Epilog
Pukul lima pagi, alarm kamar hotel membangunkan Renjun dari tidur tiga jam-nya. Matanya langsung cerah seketika waktu ingat kalau mungkin saja anak bungsunya sudah menunggu teleponnya.
Renjun buru-buru mencuci muka dan gosok gigi sebentar, sebelum beranjak menyalakan water heater untuk menyeduh teh paginya. Tangan kanannya sibuk menggulirkan chatroom di handphone, bermaksud mencari kontak Jeremy. Padahal, seharusnya dia bisa langsung mencari nama anaknya dan menekan tombol telepon. Tapi ya maklum, namanya juga masih linglung selepas bangun tidur.
Kurang lebih enam panggilan ia lakukan ke nomor Jeremy, tidak ada satupun yang diangkat pagi itu. Renjun pikir, mungkin Jerry akhirnya tidur lagi setelah kembali dari mengantarkan sarapan ke teman-temannya di camp site.
Renjun masih begitu gigih melayangkan panggilan ke nomor Jeremy. Juga pesan singkat supaya anaknya lekas menghubungi ketika sudah bangun atau sudah selesai melakukan apapun kegiatannya kala itu. Tapi hampir dua jam berjalan, tidak ada jawaban pasti dari anaknya itu.
Selepas mengaplikasikan tabir surya ke wajahnya dan mengepak barang-barang yang akan ia bawa ke lokasi wawancara pagi ini, Renjun punya ide cemerlang untuk menanyakan keberadaan Jerry pada anak pertama—juga mantan suaminya.
Baru saja Renjun hendak pergi ke lokasi wawancara dengan taksi, kepalanya pening karena satu gelembung pesan dari Jeno yang berkata bahwa Jerry jatuh, dan kemungkinan mengalami fraktur kaki sesaat setelah kecelakaan kecil di trek bukit.
Tanpa pikir panjang, perjalanan pagi itu yang seharusnya hanya perlu memakan waktu lima belas menit di ibu kota Polandia, harus berubah jadi perjalanan lima belas jam dari Warsawa ke Jakarta. Renjun pulang.
Mungkin orang-orang akan lantang mengglorifikasi kalimat ini, 'jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri' ketika ada suatu hal buruk terjadi dan penyebabnya adalah sesuatu yang secara logika berada di luar kendali diri kita. Tapi, Renjun berbeda. Sejak usianya belia, dia sudah terlalu akrab dengan usaha menyalahkan diri sendiri dalam hal apapun.
Kegagalannya masuk sekolah favorit, kurangnya rasa percaya diri saat SMA, perjodohannya dengan Jeno, pernikahannya yang akhirnya kandas, sampai rasa bersalah tidak berujung tiap melihat Jerry dan Calvin seolah merindukan hari-hari saat mereka bersama.
Tidak terkecuali hari ini saat melihat Jeremy tertidur lelap dengan penopang kaki terlilit di kaki kanannya. Wajahnya—untung saja—tidak terluka. Begitu pun bagian tubuh lainnya yang bersih dari luka.
Menurutnya, kesalahan terbesar yang buat Jeremy sampai begini adalah kepergiannya ke Eropa untuk liputan konferensi eksklusif tahun ini saat anaknya berada di masa liburan, dan fakta bahwa ia begitu ambisius mengejar sesuatu yang tidak nampak arahnya di depan sana—sampai-sampai sedikit melupakan Jerry dan Calvin yang masih butuh presensinya.
“Jadi gimana ceritanya?” tanya Renjun dengan nada bicara selembut mungkin pada Calvin dan seorang anak laki-laki tinggi—Shane, teman sekelas Calvin—yang sekarang sedang duduk melingkar di ruang tengah rumah lamanya—rumah Jeno sekarang.
“Maaf, Pa...” Calvin buka suara dan menatap Renjun takut dari ujung matanya. Shane di seberangnya hanya diam menunduk, karena merasa belum waktunya untuk angkat bicara.
“Gimana?”
“Sebetulnya Jerry nggak ada acara sama klub astronomi.” Suara Calvin melirih, membuat Renjun sedikit tertegun meski sudah punya firasat ini sejak awal. Praduganya separuh benar. Karena jika mereka datang ke Lembang untuk acara ekskul, pasti ada surat khusus yang ditujukan ke orang tua atau setidaknya guru pembina eksul akan memberikan pesan ke orang tua terkait agenda outing anak-anaknya. Tapi kala itu Renjun masih cukup percaya. Alasannya sangat sederhana, mantan suaminya ikut-ikutan memberi garansi kalau dia akan jaga Jerry.
