290 miles of us

Kalau biasanya selepas perform kita capek dan seolah nggak punya tenaga, malam ini ceritanya berbeda buat Renjun.

Saat semua orang terlihat begitu menikmati—savouring—jamuan makan malam mereka yang kedua di London, Renjun cuma sedikit-sedikit mengambil buah-buahan segar dan sesekali ngambil salad tanpa dressing untuk dia makan.

Bukan tanpa alasan, dia cuma pengen kelihatan bagus di depan Jeno, all the time. Apalagi besok dia mau berhari-hari jalan sama Jeno. Dia mau kelihatan presentable, at least perutnya nggak boleh membuncit soalnya dia sering insecure sama perut rata Jeno yang keras dibantalin otot.

Dari pagi buta, Renjun udah nggak bisa tidur. Padahal dia baru aja nyampe kamar hotel waktu jarum jam pendek menyentuh angka 2.

Dari jam 6, Renjun udah mondar-mandir buat dressed up. Ujung-ujungnya ngeberantakin isi koper yang seharusnya malem ini dibawa pulang sama Manager Park ke Seoul while dia akan bawa 1 koper kabin buat 3 hari di Paris.

Setelah sarapan bareng Jeno, mereka pamitan dengan ngetuk satu per satu kamar teman-teman grup mereka. Ya ada sih yang mau bukain, Jisung yang udah bangun dari jam 7 sama Mark yang kayaknya belum tidur. Selebihnya nggak gubris sama sekali. Biarin, nanti Renjun mau tiba-tiba pamer aja sih kalo udah nyampe Paris.

Tepat jam 9 pagi, ada dua orang Korea yang tiba-tiba nyamperin Jeno di lobby hotel. Ngobrol akrab sama Jeno as if mereka udah kenal lama, terus mereka serahin kunci mobil ke Jeno yang bikin senyum Renjun ikut-ikutan terkembang. Ah … akhirnya. Salah satu bucket list dia bakal kecoret juga.

Road trip sama Jeno!

Pergi berdua sama Jeno, di negara di mana nggak akan terlalu banyak orang yang kenal mereka, jalan dengan santai—hands intertwined—bikin hati Renjun nggak karuan.

Demi seluruh isi alam semesta, dia mau kalau harus menukar semua popularitas dan harta dia demi ini. Ini yang dia mau.

Mereka masuk-masukin koper dibantu sama Manager Park yang nggak henti-hentinya minta Jeno buat selalu ngabarin dia kalau ada apa-apa, termasuk selama tujuh jam perjalanan dari London ke Paris nanti. Dia khawatir banget, soalnya ini baru kali pertama kan Jeno nyetir di luar negeri. Mana nggak bisa tandeman sama Renjun soalnya Renjun nggak punya license buat nyetir mobil setir kanan.

Jeno sih janji buat nyetir dengan santai dan ati-ati. Toh, acara sama brand ke fashion week juga baru akan dimulai besok malem. Masih ada banyak waktu buat istirahat.

Jeno jalanin mobil untuk meninggalkan jalanan sempit Soho waktu suara merdu Ariana ngisi void di antara pagi berembun downtown London yang dibelah sama mobil yang ternyata dipinjam Jeno dari mantan mahasiswa ayahnya yang sekarang tinggal di London. Jalan dengan tempo santai begini, Jeno di sampingnya, lagu kesukaan mereka diputer berurutan, dan aroma kopi hangat, cukup bikin Renjun ngerasain bahagia luar biasa.

Seumur hidup juga dia nggak pernah kepikiran akan ada di titik ini sama Jeno.

Jalanan ramai downtown berubah jadi pemandangan hutan dengan daun menghijau menyambut musim panas, tiba-tiba berubah jadi hamparan rumput luas berbukit-bukit dengan segerombolan domba di kejauhan, tiba-tiba berganti sama barisan truk kontainer yang jalan pelan masuk ke tunnel. Di ujung Folkstone.

Begitu cahaya matahari hangat di daratan Eropa menyapa mereka, Renjun—as the other people would probably do—langsung keluarin handphone dan kamera yang sengaja dia bawa untuk mengabadikan momen kali pertamanya menghirup segar udara sisi utara Eropa.

