...and you started it

Pena berwarna biru sudah ada di tangan kanannya. Senyum terkembang mengawali bubuhan tinta pertama di atas kertas kosong berwarna kekuningan.

Hi Abby,

Aku menulis surat ini karena ingat kamu pernah janji kalau aku boleh cerita apapun ke kamu.

Suara batuk seseorang di belakangnya membuat sedikit berjingkat, memalingkan kepalanya dari kertas, melihat laki-laki tersayangnya masih tidur di atas tempat tidur cukup buatnya lega. Senyum tipis terkembang lagi di bibirnya sebelum melanjutkan tulisannya.

Abby, aku sudah bertemu lagi dengan dia. Empat bulan terakhir terasa sangat singkat dan menyenangkan. Benar katamu Abe, dia laki-laki yang begitu menakjubkan!

Angannya berlayar ke memori empat bulan lalu di saat pergantian tahun datang. Saat musim dingin membuatnya hampir mati kedinginan di hari-hari sendirinya datang dan pergi ke pasar natal. Meski bajunya sudah berlapis-lapis, rasanya tetap saja dingin itu masih menusuk-nusuk tanpa ampun. Kalau saja suaminya tidak egois terus-terusan melakukan pelayanan pasca natal, dia bisa pergi mencari coklat-coklat dan manisan favoritnya dengan menumpang Chevy milik suaminya. Sayangnya, tidak semua hal berjalan sesuai keinginannya.

Di tengah keadaan yang tidak pernah kubayangkan, aku bertemu lagi dengan dia, Abby. Padahal aku pikir dia sudah tidak mengenaliku, ternyata masih. Dan masih begitu hangat juga seperti saat kami masih hidup bersama di Seoul.

Memang tidak terbayangkan buat dia kok. Tempatnya berdiri sore itu sungguh jauh dari Seoul—tempat mereka bertemu dan merajut mimpi belasan tahun. Kampung halaman suaminya, bayangkan. Tempat yang hampir tidak mungkin dikunjungi oleh orang-orang Asia Timur untuk menghabiskan waktu luang di puncak musim dingin. Anehnya, mereka dipertemukan di sana, di ujung sore menjelang matahari terbenam.

Aku kira dia juga akan marah, Abby. Marah karena perlakuanku di masa lalu ke dia yang jauh dari kata baik. Ternyata dia sama sekali tidak marah! Dia malah peluk aku dan langsung ajak aku minum teh. Padahal aku tahu sebenarnya dia lebih suka minum kopi tanpa gula. (Lagipula siapa orang gila yang mau minum teh di sore hari musim dingin?)

Kejadiannya begitu cepat, begitu singkat. Tapi sepertinya rasa sakitnya akan sulit ditoleransi dan hilang dalam hitungan bulan. Bahkan dia masih merasa tidak nyaman setelah hampir sembilan tahun berlalu dan baru bertemu lagi. Rasanya ... tidak adil bersikap biasa-biasa saja pasca meninggalkan seseorang setelah lantang dia mengucap kalau dia sayang. Tapi mau dikata apa? Faktanya di masa itu memang hidup mereka dan respon lingkungan tidak bisa sebaik sekarang. Kalau dipaksakan, bisa-bisa mereka makin terpuruk. Untungnya pertemuan sore itu—yang begitu mendebarkan—tidak melibatkan dendam dan rasa benci yang repot-repot dibawa dari masa lalu. Hanya keinginan untuk memperbaiki apa yang seharusnya berjalan dengan baik.

Seymour selepas sore itu entah mengapa jadi terasa hangat, Abby. Padahal biasanya tidak begitu, meksipun suamiku sering mengatur perapian rumah kami dengan baik. Titik baliknya hari itu. Rumah–secara harfiah masih terasa sangat dingin akibat suhu udara yang terus-terusan menurun, tapi di sisi lain, udara di luar rumah terasa menghangat. Aku jadi lebih sering berada di luar rumah. Suamiku heran.