Oke ... sampai di sini, sepertinya Renjun tahu siapa yang harus diberi pelajaran setelah ini.
“Jadi, Jerry pergi sama siapa dan dalam rangka apa kemarin?” Tembak Renjun tegas, berharap dua anak laki-laki ini memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya.
Shane tiba-tiba mengangkat kepala untuk menatap Renjun, tersirat sedikit rasa takut di matanya, “Om maaf, sebenernya Jerry itu pergi sama saya. Saya yang ajak Jerry ke Lembang untuk camping sekaligus mau—” Shane tiba-tiba diam, melirik Calvin dari ekor matanya yang seolah keberadaannya sama sekali tidak membantu di sana. Harusnya, Calvin pastiin supaya papanya nggak menatap Shane sebegininya. Jujur, Shane merasa diintimidasi dengan tatapan menelisik dari Om Renjun.
“Mau apa, Shane?”
“Mau lihat langit pakai teropong bintang dan saya juga ma—”
“Guys, pesenan ayam kalian udah dateng. Tuh ditungguin sama abang delivery-nya di depan.” Jeno muncul dengan baju tanpa lengannya, masih berderai keringat akibat work out malamnya di private gym rumah ini. Renjun memberikan tatapan tajam ke Jeno seolah mantan suaminya itu baru saja kepergok selingkuh di depan matanya. Renjun marah banget, sih. Padahal Shane belum selesai cerita, tapi Jeno udah menginterupsi aja.
Selepas Calvin dan Shane pergi ke depan mengambil makanan, Jeno berlalu seolah tanpa dosa ke dapur. Sepertinya akan mengambil minum. Ngomong-ngomong soal minum, Renjun tiba-tiba merasa haus juga, sih. Jadi dia ikut beranjak ke dapur yang dulu akrab dengannya itu untuk mengambil air minum.
“Kalo mau makan, masak aja. Kamu kan belom makan sejak landing tadi sore, ini udah mau jam 7. Nanti diet kamu gagal kalo makannya kemaleman.”
Damn, Renjun mengutuk Jeno dalam hati. Bisa-bisanya dia masih inget diet routine Renjun padahal perceraian mereka sudah disahkan sejak lima tahun lalu?
Renjun berusaha menyembunyikan pipi serupa kepiting rebusnya sembari menandaskan segelas air dingin. Sekaligus berharap otaknya sedikit lebih waras untuk tidak lagi-lagi merasa terlena sama perangai Jeno yang kadang suka di luar nalar begini.
Selepas mengatakan itu, Jeno pergi. Sepertinya naik ke lantai dua untuk istirahat dan mandi. Anak-anak sedang ada di depan untuk makan ayam goreng pesanan mereka. Tersisa Renjun sendirian di dapur menatap interior dapur dengan pikiran yang begitu berkecamuk.
Dia khawatir soal Jerry, bagaimana ya setelah ini? Apa anaknya perlu waktu lama untuk recovery? Apa nanti mobilitasnya akan terganggu kalau sudah benar-benar sembuh? Dia akan baik-baik aja kan?
Lalu soal keberadaan Shane. Apakah anak ini bisa dipercaya? Masalahnya, Shane ini dekat dengan kedua anaknya, Calvin dan Jeremy. Kalau Shane punya kemungkinan untuk memberi pengaruh negatif, bukan tidak mungkin kan kedua anaknya akan terpengaruh secara bersamaan?
Kalau sudah agak pening begini, Renjun cuma punya dua obat paling mujarab. Memasak dan bersih-bersih.
Terlebih lagi, dapur rumah lamanya ini begitu berantakan. Mungkin secara visual bersih ya, karena setiap hari akan ada pembantu yang membersihkan semuanya. Tapi layout dan penataan barang, jauh di bawah standarnya. Banyak yang berubah dan tidak pantas dilihat selepas ia pergi dari rumah ini lima tahun lalu. Makanya, malam ini dia begitu lincah memindahkah dan menata ulang perabotan, alat masak, dan bahan makanan di seluruh bagian dapur. Tujuannya cuma biar hatinya puas setelah mencapai satu predikat “aesthetically pleasing”.
Acara bersih-bersih dapur tentu mendapat tatapan aneh dari anaknya, juga Jeno yang berkali-kali pindah dari dapur dan ruang tengah, berkacak pinggang menatap Renjun heran tapi tidak berani menginterupsi, lalu kembali duduk di sofa tengah sembari menatap Renjun heran. Begitu...
