Epilog: Soal Marianne dan Kesempatan Kedua

Dia melangkahkan kaki-kakinya yang sudah lemah itu menyusuri petak jalan protokol kota yang katanya jadi tetangga ibukota.

Sesekali juga mengernyit ketika suara klakson yang terlalu kencang atau debu dari jalan raya tertiup ke arahnya.

'Tinggal sedikit lagi,' ucapnya dalam hati, menyemangati diri ketika halte bus sudah tinggal berjarak sekian meter di depan sana. Tujuan pertamanya di siang hari ini.

Kantong plastik berisi kue-kue tradisional yang dibuatnya sendiri selepas subuh pagi tadi akan menjadi oleh-oleh yang mungkin tidak seberapa, tapi semoga amat berarti untuk sosok sahabat lama yang akan ia temui.

Bus datang dalam lima menit selepas ia menginjakkan kaki di peron tinggi halte. Di dalam sudah hampir penuh sesak, hampir tidak ada ruang untuknya bisa duduk, sebelum seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu berdiri dari kursinya dan mempersilakan wanita itu mengambil tempat duduknya.

Wanita itu tersenyum, mengucap terima kasih dan duduk tenang di kursi yang mungkin sudah terkontaminasi bakteri saking akrabnya dengan bokong-bokong orang asing tiap hari.

Perjalanannya cukup lama, hampir satu jam. Pun ia masih harus berganti moda transportasi setelah ini.

Tapi apa boleh buat? Lebih baik dia naik kendaraan umum dan paling buruk hanya menghabiskan uang lima belas ribu sekali jalan, ketimbang harus mengorbankan uang makan bulanannya dari rumah sakit demi berkunjung jauh ke Jakarta. Lebih baik uangnya dipakai untuk membelikan anak kesayangannya kue ulang tahun di bulan depan.

Hampir-hampir ia tertidur waktu sadar pemandangan di luar jendela berubah jadi gedung-gedung tinggi yang gemar diasosiasikan orang-orang dengan lambang kekayaan dan kemewahan. Yang nyatanya, selalu hadir atas pengorbanan orang-orang terpinggirkan seperti dia.

Dulu, dulu sekali, di masa kecilnya yang indah, dia pernah akrab dengan semua itu.

Ayahnya acap kali membawa dia bertemu orang-orang hebat di gedung hotel terbaik di negeri ini pada zamannya. Ayahnya suka asyik berkelakar bersama orang-orang yang sekarang namanya mudah dicari di mesin pencari—dan otomatis juga terindeks sebagai orang-orang paling kaya.

Ayahnya? Mati sengsara dan tidak dikenal.

Kadang di tiap khusyu doa malamnya, dia selalu meminta. Meminta agar semua beban dan rasa sakit ini, tolong—tolong sekali, hanya diberikan padanya.

Bukan pada sosok belahan jiwanya yang sebentar lagi meninggalkan titel remaja di tanggal dua puluh tiga.

Namun, oh—dia yakin doanya sudah didengar, tapi karma baiknya akan disimpan di kemudian hari. Bukan sekarang.

Sejak awal mengantar putra satu-satunya ke bandara untuk pergi sejauh enam ribu mil dari pelukannya, benar-benar tidak ada kata tenang.

Suaminya selalu bilang, “kamu terlalu khawatir. Nggak apa-apa, biarin dia belajar hidup sendiri, jangan kita banyak ikut campur. Biar dia cepat dewasa.”

Yang kadang ia amini karena mungkin benar, anaknya sesekali perlu menghirup udara di dunia luar yang tidak selalu baik. Tidak selalu aman seperti saat ada di pelukannya.

Hingga pada satu titik, hatinya sedikit merasakan lega. Anaknya sudah benar-benar hidup. Anaknya sudah benar-benar berani berdiri di atas kakinya sendiri.

Anaknya sudah besar, ia tahu, saat suaranya begitu cerah ceria bercerita soal sosok laki-laki yang sempat ia pandang sebelah mata—tiba-tiba berubah menjadi sumber bahagianya.

Meskipun di tengah malam, ia suka tiba-tiba berbisik pada suaminya, “apa bener anak kita sudah dewasa?”

Hatinya makin membuncah, kekhawatirannya juga tiba-tiba musnah, waktu anaknya dengan bangga dan bahagia bilang, “aku udah yakin sama dia.”

Ibu mana yang tidak bahagia kalau anaknya bahagia?