Memang begitu faktanya. Seolah semua kejadian yang pernah dia lakukan di Seoul saat berada di masa muda kembali diulang. Begitu luar biasa dan bisa dinikmati. Padahal selepas pernikahannya sembilan tahun lalu, dia seolah tidak punya banyak energi untuk pergi keluar dan bersosialisasi. Temannya di rumah hanya tanaman merambat yang ia besarkan di taman belakang, atau tupai-tupai liar yang suka sekali mengganggu yoga paginya saat musim semi dan musim gugur. Tapi sekarang? Ia malah begitu menikmati kegiatan pagi-siang-sore di luar rumah. Pergi belanja, ke pasar bunga berjam-jam, memasak ikan di pinggir danau di awal musim semi, bahkan menyelesaikan beberapa set alat makan keramik di pondok kerajinan tangan sepi milik nenek-nenek tukang marah tepian Seymour. Sesuatu yang sangat jauh dari bayangannya selama sembilan tahun terakhir usia pernikahannya.

Selama tinggal di Seymour, semua orang mengenalku dan suamiku dengan baik. Ketika akhirnya aku lebih sering berada di luar rumah tanpa suamiku, mereka jadi heran. Beberapa malah lancang menanyakan perihal ini semua ke suamiku. Untung saja suamiku tidak banyak protes. Dia tahu betul kalau aku tidak akan pergi dari dia.

Ada banyak alasan untuk cemburu sebenarnya. Apalagi mereka pernah hidup bersama selama belasan tahun. Ditambah fakta bahwa dia pernah begitu jatuh cinta pada laki-laki yang akhirnya kembali setelah sembilan tahun. Terlalu naif kalau kita percaya bahwa cintanya sudah benar-benar hilang. Pesonanya, kehangatan berbeda yang pasti masih ada, dan kebiasaan lama yang belum berubah jadi nilai tambah dari risiko terburuk kembalinya mereka jadi satu pasca pertemuan di pasar natal.

Meski sekarang aku jadi cukup merasa bersalah pada suamiku, sih. Karena beberapa hari terakhir aku merasa sedikit terlalu menikmati kehadiran dia ketimbang kehadiran suamiku sendiri. Aku terlalu suka genggaman tangannya yang dingin itu, apalagi ciuman manisnya kalau kami akan berpisah di malam hari.

Entahlah itu termasuk kesalahan fatal atau tidak. Tapi dia mulai merasa presensi lelaki dari masa lalu ini semakin bisa ia nikmati. Tidak bisa dipungkiri, sembilan tahun jadi waktu yang cukup lama untuk mengembalikan debaran jantung yang suka berlebihan dan kurang ajar kalau mereka sudah kembali bergandengan tangan begini. Telapak tangannya masih sama nyamannya, lebih-lebih sekarang ia tidak harus takut dipersekusi orang-orang jahat ketika menggenggamnya. Debaran jantungnya juga terasa sama seperti saat ciuman tidak sengaja mereka berdua terjadi hampir dua puluh tahun lalu di kasur sempit asrama tinggal mereka. Bedanya, ciuman kali ini disengaja oleh mereka di tepian danau selepas mereka berendam sore.

Aku ingin kembali bersama dia, Abby. Bukan karena tiba-tiba menemukan kenyamanan yang pernah hilang sebelumnya. Tapi karena aku merasa masa laluku belum selesai. Toh, aku rasa suamiku akan baik-baik saja tanpa aku. Dia kan sudah begitu taat dengan Sang Pencipta. Dia pasti hanya akan menganggap ini cobaan dan kemudian pasrah saja.

Angan-angannya sudah dipenuhi guratan warna-warna pastel di masa depan. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hidup akan begitu bahagia jika ia memilih untuk melanjutkannya dengan orang yang tepat menurutnya. Bukan orang yang pernah mengulurkan tangan saat ia benar-benar ada di posisi terendahnya. Ia begitu terbuai dengan ingatan masa lalu–cinta yang menggebu pada seseorang yang ia temui di Seoul saat masih begitu belia. Tidak salah kalau cinta pertama sulit dikalahkan. Semuanya fakta. Apalagi kalau cinta pertamanya kembali dan terus-terusan menawarkan kehangatan yang sama seperti di saat-saat mereka remaja. Tiap pagi selalu akan ada rasa membuncah, ingin bertemu, ingin menghabiskan waktu berdua sepanjang hari sambil merasakan adrenalin berpacu.

Menurutmu aku jahat tidak ya, Abby?

Sebetulnya, dia sudah tahu jawabannya. Apalagi ketika bibir merah yang tadi pagi ia pakai untuk mencium suaminya kembali ia pakai lagi untuk mencium laki-laki pujaan hatinya malam tadi. Sebelum pergumulan intim mereka membuatnya nyaris gila.

Beri aku kabar jika kamu kembali ke Seymour.

Dengan penuh cinta, Renjun.