Lebih-lebih saat Renjun mulai mengeluarkan seluruh sayuran dan bahan makanan di kulkas untuk ia masak malam ini. Masakannya sederhana, lo mein dengan daging sapi. Tapi jelas dia tahu kalau makanan ini punya banyak makna, apalagi untuk laki-laki seumurannya yang sedang melamun menatapnya kosong di sofa ruang tengah.
“Makan.” Perintah Renjun pada Jeno yang masih tertegun melihat Renjun kembali unjuk kebolehan memasaknya di dapur yang pernah jadi saksi betapa mereka saling mencintai dulu.
Dan memangnya, siapa Jeno sampai-sampai dia berhak menolak? Tentu tidak ada penolakan, dia langsung bergegas mengambil garpu di dekat rak piring, lalu menikmati santapan lo mein dalam satu piring yang sama dengan Renjun.
Senyumnya jelas tidak bisa disembunyikan. Lima tahun berlalu, ini yang hilang dari hidupnya—makan apapun sepiring berdua dengan Renjun. Karena Renjun akan makan sedikit, dan tentu dia yang harus menandaskan semuanya—kalau tidak habis? Renjun merajuk, lah, mengatakan kalau Jeno tidak cinta dia lagi, tidak suka masakannya lagi. Sekarang sih, makannya masih sepiring berdua, tapi rajukan Renjun yang tidak ada.
“Shane itu suka Jerry.” Jeno memecah keheningan, sesaat setelah melihat Renjun selesai dengan acara makannya—kini beralih menatap Jeno yang meneguk air dingin dari gelas untuk kesekian kalinya selama makan.
“Oh ya?”
Jeno mengangguk, menyeka keringat di pelipisnya, lalu kembali menyuap potongan mie dari piring.
“Dia sebelum ajak Jerry ke Lembang udah sering pergi sama Jerry. That one guy yang pernah dilihat sama Jaemin keluar sama Jerry ya dia.” Lanjutnya.
Renjun mengernyit, “mereka udah pacaran?”
Gelengan Jeno jadi jawaban implisit kalau mereka memang belum pacaran, belum jadian, and to be exact, mungkin belum ada rencana ke sana, baru saling suka aja.
“Rencananya abis turun itu si Shane mau nembak Jerry. At least that's what I heard from Calvin.”
Jadi begitu, ya? Shane ini suka Jerry, Shane dan Jerry sudah kenal dan jalan bareng lumayan lama, lalu momentum melihat bintang kemarin seharusnya jadi hari anniversary mereka?
“Oh...” respon kering Renjun ditanggapi dengan kekehan oleh Jeno, tapi sambil berusaha menahan sesuatu sepertinya.
“Kamu ... huh ... merasa bersalah ... hah ... ya? Setelah ... huh ... being too hard to ... hah ... Shane?”
“Itu mie-nya kepedesan?” Alih-alih menjawab pertanyaan Jeno, Renjun malah beri Jeno pertanyaan lain di luar konteks.
“Masih bisa ... huh ... dimakan kok .... hah.”
Wajah Renjun bersemu panik, apalagi setelah melihat keringat besar-besar turun dari pelipis Jeno, juga wajahnya yang memerah, pun bibirnya yang sudah sangat merah.
Renjun hendak berdiri mengisikan air minum untuk Jeno ketika mantan suaminya itu tiba-tiba mengaduh, berdiri dari duduknya, lalu lari ke kamar mandi.
Mampus! Padahal rencana Renjun buat memberi pelajaran ke Jeno bukan lewat ini, tapi kenapa harus ada kejadian begini duluan sih?
Renjun kemudian terlihat mondar-mandir panik di depan kamar mandi menunggu Jeno selesai dengan urusannya. Tapi nampaknya benar, lo mein tadi terlalu pedas, karena setelah bermenit-menit dihabiskan Jeno duduk di atas kloset, ia keluar dengan wajah pucat pasi.
“Are you okay?” Bisik Renjun lirih sembari ragu-ragu menyentuh lengan telanjang Jeno. Dia khawatir benar, Jeno lemas dan pucat.
“Minum ... lemes ... banget.” Renjun tidak mau ambil risiko harus mengangkat badan Jeno yang sebesar ini ke atas kalau dia pingsan, makanya Renjun buru-buru memapah Jeno—mengesampingkan egonya—ke sofa terdekat dan membiarkan Jeno rebah di atas sofa.
