Finale Script

Ucapan terakhir Renjun ke Jeno lewat teks kemarin benar-benar punya efek nyata untuk hubungan mereka.

Kalau biasanya Jeno akan setidaknya menyapa Renjun dengan sapaan 'morning' plus senyuman ganteng di pagi hari waktu mereka berpapasan di ruang makan, maka hari Sabtu pagi ini, Jeno memilih buat menutup rapat-rapat mulutnya waktu Renjun mondar-mandir di dapur.

Mereka seakan punya dunia sendiri-sendiri. Jeno sibuk dengan protein shakenya, sementara Renjun juga sibuk dengan jus sayur dan sarapannya di pagi hari.

Jeno menepati janjinya, tidak mengintervensi kehidupan Renjun lagi setelah diperingatkan kemarin pagi.

Menurut Jeno, omongan Renjun buat dia sakit hati. Terlalu kasar, mungkin? Tapi masuk akal juga, karena dia tahu Renjun sudah lama berusaha buat move-on.

Dia pun sebenarnya juga sama, tapi memang dia ini tipe-tipe yang nggak suka ambil pusing. Nggak melulu harus memaksakan bisa cepet move-on, toh dari seusai mereka bercerai pun, dia nggak ingin segera menikah lagi.

Tapi mungkin lain cerita dengan Renjun, dia sudah punya target membuka hati buat orang baru? Atau mungkin memang dia ingin jadi pribadi yang lebih baik aja dan bisa lepas dari bayang-bayang Jeno yang sudah hidup sama dia hampir dua puluh lima tahun lamanya. Yang mana itu tidak mudah.

Jeno berniat untuk membersihkan kolam renang di samping rumah setelah menenggak habis protein shakenya.

Baru saja dia mau mencuci botol bekas protein shake, dia dengar Renjun berjengit kaget dan rasa kaget itu berubah jadi rasa khawatir waktu dia lihat ada banyak darah di tangan Renjun.

Tanpa perlu banyak bicara, Jeno langsung bawa ibu jari kiri Renjun ke mulutnya.

Wah, jangan tanya apa yang Renjun rasa. Dia udah marah banget. Oh ... bukan marah ya mungkin? Kaget dan malu? Atau bahkan ... udah jengah? Karena lagi-lagi, saat dia sedang berada di titik paling buruk, Jeno datang buat dia.

Jeno kemudian meludah ke wastafel, sambil pelan-pelan mencuci jari tangan Renjun di bawah air mengalir.

Dia narik nafas berat, kemudian bicara ke Renjun, “kamu cuci dulu sampai bersih ya? Bisa kan? Aku cari perban dulu.”

Renjun menuruti apa kata Jeno. Sambil berusaha mati-matian supaya air mata tidak tiba-tiba keluar.

Tapi sia-sia, karena ketika Jeno kembali datang ke Renjun membawa perban, menuntun Renjun duduk di kursi terdekat dari posisi mereka, dan tiba-tiba dia berlutut untuk masang perban di jarinya, Renjun akhirnya menangis.

Bukan sakit yang datang dari irisan pisau ke tangannya, tapi rasa marah dan kecewa ke dirinya sendiri karena sampai sejauh ini bahkan dia belum bisa benar-benar tidak bergantung ke Jeno.

Jeno awalnya mau kaget, bahkan takut waktu melihat Renjun tiba-tiba menangis tersedu di depan dia. Apa memang sesakit itu lukanya? Atau jangan-jangan dalam banget? Apa memang perlu dibawa ke dokter ya?

Tapi dia tiba-tiba langsung mendengus waktu ingat kalau mantan suaminya itu terlalu sensitif soal apapun.

Dia tutup kotak perbannya pelan-pelan, lalu dia hapus air mata Renjun dengan jari-jari tangannya, meskipun awalnya mendapat sedikit gestur penolakan dari Renjun yang sedang dikuasai gengsi.

Jeno looks up with a grin on his face.

“I ... sense an urgent need for a hug in you.” Renjun bursts out his laugh in return.

“So, want me to hold you?”

Dan ... begitulah awalnya hingga Renjun si mantan suami dramatis akhirnya mau kembali ke pelukan Jeno—secara literal.