Sepanjang jalan, nggak ada ceritanya mereka diam. Suara ketawa rendah sampai melengking pun akrab banget sama mereka. Semua hal bisa mereka ketawain, semua hal bisa bikin mereka bahagia. Mereka beneran merasa kayak orang normal sekarang. Kayak orang-orang yang lagi seneng-senengnya menghabiskan waktu berharga sama orang yang paling mereka sayangi.

Mereka ambil banyak foto, mereka putar banyak lagu, mereka record banyak video. Sebanyak mungkin mereka coba buat kenangan mumpung lagi berdua dan nggak ada yang ganggu begini. Oh, mereka bahkan pamer ke dua sisi orang tua kalau mereka lagi pacaran di Eropa!

Papa Jeno tentu jadi sosok yang paling berjasa di sini, Pak Dosen dengan seabrek koneksi dan pengetahuannya. Renjun bersyukur banget karena beliau sebegini suportifnya sama hubungan mereka.

Nggak beda jauh, kedua orangtuanya pun juga sebegitu senangnya waktu denger akhirnya Jeno sama Renjun punya kesempatan buat healing berdua kayak gini. Mereka jelas udah sering denger keluhan Renjun, anaknya itu terbuka banget soal rasa sebelnya nggak bisa pacaran sama Jeno karena schedule yang nggak pernah match.

Intinya, semua orang senang sama keadaan mereka sekarang.

Sampai ketika jam digital mau beranjak ke angka tujuh di malam hari, akhirnya mereka sampai di kota yang katanya jadi simbol rasa cinta manusia. Kota yang paling romantis kabarnya.

Ini bukan kali pertama sih Renjun menginjakkan kaki di Paris, tapi … kali ini spesial soalnya dia bisa gandeng tangan Jeno dengan sangat natural, tanpa takut apa-apa, tanpa takut dapet tatapan menelisik yang mengerikan dari orang.

Check in hotel berjalan mulus. Nggak ada kendala bahasa karena Jeno udah jaaauuuhhhh lebih percaya diri dibandingkan Jeno beberapa tahun lalu. Semakin dia dewasa, kayaknya makin banyak pelajaran yang dia dapat dari prosesnya bersosialisasi sama orang dari berbagai kalangan itu.

Suite mereka beneran dipisah. Jeno pakai kamar yang lebih lebar, memang khusus dipesankan sama brand. On the other hand, Renjun ada di kamar sebelahnya. Cuma berisi satu king-sized bed, walk-in closet yang nggak terlalu lebar, dan kamar mandi marmer mewah yang selama ini seringnya cuma jadi angan buat dia.

Satu hal lagi yang bikin Renjun seolah dibawa naik ke langit ke tujuh. Invitation buat makan malam yang sengaja Jeno buat di luar complimentary brand untuk dia. Makan malam privat dengan view kerlip Eiffel dan romantisnya Paris malam ini. A cherry on top.

Renjun benar dibikin terkesima sama apa yang coba Jeno bawa ke hidupnya sekarang. If it’s not him, Renjun nggak tahu lagi apa mungkin dia akan ngerasain naik turun kehidupan seindah ini. Kalau bukan Jeno, apa mungkin dia bisa sejatuh ini?

Belum sempat dia sadar sepenuhnya dari lamunan, Jeno udah datang dari pintu utama dan peluk Renjun dari belakang.

Friksi sentuhan jari-jari panjang Jeno, bersambut dengan kecupan ringan Jeno di leher lengket dan daun telinganya seolah jadi cue untuk dia pasrah malam ini.

Jatuh dan pasrah, dua kata yang bisajadi berkesinambungan di sini, mengingat sinyal tubuh Renjun yang sering terlalu lemah kalau soal Jeno.

Kalau soal sentuhan dan kecupan Jeno di tempat yang tepat.

Kalau soal bagaimana rintihan nikmat dia berbaur sama kecipak basah bibir Jeno di permukaan kulitnya, juga bisikan sensual Jeno memuji tiap lekuk tubuhnya.

Kalau soal bagaimana piawainya si laki-laki pengambil hatinya, ikut serta mengambil kewarasannya kala matanya sudah memutih terlalu banyak akibat kewalahan menerima rangsang nikmat.

Soal semua itu, Renjun kelewat rela.