Dia menelfon si sahabat lama dengan nada suara bahagia juga. Mengabarkan kabar gembira untuk mereka yang sebentar lagi bisa rekat sebagai keluarga.

Sang sahabat lama juga tidak kalah bahagia!

Pikirannya bahkan sudah sampai ke titik, 'mereka mau pilih tanggal berapa?' hingga, 'aku akan cari venue dan baju terbaik buat mereka!'

Tanpa sadar, ada badai menyeramkan menunggu mereka di ujung bulan yang katanya akrab dengan simbolisasi cinta dan bahagia.

“Aku sakit, Bu.” rintihan suara anaknya yang makin parau di permulaan malam itu benar-benar menusuk—mengiris jantungnya.

Lebih-lebih, saat nada bangga dan gembira tidak lagi terdengar dari tutur katanya.

Murung dalam siangnya, gelisah dalam malamnya.

Anaknya benar-benar seperti disulap menjadi sosok berbeda setelah kepulangannya di hampir sepertiga ujung Februari itu.

Ayahnya tidak tahu, kalau tiap malam Ibunya mendengar tangis teredam bantal kapuk yang usianya hampir setengah usia belahan jiwanya itu. Yang diam-diam juga membuat Ibunya menangis sendu sambil berpikir, 'apa yang salah?'

Hingga di suatu hari, setelah makan malam hangat mereka yang hanya berteman dua papan tempe dan semangkuk sayur untuk bertiga, sang belahan jiwa angkat bicara.

Dan itulah, yang mengantarkannya—dengan lancang menghadap sahabat lama di lantai empat puluh dua salah satu gedung tertinggi di ibukota.

“Mau minum apa, Ci?” Marianne masih hangat, selalu hangat.

“Aku nggak akan lama kok, Mar. Cuma mampir sebentar. Ada yang mau dibicarakan,” tapi anggunnya si wanita pemilik rambut hitam legam ini, juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Marianne tersenyum.

Otaknya sudah memainkan skenario terbaik soal rencana anak-anak mereka yang sebentar lagi akan bersama. Mimpi indahnya karena akhirnya bisa memenuhi keinginan Papanya yang begitu ia cintai dan begitu ia hormati.

Marianne mungkin perempuan. Mungkin juga, selalu diolok-olok karena tingkahnya yang 'sok tau' dan 'sok berani' waktu masih duduk di sekolah dasar. Tapi yang jelas, ia tahu jika ada pujian di balik semua olokan teman-teman sebayanya itu. Mereka tahu jika suatu saat Marianne akan tumbuh dengan penuh rasa ingin tahu dan juga keberanian yang boleh diuji.

'Marianne selalu jadi anak kesayangan Papa.'

Itu sebutan dari empat saudara laki-lakinya yang lain.

Kenapa? Tentu saja karena Marianne anak pertama dan perempuan satu-satunya.

Marianne juga jelas tahu kalau Papanya sayang dan terang-terangan menyebutnya sebagai si anak favoritnya. Makanya, tujuan hidupnya cuma satu: buat Papa bangga.

Dan itu artinya, sepeninggal Papa, dan sampai dirinya sendiri menutup mata.

“Gimana, Ci? Ada yang mau diobrolin lagi? Kok udah semangat banget, Ci, sampe nyamperin aku ke sini? Padahal bisa aku aja lho yang main ke rumah dan ngobrol bareng kamu dan suamimu.”

Belum sempat lawan bicaranya menjawab, Marianne sudah kembali berbicara, “oh iya, kamu sendiri, Ci? Kalau suamimu nganter, suruh naik juga sini. Nanti kita di ruang meeting aja sekalian biar aku pesenin makan siang.”

Marianne memang punya segudang kosakata. Gemar bicara. Tapi itulah yang membuatnya ada di posisinya sekarang.

“Oh aku hampir lupa, Mar. Aku bawa kue buat kamu. Nanti dimakan ya? Jangan dibuang meskipun itu kue kampung,” wanita itu tidak pernah memandang Marianne dan keluarganya sebelah mata.

Namun, saat sang buah hatinya bercerita segala kepahitan hidupnya di sana, ia merasa mungkin dirinya mengenal Marianne, tapit tidak dengan anak-anak Marianne.

“Hah? Ya dimakan, Ci. Kan aku suka banget sama kue-kue buatan kamu.”

Air muka Marianne berubah. Jelas ia bisa menyebutnya begitu. Ia hafal betul perangai Marianne.

