Ayah dan Papa
“Ayo, makan dulu.” Renjun buka suara ketika Chenle masih asik duduk di lantai dan mencoret-coret workbook-nya.
Selepas pulang graduation ceremony, Chenle bukannya langsung istirahat atau main game kayak biasanya. Tapi udah siap aja keluarin workbook dan mulai nanya-nanya materi yang dia nggak ngerti ke Jeno. Jeno juga masih sabar banget ngeladenin anaknya dari tadi. Meskipun dia sesekali jalan ke dapur buat ambil cemilan—sekaligus curi ciuman dari pipi Renjun—tanpa sepengetahuan Chenle.
“Makan dulu, nak. Itu kasian Jeno dia juga mau makan siang.”
Chenle menyerah, menaruh pensil kayunya dengan suara agak keras saat dibanting ke meja. Ia lalu meniup poninya yang sudah memanjang dan berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Jeno mengikuti di belakangnya setelah membersihkan meja dari crumbs kue-kue kecil yang ia makan sambil mengajari Chenle belajar.
Renjun tidak tahu sih kesepakatan macam apa yang dibuat oleh Chenle dan Jeno saat mengambil makanan di dapur, tapi ketika Sungchan bilang, “heh udah gede makan sendiri dong.” Renjun langsung paham kalau pasti Chenle merayu Jeno supaya mereka makan sepiring berdua. Dengan Chenle yang akan disuapi Jeno tentu saja.
Renjun cuma bisa mengulum senyum. Anaknya ini bener-bener mirip dia. Bucinnya ke Jeno itu loh, udah nggak masuk akal. Padahal hitungan kasarnya, mereka baru empat bulan hidup bersama.
Aktivitas berikutnya antara Chenle dan Jeno sukses buat hati dan mata Renjun memanas. Jeno duduk di samping Chenle, berada di sisi lain meja dengan sepiring penuh makanan Asia buatannya—dan beberapa lagi hasil take away dari restoran Chinese di dekat dowtown. Chenle masih membuka workbook di tempatnya, tangannya juga sudah memegang pensil lagi, mencoret-coret kertas buram berisi soal matematika untuk anak-anak ilmu sains. Jeno sesekali menyuapkan makanan ke mulut Chenle, menyeka ujung bibir anaknya dengan tisu, lalu menyuapkan sesendok juga ke mulutnya. Sesekali berbicara dengan nada rendah penuh rasa sayang kalau Chenle punya pertanyaan tentang apa yang dikerjakannya.
Renjun jadi menyesal kenapa nggak menghadirkan Jeno sedari dulu padahal dia mampu. Kalau aja dulu dia bawa Jeno masuk lebih awal ke hidup Chenle, pasti anaknya akan punya perkembangan yang lebih baik. Selama SD mungkin Chenle akan selalu didampingi Ayah untuk belajar. Bukan Renjun yang bahkan tidak bisa jelaskan dengan gamblang mengapa pasir pantai berwarna putih, mengapa langit warnanya biru, bahkan mengapa gravitasi bumi itu ada.
Tapi kalau kata Jeno semalam sebelumnya, semua terjadi karena satu dan lain hal. Mungkin menyatunya Jeno dan Chenle saat Chenle sudah agak lebih besar begini akan bawa banyak kebaikan ketimbang keburukan. Jelas Chenle akan lebih bisa menerima keadaan dia ketika dia sudah bisa berpikir dengan logis, dan di usia saat ini sepertinya adalah usia ideal untuk dia bisa menerima itu.
Acara makan siang yang cukup mengharukan untuk Renjun itu diakhiri dengan Chenle yang minta secara khusus diantar oleh Jeno ke flatnya, setelah pemaksaan berantai dari Renjun yang bilang kalau dia nggak seharusnya merepotkan Jeno dengan berniat menginap di rumah ini sampai besok. Bahkan dia lebih peduli sama Jeno makan apa malam ini ketimbang dirinya sendiri, lucu banget anak tunggal satu ini.
Jam empat sore, Jeno sudah kembali dari mengantarkan Chenle ke flat. Kembali ke rumahnya—sebetulnya sih rumah Renjun ya untuk masa retirement mereka berdua—dan mendapati Sungchan baru saja mengeluarkan mobil operasionalnya dari carport. Artinya, dia dan Renjun di rumah berdua malam ini. Mungkin Sungchan akan jemput besok pagi-pagi sekali.
Renjun sedang menyaksikan acara TV sore sembari mengerjakan sesuatu dengan iPadnya. Langit di luar sudah cukup mendung, sebenarnya sudah jadi hal yang biasa di Inggris raya.
“Jaemin jadi berkunjung? Tadi kan waktu di sekolah Chenle dia bilang mau mampir.” Tanya Jeno sesaat setelah turun dari lantai dua selepas mengganti bajunya.
“Enggak, dia basa-basi doang itu. Dia tahu kalau Chenle udah punya cowok favorit sekarang.”
Wah, Jeno jadi berpikir, cowok yang mana? Anaknya udah punya pacar ya?
