“Dari banyak stats pun kita udah bisa lihat, Jeno, kalau revenue yang dihasilin sama CJ Trade itu bener-bener nggak bisa banyak berpartisipasi buat meningkatkan growth dari group performance secara keseluruhan.” si tua bangka itu masih ngeyel aja mojokin startup yang gue bangun dengan penuh jerih payah selama tujuh tahun terakhir.
Nggak ada yang belain gue. Mungkin mereka semua juga khawatir akan bernasib sama kayak gue sekarang. Diadili di depan seluruh board of director atas kesalahan yang seharusnya dibebankan buat semua—bukan cuma gue.
“Dari besaran angka MSAT pun kita bisa simpulkan kalau PT di bawah kamu itu belum bisa memenuhi ekspektasi manajemen. Jadi ya, kalau kita pertahankan bisa-bisa dalam empat-lima tahun ke depan, kita gulung tikar, Jeno.”
Dia masih sempet-sempetnya ketawa kenceng, dan bajingannya masih ada banyak orang yang ngikutin dia. Ngetawain gue.
“Mungkin saat Bu Marianne masih ada, kamu bebas diberi kesempatan untuk main-main sama aset Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu di sini. Tapi sekarang kamu harus wake up, Jeno. Investment bukan untuk main-main.”
Gue berusaha setegar mungkin, tapi nyatanya nggak bisa. Gue sangat marah ketika harga diri gue dan startup yang gue besarin pake blood, sweat, and tears diinjek-injek. Tapi gue lebih marah lagi ketika mereka dengan mulut kotornya bawa-bawa Mami ke sini.
Okelah, mungkin gue harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa Mami yang bikin gue bisa dapet suntikan funding dari banyak source kayak sekarang. Tapi, bukan berarti dengan itu, semua usaha gue seakan didiskreditkan kayak gini.
Gue nggak setegar itu. Gue nangis. Di depan ratusan pasang mata yang seolah merayakan kematian Mami dan jatuhnya anak kecil ingusan yang diberi nama Jeno sama seorang Marianne—tiga puluh tahun lalu. Anak yang nggak pernah diinginkan untuk hadir di tengah-tengah keluarga Lee.
“Oke untuk mempersingkat waktu, Ber, please. You can help us with the voting.”
Gue usap air mata di pipi gue. Ngerasa konyol karena Jeno Lee nggak seharusnya nangis di sini. Kayak anak kecil aja.
Bernadetta takut-takut waktu nyerahin sepotong kertas buat gue. Dia cuma nunduk, mungkin ngerasa simpatik karena anak ingusan ini bentar lagi akan step down dari kursinya yang jadi inceran banyak orang.
“Oh iya, disclaimer. Apapun hasilnya, kita akan langsung bahas hari ini, ya. Susah sekali lho mengumpulkan board of directors kita di satu waktu kayak gini.”
As expected, kelakar salah satu adik kandung Mami itu ditanggapi tawa jenaka orang-orang lain di sini.
Semua orang keliatan khusyuk waktu ngisi pilihan mereka. Padahal mereka cuma perlu milih 'Yes' atau 'No'.
Untuk apa? Untuk menyetujui notion penggantian executives dari CJ Trade. Atau sederhananya, buang jauh Jeno Lee dari CJ Trade.
Bernadetta dan Raisa lagi sibuk ngumpulin semua jawaban anggota meeting. Sibuk juga ngitung hasil dan berusaha secepat mungkin sajiin hasilnya di monitor besar yang ada di tengah ruangan. Sementara semua orang di ruangan ini lagi nikmatin coffee break sepuluh menit mereka.
Tentunya tanpa gue yang nggak bergeming dari tempat duduk.
Sepuluh menit kemudian, Bernadetta ambil alih meeting ini. Suaranya kedengeran bergetar waktu nyampein hasil dari voting orang-orang ini.
Seperti dugaan gue. Persis.
Dari total enam puluh tujuh orang yang terlibat dalam voting, enam puluh satu orang setuju gue turun dari posisi ini, tiga orang tidak mengisi, dan dua orang lainnya memilih tidak setuju.
Gue yakin, dua orang itu cuma gue dan Om Yos—ayahnya Johnny yang nggak mungkin mengkhianati Mami segamblang itu.
I thanked him for his lifetime dedication.
Semua orang pura-pura sedih, padahal gue tau ada pesta besar yang nunggu mereka di Penang setelah ini.
“Oke, berarti keputusannya udah final ya. Ada yang keberatan?” gue tahu jelas, dia nggak nanya ke orang-orang yang ada di sini, tapi ke gue. Well, gue nggak mau buang tenaga untuk membela diri karena gue kalah jumlah.
“Jaemin.” oh iya, sahabat gue ada di sini juga, by the way. Duduk di sisi kanan ruangan bareng sama suami dan ayah mertuanya.
“Yes, sir?”
Suara tawa penuh kemenangan bisa gue denger dari si pemimpin rapat. Jijik.
“This is gonna be a wild ride. Jangan lupa segera atur meeting ya sama Nata Bank, your father up there will be sooo proud of you.”
Good for him. Good for him.
Dia berhasil mencapai salah satu tujuan hidup dia. Bikin Papanya bangga.
Beda sama gue yang cuma bisa bikin Mami malu meskipun dia cuma tinggal nama.