Senyumnya kembali terkembang, sebelum lanjut berkata, “mungkin anak atau menantu kamu? Mereka sudah pernah coba?”

Kali ini, jelas. Wajah Marianne benar-benar penuh keterkejutan, tidak bisa lagi ditutupi.

Nada suara lawan bicaranya sudah benar-benar berubah jadi sarkastik. Tidak ia kenal.

“Ci? Ada apa?” ia condongkan badan ke arah lawan bicaranya, memandang lawan bicaranya dengan penuh rasa empati.

“Aku boleh tanya sama kamu, Mar?”

Anggukan heran datang dari Marianne. Wanita lawan bicaranya sudah gemetar, suaranya gemetar. Mengingat malam-malam penuh rasa khawatir—yang akhirnya ia tahu apa penyebabnya.

“Anakmu, pernah menolak sesuatu? Pemberianmu? Perintahmu, Mar?”

Marianne ... bingung.

Ada rasa yang benar-benar mengganggunya dari pertanyaan itu. Ada rasa yang benar-benar membuatnya takut kali ini.

“Ak-aku selalu membiarkan mereka memilih, Ci. Mana yang mereka suka, mana yang mereka nggak suka. Me-mereka bebas memilih...”

Senyum getir muncul dari wajah wanita di depan Marianne. Matanya sudah merah menahan tangis.

“Anakku nggak pernah, Mar. Anakku nggak pernah menolak apapun. Dia tahu Ibunya hidup sengsara, jadi dia nggak pernah bilang 'tidak', karena satu kata 'tidak'nya, itu akan buat Ibunya makin runyam pikirannya, Mar.”

Air matanya sudah turun. Makin membuat Marianne bingung. Apa yang mau dia katakan? Semuanya terlalu cryptic di otak Marianne.

“Anakmu, pernah berbohong, Mar?” lagi-lagi wanita itu memberinya pertanyaan.

Lidah Marianne kelu. Jelas dia tahu anak bungsunya pembohong ulung.

Bukan hanya soal pacar-pacar yang tidak pernah ia setujui, tapi juga soal pinjaman hutang agar dia bisa kembali belajar dari usahanya sendiri, soal terapi-terapi mahal yang selalu ia rahasiakan dari semua orang, dan soal tangis-tangis tanpa suara anaknya di tiap malam kepulangannya ke rumah.

Marianne ikut menangis. Seakan mengatakan bahwa, iya, si pembohong itu anak bungsunya.

“Mar, anakku seumur hidup nggak pernah menolak permintaanku.” suaranya masih bergetar, hati Marianne ikut sakit.

“Anakku juga nggak pernah berbohong ke aku, Mar. Dia akan selalu jujur kalau dia sakit, dia selalu jujur kalau dia bahagia, dan selalu jujur tentang apapun yang dia rasa.”

“Tapi, Mar. Akhir-akhir ini anakku jadi sering berbohong.”

“Katanya dia bahagia, Mar, ketika ketemu sama anakmu. Katanya dia senang karena anakmu sudah mulai menerima adanya dia di sana.”

Marianne jelas tahu ke mana arah pembicaraan ini.

“Tapi, Mar. Beberapa hari lalu anakku pulang. Pulang karena rindu Ibunya, dia juga nggak punya tempat menangis lagi di sana, Mar.”

“Anakku nggak pernah menolak permintaanku, Mar. Tapi kemarin dia bilang, kalau dia menolak memenuhi permintaan Ibu dan Kakeknya, Mar.”

Dengan itu, dunia Marianne sudah benar-benar hancur.

Wasiat Papanya, wasiat terakhir yang ingin dia wujudkan sudah tidak bisa lagi selamat.

Keluarga sahabat Papanya menolak.

Dan artinya, Marianne benar-benar tidak bisa lagi membubuhkan tinta emas dalam jalan hidupnya.

Marianne berdosa. Bukan hanya atas janjinya pada Papa tercintanya, tapi juga pada si anak manis yang selalu ia harap suatu saat akan ikut memanggilnya 'Mama'.

Tapi mungkin, jika Marianne sedang melihat dari atas sana, boleh jadi ia bisa sedikit berbahagia.

Karena anak bungsunya benar-benar mewarisi sifat pekerja kerasnya.

Jadi bukan tidak mungkin, pencipta mereka sudi memberi kesempatan kedua, untuk si anak bungsu mengejar kembali cintanya.