Dari Konser ke Konser
Malik itu sebenarnya pintar. Tapi, di kondisi tertentu, kadang aktivasi neuron otaknya memang agak lambat. In other words, iya dia lemot :)
Sejak awal tahun waktu Om Bara kasih dia informasi soal kemungkinan mampirnya Bono and friends ke negara tetangga untuk mengadakan konser memperingati empat puluh tahun(?) karir mereka di belantika musik, Malik udah ancang-ancang, tuh. Dia udah niat dari dasar hati buat bayarin seluruh rangkaian tur dia dan Om Bara ke Singapura. Tanpa mempertimbangkan kalo standar Om Bara dan standar dia itu beda.
Mari kita mulai dengan hal paling basic, pesawat. Kalau mindset anak seumuran Malik, naik pesawat ke Singapura dari Jakarta yang cuma perlu waktu sejam lebih dikit, nggak perlu tuh habisin uang banyak. Low-fare udah cukup. Akhirnya pesanlah dia dua tiket ekonomi pesawat low-fare yang terkenal suka delay dan kursinya bau apek itu. Alhasil, Om Bara agak mengernyitkan dahi waktu sadar kalau mereka lagi nunggu pesawat di gate yang bukan biasanya. Mind you, Om Bara ini salah satu anggota PPS Club. Dan Malik nggak tahu :)
Om Bara sih kelihatan fine aja ya selama perjalanan. Malik juga nggak sadar. Menurut dia, ya jalan berdua bareng pacar naik ekonomi tuh amat sangat wajar. Apalagi buat penerbangan jarak pendek begini.
Hal paling lucu berikutnya, transportasi dari airport ke hotel. Malik itu baru tiga kali ke Singapura. Dan sebagai kaum mendang-mending, Malik nggak mau habisin duit tiga puluh dolar untuk naik taksi dari Changi ke area dekat Raffles. Karena public transportnya udah sangat bagus di luar nalar, Malik memilih ajak Om Bara seret-seret koper naik bus goyang-goyang dari terminal 4 ke terminal 1, lalu lanjut naik kereta bawah tanah ke downtown. Om Bara senyum, senyum doang. Meski dalam hati mikir kalo dia lagi dikerjain sama Malik. Biasanya dia dijemput Rolls Royce padahal :)
Kebadutan Malik belum berhenti di sana, kawan-kawan. Kalau tadi Malik pilih lokasi hotel di sekitaran downtown, jangan harap mereka akan masuk lobi Mandarin Oriental, atau Fullerton yang dari luar kayak kerajaan, dan mungkin Ritz-Carlton yang rate semalamnya setara sama uang semesteran Malik. Dia masih ngajakin Bara geret-geret koper di tengah terik panas-lembab Singapura untuk jalan ke ... hostel.
Kamarnya lumayan—lumayan sempit maksudnya, bedsheetnya agak bau apek, plus kamar mandinya nggak ada bidet. Tapi saking capeknya Bara, akhirnya dia bisa tidur pulas siang itu. Bikin Malik gede rasa, ngiranya si Bara tidur nyenyak karena nyaman. Malik seneng.
Sorenya, mereka jalan-jalan kayak manusia normal keliling tempat-tempat turis yang sebenernya cukup bosenin buat Bara. Tapi karena Malik matanya terus-terusan berbinar waktu liat kerlip lampu malem ini, Bara jadi nggak tega kalau mau menginterupsi. Jadinya Bara cuma bisa gandeng erat tangan Malik dan fotoin dia dengan sangat penuh effort tiap kali Malik minta. Meskipun jiwanya udah pengen aja lari ke Marqueé dan mabok sampe pagi. Rutinitasnya dulu waktu masih jadi backburner.
Long story short, mereka akhirnya jalan berdua untuk menjemput ritual agung dalam hidup Bara selama puluhan tahun ia hidup di dunia: nonton Bono dan teman-temannya menghidupkan jiwa mudanya lagi.
Belum juga sampai di dalam stadion, seluruh bulu kuduk Bara merinding. Nggak sanggup nahan haru dan deg-degan waktu sayup-sayup bisa dia dengar intro ikonik dari Where The Streets Have No Name yang ditulis Bono sebagai bagian dari the almighty Joshua Tree. Soal cinta dan kedamaian—yang boleh jadi sangat disyukuri oleh Bara karena sekarang dua hal tersebut akrab dengannya. Lebih-lebih dengan kehadiran Malik yang begitu manja di sampingnya. Bayi besar Bara.
Berpikir soal Malik, Bara seolah dibawa menjelajahi kotak kehidupan baru yang asing untuknya. Malik punya pemikiran dan perspektif sederhana soal hidup, mungkin faktor usia. Dan buat Bara, hal-hal yang terjadi sejak kemarin jadi bukti konkret betapa ia dan Malik punya kesenjangan besar sekali dalam menjalani hidup.
Tapi justru karena itu, banyak hal bisa dia petik: Malik tulus ingin buat dia bahagia. Tanpa berharap macam-macam. Dan definisi bahagia Malik juga sederhana, polos, tapi sarat dengan ketulusan.
Malam itu, riuh teriakan penonton nyanyikan With Or Without You jadi penutup rangkaian paling sakral dalam hidup Bara. Yang sepertinya terlalu indah. Karena belasan kali ia ikuti langkah Bono, 'nyawa' lagu dari tangan jenius The Edge, hingga isian bass yang jadi penyempurna dan begitu eksepsional dari Adam Clayton seolah makin sempurna dengan hadirnya Malik yang matanya begitu berbinar saat berada di pelukannya—menatap panggung penuh haru meski lagunya begitu asing di telinga.
Bara begitu berterima kasih pada Malik, soal apapun bentuk kebahagiaan yang coba ia bagi pada Bara. Dalam ketidaksempurnaan rencana Malik, Bara ingin sempurnakan semuanya.
Malik tertawa geli waktu Bara sudah memeluk badan telanjangnya—skin to skin—menjelang pagi di atas kasur yang jauh lebih nyaman dan dingin—merasa bodoh karena tidak cukup pandai menyesuaikan diri dengan Bara. Terlepas dari sudah hampir dua tahun mereka bersama.
Untungnya sih, Bara kelewat peka dan terlampau baik hati, ya. Kalau bukan Bara, mana mungkin mereka bisa bergelung dalam selimut wangi dan mahal kamar hotel di lantai teratas—langsung memandang kerlip lampu Marina Bay.