apa yang baru saja dia dengarkan? Kenapa Ani seperti terdengar sama sekali tidak keberatan? “Maksud kamu gimana?”

“Kak Asa tau gak sih? I almost thought that you never like me, at all.”

“Hah?” Asa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Ya enggak lah?! Of course I like you. Why wouldn’t I?”

“Because I’m annoying?” tebak Ani. “Kamu setiap hari panggil aku bocil, kayak di matamu aku ini anak kecil yang nakal. Setiap hari bikin sebel tapi kamu tetap punya tanggung jawab buat jagain dan gak ninggalin aku. So you don’t have any other choice but to stay.”

“Enggak, Ani. Bukan kayak gitu.”

“But you never said that you love me back,” jujur Ani yang akhirnya meluapkan satu hal yang paling membuat hatinya mengganjal. “I told you many times that I appreciate you and I love you. Tapi kamu gak pernah bales itu.”

Butuh beberapa detik bagi Asa untuk mencerna sederetan kalimat Ani barusan. Lantas ada helaan nafas berat—sarat akan rasa tak percaya—begitu semua itu berhasil Asa pahami dengan baik.

“Sini deh,” pinta Asa seraya ia menepuk ruang kosong di sampingnya, sebab sedari tadi mereka ada dalam posisi dimana Asa duduk di sisi ranjang dan Ani duduk di kursi meja belajarnya. “Duduk lebih deketan dulu, biar enak aku ngomongnya.”

Dan Ani menurut tanpa protes barang sedikit pun. “Udah. Mau ngomong apa lagi emang?”

“I’m sorry,” ungkap Asa tulus. Satu tangannya terangkat untuk usak gemas puncak kepala Ani. “Gak pernah punya maksud buat bikin kamu ngerasa begitu. Maaf ya.”

“Terus maksudnya apa?”

“Kan udah jelas jawabannya?”

“Apa? Kamu suka aku?”

“Iya.” Kali ini tangan Asa bergerak dua-duanya, untuk kemudian menangkup kedua sisi wajah Ani sehingga ia bisa dengan mudah mengarahkan paras manis si gadis untuk menghadap lurus ke arahnya. “Coba lihat sini.”

“Hmmmm...”

“Apa aku kelihatan kayak enggak suka dan sebel sama keberadaan kamu?”

Bohong kalau Ani jawab iya, maka ia pilih untuk menggelengkan kepala.

“Yaudah?” ucap Asa sambil tersenyum santai. “Lagian kan udah jelas..., how I feel about you....”

Ani tersenyum. “Oke.”

“Oke?” tanya Asa heran. Satu alisnya terangkat, dan sorot matanya pancarkan penasaran. “Just? Ok?”

Ani melepas tangan Asa yang sejak tadi masih menangkup kedua sisinya, kemudian digenggamnya kedua tangan itu. “Iya, oke. Makasih udah sayang sama aku, Kak.”

“Ah—ya. Sama-sama.” Sejujurnya Asa sama sekali tidak menduga hal ini, ia pikir Ani tidak akan bersikap sesantai ini. “Jadi, kamu gak marah? Gak keberatan?”

“Of course no?????” jawab Ani. “Aku bakal lebih marah kalau Kak Asa terpaksa stay sama aku padahal aslinya gak sayang aku.”

“Ah..., oke.” Ada lega yang membasuh damai seluruh ruang di dada. “So we’re good?”

“We’re good,” angguk Ani. “Lagian sayangnya Kak Asa, gimana pun bentuknya, selama ini gak pernah bikin aku risih. So I don’t think it’s a bad thing?”

“Thank you...”

“But—“ Untuk pertama kalinya, Ani terlihat kebingungan sejak keduanya bertemu hari itu. “—you know I love you too, right? I like being around you. But I think—I think I don’t like you in a way that—“

“—I know,” potong Asa cepat. Menghadapi situasi dimana cintanya tak berbalas adalah skenario terburuk nomor dua, dan Asa sudah sejak lama ikhlaskan itu semua. Jadi ini bukan masalah besar untuknya sekarang. Maka ia tidak perlu menunggu ani untuk selesaikan ucapannya, terlebih si gadis terlihat begitu kesulitan menyusun kalimatnya. Asa tidak suka lihat Ani berada dalam kesusahan. “And it’s ok. Aku enggak mau kamu malah jadi terbebani karena ini. Gak usah terlalu dipikirin, ya? Please?”

“I’m sorry...”

Lantas Asa secara refleks malah menarik Ani ke dalam peluknya. “Gak perlu, Ani. Gak ada hal yang salah yang sampai harus sama siapa pun kita maafkan kayaknya.”

“Iya...” ucap Ani yang tidak tahu harus merespon apa lagi. Baginya ini terasa lucu, karena sekarang Ani seperti sedang terima penghiburan ketika posisinya Asa lah yang secara tak langsung telah terima penolakan. “Kak Asa...”

“Hm?”

Apa yang Ani ungkapkan selanjutnya adalah sungguhan keluar dari segala ketulusan yang ia punya. Ani berani bersumpah. “Makasih banyak ya...”

“Enggak, Ani— geleng Asa kecil. Ani sudah mau menerima dan biarkan dirinya untuk tetap bertahan di sisi si gadis—tidak ada hal lain yang paling Asa inginkan sekarang selain ini. “—makasih banyak.”

“Hmmm....” Tangan Ani melingkar di tubuh Asa untuk akhirnya membalas peluk si yang lebih tua. “Sama-sama.”

Lantas keduanya tersenyum lega, dan hari ini dihabiskan dengan canda tawa sebagaimana mereka selalu habiskan hari-hari lain yang rasanya seperti tidak pernah berubah sejak keduanya masih sama-sama hanya dua orang anak kecil yang belum banyak tahu soal dunia.

Skenario buruk lima, strached.

Asa tidak kehilangan Aninya. Begitu pula dengan Ani, ia menerima Kak Asa dan segala bentuk kasih sayangnya.


yours truly, ann.