Dia buru-buru ambilkan air untuk diminum dan mencari-cari tasnya untuk mengambil kotak obat berisi obat diare yang selalu dibawanya ke manapun. Jeno juga seakan langsung tahu dan menenggak pil itu saat Renjun menyodorkannya.
Namun, belum lepas lima menit Jeno mengumpulkan kekuatannya yang sudah nyaris habis untuk duduk bertaruh nyawa di atas kloset, perutnya kembali bereaksi dan memaksanya kembali masuk ke kamar mandi.
Renjun? Hanya bisa duduk cemas di sofa panjang itu sembari berharap semoga kalau Jeno pingsan di atas kloset, Calvin dan Shane masih bangun dan mendengar teriakannya dari lantai bawah.
Belasan menit kemudian, Jeno keluar dari kamar mandi dan kembali mengistirahatkan tubuhnya di sofa. Benar ya, buang air besar dalam kondisi abnormal begini benar-benar menyerap energinya habis tak bersisa.
Melihat Jeno yang begitu kesakitan, begitu lemas, dan begitu kehabisan energi membuat Renjun tiba-tiba meruntuhkan egonya untuk ambil posisi duduk memangku kaki Jeno yang setengah basah lalu dengan ragu hendak menyingkap kaus hitam yang menutupi badan Jeno—bermaksud membalurkan minyak angin, seperti bagaimana dia memperlakukan Jeno dan kedua anaknya tiap mereka sakit perut, dulu ya.
Jeno memejamkan matanya, sama sekali tidak cukup aware dengan apa yang terjadi di sekeliling. Cuma ingin merasakan dirinya sendiri sekarang, yang harus menanggung sakit perut akibat sepiring lo mein kelewat pedas buatan Renjun.
Perlu waktu bermenit-menit untuk Renjun bertarung dengan ego dan logikanya. Sampai akhirnya ia beranikan kembali menyentuh perut Jeno yang masih keras, seperti dulu.
“Ini ... diolesin minyak ya.”
Renjun tidak tahu benar, Jeno sedang akting atau memang dia sudah terlampau kesakitan. Jeno cuma menjawab dengan anggukan.
Tangan Renjun bergetar saat minyak sudah membasahi ujung jari-jarinya, terlebih saat pertama kali menyentuh permukaan kulit Jeno yang hangat. Sumpah demi bumi dan seisinya, Renjun rasanya kembali muda. Ini dia nggak sedang cosplay jadi Jerry dan Shane yang dimabuk cinta kan?
Dengan jantung berdegup cukup kencang, Renjun kembali mengoleskan minyak angin dengan gerakan memutar di permukaan perut Jeno, sembari mengelus pelan perut keras Jeno—seperti yang biasa ia lakukan dulu. Bermenit-menit bertahan seperti itu.
Tapi, di sisi lain, saking menikmatinya, Jeno sampai kelepasan senyum-senyum sendiri sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba pula, ia hembuskan nafas yang membuat Renjun memicingkan mata ke arah Jeno, menatap senyum tengil di wajah Jeno—meski kedua matanya terpejam.
“Turun dikit dong kalo bisa, elus sekalian bawah dikit.”
Mata Renjun melotot. Dasar orang gila!
Sekuat tenaga Renjun cubit kecil keras-keras bagian lembek di sisi kanan perut Jeno, membuat Jeno berteriak dan merintih kesakitan lalu memohon ampun.
“Aaahhh ... ampun ampun ampun ... iya maaf, maaf, maaf ....”
“Dasar cari kesempatan! Orang gila! Dibaikin ngelunjak ya!”
“Aduh aduh aduh iya maaf maaf ... maaf aduh, maaf Renjun ....” rintihan Jeno makin menjadi saat Renjun memelintir cubitannya di kulit perut Jeno. Kalau besok bekas cubitan itu berubah biru, Renjun tidak peduli. Salah sendiri usil!
Malam itu, setidaknya rumah nomor dua puluh tiga itu sedikit menghangat. Ada memori masa muda yang seolah dibangkitkan lewat kejadian absurd malam ini antara dua insan yang dipisahkan keadaan.
Juga benih-benih keseriusan Shane untuk jaga Jeremy di kemudian hari—berkat upayanya tidak meninggalkan Jerry barang sedetikpun. Sampai-sampai, tidur pun ia rela beralas karpet bulu. Asal dekat dengan Jerry.
Masa muda memang seringkali punya banyak cerita. Tidak bisa diulang, tentu saja. Tapi hangatnya selalu bisa dirasakan kembali jika masih dengan orang yang sama.
Semua orang tentu pernah muda, ya kan?