Sabtu pagi sebelum kepulangan anak-anak jadi lebih ceria—dan sedikit panas—karena sepasang orang tua yang pernah berpisah itu akhirnya punya sesi intim mereka sendirian.

Dari pelukan ringan sekitar pukul delapan, berubah jadi sesi ciuman penuh gelak tawa di sofa ruang keluarga. Sambil mengingat apa-apa saja yang pernah terjadi di sana waktu dulu jauh sebelum mereka akhirnya berpisah rumah dan seolah tidak pernah kenal.

Renjun mungkin akan menyesali pilihannya ketika besok ia sudah kembali ke rumah dan tidak ingat kalau hari ini dia mau-mau saja menerima ciuman panas Jeno. Tapi ya ... itu kan bisa dipikirkan nanti saja, yang penting sekarang dia rasanya kembali jadi muda.

Belum lagi ekskalasi tingkat keintiman mereka tiba-tiba jadi lebih bikin gila. Dan bahkan tanpa jeda. Karena Jeno tiba-tiba membawa Renjun untuk merasakan banyak hal yang sudah lama mereka tinggalkan.

Ini jadi pengalaman yang terasa baru untuk Renjun. Padahal secara harfiah, ia cuma mengulang pengalaman lama, dengan orang yang sama, di tempat yang nyaris sama.

Susah untuk menentukan apakah yang mereka lakukan hari ini benar atau salah. Bingung.

Rasa bingungnya semakin besar setelah ia punya cukup kewarasan untuk grasps everything that just happened in time.

Dia punya banyak kekhawatiran.

Bagaimana kalau setelah ini Jeno kembali pergi dari hidupnya?

Bagaimana kalau setelah ini dia harus sendiri lagi sama Jeremy dan nggak punya siapa-siapa yang akan peluk dia waktu dia kecewa sama dunia?

Bagaimana kalau setelah ini Calvin punya sosok pengganti dia di hidupnya? Orang lain yang akan dia panggil Papa?

Dan kemungkinan terburuk ... bagaimana kalau semua ini sebenarnya cuma mimpi?

Cup.

Jeno kembali bikin dia kaget setelah mencium pucuk pundaknya yang telanjang.

Golden hour bikin kamu tambah cakep, aku sebenarnya masih ingin liha kamu ngelamun cantik kayak gitu. Tapi kita harus siap-siap dan mandi, Calvin dan Jeremy akan landing in 3 hours, sayang. Aku pergi mandi dulu ya?”

Seluruh tubuh Renjun rasanya merinding.

Ternyata semuanya nyata.

Pelukan Jeno tadi pagi, ciuman-ciuman kecil mereka di sofa, bahkan pergumulan panas mereka di kamar utama yang pernah jadi miliknya, itu juga nyata.

Tapi ... setelah ini ... apa? Dia mau apa setelah ini?

Kembali ke Jeno? Nggak mungkin.

Jeno nggak pantas untuk dapat sosok pasangan yang seburuk Renjun. Meskipun berkali-kali, semua orang di sekitar mereka berusaha mati-matian meyakinkan Renjun kalau dia itu cukup. Tetap nggak bisa.

Jeno terlalu sempurna, bahkan bikin Renjun mati-matian harus mencari alasan untuk benci Jeno. Untuk memberi sugesti bahwa tingkah absurd dan tingkah random Jeno ke dia itu ... bener-bener nggak sopan dan nggak cocok kalau harus disandingkan dengan dinamika rumah tangga pada umumnya.

Tapi usaha Renjun semuanya sia-sia, Jeno terus-terusan menunjukkan kalau dia itu benar-benar a good fit untuk Renjun. Apapun yang terjadi.

Dalam perjalanan menuju bandara untuk menjemput anak-anak mereka, Renjun akhirnya sampai di suatu kesimpulan bahwa: dia masih mencintai Jeno. Serius, dia masih cinta, dan dia akan coba kesempatan kedua ini.

Tapi syaratnya cuma satu,

“Jangan sampai anak-anak dan yang lain tahu, ya?”

Yang bikin Jeno tersenyum miring waktu mencium punggung tangan kanan Renjun sembari mengemudi.

Well, loads of fun ahead!