“Hah? Siapa? Dia punya pacar?” Jeno serius menatap Renjun yang perlahan mengulum senyumnya.
“Ya kamu lah favoritnya sekarang. Liat tuh tadi, di acara graduation juga maunya bunga-bunga yang dikasih temennya dibawain sama kamu, foto di depan photobooth juga maunya sama kamu dulu baru aku, di mobil juga maunya duduk di depan sebelah kamu, makan siang juga disuapin tuh sama ayah tercinta.”
Jeno curi kecupan di bibir Renjun yang mulai manyun selepas cerita berapi-api soal anaknya yang kelewat bucin ke dia. Benar kata Renjun, Chenle itu dia banget.
“Jangan cemburu sama anak sendiri.” Bisiknya sambil tertawa.
Renjun letakkan iPad miliknya di meja kaca seberang sofa yang ia duduki. Meregangkan badannya yang agak sedikit remuk karena banyak kegiatan selama seminggu terakhir, lalu menyandarkan tubuhnya ke bahu lebar Jeno yang secara natural memeluk bahunya juga tiba-tiba.
“Nggak nyangka,”
“Apa?”
“Anak kita udah besar.”
Jeno terkekeh dengar jawaban Renjun. Kalau boleh bilang sih, dia lebih nggak nyangka lagi akan ada di titik di mana dia akhirnya bisa duduk di sofa begini sama Renjun, dan bicara soal anak mereka. Jeno di masa-masa gelap itu tidak mungkin berani berpikir seperti ini. Yang ada malah kekhawatiran tidak berujung soal anaknya yang mungkin saja meninggal sebelum lahir, Renjun yang sama sekali tidak ingin melihatnya lagi, atau yang terburuk justru dia harus mengakhiri hidupnya sebelum sempat bertemu Renjun dan bayi mereka lagi.
Tapi di sini dia sekarang. Setelah tujuh belas tahun berlalu, duduk bersama Renjun selepas mengantar anak mereka ke acara kelulusannya. Sebentar lagi mungkin akan mengantar mereka masuk ke kampus impiannya. Nggak terasa, benar kata Renjun, anak mereka tiba-tiba udah sebesar ini.
“Chenle pasti sekolahnya hebat sih nanti, nggak usah khawatir. Selama aku bisa di sekitar dia, aku akan jagain dia. Kamu fokus aja mengejar semuanya yang belum bisa kamu kejar selama ini.”
Renjun mengeratkan pelukannya pada perut Jeno, “semua udah aku punya. Aku udah nggak punya ambisi lagi kayaknya selepas turun dari jabatan. Takut banget jadi orang penting.”
“Kenapa nggak kamu aja yang kejar cita-cita kamu?” Lanjut Renjun bertanya pada Jeno.
Jeno terkekeh dan tersenyum miring setelahnya, sedikit merasa miris karena kejadian tujuh belas tahun yang lalu itu benar-benar buat dia harus mengubur dalam-dalam semua mimpinya.
Dia cuma tamat SMA, pekerjaan yang dia ambil juga kebanyakan kerja kasar, mau kuliah juga dia sudah nggak punya muka untuk ambil beasiswa karena beasiswa perlu surat rekomendasi, tapi sekolahnya sudah mengusir kasar Jeno dari daftar alumninya. Mau kuliah pakai biaya sendiri juga lebih nggak mungkin lagi. Terlalu mahal untuk dibiayai Jeno dan mamanya yang cuma kerja serabutan jadi pekerja lepas laundry hotel. Apalagi dia tidak bisa mematikan mimpi kakaknya yang sedang berjuang mencari beasiswa untuk belajar di luar negeri.
Mimpinya harus dikubur dalam, sama seperti rasa sayangnya ke Renjun dan anak mereka saat itu. Lagi-lagi semua karena keadaan.
“Mimpiku udah jadi kenyataan semua kok. Ada di sini sama kamu dan anak kita. That's it. Aku nggak pernah punya mimpi muluk-muluk.”
Air mata yang sedari tadi ditahan Jeno akhirnya jatuh juga. Hidupnya berat sejak dulu, jadi hatinya sangat mudah tersentuh dengan kebaikan kecil dan sederhana bagi orang lain seperti ini.
Iya kan? Bagi orang lain, mungkin berkumpul dengan keluarga utuh—partner hidup tersayang dan anak-anak—adalah kebahagiaan yang sederhana. Tapi bagi Jeno, justru hal ini jadi puncak kebahagiaan yang selalu ia bayangkan di malam-malam panjangnya selama tujuh belas tahun.
Jeno tidak pernah merasakan peluk hangat tangan besar ayah sejak kecil, cuma mama, kakak, dan paman yang buat dia merasa aman. Jadi, ketika ia sadar bahwa Chenle akan tumbuh jadi anak yang bernasib tidak jauh dari dirinya, ia punya janji yang selalu ingin segera ia wujudkan.
Jadi ayah terbaik untuk anaknya. Sesederhana apapun caranya, sekecil apapun usahanya, dan sesulit apapun rintangannya.
Beruntung Renjun selalu menaruh percaya pada Jeno. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa ada di titik ini?